Bahasa dan sastra Lampung dinilai sulit bertumbuh kembang karena kurang diapresiasi dan dimengerti masyarakat Lampung sendiri. Jika dibiarkan berlangsung terus, bahasa Lampung akan terancam punah. Keprihatinan itu terungkap dalam diskusi "Bahasa sebagai Pendukung Kebudayaan" di Bandar Lampung, Lampung, akhir pekan lalu. Upaya memasyarakatkan bahasa Lampung melalui pendidikan juga terkendala tidak adanya standar dalam belajar bahasa Lampung. Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardhana mengatakan, saat ini sedang diteliti dan dipetakan penyebaran penggunaan bahasa di Lampung. (*/ELN)
Sumber: Kompas, Senin, 25 Juni 2007
June 30, 2007
June 29, 2007
Minat Baca: Perpustakaan Jadi Pilihan Anak-anak Saat Liburan
-- Helena F Nababan
SENIN (25/6) siang, dua anak berusia 6 tahun dan 10 tahun sibuk mengaduk-aduk koleksi buku dan majalah anak-anak yang tertata rapi di ruang koleksi anak Unit Perpustakaan Daerah Lampung. Mereka tengah mencari bacaan yang mereka sukai.
Aji Thamrin (6), sambil berseru gembira, berlari menuju kursi berwarna kuning menyala sambil membawa komik Asterix. Dengan buru-buru ia membuka halaman demi halaman.
Sambil membuka halaman dan memahami bacaannya, mulutnya komat-kamit berusaha melafalkan nama-nama tokoh dalam komik asli Perancis yang menceritakan suku Ghalia itu. Hasilnya, nama-nama tokoh seperti Asterix, Obelix, Panoramix, dan Assurancetourix berhasil ia lafalkan setelah bersusah payah mengeja.
Di samping Aji duduk Tigor (10) yang serius menghadapi komik Conan. "Sekarang waktu libur, aku bisa membaca komik sepuasku," kata Tigor Panggabean, murid kelas empat SD Immanuel Bandar Lampung.
Ibu Misna (45) duduk di ujung ruangan. Pegawai Perpustakaan Daerah Lampung itu hanya tersenyum-senyum menyaksikan tingkah laku Aji dan Tigor. "Ini sudah siang, makanya sepi. Tadi pagi mulai pukul 08.00 sampai 12.00 saya sampai kelelahan meladeni permintaan anak-anak," katanya.
Aji dan Tigor hanyalah sebagian kecil dari anak-anak di Bandar Lampung yang haus akan bacaan. Menurut ibu Misna, selama liburan sekolah jumlah pengunjung, terutama anak- anak, yang datang ke perpustakaan daerah memang meningkat. Bila pada hari-hari normal pengunjung anak-anak bisa dihitung dengan jari, selama liburan sekolah mengalami kenaikan.
"Sejak Sabtu (23/6) kemarin, pengunjung anak-anak sudah mencapai 40-an anak per hari. Liburan kenaikan kelas tahun lalu juga setiap hari 40-an anak datang dan membaca di sini," tutur ibu Misna.
Dengan dikelola oleh Unit Pengelola Teknis Daerah, Perpustakaan Daerah Lampung memiliki koleksi bacaan untuk anak- anak yang cukup lengkap. Sekitar 6.789 judul buku bacaan untuk anak, mulai dari bacaan fiksi seperti novel remaja, novel petualangan, komik, majalah anak, hingga cerita bergambar, tersedia.
Di ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas tempat duduk berwarna mencolok dan langit- langit dihiasi gantungan aneka boneka itu, setiap anak yang doyan buku akan betah duduk dan membaca. "Ruangan itu memang sengaja didesain untuk merangsang minat baca anak- anak," kata Ibu Misna.
Sumber: Kompas, Jumat, 29 Juni 2007
SENIN (25/6) siang, dua anak berusia 6 tahun dan 10 tahun sibuk mengaduk-aduk koleksi buku dan majalah anak-anak yang tertata rapi di ruang koleksi anak Unit Perpustakaan Daerah Lampung. Mereka tengah mencari bacaan yang mereka sukai.
Aji Thamrin (6), sambil berseru gembira, berlari menuju kursi berwarna kuning menyala sambil membawa komik Asterix. Dengan buru-buru ia membuka halaman demi halaman.
Sambil membuka halaman dan memahami bacaannya, mulutnya komat-kamit berusaha melafalkan nama-nama tokoh dalam komik asli Perancis yang menceritakan suku Ghalia itu. Hasilnya, nama-nama tokoh seperti Asterix, Obelix, Panoramix, dan Assurancetourix berhasil ia lafalkan setelah bersusah payah mengeja.
Di samping Aji duduk Tigor (10) yang serius menghadapi komik Conan. "Sekarang waktu libur, aku bisa membaca komik sepuasku," kata Tigor Panggabean, murid kelas empat SD Immanuel Bandar Lampung.
Ibu Misna (45) duduk di ujung ruangan. Pegawai Perpustakaan Daerah Lampung itu hanya tersenyum-senyum menyaksikan tingkah laku Aji dan Tigor. "Ini sudah siang, makanya sepi. Tadi pagi mulai pukul 08.00 sampai 12.00 saya sampai kelelahan meladeni permintaan anak-anak," katanya.
Aji dan Tigor hanyalah sebagian kecil dari anak-anak di Bandar Lampung yang haus akan bacaan. Menurut ibu Misna, selama liburan sekolah jumlah pengunjung, terutama anak- anak, yang datang ke perpustakaan daerah memang meningkat. Bila pada hari-hari normal pengunjung anak-anak bisa dihitung dengan jari, selama liburan sekolah mengalami kenaikan.
"Sejak Sabtu (23/6) kemarin, pengunjung anak-anak sudah mencapai 40-an anak per hari. Liburan kenaikan kelas tahun lalu juga setiap hari 40-an anak datang dan membaca di sini," tutur ibu Misna.
Dengan dikelola oleh Unit Pengelola Teknis Daerah, Perpustakaan Daerah Lampung memiliki koleksi bacaan untuk anak- anak yang cukup lengkap. Sekitar 6.789 judul buku bacaan untuk anak, mulai dari bacaan fiksi seperti novel remaja, novel petualangan, komik, majalah anak, hingga cerita bergambar, tersedia.
Di ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas tempat duduk berwarna mencolok dan langit- langit dihiasi gantungan aneka boneka itu, setiap anak yang doyan buku akan betah duduk dan membaca. "Ruangan itu memang sengaja didesain untuk merangsang minat baca anak- anak," kata Ibu Misna.
Sumber: Kompas, Jumat, 29 Juni 2007
Budaya: Tradisi Lampung Tetap Berkembang
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Provinsi Lampung Hermansyah menegaskan salah besar jika ada penilaian berbagai pihak bahwa seni budaya tradisi daerah Lampung selama ini kurang atau malah dianggap tidak berkembang.
"Seni budaya tradisi daerah Lampung itu sebenarnya tetap tumbuh dan berkembang pada wilayah yang menjadi pusat-pusat keberagaman budaya di seluruh pelosok Lampung. Memang kebanyakan hanya berkembang di wilayah perkampungan yang didiami warga asli Lampung," kata Hermansyah, Kamis (28-6).
Dia menyebutkan pada hampir semua perkampungan masyarakat Lampung yang masih mempertahankan adat dan tradisi nenek moyangnya itu, seni dan budaya setempat juga terus tumbuh dan dilestarikan mereka.
Hermansyah menyebutkan berbagai bentuk seni tradisi warisan leluhur seperti pantun stimbalan (berbalas pantun), dadi (tradisi baca sastra lisan), tari-tarian daerah, musik tradisi, dan lainnya tetap dimainkan dan dikembangkan warga adat di sana. "Apalagi musik dan tari serta seni sastra untuk upacara adat, akan tetap digunakan setiap upacara adat itu digelar," katanya.
Oleh sebab itu, Hermansyah menepis adanya tudingan dan penilaian berbagai pihak yang menyatakan seni dan budaya tradisi Lampung kurang atau tidak berkembang. "Salah besar itu, saya sangat tidak setuju dengan penilaian seperti itu," ujar dia.
Menurut dia lagi, Diknas setempat bersama sejumlah lembaga adat dan organisasi pencinta seni tradisi juga terus mengembangkan paket seni yang dapat ditampilkan dalam setiap acara resmi maupun untuk konsumsi pariwisata. "Kami juga mendorong terciptanya perpaduan seni dan tradisi Lampung dengan seni dan tradisi daerah lain yang berkembang di daerah ini, seperti seni Bali," kata Hermansyah.
Dia menyatakan tidak menutup kemungkinan pula di Lampung akan berkembang seni pewayangan yang tidak lagi menggunakan bahasa aslinya, tapi telah dipadukan menggunakan bahasa Lampung, baik berupa wayang orang, wayang golek, maupun wayang kulit.
Kenyataannya, beberapa dalang di Lampung telah mulai menampilkan atraksi wayang golek maupun wayang kulit yang diselipkan penggunaan bahasa daerah Lampung di dalamnya pada setiap pergelaran wayang di sejumlah tempat di daerah ini. AST/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Juni 2007
"Seni budaya tradisi daerah Lampung itu sebenarnya tetap tumbuh dan berkembang pada wilayah yang menjadi pusat-pusat keberagaman budaya di seluruh pelosok Lampung. Memang kebanyakan hanya berkembang di wilayah perkampungan yang didiami warga asli Lampung," kata Hermansyah, Kamis (28-6).
Dia menyebutkan pada hampir semua perkampungan masyarakat Lampung yang masih mempertahankan adat dan tradisi nenek moyangnya itu, seni dan budaya setempat juga terus tumbuh dan dilestarikan mereka.
Hermansyah menyebutkan berbagai bentuk seni tradisi warisan leluhur seperti pantun stimbalan (berbalas pantun), dadi (tradisi baca sastra lisan), tari-tarian daerah, musik tradisi, dan lainnya tetap dimainkan dan dikembangkan warga adat di sana. "Apalagi musik dan tari serta seni sastra untuk upacara adat, akan tetap digunakan setiap upacara adat itu digelar," katanya.
Oleh sebab itu, Hermansyah menepis adanya tudingan dan penilaian berbagai pihak yang menyatakan seni dan budaya tradisi Lampung kurang atau tidak berkembang. "Salah besar itu, saya sangat tidak setuju dengan penilaian seperti itu," ujar dia.
Menurut dia lagi, Diknas setempat bersama sejumlah lembaga adat dan organisasi pencinta seni tradisi juga terus mengembangkan paket seni yang dapat ditampilkan dalam setiap acara resmi maupun untuk konsumsi pariwisata. "Kami juga mendorong terciptanya perpaduan seni dan tradisi Lampung dengan seni dan tradisi daerah lain yang berkembang di daerah ini, seperti seni Bali," kata Hermansyah.
Dia menyatakan tidak menutup kemungkinan pula di Lampung akan berkembang seni pewayangan yang tidak lagi menggunakan bahasa aslinya, tapi telah dipadukan menggunakan bahasa Lampung, baik berupa wayang orang, wayang golek, maupun wayang kulit.
Kenyataannya, beberapa dalang di Lampung telah mulai menampilkan atraksi wayang golek maupun wayang kulit yang diselipkan penggunaan bahasa daerah Lampung di dalamnya pada setiap pergelaran wayang di sejumlah tempat di daerah ini. AST/S-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Juni 2007
Teater: KoBER Pentaskan 'Siapa Nama Aslimu'
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komunitas Berkat Yakin (KoBER) akan mementaskan "Wu Wei dan Siapa Nama Aslimu" di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Sabtu--Minggu, 29-30 Juni 2007.
Pementasan lakon karya Ari Pahala Hutabarat tersebut merupakan rangkaian perayaan milad keliam KoBER. Pementasan juga sekaligus sebagai bentuk pengukuhan KoBER sebagai salah satu komunitas teater independen yang eksis di Lampung.
Pemimpin Produksi Muhammad Yunus mengatakan pentas teater tersebut akan membincangkan masalah primordial manusia. Atau pengalaman yang semua orang pasti pernah mengalami walaupun bentuk dan kadarnya yang berbeda. Seperti perjumpaan dan perpisahan, kerinduan kampung halaman, pergi dan pulang, menunggu dan tentang kenangan.
Kemudian tentang harapan, Tuhan, tradisi, rumah, dan lainnya yang dieksplorasi enam aktor selama 60 menit. "Seperti produksi-produksi KoBER sebelumnya, pementasan kali ini merupakan sebuah proses belajar bersama di antara kita," kata Yunus di sela-sela diskusi latihan, Rabu (27-6).
Pementasan ini juga merupakan refleksi kehidupan manusia. Di mana banyak permasalahan yang setiap hari dijumpai, tapi kerap dicarikan solusinya dengan melarikannya ke hal-hal yang jauh berada di luar diri manusia itu. Padahal, semua permasalahan di hadapan anak manusia bermuara dari dalam diri sendiri.
"Pertunjukan ini bukan sebuah problem solving dari bertumpuk dan rumitnya permasalahan hidup. Ini hanya sekadar upaya bertukar cermin dan mematut-matut diri dari apa yang telah diperbuat," katanya.
Penata cahaya pertunjukan itu, Neri Juliawan, mengatakan "Wu Wie" merupakan hasil eksplorasi atas puisi-puisi karya Ari Pahala Hutabarat.
