June 11, 2007

Esai: Setelah Tapak Tilas Budaya, 'What Next'?

-- Fachruddin*

MEMBACA tulisan A. Ichlas Syukuri, editor pada penerbit Matakata dengan judul "Matinya Penyimbang Adat" yang dimuat di harian Lampung Post tercinta ini pada Sabtu, 26 Mei 2007, dapat dipastikan akan mengejutkan banyak pihak yang tergabung dari berbagai lembaga adat Lampung yang hingga kini pada umumnya masih eksis dan terikat dalam ikatan kekerabatan.

Setidaknya ada dua persoalan yang diangkat dalam tulisan tersebut. Pertama, mempersoalkan representasi Alhusniduki Hamim dari unsur Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) yang diklaim mewakili seluruh penyimbang adat Lampung. Kedua, tampaknya penulis meragukan integritas budaya rombongan yang melakukan napaktilas ke Keraton Kacirebonan di Jawa Barat.

Tanggapan Beragam

Selaku putera daerah Lampung, saya tergabung dalam salah satu marga Kebuayan, antara saya dan pimpinan adat Kebuayan beserta anggota-anggota lainnya tentu memiliki hubungan tali menali dalam garis keturunan dan kekerabatan lainnya. Saya pantas kecewa bila saya tidak terwakili. Namun, walaupun demikian kita tidak boleh larut dalam kekecewaan karena merasa tak terwakili dalam rombongan napaktilas tersebut.

Patut menjadi catatan kita bersama, bahwa sekalipun dalam lingkup terbatas masyarakat pendukung dan pelaku budaya Lampung cukup beragam, oleh karena itu kita dituntut bijak, karena akan sulit untuk melakukan keterwakilan secara keseluruhan, kendati dalam rombongan besar sekalipun. Karena kita akan dapat melihatnya dari berbagai sisi. Apalagi dari kelompok Pepadun, setiap saat kepenyimbangan dapat berkembang dengan dibukanya keran untuk "Cakak Pepadun" kendati dengan berbagai sarat yang tidak ringan sekalipun.

Esensi Napaktilas

Tidak ada pemimpin yang akan mampu mengakomodasi seluruh aspirasi komunitas yang dipimpinnya, dengan demikian dalam hal ini yang paling penting kita harus memelihara esensi dari napaktilas tersebut beserta tindaklanjutnya. Apalagi bila Gubernur Lampung Sjachroedin, Z.P. ada dalam rombongan tersebut, banyak hal yang dapat diperbuatnya untuk kemajuan kebudayaan daerah Lampung.

Di tengah-tengah kesibukannya selaku Gubernur ternyata masih sempat memperhatikan masalah kebudayaan, yang barangkali belum pernah dilakukan oleh gubernur sebelumnya. Siapa yang tidak bangga melihat "kilau tapis" yang bertengger melingkupi gedung gubernuran yang berdiri kekar itu. Kalaupun ada pihak-pihak yang memilki power dan memberikan perhatiannya kepada kebudayaan, dengan segala kelebihan dan kekurangnnya saya kira patut kita terima secara ikhlas dan rasa syukur.

Juga sebagaimana Alhusniduki Hamim yang kita kenal selama ini, dengan kapabilitas dan kompetensinya, sebenarnya kita mempunyai keyakinan dan harapan bahwa yang bersangkutan mampu menindaklanjuti hasil napaktilas ini.

'Piil Pesenggiri'

Napaktilas ke Keraton Kacirebonan memiliki arti yang sangat penting karena dari sana kata Pesenggiri berasal. Kata pesenggiri (Pasanggiri : Sunda) di Cirebon berarti lomba atau fastabiqu (al-khoirot). Dan di Lampung berhasil disandingkan dengan kata piil. Sehingga terformulasi dalam Piil Pesenggiri bersama unsurnya.

Setelah kata pesenggiri dapat disandingkan dengan kata piil melalui proses islamisasi, sehingga kebanggaan piil seperti: Laki-laki ber-piil kepada perempuan, perempuan ber-piil pada makanan serta uang, anak gadis ber-piil pada kelakuan, dan anak laki-laki ber-piil pada ucapan yang konsekuen.

Maka setelah bersanding dengan pesenggiri menjadi nemui nyimah (produktif), nengah nyappur (kompetitif), sakai sambaian (kooperatif) dan juluk adek (inovatif). Rumusan ini pada waktu itu diyakini representatif sebagai perekat akulturasi budaya Jawa-Lampung.

Kesultanan Islam

Dari Keraton Kacirebonan itulah Fatahillah memprogram terbentuknya Kesultanan Islam di Lampung, untuk itulah dilamarnya Puteri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, selain mengantisipasi masuknya bangsa Portugis ke Lampung. Maka pembangunan Kesultanan Islam dengan konsep akulturasi Jawa-Sumatera bersama piil pesenggiri-nya diyakini mampu menjadi alternatif dari kejatuhan Demak dan keterbatasan Cirebon serta Banten.

Memang, program besar Cirebon untuk mengakulturasikan Jawa dengan pengalaman memimpin kerajaan dengan Sumatera yang relatif demokratis di Lampung, gagal sudah. Padahal, Lampung yang dikelilingi laut dan berpotensi untuk membangun pelabuhan-pelabuhan besar sehingga dapat dujadikan pusat pendidikan dan kebudayaan tak kesampaian, akibat berbagai faktor.

MOU Lampung-Banten

Paskapenandatanganan MOU Lampung Banten yang diwakili Rartu Darah Putih dan Pangeran Sabakingking, yang pada waktu ditindaklanjuti dengan kerja sama bilateral sebagaimana termaktub dalam "Prasasti Dalung Kuripan" antara lain ditindaklanjuti dengan kerja sama keprajuritan.

"Lamun ana musuh Lampung Banten Tutwuri, Lamun ana musuh Banten Lampung tutwuri"
Lasykar Lampung memberikan dukungan invantri dalam berbagai peperangan yang dilakukan Banten, bahkan konon sebagian dari mereka hingga kini masih menetap di Banten dan beranak pinak di sana.

Tentu saja kerja sama keprajuritan ini tidak tepat dengan perkembangan sekarang, tetapi Alhusniduki Hamim dan rombongan kita yakini menemukan esensi hubungan Cirebon-Banten-Lampung, dalam bentuk berbagai peluang untuk dapat ditindaklanjuti guna membangun budaya Lampung, sehingga Lampung tidak kalah dengan daerah lainnya, sebagaimana disebutkan dalam visi Lampung. Semoga.

* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.

Sumber: Lampung Post, Selasa, 12 Juni 2007

No comments:

Post a Comment