Selama satu jam penuh penonton akan disuguhkan permainan yang menggelitik rasa daan ditawarkan berbagai bentuk keadaan rohani dalam diri manusia yang nahasnya terjadi tanpa disadari.
"Tentu pertunjukan teater seperti ini jarang digelar di Lampung. Apalagi KoBER mencoba mengakomodasi beberapa genre teater dalam satu pertunjukan," katanya. n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Juni 2007
Pementasan lakon karya Ari Pahala Hutabarat tersebut merupakan rangkaian perayaan milad keliam KoBER. Pementasan juga sekaligus sebagai bentuk pengukuhan KoBER sebagai salah satu komunitas teater independen yang eksis di Lampung.
Pemimpin Produksi Muhammad Yunus mengatakan pentas teater tersebut akan membincangkan masalah primordial manusia. Atau pengalaman yang semua orang pasti pernah mengalami walaupun bentuk dan kadarnya yang berbeda. Seperti perjumpaan dan perpisahan, kerinduan kampung halaman, pergi dan pulang, menunggu dan tentang kenangan.
Kemudian tentang harapan, Tuhan, tradisi, rumah, dan lainnya yang dieksplorasi enam aktor selama 60 menit. "Seperti produksi-produksi KoBER sebelumnya, pementasan kali ini merupakan sebuah proses belajar bersama di antara kita," kata Yunus di sela-sela diskusi latihan, Rabu (27-6).
Pementasan ini juga merupakan refleksi kehidupan manusia. Di mana banyak permasalahan yang setiap hari dijumpai, tapi kerap dicarikan solusinya dengan melarikannya ke hal-hal yang jauh berada di luar diri manusia itu. Padahal, semua permasalahan di hadapan anak manusia bermuara dari dalam diri sendiri.
"Pertunjukan ini bukan sebuah problem solving dari bertumpuk dan rumitnya permasalahan hidup. Ini hanya sekadar upaya bertukar cermin dan mematut-matut diri dari apa yang telah diperbuat," katanya.
Penata cahaya pertunjukan itu, Neri Juliawan, mengatakan "Wu Wie" merupakan hasil eksplorasi atas puisi-puisi karya Ari Pahala Hutabarat.
Selama satu jam penuh penonton akan disuguhkan permainan yang menggelitik rasa daan ditawarkan berbagai bentuk keadaan rohani dalam diri manusia yang nahasnya terjadi tanpa disadari.
"Tentu pertunjukan teater seperti ini jarang digelar di Lampung. Apalagi KoBER mencoba mengakomodasi beberapa genre teater dalam satu pertunjukan," katanya. n AAN/K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 29 Juni 2007
June 28, 2007
Media Massa: Majalah 'Cerdas' Berbahasa Lampung Siap Luncur
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Majalah Cerdas yang diterbitkan dan dikelola Dinas Pendidikan Provinsi Lampung yang 60 persen isinya menggunakan bahasa daerah Lampung siap diluncurkan.
Menurut Kepala Pendidikan Lampung Hermansyah, majalah itu salah satu sarana kembali meningkatkan minat dan kebiasaan masyarakat di daerah dapat menggunakan bahasa Lampung.
"Itu majalah pendidikan yang dikhususkan untuk pelajar SD dan SMP di Lampung," kata Hermansyah, Rabu (27-6).
Majalah yang direncanakan siap diluncurkan pada Juli-Agustus 2007 itu, menurut Hermansyah, akan mengisi koleksi bacaan siswa di perpustakaan sekolah di daerahnya.
Ia mengaku khawatir dengan kenyataan pengguna bahasa daerah Lampung yang masih terbatas, termasuk di kalangan warga suku Lampung sendiri.
Padahal bahasa dan aksara Lampung yang menjadi salah satu aset dunia, mengingat tidak semua etnis memiliki aksara dan bahasa sendiri, dinilai makin terancam kepunahan akibat minim digunakan oleh masyarakatnya sendiri.
"Semestinya orang Lampung atau masyarakat yang tinggal di Lampung mulai kembali membiasakan penggunaan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari," ujar dia.
Dinas Pendidikan Lampung akan mendorong penggunaan bahasa Lampung di sekolah, dalam pergaulan dan percakapan bagi pelajar dan para guru, di luar jam belajar di kelas untuk mendukung penetapan bahasa daerah Lampung sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di daerahnya.
"Walaupun telah diajarkan resmi di sekolah, kalau tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari, potensi kepunahan bahasa Lampung masih akan terjadi," kata dia.
Dengan membiasakan menggunakan bahasa Lampung itu, diharapkan dapat kembali berkembang penguasaan bahasa daerah oleh sejumlah pakar linguistik nasional dan dunia.
Dia yakin dengan terus menerus menggunakan bahasa Lampung, selain bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik oleh suku asli Lampung, warga etnis campuran maupun para pendatang, bahasa Lampung akan dapat dilestarikan.
Hermansyah justru menyayangkan kecenderungan orang Lampung sendiri yang enggan dan kurang bangga menggunakan bahasa daerahnya.
"Susah kita, kalau orang Lampung sendiri maupun warga yang telah tinggal di Lampung kurang bangga dan enggan menggunakan bahasa Lampung itu," kata dia.
Padahal bahasa Lampung salah satu di antara sedikit bahasa daerah yang dimiliki suku-suku (etnis) masyarakat di dunia, mengingat kebanyakan etnis justru tidak memiliki aksara dan bahasanya sendiri. AST/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Juni 2007
Menurut Kepala Pendidikan Lampung Hermansyah, majalah itu salah satu sarana kembali meningkatkan minat dan kebiasaan masyarakat di daerah dapat menggunakan bahasa Lampung.
"Itu majalah pendidikan yang dikhususkan untuk pelajar SD dan SMP di Lampung," kata Hermansyah, Rabu (27-6).
Majalah yang direncanakan siap diluncurkan pada Juli-Agustus 2007 itu, menurut Hermansyah, akan mengisi koleksi bacaan siswa di perpustakaan sekolah di daerahnya.
Ia mengaku khawatir dengan kenyataan pengguna bahasa daerah Lampung yang masih terbatas, termasuk di kalangan warga suku Lampung sendiri.
Padahal bahasa dan aksara Lampung yang menjadi salah satu aset dunia, mengingat tidak semua etnis memiliki aksara dan bahasa sendiri, dinilai makin terancam kepunahan akibat minim digunakan oleh masyarakatnya sendiri.
"Semestinya orang Lampung atau masyarakat yang tinggal di Lampung mulai kembali membiasakan penggunaan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari," ujar dia.
Dinas Pendidikan Lampung akan mendorong penggunaan bahasa Lampung di sekolah, dalam pergaulan dan percakapan bagi pelajar dan para guru, di luar jam belajar di kelas untuk mendukung penetapan bahasa daerah Lampung sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di daerahnya.
"Walaupun telah diajarkan resmi di sekolah, kalau tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari, potensi kepunahan bahasa Lampung masih akan terjadi," kata dia.
Dengan membiasakan menggunakan bahasa Lampung itu, diharapkan dapat kembali berkembang penguasaan bahasa daerah oleh sejumlah pakar linguistik nasional dan dunia.
Dia yakin dengan terus menerus menggunakan bahasa Lampung, selain bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik oleh suku asli Lampung, warga etnis campuran maupun para pendatang, bahasa Lampung akan dapat dilestarikan.
Hermansyah justru menyayangkan kecenderungan orang Lampung sendiri yang enggan dan kurang bangga menggunakan bahasa daerahnya.
"Susah kita, kalau orang Lampung sendiri maupun warga yang telah tinggal di Lampung kurang bangga dan enggan menggunakan bahasa Lampung itu," kata dia.
Padahal bahasa Lampung salah satu di antara sedikit bahasa daerah yang dimiliki suku-suku (etnis) masyarakat di dunia, mengingat kebanyakan etnis justru tidak memiliki aksara dan bahasanya sendiri. AST/S-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Juni 2007
June 27, 2007
Diskusi: Penguatan Nilai Budaya untuk Meningkatkan Pariwisata Lampung*
NILAI-NILAI budaya lokal perlu dikembangkan untuk meningkatkan kunjungan pariwisata. Pelestarian budaya daerah bisa dilakukan dengan membangun model jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung sebagai aset wisata-budaya daerah. Di sisi lain, pendidikan dan media massa menjadi sarana penting bagi upaya membangkitkan kesadaran wisata dan budaya masyarakat.
Inilah yang menjadi benang merah dari Diskusi Penguatan Nilai Budaya Bangsa Dalam Rangka Meningkatkan Pariwisata yang diselenggarakan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung di Pusiban Kantor Gubernur Lampung, Bandarlampung, Selasa (26/6). Tampil sebagai nara sumber dalam diskusi Pembantu Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Lampung (Unila) Anshori Djausal, Kepala Dinas Pendidikan Lampung Hermansyah, dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi.
Anshori Djausal mengatakan, masyarakat Lampung tak perlu risau dengan kehadiran warga pendatang, termasuk para turis mancanegara.
"Yakinlah, nilai-nilai lokal tetap akan terpelihara, selama masih ada masyarakat lokal yang terus menjaga akar budayanya," ujarnya.
Anshori menyontohkan terpaan budaya asing di Bali, kehadiran turis mancanegara ternyata tidak mampu meleburkan nilai-nilai dan kekhasan budaya lokal setempat.
"Daya tarik pelestarian budaya lokal itulah yang justru menjadi pemikat para turis terus berdatangan ke Bali," katanya.
Menurutnya, kecenderungan adanya konflik dan masalah dalam akulturasi antarbudaya justru terjadi terhadap masyarakat pendatang yang tidak lagi mampu menjaga adat dan budayanya sendiri.
Ia mengatakan, jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung dapat dikembangkan dengan adanya potensi rumah yang dimiliki oleh sebuah keluarga, suku, buwai, dan marga yang masih hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi sekarang ini.
Dia mengingatkan, tren globalisasi membuat orang perlu identitas dan ciri lokal yang spesifik.
"Tren global menganggap penting pembentukan komunitas yang dapat menjaga dan mewarisi kebudayaan, seperti munculnya Europe Heritage Society, Malaysia Heritage Society, Indonesia Heritage Society, Menteng Heritage Society, Bandung Heritage Society, Lampung Heritage Society, dan lainnya," katanya.
"Kini juga mulai muncul kesadaran dan pemahaman mengenai aspek-aspek penting konservasi kebudayaan di dunia ini," ujarnya.
Dia menandaskan, pembentukan jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung merupakan suatu model konservasi kebudayaan sekaligus pengembangan model paket wisata budaya Lampung.
Bahasa Lampung
Terkait dengan itu upaya penestarian nilai budaya Lampung, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Lampung menyarankan agar para guru dan siswa di daerahnya mulai menggunakan bahasa daerah Lampung dalam pergaulan di sekolah dan di luar jam pelajaran.
Menurut Kepala Diknas Lampung Hermansyah, penggunaan bahasa Lampung dalam aktivitas keseharian masyarakat di daerahnya semestinya dibiasakan lagi untuk mendukung pelestarian salah satu bahasa daerah yang menjadi kekayaan budaya nasional dan dunia.
"Penggunaan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari itu dapat dimulai dari sekolah, di antara guru dan muridnya," kata Hermansyah.
Dengan membiasakan menggunakan bahasa Lampung itu, diharapkan dapat kembali berkembang penguasaan bahasa daerah oleh sejumlah pakar linguistik nasional dan dunia.
"Bisa tidak di sekolah guru dan murid mulai membiasakan menggunakan bahasa Lampung di luar jam pelajaran di dalam kelas," ujarnya.
Dia meyakini, dengan terus menerus menggunakan bahasa Lampung, selain bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik oleh suku asli Lampung, warga etnis campuran maupun para pendatang, bahasa Lampung akan dapat dilestarikan.
Hermansyah justru menyayangkan kecenderungan orang Lampung sendiri yang enggan dan kurang bangga menggunakan bahasa daerahnya.
"Susah kita, kalau orang Lampung sendiri maupun warga yang telah tinggal di Lampung kurang bangga dan enggan menggunakan bahasa Lampung itu," cetusnya.
Padahal bahasa Lampung merupakan salah satu di antara sedikit bahasa daerah yang dimiliki suku-suku (etnis) masyarakat di dunia yang memiliki peradaban tinggi, mengingat kebanyakan etnis justru tidak memiliki aksara dan bahasanya sendiri.
Pers Kembali ke 'Khittah'
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Harian Redaksi Lampung Post Ade Alawi, mengingatkan jajaran pers agar kembali pada "khittah" sebagai lembaga sosial dan komunikasi massa, termasuk wahana komunikasi budaya, berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
"Pasca reformasi, seluruh elemen masyarakat bergerak sendiri-sendiri, termasuk pers, larut dalam euforia kebablasan," ujar Ade Alawi.
Ade Alawi kembali mengingatkan pers nasional dan jajaran pers di daerahnya, untuk tetap berpijak pada ketentuan dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, khususnya dalam kaitan pengembangan nilai budaya untuk meningkatkan pariwisata.
Dia menambahkan, pers berperan penting sebagai pendidik, pelurus informasi, pembaharu, dan pemersatu.
Menurut Pemred Lampost itu, sebagai pendidik, pers menyajikan berita, analisis dan pendapat yang menunjukkan bahwa nilai budaya sangat penting untuk meningkatkan pariwisata.
"Pers di Lampung juga mesti mengedukasi dan menyosialisasikan falsafah hidup masyarakat Lampung yang memuat nilai-nilai budaya positif, antara lain rasa harga diri (piil pesenggiri), hidup bermasyarakat (nengah nyappur), terbuka tangan (nemui nyimah), bernama-bergelar (bejuluk adek), dan tolong menolong (sakai sambayan)," katanya.
Ade menambahkan, sebagai pelurus informasi, pers bertugas untuk meluruskan informasi yang menyesatkan terutama di kalangan pendatang, termasuk wisatawan bahwa masyarakat Lampung bersifat tertutup, terbelakang, egosentris, dan banyak cap buruk lainnya.
"Pers harus menghapus stigma buruk itu tanpa kehilangan daya kritis terhadap penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat," kata Ade.
Dia mengajak pers di daerahnya untuk memberikan contoh positif perilaku masyarakat Lampung yang masih memegang tegus falsafah tersebut, karena contoh positif akan menciptakan citra positif pula.
"Dengan citra positif, Lampung akan mudah melaksanakan konsep-konsep pemasaran objek wisata, seperti segmentasi, targeting, positioning, branding, dan sebagainya," kata Ade.
Ia juga mengingatkan pers sebagai pembaharu yang menciptakan terobosan untuk mendekonstruksi situasi dan kondisi yang jumud (kurang kondusif) terhadap pariwisata Lampung.
"Pers sebagai pemersatu perlu menggalang kekuatan opini untuk bersatu memajukan pariwisata Lampung," tegas Ade Alawi.
* Bahan ini saya olah lagi dari berita Lampung Post, Rabu, 27 Juni 2007 dan Antara, Selasa, 26 Juni 2007. Namun, saya heran -- dan mengggugat -- mengapa tema seperti ini didiskusikan. Sebab, menurut saya, budaya atau kebudayaan seharusnya tidak "semena-mena" dikaitkan dengan pariwisata.
Inilah yang menjadi benang merah dari Diskusi Penguatan Nilai Budaya Bangsa Dalam Rangka Meningkatkan Pariwisata yang diselenggarakan Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Lampung di Pusiban Kantor Gubernur Lampung, Bandarlampung, Selasa (26/6). Tampil sebagai nara sumber dalam diskusi Pembantu Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Lampung (Unila) Anshori Djausal, Kepala Dinas Pendidikan Lampung Hermansyah, dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi.
Anshori Djausal mengatakan, masyarakat Lampung tak perlu risau dengan kehadiran warga pendatang, termasuk para turis mancanegara.
"Yakinlah, nilai-nilai lokal tetap akan terpelihara, selama masih ada masyarakat lokal yang terus menjaga akar budayanya," ujarnya.
Anshori menyontohkan terpaan budaya asing di Bali, kehadiran turis mancanegara ternyata tidak mampu meleburkan nilai-nilai dan kekhasan budaya lokal setempat.
"Daya tarik pelestarian budaya lokal itulah yang justru menjadi pemikat para turis terus berdatangan ke Bali," katanya.
Menurutnya, kecenderungan adanya konflik dan masalah dalam akulturasi antarbudaya justru terjadi terhadap masyarakat pendatang yang tidak lagi mampu menjaga adat dan budayanya sendiri.
Ia mengatakan, jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung dapat dikembangkan dengan adanya potensi rumah yang dimiliki oleh sebuah keluarga, suku, buwai, dan marga yang masih hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi sekarang ini.
Dia mengingatkan, tren globalisasi membuat orang perlu identitas dan ciri lokal yang spesifik.
"Tren global menganggap penting pembentukan komunitas yang dapat menjaga dan mewarisi kebudayaan, seperti munculnya Europe Heritage Society, Malaysia Heritage Society, Indonesia Heritage Society, Menteng Heritage Society, Bandung Heritage Society, Lampung Heritage Society, dan lainnya," katanya.
"Kini juga mulai muncul kesadaran dan pemahaman mengenai aspek-aspek penting konservasi kebudayaan di dunia ini," ujarnya.
Dia menandaskan, pembentukan jaringan rumah-rumah informasi budaya Lampung merupakan suatu model konservasi kebudayaan sekaligus pengembangan model paket wisata budaya Lampung.
Bahasa Lampung
Terkait dengan itu upaya penestarian nilai budaya Lampung, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Lampung menyarankan agar para guru dan siswa di daerahnya mulai menggunakan bahasa daerah Lampung dalam pergaulan di sekolah dan di luar jam pelajaran.
Menurut Kepala Diknas Lampung Hermansyah, penggunaan bahasa Lampung dalam aktivitas keseharian masyarakat di daerahnya semestinya dibiasakan lagi untuk mendukung pelestarian salah satu bahasa daerah yang menjadi kekayaan budaya nasional dan dunia.
"Penggunaan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari itu dapat dimulai dari sekolah, di antara guru dan muridnya," kata Hermansyah.
Dengan membiasakan menggunakan bahasa Lampung itu, diharapkan dapat kembali berkembang penguasaan bahasa daerah oleh sejumlah pakar linguistik nasional dan dunia.
"Bisa tidak di sekolah guru dan murid mulai membiasakan menggunakan bahasa Lampung di luar jam pelajaran di dalam kelas," ujarnya.
Dia meyakini, dengan terus menerus menggunakan bahasa Lampung, selain bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik oleh suku asli Lampung, warga etnis campuran maupun para pendatang, bahasa Lampung akan dapat dilestarikan.
Hermansyah justru menyayangkan kecenderungan orang Lampung sendiri yang enggan dan kurang bangga menggunakan bahasa daerahnya.
"Susah kita, kalau orang Lampung sendiri maupun warga yang telah tinggal di Lampung kurang bangga dan enggan menggunakan bahasa Lampung itu," cetusnya.
Padahal bahasa Lampung merupakan salah satu di antara sedikit bahasa daerah yang dimiliki suku-suku (etnis) masyarakat di dunia yang memiliki peradaban tinggi, mengingat kebanyakan etnis justru tidak memiliki aksara dan bahasanya sendiri.
Pers Kembali ke 'Khittah'
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Harian Redaksi Lampung Post Ade Alawi, mengingatkan jajaran pers agar kembali pada "khittah" sebagai lembaga sosial dan komunikasi massa, termasuk wahana komunikasi budaya, berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.
"Pasca reformasi, seluruh elemen masyarakat bergerak sendiri-sendiri, termasuk pers, larut dalam euforia kebablasan," ujar Ade Alawi.
Ade Alawi kembali mengingatkan pers nasional dan jajaran pers di daerahnya, untuk tetap berpijak pada ketentuan dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999, khususnya dalam kaitan pengembangan nilai budaya untuk meningkatkan pariwisata.
Dia menambahkan, pers berperan penting sebagai pendidik, pelurus informasi, pembaharu, dan pemersatu.
Menurut Pemred Lampost itu, sebagai pendidik, pers menyajikan berita, analisis dan pendapat yang menunjukkan bahwa nilai budaya sangat penting untuk meningkatkan pariwisata.
"Pers di Lampung juga mesti mengedukasi dan menyosialisasikan falsafah hidup masyarakat Lampung yang memuat nilai-nilai budaya positif, antara lain rasa harga diri (piil pesenggiri), hidup bermasyarakat (nengah nyappur), terbuka tangan (nemui nyimah), bernama-bergelar (bejuluk adek), dan tolong menolong (sakai sambayan)," katanya.
Ade menambahkan, sebagai pelurus informasi, pers bertugas untuk meluruskan informasi yang menyesatkan terutama di kalangan pendatang, termasuk wisatawan bahwa masyarakat Lampung bersifat tertutup, terbelakang, egosentris, dan banyak cap buruk lainnya.
"Pers harus menghapus stigma buruk itu tanpa kehilangan daya kritis terhadap penyimpangan perilaku yang terjadi di masyarakat," kata Ade.
Dia mengajak pers di daerahnya untuk memberikan contoh positif perilaku masyarakat Lampung yang masih memegang tegus falsafah tersebut, karena contoh positif akan menciptakan citra positif pula.
"Dengan citra positif, Lampung akan mudah melaksanakan konsep-konsep pemasaran objek wisata, seperti segmentasi, targeting, positioning, branding, dan sebagainya," kata Ade.
Ia juga mengingatkan pers sebagai pembaharu yang menciptakan terobosan untuk mendekonstruksi situasi dan kondisi yang jumud (kurang kondusif) terhadap pariwisata Lampung.
"Pers sebagai pemersatu perlu menggalang kekuatan opini untuk bersatu memajukan pariwisata Lampung," tegas Ade Alawi.
* Bahan ini saya olah lagi dari berita Lampung Post, Rabu, 27 Juni 2007 dan Antara, Selasa, 26 Juni 2007. Namun, saya heran -- dan mengggugat -- mengapa tema seperti ini didiskusikan. Sebab, menurut saya, budaya atau kebudayaan seharusnya tidak "semena-mena" dikaitkan dengan pariwisata.
June 26, 2007
Mengenal Lampung
-- Irfan Anshory*
Jak Danau Ranau tigoh pantai Laut Jawa
Jak Kayu Agung sampai Teluk Betung
Sina da sai pekon sikam, sina sai tiuh badan
Masyakat Adat Lampung
Masyarakat Lampung mempunyai falsafah Sang Bumi Ruwa Jurai, yang artinya sebuah rumah tangga dari dua garis keturunan, masing-masing melahirkan masyarakat beradat pepadun dan masyarakat beradat sebatin. Sekarang, pengertian Sang Bumi Ruwa Jurai diperluas menjadi masyarakat Lampung asli (suku Lampung) dan masyarakat Lampung pendatang (suku-suku lain yang tinggal di Lampung).
Nenek moyang orang Lampung menurut legenda adalah Puyang Mena Tepik di negeri Sekalabrak. Daerah ini dinamai Lampung karena jika dilihat dari laut seperti bukit yang mengapung.
Aksara Lampung merupakan aksara "ka-ga-nga" yang mirip dengan aksara Batak, aksara Bugis, dan aksara Sunda Kuna (bukan ha-na-ca-ra-ka).
Seperti dikatakan tadi masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan.
Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), (2) juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), (3) nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), (4) nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan (5) sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Propinsi Lampung. Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):
Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi.
Sejarah Singkat Lampung
Pada zaman Hindu-Buddha, Lampung termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Hal ini ditandai oleh prasasti dari Datu (Raja) Sriwijaya bertarikh 608 Saka (686 Masehi) yang ditemukan di desa Palas Pasemah, daerah Kalianda. Berita Tionghoa juga menyebutkan kerajaan To-lang-po-hwang, dan mungkin nama itu sebutan Cina untuk Tulangbawang. Tetapi sampai kini belum ada bukti prasasti tertulis yang menunjang adanya kerajaan tersebut.
Di desa Bawang, antara Liwa dan Gunung Pesagi, ditemukan prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 Masehi), sebagaimana tercantum dalam buku Prof Dr Louis-Charles Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, hh.26-45. Nama raja yang mengeluarkan prasasti itu tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof Damais namanya Sri Haridewa. Inilah nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti! Melihat lokasinya, barangkali prasasti tersebut ada hubungannya dengan Kerajaan Sekalabrak yang legendaris itu.
Pada abad ke-14 tercatat Kerajaan Buway Tumi. Menurut sumber sejarah Sunda, salah seorang putri Buway Tumi yang bernama Dewi Ratna Sarkati diambil menjadi permaisuri Prabu Wastu Kancana dari Kerajaan Sunda. Menurut cerita turun-temurun, Dewi Ratna Sarkati membawa pisang muli (bahasa Lampung: muli = gadis) ke tanah Sunda, yang sampai sekarang tetap disebut "cau muli" oleh masyarakat Jawa Barat.
Bersamaan dengan masuknya agama Islam dari Banten ke Lampung pada masa Sultan Maulana Hasanuddin abad ke-16, Lampung berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten. Konon kabarnya Fatahillah (panglima Demak asal Pasai, pendiri kota Jakarta, dan pelopor pengislaman Banten) menikahi Putri Sinar Alam dari Keratuan Darah Putih di Lampung. Menurut Thomas Walker Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, yang diterjemahkan oleh Nawawi Rambe, Sejarah Da'wah Islam (Widjaya, Jakarta, 1979, h. 324), Islam masuk ke Lampung dari Banten dengan dibawa oleh seorang pemimpin adat Lampung yang bernama Minak Kemala Bumi.
Daerah Lampung dibagi menjadi beberapa ‘kejonjoman’ (semacam kabupaten) yang masing-masing dikepalai seorang jonjom mewakili sultan Banten. Ketika Banten dikalahkan VOC pada abad ke-18 (sekitar tahun 1750), Lampung ikut menjadi daerah jajahan Belanda. Tetapi ini hanya di atas kertas perjanjian VOC dengan Banten, sebab kenyataannya kekuasaan kolonial baru tertanam di Lampung pada tahun 1817, dengan terbentuknya Lampongsche Districten di bawah seorang residen yang berkedudukan di Terbanggi. Pada tahun 1847, pemerintah Hindia-Belanda memindahkan ibukota (kedudukan residen) dari Terbanggi ke Teluk Betung.
Perlawanan yang terkenal dalam menentang kolonialisme Belanda adalah Perang Lampung (Lampong Oorlog) pada abad ke-19 yang dilancarkan oleh Radin Intan dari Kalianda selama 30 tahun (1826-1856), sezaman dengan Perang Jawa dari Pangeran Diponegoro serta Perang Paderi dari Tuanku Imam Bonjol. Perang Lampung berakhir dengan gugurnya Radin Intan. Kini Radin Intan telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.
Pada tahun 1917 daerah Lampung dibagi menjadi dua afdeling dan enam onderafdeling. Pertama, Afdeling Teluk Betung yang meliputi Onderafdeling Teluk Betung, Semangka, dan Katimbang. Kedua, Afdeling Tulang Bawang yang meliputi Onderafdeling Tulang Bawang, Seputih, dan Sekampung.
Di zaman pendudukan Jepang (1942-1945), daerah Lampung berada di bawah pimpinan seorang Suchokkan Kakka, dan dibagi dalam tiga bunshu (Telukbetung, Metro, Kotabumi). Setiap bunshu terdiri dari beberapa gun (kewedanaan) yang membawahi marga-marga.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, daerah Lampung menjadi keresidenan yang tergabung ke dalam Propinsi Sumatera Selatan yang beribukota di Palembang. Baru pada tahun 1964, melalui UU No.14 Tahun 1964, terbentuklah Propinsi Lampung dengan ibukota Tanjungkarang-Telukbetung (sekarang menjadi Bandar Lampung).
Ada adi-adi yang populer pada tahun 1964/1965 ketika Lampung baru menjadi provinsi:
Lah lawi matti hanjak, patut ni ram bugindang
Ngaliyak Lampung minjak, bupisah jak pulimbang.
Tujuh Pedoman Hidup Orang Lampung
1. Berani menghadapi tantangan: mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador.
2. Teguh pendirian: ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak.
3. Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai.
4. Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
5. Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, repa ulah riya ulih.
6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah.
7. Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: way ni dang robok, iwa ni dapok.
* Drs. H. Irfan Anhory (Batin Kesuma Ningrat), Penyimbang Pekon Sukabanjar, Gunung Alip, Kabupaten Tanggamus
Sumber: Situs Irfan Anshori, 1 April 2007
Jak Danau Ranau tigoh pantai Laut Jawa
Jak Kayu Agung sampai Teluk Betung
Sina da sai pekon sikam, sina sai tiuh badan
Masyakat Adat Lampung
Masyarakat Lampung mempunyai falsafah Sang Bumi Ruwa Jurai, yang artinya sebuah rumah tangga dari dua garis keturunan, masing-masing melahirkan masyarakat beradat pepadun dan masyarakat beradat sebatin. Sekarang, pengertian Sang Bumi Ruwa Jurai diperluas menjadi masyarakat Lampung asli (suku Lampung) dan masyarakat Lampung pendatang (suku-suku lain yang tinggal di Lampung).
Nenek moyang orang Lampung menurut legenda adalah Puyang Mena Tepik di negeri Sekalabrak. Daerah ini dinamai Lampung karena jika dilihat dari laut seperti bukit yang mengapung.
Aksara Lampung merupakan aksara "ka-ga-nga" yang mirip dengan aksara Batak, aksara Bugis, dan aksara Sunda Kuna (bukan ha-na-ca-ra-ka).
Seperti dikatakan tadi masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan.
Menurut kitab Kuntara Raja Niti, orang Lampung memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), (2) juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), (3) nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), (4) nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan (5) sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Propinsi Lampung. Sifat-sifat orang Lampung tersebut juga diungkapkan dalam adi-adi (pantun):
Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri
Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi.
Sejarah Singkat Lampung
Pada zaman Hindu-Buddha, Lampung termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Hal ini ditandai oleh prasasti dari Datu (Raja) Sriwijaya bertarikh 608 Saka (686 Masehi) yang ditemukan di desa Palas Pasemah, daerah Kalianda. Berita Tionghoa juga menyebutkan kerajaan To-lang-po-hwang, dan mungkin nama itu sebutan Cina untuk Tulangbawang. Tetapi sampai kini belum ada bukti prasasti tertulis yang menunjang adanya kerajaan tersebut.
Di desa Bawang, antara Liwa dan Gunung Pesagi, ditemukan prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 Masehi), sebagaimana tercantum dalam buku Prof Dr Louis-Charles Damais, Epigrafi dan Sejarah Nusantara, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1995, hh.26-45. Nama raja yang mengeluarkan prasasti itu tercantum pada baris ke-7, menurut pembacaan Prof Damais namanya Sri Haridewa. Inilah nama raja di daerah Lampung yang pertama kali ditemukan pada prasasti! Melihat lokasinya, barangkali prasasti tersebut ada hubungannya dengan Kerajaan Sekalabrak yang legendaris itu.
Pada abad ke-14 tercatat Kerajaan Buway Tumi. Menurut sumber sejarah Sunda, salah seorang putri Buway Tumi yang bernama Dewi Ratna Sarkati diambil menjadi permaisuri Prabu Wastu Kancana dari Kerajaan Sunda. Menurut cerita turun-temurun, Dewi Ratna Sarkati membawa pisang muli (bahasa Lampung: muli = gadis) ke tanah Sunda, yang sampai sekarang tetap disebut "cau muli" oleh masyarakat Jawa Barat.
Bersamaan dengan masuknya agama Islam dari Banten ke Lampung pada masa Sultan Maulana Hasanuddin abad ke-16, Lampung berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten. Konon kabarnya Fatahillah (panglima Demak asal Pasai, pendiri kota Jakarta, dan pelopor pengislaman Banten) menikahi Putri Sinar Alam dari Keratuan Darah Putih di Lampung. Menurut Thomas Walker Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, yang diterjemahkan oleh Nawawi Rambe, Sejarah Da'wah Islam (Widjaya, Jakarta, 1979, h. 324), Islam masuk ke Lampung dari Banten dengan dibawa oleh seorang pemimpin adat Lampung yang bernama Minak Kemala Bumi.
Daerah Lampung dibagi menjadi beberapa ‘kejonjoman’ (semacam kabupaten) yang masing-masing dikepalai seorang jonjom mewakili sultan Banten. Ketika Banten dikalahkan VOC pada abad ke-18 (sekitar tahun 1750), Lampung ikut menjadi daerah jajahan Belanda. Tetapi ini hanya di atas kertas perjanjian VOC dengan Banten, sebab kenyataannya kekuasaan kolonial baru tertanam di Lampung pada tahun 1817, dengan terbentuknya Lampongsche Districten di bawah seorang residen yang berkedudukan di Terbanggi. Pada tahun 1847, pemerintah Hindia-Belanda memindahkan ibukota (kedudukan residen) dari Terbanggi ke Teluk Betung.
Perlawanan yang terkenal dalam menentang kolonialisme Belanda adalah Perang Lampung (Lampong Oorlog) pada abad ke-19 yang dilancarkan oleh Radin Intan dari Kalianda selama 30 tahun (1826-1856), sezaman dengan Perang Jawa dari Pangeran Diponegoro serta Perang Paderi dari Tuanku Imam Bonjol. Perang Lampung berakhir dengan gugurnya Radin Intan. Kini Radin Intan telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah seorang Pahlawan Nasional.
Pada tahun 1917 daerah Lampung dibagi menjadi dua afdeling dan enam onderafdeling. Pertama, Afdeling Teluk Betung yang meliputi Onderafdeling Teluk Betung, Semangka, dan Katimbang. Kedua, Afdeling Tulang Bawang yang meliputi Onderafdeling Tulang Bawang, Seputih, dan Sekampung.
Di zaman pendudukan Jepang (1942-1945), daerah Lampung berada di bawah pimpinan seorang Suchokkan Kakka, dan dibagi dalam tiga bunshu (Telukbetung, Metro, Kotabumi). Setiap bunshu terdiri dari beberapa gun (kewedanaan) yang membawahi marga-marga.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, daerah Lampung menjadi keresidenan yang tergabung ke dalam Propinsi Sumatera Selatan yang beribukota di Palembang. Baru pada tahun 1964, melalui UU No.14 Tahun 1964, terbentuklah Propinsi Lampung dengan ibukota Tanjungkarang-Telukbetung (sekarang menjadi Bandar Lampung).
Ada adi-adi yang populer pada tahun 1964/1965 ketika Lampung baru menjadi provinsi:
Lah lawi matti hanjak, patut ni ram bugindang
Ngaliyak Lampung minjak, bupisah jak pulimbang.
Tujuh Pedoman Hidup Orang Lampung
1. Berani menghadapi tantangan: mak nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador.
2. Teguh pendirian: ratong banjir mak kisir, ratong barak mak kirak.
3. Tekun dalam meraih cita-cita: asal mak lesa tilah ya pegai, asal mak jera tilah ya kelai.
4. Memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama: pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih.
5. Hasil yang kita peroleh tergantung usaha yang kita lakukan: wat andah wat padah, repa ulah riya ulih.
6. Mengutamakan persatuan dan kekompakan: dang langkang dang nyapang, mari pekon mak ranggang, dang pungah dang lucah, mari pekon mak belah.
7. Arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah: way ni dang robok, iwa ni dapok.
* Drs. H. Irfan Anhory (Batin Kesuma Ningrat), Penyimbang Pekon Sukabanjar, Gunung Alip, Kabupaten Tanggamus
Sumber: Situs Irfan Anshori, 1 April 2007
June 25, 2007
Pariwisata: Festival Radin Djambat Ke-2
[WAY KANAN] Festival Radin Djambat ke-2 digelar di Kecamatan Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung, 21 hingga 26 Juni 2007. Dalam festival itu digelar pawai budaya, pameran pembangunan, dan pencanangan kampung wisata Gedung Batin.
Festival Radin Djambat ke-2 yang juga sudah menjadi agenda tahunan ini dibuka Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwanda dan Bupati Way Kanan Tamanuri. Tercatat 14 kecamatan se-Kabupaten Way Kanan. Suguhan yang mengikuti festival budaya ini.
Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, secara resmi membuka festival Radin Djambat ke-2. (sp/ruht semiono)
Festival dibuka dengan tarian Singeh Penguten yang merupakan tarian pembuka sebagai tanda penghormatan dan ucapan selamat datang bagi para tamu agung.
Pawai budaya yang menampilkan ciri khas dari setiap kecamatan menjadikan Way Kanan juga mempunyai tradisi tersendiri. Pawai budaya di antaranya menampilkan beragam pakaian adat Lampung. Munculnya parade pakaian adat untuk pernikahan, kesenian kuda lumping, campur sari, dan banyak lainnya yang juga meramaikan acara.
Festival Radin Djambat ke-2 dimerihkan berbagai atraksi kesenian. (sp/ruht semiono)
Festival Radin Djambat ke-2 juga semakin meriah dengan pelaksanaan Pameran Pembangunan Kabupaten Way Kanan. Beragam hasil dan potensi yang ada di Way Kanan ditampilkan. Panitia dengan tujuan untuk mendorong terbukanya pengembangan wilayah. Selain dua kegiatan tersebut dalam festival ini juga dicanangkan kampung wisata.
Kampung wisata itu terletak di Gedung Batin. Masyarakat kampung Gedung Batin merupakan kelompok masyarakat tertua di Kabupaten Wau Kanan yang ada sejak zaman Belanda. Untuk menjadikan Gedung Batin menjadi kampung wisata yang nyaman bagi wisatawan tentu saja diperlukan berbagai pembenahan yang serius. [Rht/A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Juni 2007
Festival Radin Djambat ke-2 yang juga sudah menjadi agenda tahunan ini dibuka Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwanda dan Bupati Way Kanan Tamanuri. Tercatat 14 kecamatan se-Kabupaten Way Kanan. Suguhan yang mengikuti festival budaya ini.
Sekjen Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, secara resmi membuka festival Radin Djambat ke-2. (sp/ruht semiono)
Festival dibuka dengan tarian Singeh Penguten yang merupakan tarian pembuka sebagai tanda penghormatan dan ucapan selamat datang bagi para tamu agung.
Pawai budaya yang menampilkan ciri khas dari setiap kecamatan menjadikan Way Kanan juga mempunyai tradisi tersendiri. Pawai budaya di antaranya menampilkan beragam pakaian adat Lampung. Munculnya parade pakaian adat untuk pernikahan, kesenian kuda lumping, campur sari, dan banyak lainnya yang juga meramaikan acara.
Festival Radin Djambat ke-2 dimerihkan berbagai atraksi kesenian. (sp/ruht semiono)
Festival Radin Djambat ke-2 juga semakin meriah dengan pelaksanaan Pameran Pembangunan Kabupaten Way Kanan. Beragam hasil dan potensi yang ada di Way Kanan ditampilkan. Panitia dengan tujuan untuk mendorong terbukanya pengembangan wilayah. Selain dua kegiatan tersebut dalam festival ini juga dicanangkan kampung wisata.
Kampung wisata itu terletak di Gedung Batin. Masyarakat kampung Gedung Batin merupakan kelompok masyarakat tertua di Kabupaten Wau Kanan yang ada sejak zaman Belanda. Untuk menjadikan Gedung Batin menjadi kampung wisata yang nyaman bagi wisatawan tentu saja diperlukan berbagai pembenahan yang serius. [Rht/A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 25 Juni 2007
June 24, 2007
Ramli: Dari Lampung untuk Mode
SALAH satu perancang busana terkemuka Indonesia, Ramli, tak henti-hentinya berkarya. Setelah mengangkat kain-kain dari kerajinan rakyat dari berbagai daerah di Indonesia, kini untuk memperingati 31 tahun dia berkarya di dunia mode, Ramli memilih kain dan kerajinan rakyat Lampung.
Perancang busana Ramli sedang merapikan busana-busana kreasi terbarunya yang menggunakan bahan kain dan kerajinan khas Lampung. Istimewa
Acara bertajuk Beautiful Lampung - 31 Ramli Berkarya itu, menurut rencana akan diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 2 sampai 6 Juli 2007. Bersamaan dengan acara itu, digelar pula malam final pemilihan Model Indonesia dan Fashion Lifetime Achievement Award 2007.
Pemilihan Model Indonesia yang telah beberapa kali diselenggarakan oleh Ramli, diadakan untuk menjaring para calon model muda berbakat, yang sangat diperlukan untuk membantu mempromosikan busana dan aksesoris karya para perancang Indonesia. Sedangkan Fashion Lifetime Achievement Award 2007 diselenggarakan untuk memberikan penghargaan kepada para tokoh yang berjasa memajukan mode di Indonesia.
Kok tajuknya Lampung? Dalam wawancara dengan SP di Jakarta, Rabu (20/6) siang, Ramli mengemukakan dia sudah pernah mengangkat seni dan budaya berbagai daerah lain sebagai inspirasinya untuk merancang busana. "Saya sudah pernah mengangkat seni budaya Jakarta, Sumatra Barat, Jambi, Riau, dan juga memanfaatkan batik dari berbagai daerah sebagai bahan utama busana-busana rancangan saya," tuturnya.
Ramli juga mengungkapkan, dia senang berjalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia. Dari perjalanannya itu, dia melihat kekayaan seni budaya Indonesia sangat indah dan unik. "Tapi sayangnya, belum banyak yang tahu. Hal ini disebabkan tak ada atau masih sedikit yang mengangkat hal-hal indah itu ke kancah nasional maupun internasional," tambahnya.
Ramli pun terdorong untuk ikut membantu mempromosikan kekayaan seni budaya Indonesia itu lewat busana-busana yang dirancangnya. Sekaligus dia ikut pula membantu para perajin, sehingga karya mereka lebih dikenal di tingkat nasional dan internasional. Upaya perancang itu yang bertahun-tahun membina para perajin di berbagai daerah, menyebabkan dirinya pernah memperoleh Upakarti, sebuah penghargaan dari Presiden RI.
Namun seperti yang diungkapkannya, keinginannya membantu para perajin bukan untuk memperoleh penghargaan. Dia melakukannya dengan tulus, karena melihat bahwa sebenarnya karya para perajin itu memang indah dan perlu diperkenalkan lebih luas lagi. Sama seperti yang dilakukannya kini dengan mencoba mengangkat seni budaya Lampung, yang juga terkenal dengan beragam keindahannya.
Dimodifikasi
Beberapa busana rancangan Ramli yang memanfaatkan kain tapis dan sulam usus, kerajinan rakyat Lampung. SP/Berthold Sinaulan
Sebenarnya, sesuai penuturan perancang busana itu, dia telah mengenal Lampung dan adanya kain tapis Lampung yang indah, sejak lama. Namun dia baru mencoba mengangkat keindahan budaya daerah itu awal 2007, dengan berkali-kali berkunjung ke provinsi yang terletak di Pulau Sumatra itu.
Awalnya, tatkala Ramli menunaikan ibadah haji pada 2006, dia bertemu dengan rombongan putera Gubernur Lampung yang menawarinya untuk mencicipi sambal Lampung. Dari perkenalan itu, berlanjut dengan pembicaraan mengenai beragam hal di Lampung, termasuk kekayaan seni budayanya.
Sepulang dari ibadah, Ramli diperkenalkan dengan istri Gubernur Lampung, Ny Truly Sacjhroedin, yang juga mempunyai minat untuk mengangkat seni budaya Lampung sehingga lebih dikenal secara luas. Maka, dari situlah timbul ide untuk memperingati 31 tahun Ramli berkarya dalam dunia mode, dengan mengangkat seni budaya Lampung.
Perancang itu memang satu dari sedikit perancang Indonesia yang setiap tahun secara rutin menyelenggarakan peragaan busana tunggal. Kali ini, kain tapis dan sulam usus berupa jalinan pita yang rumit, dijadikan bahan dasar untuk membuat busana-busana rancangannya. Sulam usus yang tadinya dibuat taplak meja, dimodifikasi Ramli sedemikian rupa sehingga menjadi rok klok yang indah.
Sedangkan tapis yang biasanya cukup berat, dimodifikasi Ramli dengan bahan-bahan yang lebih ringan dan banyak tersedia, tanpa mengubah motifnya secara mendasar. Gaun-gaun malam yang indah dan berkesan mewah, kebaya modifikasi, busana cocktail party, sampai busana untuk bekerja sehari-hari dan busana muslim, berhasil dibuat Ramli menggunakan tapis dan sulam usus itu.
Warna-warna hitam, putih, merah, dan beragam warna lainnya, yang dipadu dengan benang emas, mendominasi busana-busana terbaru karya Ramli kali ini. Motif-motif khas Lampung, menjadi elemen detail yang memperkuat garis busana tersebut. Tak kurang dari 93 busana, yang 25 persen di antaranya adalah busana pria, akan ditampilkan perancang busana dalam peragaan tunggalnya di awal Juli mendatang.
Peragaan tahunan kali ini, tampaknya akan semakin mengukuhkan eksistensi Ramli sebagai perancang busana yang tetap setia memanfaatkan kekayaan seni budaya berbagai daerah di Indonesia sebagai sumber inspirasi rancangan-rancangan busananya. Sekaligus menunjukkan niatnya benar-benar tulus, untuk membantu mempromosikan keindahan seni budaya Indonesia dan kerja para perajin di berbagai daerah. [B-8]
Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 24 Juni 2007
Perancang busana Ramli sedang merapikan busana-busana kreasi terbarunya yang menggunakan bahan kain dan kerajinan khas Lampung. Istimewa
Acara bertajuk Beautiful Lampung - 31 Ramli Berkarya itu, menurut rencana akan diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 2 sampai 6 Juli 2007. Bersamaan dengan acara itu, digelar pula malam final pemilihan Model Indonesia dan Fashion Lifetime Achievement Award 2007.
Pemilihan Model Indonesia yang telah beberapa kali diselenggarakan oleh Ramli, diadakan untuk menjaring para calon model muda berbakat, yang sangat diperlukan untuk membantu mempromosikan busana dan aksesoris karya para perancang Indonesia. Sedangkan Fashion Lifetime Achievement Award 2007 diselenggarakan untuk memberikan penghargaan kepada para tokoh yang berjasa memajukan mode di Indonesia.
Kok tajuknya Lampung? Dalam wawancara dengan SP di Jakarta, Rabu (20/6) siang, Ramli mengemukakan dia sudah pernah mengangkat seni dan budaya berbagai daerah lain sebagai inspirasinya untuk merancang busana. "Saya sudah pernah mengangkat seni budaya Jakarta, Sumatra Barat, Jambi, Riau, dan juga memanfaatkan batik dari berbagai daerah sebagai bahan utama busana-busana rancangan saya," tuturnya.
Ramli juga mengungkapkan, dia senang berjalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia. Dari perjalanannya itu, dia melihat kekayaan seni budaya Indonesia sangat indah dan unik. "Tapi sayangnya, belum banyak yang tahu. Hal ini disebabkan tak ada atau masih sedikit yang mengangkat hal-hal indah itu ke kancah nasional maupun internasional," tambahnya.
Ramli pun terdorong untuk ikut membantu mempromosikan kekayaan seni budaya Indonesia itu lewat busana-busana yang dirancangnya. Sekaligus dia ikut pula membantu para perajin, sehingga karya mereka lebih dikenal di tingkat nasional dan internasional. Upaya perancang itu yang bertahun-tahun membina para perajin di berbagai daerah, menyebabkan dirinya pernah memperoleh Upakarti, sebuah penghargaan dari Presiden RI.
Namun seperti yang diungkapkannya, keinginannya membantu para perajin bukan untuk memperoleh penghargaan. Dia melakukannya dengan tulus, karena melihat bahwa sebenarnya karya para perajin itu memang indah dan perlu diperkenalkan lebih luas lagi. Sama seperti yang dilakukannya kini dengan mencoba mengangkat seni budaya Lampung, yang juga terkenal dengan beragam keindahannya.
Dimodifikasi
Beberapa busana rancangan Ramli yang memanfaatkan kain tapis dan sulam usus, kerajinan rakyat Lampung. SP/Berthold Sinaulan
Sebenarnya, sesuai penuturan perancang busana itu, dia telah mengenal Lampung dan adanya kain tapis Lampung yang indah, sejak lama. Namun dia baru mencoba mengangkat keindahan budaya daerah itu awal 2007, dengan berkali-kali berkunjung ke provinsi yang terletak di Pulau Sumatra itu.
Awalnya, tatkala Ramli menunaikan ibadah haji pada 2006, dia bertemu dengan rombongan putera Gubernur Lampung yang menawarinya untuk mencicipi sambal Lampung. Dari perkenalan itu, berlanjut dengan pembicaraan mengenai beragam hal di Lampung, termasuk kekayaan seni budayanya.
Sepulang dari ibadah, Ramli diperkenalkan dengan istri Gubernur Lampung, Ny Truly Sacjhroedin, yang juga mempunyai minat untuk mengangkat seni budaya Lampung sehingga lebih dikenal secara luas. Maka, dari situlah timbul ide untuk memperingati 31 tahun Ramli berkarya dalam dunia mode, dengan mengangkat seni budaya Lampung.
Perancang itu memang satu dari sedikit perancang Indonesia yang setiap tahun secara rutin menyelenggarakan peragaan busana tunggal. Kali ini, kain tapis dan sulam usus berupa jalinan pita yang rumit, dijadikan bahan dasar untuk membuat busana-busana rancangannya. Sulam usus yang tadinya dibuat taplak meja, dimodifikasi Ramli sedemikian rupa sehingga menjadi rok klok yang indah.
Sedangkan tapis yang biasanya cukup berat, dimodifikasi Ramli dengan bahan-bahan yang lebih ringan dan banyak tersedia, tanpa mengubah motifnya secara mendasar. Gaun-gaun malam yang indah dan berkesan mewah, kebaya modifikasi, busana cocktail party, sampai busana untuk bekerja sehari-hari dan busana muslim, berhasil dibuat Ramli menggunakan tapis dan sulam usus itu.
Warna-warna hitam, putih, merah, dan beragam warna lainnya, yang dipadu dengan benang emas, mendominasi busana-busana terbaru karya Ramli kali ini. Motif-motif khas Lampung, menjadi elemen detail yang memperkuat garis busana tersebut. Tak kurang dari 93 busana, yang 25 persen di antaranya adalah busana pria, akan ditampilkan perancang busana dalam peragaan tunggalnya di awal Juli mendatang.
Peragaan tahunan kali ini, tampaknya akan semakin mengukuhkan eksistensi Ramli sebagai perancang busana yang tetap setia memanfaatkan kekayaan seni budaya berbagai daerah di Indonesia sebagai sumber inspirasi rancangan-rancangan busananya. Sekaligus menunjukkan niatnya benar-benar tulus, untuk membantu mempromosikan keindahan seni budaya Indonesia dan kerja para perajin di berbagai daerah. [B-8]
Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 24 Juni 2007
June 23, 2007
Pariwisata: Depbupar Dukung Festival Radin Djambat II
BANDAR LAMPUNG (Media): Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) menyambut gembira kegiatan Festival Radin Djambat II di Way Kanan, Lampung. Pasalnya, festival itu akan menarik para wisatawan mancanegara dan investor.
Hal itu disampaikan Sekjen Depbupar Sapta Nirwandar saat membuka Festival Radin Djambat II di Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung, Kamis (21/6). Pada pembukaan festival yang digelar selama tiga hari itu dihadiri Bupati Way Kanan Tamanuri, Wakil Bupati Bustami Zainuddin, dan Kepala Dinas Promosi, Investasi, dan Pariwisata Suresmi Ramli.
Lebih lanjut Sapta menyatakan dukungan digelarnya Festival Radin Djambat II. Apalagi, katanya, daerah Kabupaten Way Kanan memiliki pesona menarik seperti daerah pegunungan, hutan, sawah, perkebunan, dan kawasan agrobisnis.
"Oleh karena itu, festival ini akan kita promosikan. Kita sekarang memiliki 100 event (festival) di seluruh Indonesia. Untuk kegiatan festival di Lampung, Depbudpar akan membantu untuk mempromosikan ke tingkat internasional," katanya.
Sapta menilai Festival Radin Djambat yang memfokuskan pada aspek kebudayaan masyarakat dan kearifan lokal diharapkan mampu mendorong masuknya wisatawan mancanegara. "Mereka diharapkan dapat menikmati keindahan alam Way Kanan, seperti air terjun, perkebunan agrobisnis, serta keunikan perkampungan dan desa wisata di Way Kanan."
Depbudpar, tambah Sapta, akan mendukung setiap langkah dan upaya Pemda Way Kanan meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan aset warisan budaya menjadi objek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional.
Sementara itu, Bupati Way Kanan Tamanuri menyatakan Festival Radin Djambat II sengaja dirangkai dengan pameran pembangunan Pemda Way Kanan. Tujuannya, selain menarik wisatawan juga menarik para investor untuk datang ke Way Kanan. (IH/H-2).
Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
Hal itu disampaikan Sekjen Depbupar Sapta Nirwandar saat membuka Festival Radin Djambat II di Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung, Kamis (21/6). Pada pembukaan festival yang digelar selama tiga hari itu dihadiri Bupati Way Kanan Tamanuri, Wakil Bupati Bustami Zainuddin, dan Kepala Dinas Promosi, Investasi, dan Pariwisata Suresmi Ramli.
Lebih lanjut Sapta menyatakan dukungan digelarnya Festival Radin Djambat II. Apalagi, katanya, daerah Kabupaten Way Kanan memiliki pesona menarik seperti daerah pegunungan, hutan, sawah, perkebunan, dan kawasan agrobisnis.
"Oleh karena itu, festival ini akan kita promosikan. Kita sekarang memiliki 100 event (festival) di seluruh Indonesia. Untuk kegiatan festival di Lampung, Depbudpar akan membantu untuk mempromosikan ke tingkat internasional," katanya.
Sapta menilai Festival Radin Djambat yang memfokuskan pada aspek kebudayaan masyarakat dan kearifan lokal diharapkan mampu mendorong masuknya wisatawan mancanegara. "Mereka diharapkan dapat menikmati keindahan alam Way Kanan, seperti air terjun, perkebunan agrobisnis, serta keunikan perkampungan dan desa wisata di Way Kanan."
Depbudpar, tambah Sapta, akan mendukung setiap langkah dan upaya Pemda Way Kanan meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan aset warisan budaya menjadi objek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional.
Sementara itu, Bupati Way Kanan Tamanuri menyatakan Festival Radin Djambat II sengaja dirangkai dengan pameran pembangunan Pemda Way Kanan. Tujuannya, selain menarik wisatawan juga menarik para investor untuk datang ke Way Kanan. (IH/H-2).
Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
June 19, 2007
Kesenian: MPAL dan DKL Ikuti Lomba Pantun Melayu
BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tim Kesenian Lampung yang diwakili Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) dan Dewan Kesenian Lampung (DKL) dipastikan berlaga dalam kegiatan Lomba Pantun Melayu se-Sumatera yang akan digelar di Pekanbaru, Riau, 19--23 Juni mendatang.
Koordinator Tim Kesenian Lampung Syafril Yamin, saat ditemu Senin (18-6), mengatakan lomba pantun ini digelar Kementerian Lingkungan Hidup dengan tujuan memasyarakatkan program lingkungan hidup sekaligus melestarikan seni budaya pantun Melayu yang kini terpinggirkan.
"Festival ini akan diikuti berbagai provinsi yang ada di Sumatera. Kegiatan ini sangat potensial untuk mempromosikan potensi budaya dan pariwisata Lampung ke daerah lain," kata Syafril.
Dia mengatakan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. sangat berharap duta asal Lampung ini bisa tampil maksimal dan mencapai prestasi yang membanggakan daerah. Paling tidak event ini bisa memperkenalkan potensi daerah dan mengangkat isu-isu lingkungan hidup yang ada di Lampung kini.
Jumlah tim kesenian tersebut, kata Syafril, sekitar 10 orang yang terdiri dari Suwandi, Rifdi Arief, Zinal Arifin, Hermansyah, Assaroedin Maliq Zulkarnaen, Syafril Yamin, Husni Thamrin, Dharmawan, Syahidun Hasan, dan Susilawati.
"Mereka akan berlaga di perseorangan putra-putri. Sedangkan untuk kelompok terdapat Husni Thamrin, Dharmawan, dan Susilawati," ujarnya.
Selain mengirimkan peserta, Tim Lampung juga mengirimkan seorang juri, yakni Rifdi Arief. "Kami berharap di event ini bisa meraih salah satu juara. Untuk itu kami sudah berlatih serius dan melakukan beberapa kali simulasi agar bisa tampil spontan dengan pantun-pantun yang cerdas dan berwawasan lingkungan."
Konsultan Tim Lampung Hermansyah D.A. mengatakan, Lampung sangat berpeluang meraih juara. Apalagi seniman Lampung yang akan berlaga sudah memiliki jam terbang yang lumayan.
"Kami juga harus memperhitungkan Tim Riau dan Sumatera Utara yang merupakan pusatnya budaya Melayu. Tim Lampung siap mengangkat isu-isu persoalan lingkungan hidup dalam kemasan pantun yang sangat rancak," kata dia. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2007
Koordinator Tim Kesenian Lampung Syafril Yamin, saat ditemu Senin (18-6), mengatakan lomba pantun ini digelar Kementerian Lingkungan Hidup dengan tujuan memasyarakatkan program lingkungan hidup sekaligus melestarikan seni budaya pantun Melayu yang kini terpinggirkan.
"Festival ini akan diikuti berbagai provinsi yang ada di Sumatera. Kegiatan ini sangat potensial untuk mempromosikan potensi budaya dan pariwisata Lampung ke daerah lain," kata Syafril.
Dia mengatakan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. sangat berharap duta asal Lampung ini bisa tampil maksimal dan mencapai prestasi yang membanggakan daerah. Paling tidak event ini bisa memperkenalkan potensi daerah dan mengangkat isu-isu lingkungan hidup yang ada di Lampung kini.
Jumlah tim kesenian tersebut, kata Syafril, sekitar 10 orang yang terdiri dari Suwandi, Rifdi Arief, Zinal Arifin, Hermansyah, Assaroedin Maliq Zulkarnaen, Syafril Yamin, Husni Thamrin, Dharmawan, Syahidun Hasan, dan Susilawati.
"Mereka akan berlaga di perseorangan putra-putri. Sedangkan untuk kelompok terdapat Husni Thamrin, Dharmawan, dan Susilawati," ujarnya.
Selain mengirimkan peserta, Tim Lampung juga mengirimkan seorang juri, yakni Rifdi Arief. "Kami berharap di event ini bisa meraih salah satu juara. Untuk itu kami sudah berlatih serius dan melakukan beberapa kali simulasi agar bisa tampil spontan dengan pantun-pantun yang cerdas dan berwawasan lingkungan."
Konsultan Tim Lampung Hermansyah D.A. mengatakan, Lampung sangat berpeluang meraih juara. Apalagi seniman Lampung yang akan berlaga sudah memiliki jam terbang yang lumayan.
"Kami juga harus memperhitungkan Tim Riau dan Sumatera Utara yang merupakan pusatnya budaya Melayu. Tim Lampung siap mengangkat isu-isu persoalan lingkungan hidup dalam kemasan pantun yang sangat rancak," kata dia. n TYO/K-2
Sumber: Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2007
June 16, 2007
Esai: Politisasi Masyarakat Adat Lampung*
-- Udo Z. Karzi
TERBATA-bata Fachrudin (Lampung Post, 12 Juni 2007) menuliskan sebuah apologi -- kalau tidak mau disebut sebagai sebuah upaya justifikasi -- atas napak tilas Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang disertai Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ke Kesultanan Kecirebonan. Tulisan Fachrudin dihajatkan untuk menanggapi esai A. Ichlas Syukuri, "Matinya 'Penyimbang' Adat" (Lampung Post, 26 Mei 2007).
Fachrudin memang mengatakan ada dua masalah yang diangkat Ichlas Syukurie, yaitu mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang mengklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung dan meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napak tilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat. Namun, sesungguhnya Fachrudin sama sekali tidak menyentuh esensi dari esai Ichlas tersebut.
Selain dua masalah itu, hal yang lebih substansi apa yang ingin dikatakan Ichlas melalui esainya itu, antara lain betapa rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini. Lampung, kata Ichlas, termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-ga-nga. Namun, kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Meneruskan apa yang dinyatakan Ichlas, yang secara tersirat ingin mengatakan "kekagumannya" pada kebudayaan Lampung yang memiliki sistem aksara sendiri (kaganga), saya ingin menambahkan sebuah fakta baru yang dikemukakan Louis-Charles Damais (1995) dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta hlm. 26-45. Menurut Damais, di antara Liwa dan Gunung Pesagi, terdapat Prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 M) yang (mungkin) ada kaitannya dengan Kerajaan Sekalabrak.
Saya pikir, bukti-bukti sejarah seperti ini lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable. Saya lebih sepakat dengan Ichlas bahwa untuk mencari jejak (kebudayaan) ulun Lampung; bukan dengan mencari bukti atau napak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, kalau itu yang dilakukan, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa-apa.
Ini kontradiksi dengan pernyataan (kenyataan?) bahwa kebudayaan Lampung yang ‘adiluhung’ telah berkembang lama, jauh sebelum masuknya Islam dari Cirebon dan Banten. Lihat saja prasasti yang berangka tahun 997 M atau bahkan jauh sebelum itu.
Meskipun Fachrudin berusaha sekuat tenaga menjelaskan, apa pentingnya napak tilas, piil pesenggiri, Kesultanan Islam, serta perjanjian Lampung dan Banten; sulit bagi saya untuk menyetujui betapa berartinya napak tilas para "tokoh adat Lampung" itu ke Kesultanan Kecirebonan. Sampai hari ini, saya tidak mengerti apa yang telah dilakukan Gubernur Sjachroedin Z.P. dan juga MPAL (dulu: Lembaga Masyarakat Adat Lampung) dalam membangun kebudayaan Lampung. Saya juga bertanya-tanya strategi kebudayaan yang seperti apa yang dikembangkan Pemprov Lampung dan juga LPAL untuk membangun Kebudayaan Lampung (dengan K huruf besar)?
Saya justru mendapati bagaimana kebudayaan Lampung menjadi tidak berarti apa-apa setelah Fachrudin mengatakan, "pesinggiri" berasal dari kata bahasa Sunda, "pasanggiri" yang berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Lalu, di Lampung berhasil disandingkan dengan piil, sehingga terformulasi dalam piil pesenggiri bersama unsurnya. Dst.
Kalaulah benar piil pesenggiri itu justru dipengaruhi (terpengaruhi) oleh Kesultanan Kecirebonan, maka runtuhlah kemuliaan "piil pesenggiri" yang diagung-agungkan selama ini. Benarlah kata Firdaus Augustian yang menyebut piil pesenggiri sebagai puzzle. Konsep piil pesenggiri sebagai unsur kebudayaan Lampung bukan asli, melainkan diadopsi dari Cirebon.
Cerita Fachrudin selanjutnya, dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka, pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Komentar saya: seluruh kisah Fachrudin menempatkan Cirebon dan Banten sebagai "penjajah" yang gagal bagi pembentukan kebudayaan Lampung. Kalau itu benar, Lampung sebagai sebuah masyarakat etnis (society) dan kebudayaan (culture) sungguh tidak memiliki identitas apa-apa. Semua segi kehidupan (kebudayaan) ulun Lampung dipengaruhi dari luar Lampung, yang dalam kisah Fachrudin berasal dipengaruhi oleh Cirebon dan Banten.
Sebenarnya, sejak dulu saya paling tidak setuju dengan pembentukan LMAL atau MPAL. Bukan soal keterwakilan atau tidak, tetapi yang terjadi dengan keberadaan institusi itu adalah "politisasi adat" untuk merebut kekuasaan dan kemudian menjaga kelanggengan rezim yang berkuasa. Lihat saja pengurus MPAL yang diisi oleh pejabat/mantan pejabat atau orang-orang yang dekat (bisa juga mendekatkan diri) pada sumbu kekuasaan.
Kalau mau jujur, yang disebut penyimbang adat atau saibatin toh tidak otomatis memiliki jabatan di lembaga pemerintahan. Mereka ada di komunitas adat mereka masing-masing dan menjadi pemimpin dalam komunitas mereka itu. Jadi, memang agak susah seorang pejabat mengklaim diri sebagai pemimpin adat bagi seluruh masyarakat adat di Lampung.
Maka, bukan hal berlebihan jika ada yang menuding institusionalisasi masyarakat adat dalam wadah semacam MPAL atau nama lainnya sebagai sebuah upaya sentralisasi adat. Lihat saja, nanti MPAL akan membentuk cabang di kota/kabupaten, bahkan mungkin hingga kecamatan dan kelurahan/pekon. Dengan adanya MPAL, adat-istiadat seakan-akan dibuat formal atau dibakukan berdasarkan versi pengurus MPAL.
Padahal, sudah jelas dalam Lambang Provinsi Lampung tertulis tentang "Sang Bumi Ruwa Jurai" sebagai pengakuan tidak mungkin adanya penyeragaman. Lampung itu kan multikultur. Dan, etnis Lampung juga plural. Tafsir-tafsir tentang kebudayaan Lampung (adat-istiadat, kebiasaan, kesenian, cara-cara berbicara, pola tindakan, dan sebagainya) juga multitafsir. Heterogenitas ini kan harusnya dihormati. Jadi, biarlah kebudayaan Lampung tumbuh dengan pluralitasnya.
Kalau wakil MPAL nyaris tidak terdengar suaranya dalam kongres adat itu, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh justru menyatakan keluar dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sebelum KMAN III ditutup. Langkah penguatan struktur organisasi masyarakat adat yang dilakukan dalam kongres dinilai berorientasi sentralistik.
"Kami cukup trauma dengan mekanisme struktural organisasi yang sentralistik. Kami menghendaki masyarakat adat tidak dibedakan ke dalam jenjang-jenjang organisasi di berbagai tingkat wilayah," kata koordinator Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Yuriun waktu itu.
* Dengan sedikit perubahan, dimuat di Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
TERBATA-bata Fachrudin (Lampung Post, 12 Juni 2007) menuliskan sebuah apologi -- kalau tidak mau disebut sebagai sebuah upaya justifikasi -- atas napak tilas Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang disertai Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. ke Kesultanan Kecirebonan. Tulisan Fachrudin dihajatkan untuk menanggapi esai A. Ichlas Syukuri, "Matinya 'Penyimbang' Adat" (Lampung Post, 26 Mei 2007).
Fachrudin memang mengatakan ada dua masalah yang diangkat Ichlas Syukurie, yaitu mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang mengklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung dan meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napak tilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat. Namun, sesungguhnya Fachrudin sama sekali tidak menyentuh esensi dari esai Ichlas tersebut.
Selain dua masalah itu, hal yang lebih substansi apa yang ingin dikatakan Ichlas melalui esainya itu, antara lain betapa rendahnya kualitas pemahaman terhadap budaya warisan leluhur masyarakat Lampung. Barangkali akibat tidak adanya penelitian yang konprehensif atas kebudayaan tinggi ini. Lampung, kata Ichlas, termasuk kebudayaan tinggi dalam peta kebudayaan Nusantara dan internasional karena kebudayaan Lampung sudah mengenal aksara sendiri, yakni ka-ga-nga. Namun, kesadaraan berbudaya masyarakat Lampung sangat dipengaruhi sistem pemerintahan negara, sangat tergantung kepada siapa yang menjadi pemegang kekuasaan pemerintah negara tertinggi di daerah.
Meneruskan apa yang dinyatakan Ichlas, yang secara tersirat ingin mengatakan "kekagumannya" pada kebudayaan Lampung yang memiliki sistem aksara sendiri (kaganga), saya ingin menambahkan sebuah fakta baru yang dikemukakan Louis-Charles Damais (1995) dalam bukunya Epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta hlm. 26-45. Menurut Damais, di antara Liwa dan Gunung Pesagi, terdapat Prasasti Hujung Langit yang bertarikh 9 Margasira 919 Saka (12 November 997 M) yang (mungkin) ada kaitannya dengan Kerajaan Sekalabrak.
Saya pikir, bukti-bukti sejarah seperti ini lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable. Saya lebih sepakat dengan Ichlas bahwa untuk mencari jejak (kebudayaan) ulun Lampung; bukan dengan mencari bukti atau napak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, kalau itu yang dilakukan, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa-apa.
Ini kontradiksi dengan pernyataan (kenyataan?) bahwa kebudayaan Lampung yang ‘adiluhung’ telah berkembang lama, jauh sebelum masuknya Islam dari Cirebon dan Banten. Lihat saja prasasti yang berangka tahun 997 M atau bahkan jauh sebelum itu.
Meskipun Fachrudin berusaha sekuat tenaga menjelaskan, apa pentingnya napak tilas, piil pesenggiri, Kesultanan Islam, serta perjanjian Lampung dan Banten; sulit bagi saya untuk menyetujui betapa berartinya napak tilas para "tokoh adat Lampung" itu ke Kesultanan Kecirebonan. Sampai hari ini, saya tidak mengerti apa yang telah dilakukan Gubernur Sjachroedin Z.P. dan juga MPAL (dulu: Lembaga Masyarakat Adat Lampung) dalam membangun kebudayaan Lampung. Saya juga bertanya-tanya strategi kebudayaan yang seperti apa yang dikembangkan Pemprov Lampung dan juga LPAL untuk membangun Kebudayaan Lampung (dengan K huruf besar)?
***
Saya justru mendapati bagaimana kebudayaan Lampung menjadi tidak berarti apa-apa setelah Fachrudin mengatakan, "pesinggiri" berasal dari kata bahasa Sunda, "pasanggiri" yang berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Lalu, di Lampung berhasil disandingkan dengan piil, sehingga terformulasi dalam piil pesenggiri bersama unsurnya. Dst.
Kalaulah benar piil pesenggiri itu justru dipengaruhi (terpengaruhi) oleh Kesultanan Kecirebonan, maka runtuhlah kemuliaan "piil pesenggiri" yang diagung-agungkan selama ini. Benarlah kata Firdaus Augustian yang menyebut piil pesenggiri sebagai puzzle. Konsep piil pesenggiri sebagai unsur kebudayaan Lampung bukan asli, melainkan diadopsi dari Cirebon.
Cerita Fachrudin selanjutnya, dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka, pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Komentar saya: seluruh kisah Fachrudin menempatkan Cirebon dan Banten sebagai "penjajah" yang gagal bagi pembentukan kebudayaan Lampung. Kalau itu benar, Lampung sebagai sebuah masyarakat etnis (society) dan kebudayaan (culture) sungguh tidak memiliki identitas apa-apa. Semua segi kehidupan (kebudayaan) ulun Lampung dipengaruhi dari luar Lampung, yang dalam kisah Fachrudin berasal dipengaruhi oleh Cirebon dan Banten.
* * *
Sebenarnya, sejak dulu saya paling tidak setuju dengan pembentukan LMAL atau MPAL. Bukan soal keterwakilan atau tidak, tetapi yang terjadi dengan keberadaan institusi itu adalah "politisasi adat" untuk merebut kekuasaan dan kemudian menjaga kelanggengan rezim yang berkuasa. Lihat saja pengurus MPAL yang diisi oleh pejabat/mantan pejabat atau orang-orang yang dekat (bisa juga mendekatkan diri) pada sumbu kekuasaan.
Kalau mau jujur, yang disebut penyimbang adat atau saibatin toh tidak otomatis memiliki jabatan di lembaga pemerintahan. Mereka ada di komunitas adat mereka masing-masing dan menjadi pemimpin dalam komunitas mereka itu. Jadi, memang agak susah seorang pejabat mengklaim diri sebagai pemimpin adat bagi seluruh masyarakat adat di Lampung.
Maka, bukan hal berlebihan jika ada yang menuding institusionalisasi masyarakat adat dalam wadah semacam MPAL atau nama lainnya sebagai sebuah upaya sentralisasi adat. Lihat saja, nanti MPAL akan membentuk cabang di kota/kabupaten, bahkan mungkin hingga kecamatan dan kelurahan/pekon. Dengan adanya MPAL, adat-istiadat seakan-akan dibuat formal atau dibakukan berdasarkan versi pengurus MPAL.
Padahal, sudah jelas dalam Lambang Provinsi Lampung tertulis tentang "Sang Bumi Ruwa Jurai" sebagai pengakuan tidak mungkin adanya penyeragaman. Lampung itu kan multikultur. Dan, etnis Lampung juga plural. Tafsir-tafsir tentang kebudayaan Lampung (adat-istiadat, kebiasaan, kesenian, cara-cara berbicara, pola tindakan, dan sebagainya) juga multitafsir. Heterogenitas ini kan harusnya dihormati. Jadi, biarlah kebudayaan Lampung tumbuh dengan pluralitasnya.
* * *
Gugatan terhadap keberadaan lembaga adat itu sebenarnya telah muncul dalam Kongres Masyarakat Adat Nasional atau KMAN III di Pontianak, Kalimantan Barat, 17-21 Maret 2007, yang juga diikuti MPAL. Catatan penting dari kongres adat itu: rawannya posisi masyarakat adat dan hukum adat ketika berhadapan dengan politik kepentingan negara di satu sisi, dan pragmatisme kepentingan modal di daerah.Kalau wakil MPAL nyaris tidak terdengar suaranya dalam kongres adat itu, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh justru menyatakan keluar dari organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara sebelum KMAN III ditutup. Langkah penguatan struktur organisasi masyarakat adat yang dilakukan dalam kongres dinilai berorientasi sentralistik.
"Kami cukup trauma dengan mekanisme struktural organisasi yang sentralistik. Kami menghendaki masyarakat adat tidak dibedakan ke dalam jenjang-jenjang organisasi di berbagai tingkat wilayah," kata koordinator Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Yuriun waktu itu.
* * *
Jadi, sudahlah MPAL! Tidak usah terlalu berambisi hendak menjadi pemimpin seluruh masyarakat adat Lampung. Perbanyak saja riset dan kajian tentang kebudayaan Lampung untuk melahirkan karya-karya yang bisa dirujuk kebenarannya dan menjadi referensi bagi kita yang ingin memperdalam Kebudayaan Lampung.* Dengan sedikit perubahan, dimuat di Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007
June 15, 2007
Khazanah: Seni Kriya Perlu Promosi
BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Seni kriya berornamen khas Lampung masih perlu dipromosikan dan dikembangkan dengan mengikutkan seniman dan berbagai instansi teknis terkait.
Seniman Lampung Ch. Sapto Wibowo di Bandar Lampung mengatakan bentuk ornamen khas Lampung cukup variatif dan indah dengan nuansa seni setelah digubah dan dapat diaplikasikan sehingga bisa menghasilkan benda-benda seni sekaligus hiasan dinding.
Sapto menyebutkan benda-benda seni itu, seperti tenun tapis, batik, kotak tisu, tempat perhiasan, asbak, hiasan dinding, kursi, dan pagar.
"Jadi potensi ornamen Lampung yang ada telah dideformasi untuk dikembangkan dan menghasilkan seni kriya atau kerajinan yang indah dan sangat variatif," ujar Sapto yang juga guru di SMKN 5 Bandarlampung.
Dia mencontohkan hasil-hasil kerajinan pelajar SMK Negeri 5 Bandar Lampung yang dinilai kaya nuansa ornamen Lampung, sehingga dapat dikembangkan termasuk diproduksi secara komersial.
Dia berpendapat dengan mencuplik ornamen-ornamen Lampung yang ada dan mengaplikasikan pada benda-benda yang akrab sekaligus berfungsi dalam keseharian merupakan salah satu langkah strategis dan tepat memperkenalkan, menumbuhkembangkan, sekaligus melestarikan ornamen Lampung.
Namun, menurut Sapto, kendala yang dihadapi salah satunya ialah belum banyak perajin yang mengeksplorasi ornamen Lampung itu menjadi karya kreatif yang bisa dijadikan cendera mata khas Lampung.
Dia berharap pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Dinas Peridustrian, Dewan Kerajinan Nasional Daerah Lampung terus berupaya mendongkrak pengembangan seni kriya berornamen khas Lampung itu.
Sapto mendukung kegiatan yang setiap tahun digelar Subdin Kebudayaan Diknas Lampung untuk mengembangkan orientasi dan workshop ornamen Lampung bagi pelajar.
Kegiatan itu, di antaranya Dialog Budaya Interaktif bertajuk Aplikasi Ornamen Lampung pada Produk Kriya bekerja sama Lampung Mega Televisi (LTV) di Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.
"Upaya seperti itu merupakan langkah nyata memperkenalkan sekaligus mengajak siswa menerapkan ornamen Lampung pada benda-benda yang fungsional," ujar Sapto.
Ia mengatakan ke depan, pemerintah daerah dan instansi terkait lebih gencar lagi memperkenalkan ornamen-ornamen Lampung melalui dunia pendidikan sejak dini.
"Nantinya ukiran khas Lampung akan dikenal luas dalam masyarakat seperti halnya ukiran Jepara, Bali, dan daerah lain," katanya.
Dia mengatakan diharapkan ada promosi hasil-hasil kriya dari perajin yang mengangkat ornamen Lampung melalui media massa cetak maupun elektronik. "Kalau sudah dikenal, pasti banyak orang yang akan melirik usaha ini," katanya.
Pekerjaan sebagai perajin kriya berciri khas ornamen Lampung bisa makin menarik karena selain menghasilkan uang, juga mengangkat harkat dan menumbuhkembangkan budaya Lampung, ujar Sapto Wibowo. n K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 15 Juni 2007
Seniman Lampung Ch. Sapto Wibowo di Bandar Lampung mengatakan bentuk ornamen khas Lampung cukup variatif dan indah dengan nuansa seni setelah digubah dan dapat diaplikasikan sehingga bisa menghasilkan benda-benda seni sekaligus hiasan dinding.
Sapto menyebutkan benda-benda seni itu, seperti tenun tapis, batik, kotak tisu, tempat perhiasan, asbak, hiasan dinding, kursi, dan pagar.
"Jadi potensi ornamen Lampung yang ada telah dideformasi untuk dikembangkan dan menghasilkan seni kriya atau kerajinan yang indah dan sangat variatif," ujar Sapto yang juga guru di SMKN 5 Bandarlampung.
Dia mencontohkan hasil-hasil kerajinan pelajar SMK Negeri 5 Bandar Lampung yang dinilai kaya nuansa ornamen Lampung, sehingga dapat dikembangkan termasuk diproduksi secara komersial.
Dia berpendapat dengan mencuplik ornamen-ornamen Lampung yang ada dan mengaplikasikan pada benda-benda yang akrab sekaligus berfungsi dalam keseharian merupakan salah satu langkah strategis dan tepat memperkenalkan, menumbuhkembangkan, sekaligus melestarikan ornamen Lampung.
Namun, menurut Sapto, kendala yang dihadapi salah satunya ialah belum banyak perajin yang mengeksplorasi ornamen Lampung itu menjadi karya kreatif yang bisa dijadikan cendera mata khas Lampung.
Dia berharap pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Dinas Peridustrian, Dewan Kerajinan Nasional Daerah Lampung terus berupaya mendongkrak pengembangan seni kriya berornamen khas Lampung itu.
Sapto mendukung kegiatan yang setiap tahun digelar Subdin Kebudayaan Diknas Lampung untuk mengembangkan orientasi dan workshop ornamen Lampung bagi pelajar.
Kegiatan itu, di antaranya Dialog Budaya Interaktif bertajuk Aplikasi Ornamen Lampung pada Produk Kriya bekerja sama Lampung Mega Televisi (LTV) di Bandar Lampung, beberapa waktu lalu.
"Upaya seperti itu merupakan langkah nyata memperkenalkan sekaligus mengajak siswa menerapkan ornamen Lampung pada benda-benda yang fungsional," ujar Sapto.
Ia mengatakan ke depan, pemerintah daerah dan instansi terkait lebih gencar lagi memperkenalkan ornamen-ornamen Lampung melalui dunia pendidikan sejak dini.
"Nantinya ukiran khas Lampung akan dikenal luas dalam masyarakat seperti halnya ukiran Jepara, Bali, dan daerah lain," katanya.
Dia mengatakan diharapkan ada promosi hasil-hasil kriya dari perajin yang mengangkat ornamen Lampung melalui media massa cetak maupun elektronik. "Kalau sudah dikenal, pasti banyak orang yang akan melirik usaha ini," katanya.
Pekerjaan sebagai perajin kriya berciri khas ornamen Lampung bisa makin menarik karena selain menghasilkan uang, juga mengangkat harkat dan menumbuhkembangkan budaya Lampung, ujar Sapto Wibowo. n K-2
Sumber: Lampung Post, Jumat, 15 Juni 2007
June 11, 2007
Esai: Setelah Tapak Tilas Budaya, 'What Next'?
-- Fachruddin*
MEMBACA tulisan A. Ichlas Syukuri, editor pada penerbit Matakata dengan judul "Matinya Penyimbang Adat" yang dimuat di harian Lampung Post tercinta ini pada Sabtu, 26 Mei 2007, dapat dipastikan akan mengejutkan banyak pihak yang tergabung dari berbagai lembaga adat Lampung yang hingga kini pada umumnya masih eksis dan terikat dalam ikatan kekerabatan.
Setidaknya ada dua persoalan yang diangkat dalam tulisan tersebut. Pertama, mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang diklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung. Kedua, tampaknya penulis meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napaktilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat.
Tanggapan Beragam
Selaku putera daerah Lampung, saya tergabung dalam salah satu marga Kebuayan, antara saya dan pimpinan adat Kebuayan beserta anggota-anggota lainnya tentu memiliki hubungan tali menali dalam garis keturunan dan kekerabatan lainnya. Saya pantas kecewa bila saya tidak terwakili. Namun, walaupun demikian kita tidak boleh larut dalam kekecewaan karena merasa tak terwakili dalam rombongan napaktilas tersebut.
Patut menjadi catatan kita bersama, bahwa sekalipun dalam lingkup terbatas masyarakat pendukung dan pelaku budaya Lampung cukup beragam, oleh karena itu kita dituntut bijak, karena akan sulit untuk melakukan keterwakilan secara keseluruhan, kendati dalam rombongan besar sekalipun. Karena kita akan dapat melihatnya dari berbagai sisi. Apalagi dari kelompok Pepadun, setiap saat kepenyimbangan dapat berkembang dengan dibukanya keran untuk "Cakak Pepadun" kendati dengan berbagai sarat yang tidak ringan sekalipun.
Esensi Napaktilas
Tidak ada pemimpin yang akan mampu mengakomodasi seluruh aspirasi komunitas yang dipimpinnya, dengan demikian dalam hal ini yang paling penting kita harus memelihara esensi dari napaktilas tersebut beserta tindaklanjutnya. Apalagi bila Gubernur Lampung Sjachroedin, Z.P. ada dalam rombongan tersebut, banyak hal yang dapat diperbuatnya untuk kemajuan kebudayaan daerah Lampung.
Di tengah-tengah kesibukannya selaku Gubernur ternyata masih sempat memperhatikan masalah kebudayaan, yang barangkali belum pernah dilakukan oleh gubernur sebelumnya. Siapa yang tidak bangga melihat "kilau tapis" yang bertengger melingkupi gedung gubernuran yang berdiri kekar itu. Kalaupun ada pihak-pihak yang memilki power dan memberikan perhatiannya kepada kebudayaan, dengan segala kelebihan dan kekurangnnya saya kira patut kita terima secara ikhlas dan rasa syukur.
Juga sebagaimana Alhusniduki Hamim yang kita kenal selama ini, dengan kapabilitas dan kompetensinya, sebenarnya kita mempunyai keyakinan dan harapan bahwa yang bersangkutan mampu menindaklanjuti hasil napaktilas ini.
'Piil Pesenggiri'
Napaktilas ke Keraton Kacirebonan memiliki arti yang sangat penting karena dari sana kata Pesenggiri berasal. Kata pesenggiri (Pasanggiri : Sunda) di Cirebon berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Dan di Lampung berhasil disandingkan dengan kata piil. Sehingga terformulasi dalam Piil Pesenggiri bersama unsurnya.
Setelah kata pesenggiri dapat disandingkan dengan kata piil melalui proses islamisasi, sehingga kebanggaan piil seperti: Laki-laki ber-piil kepada perempuan, perempuan ber-piil pada makanan serta uang, anak gadis ber-piil pada kelakuan, dan anak laki-laki ber-piil pada ucapan yang konsekuen.
Maka setelah bersanding dengan pesenggiri menjadi nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Rumusan ini pada waktu itu diyakini representatif sebagai perekat akulturasi budaya Jawa-Lampung.
Kesultanan Islam
Dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Memang, program besar Cirebon untuk mengakulturasikan Jawa dengan pengalaman memimpin kerajaan dengan Sumatera yang relatif demokratis di Lampung, gagal sudah. Padahal, Lampung yang dikelilingi laut dan berpotensi untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar sehingga dapat dujadikan pusat pendidikan dan kebudayaan tak kesampaian, akibat berbagai faktor.
MOU Lampung-Banten
Paskapenandatanganan MOU Lampung Banten yang diwakili Rartu Darah Putih dan Pangeran Sabakingking, yang pada waktu ditindaklanjuti dengan kerja sama bilateral sebagaimana termaktub dalam "Prasasti Dalung Kuripan" antara lain ditindaklanjuti dengan kerja sama keprajuritan.
"Lamun ana musuh Lampung Banten Tutwuri, Lamun ana musuh Banten Lampung tutwuri" Lasykar Lampung memberikan dukungan invantri dalam berbagai peperangan yang dilakukan Banten, bahkan konon sebagian dari mereka hingga kini masih menetap di Banten dan beranak pinak di sana.
Tentu saja kerja sama keprajuritan ini tidak tepat dengan perkembangan sekarang, tetapi Alhusniduki Hamim dan rombongan kita yakini menemukan esensi hubungan Cirebon-Banten-Lampung, dalam bentuk berbagai peluang untuk dapat ditindaklanjuti guna membangun budaya Lampung, sehingga Lampung tidak kalah dengan daerah lainnya, sebagaimana disebutkan dalam visi Lampung. Semoga.
* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Selasa, 12 Juni 2007
MEMBACA tulisan A. Ichlas Syukuri, editor pada penerbit Matakata dengan judul "Matinya Penyimbang Adat" yang dimuat di harian Lampung Post tercinta ini pada Sabtu, 26 Mei 2007, dapat dipastikan akan mengejutkan banyak pihak yang tergabung dari berbagai lembaga adat Lampung yang hingga kini pada umumnya masih eksis dan terikat dalam ikatan kekerabatan.
Setidaknya ada dua persoalan yang diangkat dalam tulisan tersebut. Pertama, mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang diklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung. Kedua, tampaknya penulis meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napaktilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat.
Tanggapan Beragam
Selaku putera daerah Lampung, saya tergabung dalam salah satu marga Kebuayan, antara saya dan pimpinan adat Kebuayan beserta anggota-anggota lainnya tentu memiliki hubungan tali menali dalam garis keturunan dan kekerabatan lainnya. Saya pantas kecewa bila saya tidak terwakili. Namun, walaupun demikian kita tidak boleh larut dalam kekecewaan karena merasa tak terwakili dalam rombongan napaktilas tersebut.
Patut menjadi catatan kita bersama, bahwa sekalipun dalam lingkup terbatas masyarakat pendukung dan pelaku budaya Lampung cukup beragam, oleh karena itu kita dituntut bijak, karena akan sulit untuk melakukan keterwakilan secara keseluruhan, kendati dalam rombongan besar sekalipun. Karena kita akan dapat melihatnya dari berbagai sisi. Apalagi dari kelompok Pepadun, setiap saat kepenyimbangan dapat berkembang dengan dibukanya keran untuk "Cakak Pepadun" kendati dengan berbagai sarat yang tidak ringan sekalipun.
Esensi Napaktilas
Tidak ada pemimpin yang akan mampu mengakomodasi seluruh aspirasi komunitas yang dipimpinnya, dengan demikian dalam hal ini yang paling penting kita harus memelihara esensi dari napaktilas tersebut beserta tindaklanjutnya. Apalagi bila Gubernur Lampung Sjachroedin, Z.P. ada dalam rombongan tersebut, banyak hal yang dapat diperbuatnya untuk kemajuan kebudayaan daerah Lampung.
Di tengah-tengah kesibukannya selaku Gubernur ternyata masih sempat memperhatikan masalah kebudayaan, yang barangkali belum pernah dilakukan oleh gubernur sebelumnya. Siapa yang tidak bangga melihat "kilau tapis" yang bertengger melingkupi gedung gubernuran yang berdiri kekar itu. Kalaupun ada pihak-pihak yang memilki power dan memberikan perhatiannya kepada kebudayaan, dengan segala kelebihan dan kekurangnnya saya kira patut kita terima secara ikhlas dan rasa syukur.
Juga sebagaimana Alhusniduki Hamim yang kita kenal selama ini, dengan kapabilitas dan kompetensinya, sebenarnya kita mempunyai keyakinan dan harapan bahwa yang bersangkutan mampu menindaklanjuti hasil napaktilas ini.
'Piil Pesenggiri'
Napaktilas ke Keraton Kacirebonan memiliki arti yang sangat penting karena dari sana kata Pesenggiri berasal. Kata pesenggiri (Pasanggiri : Sunda) di Cirebon berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Dan di Lampung berhasil disandingkan dengan kata piil. Sehingga terformulasi dalam Piil Pesenggiri bersama unsurnya.
Setelah kata pesenggiri dapat disandingkan dengan kata piil melalui proses islamisasi, sehingga kebanggaan piil seperti: Laki-laki ber-piil kepada perempuan, perempuan ber-piil pada makanan serta uang, anak gadis ber-piil pada kelakuan, dan anak laki-laki ber-piil pada ucapan yang konsekuen.
Maka setelah bersanding dengan pesenggiri menjadi nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Rumusan ini pada waktu itu diyakini representatif sebagai perekat akulturasi budaya Jawa-Lampung.
Kesultanan Islam
Dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.
Memang, program besar Cirebon untuk mengakulturasikan Jawa dengan pengalaman memimpin kerajaan dengan Sumatera yang relatif demokratis di Lampung, gagal sudah. Padahal, Lampung yang dikelilingi laut dan berpotensi untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar sehingga dapat dujadikan pusat pendidikan dan kebudayaan tak kesampaian, akibat berbagai faktor.
MOU Lampung-Banten
Paskapenandatanganan MOU Lampung Banten yang diwakili Rartu Darah Putih dan Pangeran Sabakingking, yang pada waktu ditindaklanjuti dengan kerja sama bilateral sebagaimana termaktub dalam "Prasasti Dalung Kuripan" antara lain ditindaklanjuti dengan kerja sama keprajuritan.
"Lamun ana musuh Lampung Banten Tutwuri, Lamun ana musuh Banten Lampung tutwuri" Lasykar Lampung memberikan dukungan invantri dalam berbagai peperangan yang dilakukan Banten, bahkan konon sebagian dari mereka hingga kini masih menetap di Banten dan beranak pinak di sana.
Tentu saja kerja sama keprajuritan ini tidak tepat dengan perkembangan sekarang, tetapi Alhusniduki Hamim dan rombongan kita yakini menemukan esensi hubungan Cirebon-Banten-Lampung, dalam bentuk berbagai peluang untuk dapat ditindaklanjuti guna membangun budaya Lampung, sehingga Lampung tidak kalah dengan daerah lainnya, sebagaimana disebutkan dalam visi Lampung. Semoga.
* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Sumber: Lampung Post, Selasa, 12 Juni 2007