December 31, 2011

Buku: Naqiyyah Syam Luncurkan 'Let's Enjoy The School'

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Cerpenis Lampung Naqiyyah Syam bersama beberapa penulis lain meluncurkan buku Let's Enjoy The School. Saat berkunjung ke redaksi Lampung Post kemarin, pemilik nama asli Sri Rahayu ini mengatakan buku itu berisi pengalaman para ibu saat memulai pendidikan anaknya di sekolah formal.

JELASKAN KONTEN BUKU. Cerpenis Naqiyyah Syam (kiri) menjelaskan konten antologi terbarunya, Let's Enjoy The School, di kantor redaksi Lampung Post kemarin. LAMPUNG POST/ADIAN SAPUTRA

Naqiyyah mengatakan buku ini berisi banyak pelajaran yang bisa diambil untuk setiap ibu yang anaknya memulai sekolah formal, baik itu di PAUD, TK, atau SD.

Dalam buku itu, ujar alumnus Kehutanan Universitas Bengkulu ini, ada kiat untuk mencari kelompok bermain atau PAUD yang baik. Di antaranya melibatkan anak dalam memilih tempat belajar, memperhatikan tempat dan kualitas guru, sampai lokasi sekolah yang bagusnya dekat dengan rumah.

"Ini pengalaman kami bahwa anak yang ikut memilih sendiri sekolahnya akan lebih punya tanggung jawab untuk belajar. Sedangkan soal dekatnya tempat, itu membantu ibu dalam pengawasan," ujar dia.

Selain itu, di buku ini juga disajikan kiat menyambut anak sepulang sekolah. Umumnya, kata dia, kalimat pertama para ibu ialah, "Belajar apa di sekolah tadi?" Padahal, kalimat tanya itu acap menjadi blunder karena si kecil ingin bercerita yang lain.

Dalam tulisan Shinta Handini di buku itu, Naqiyyah mengatakan kiat saat menyambut anak pulang sekolah adalah bertanya apa yang menyenangkan di sekolah, mengajak anak berganti baju, serta mengajaknya mencuci tangan dan makan siang.

Selain itu, menawarkan bermain atau mengerjakan PR dahulu, dan bertanya mau bekal apa besok. Yang menarik, kata dia, di buku ini juga disajikan beragam penganan yang bisa dibuat ibu sebagai bekal makan anaknya di sekolah.

Semua resep itu adalah ciptaan para penulis di buku antologi ini. "Semua yang menulis dan mencoba resep adalah teman-teman yang menulis sendiri. Jadi, kemudahan dan faedahnya terjamin karena dibikin sendiri," kata dia.

Naqiyyah sendiri sampai kini sudah menulis banyak antologi, di antaranya Selaksa Makna Cinta, Antologi Cinta Monyet Never Forget, Hapuslah Air Matamu, dan Skripsi Kripsi. Selain itu, cerita anaknya juga banyak dipublikasikan Lampung Post. (ASP/K-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 31 Desember 2011

December 18, 2011

Meluruskan Sejarah ‘Gamolan’

Oleh Diandra Natakembahang


KITA memang patut bergembira dan memberikan kepada panitia dari Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sebagai iniasi pertunjukan gamolan Lampung selama 25 jam oleh 25 grup, 7—8 Desember 2011. Pentas ini sukses tercatat dalam rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) kategori superlatif sebagai pertunjukan gamolan terlama di Indonesia.

Tulisan ini hanya sedikit catatan mengenai (sejarah) gamolan, yang populer dengan nama cetik, sering juga disebut gamolan peghing atau kulintang peghing. Membaca berita seputar gawean akbar tersebut, ada yang menggelitik dan saya merasa perlu meluruskan terutama terkait dengan asal-usul gamolan.

Gamolan sebagai sebuah instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang peradaban Lampung dalam hal ini Kerajaan Sekala Brak. Rupanya gamolan Lampung telah diteliti Margaret J. Kartomi dan dicantumkan dalam bukunya Musical Instruments of Indonesia yang diterbitkan Indonesian Art Society Association with The Department of Music Monash University, 1985.

Margaret adalah seorang profesor musik dari Monash University Australia yang telah menggeluti musik gamelan selama lebih dari 30 tahun. Ia datang ke Lampung Barat medio 1982. Dalam bukunya, Margaret menyebutkan bahwa gamolan berasal dari Liwa, daerah pegunungan di bagian barat Lampung, "A Gamolan origin from Liwa in the montainous nortwest area of Lampung.”

Hipotesis yang menyatakan bahwa seperangkat orkestra gamelan Jawa adalah berasal dan merupakan pengembangan dan perkembangan dari gamolan Lampung juga sangat kuat dan mempunyai alur yang jelas. Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan hipotesis ini. Pertama, pertama, hal yang relatif sederhana adalah merupakan peradaban awal dan adalah permulaan dari pengembangan hal yang lebih rumit dan kompleks [H. Stewart]. Kedua, secara etimologi dalam konteks nama relatif tidak berubah dari gamolan (Lampung) menjadi gamelan (Jawa). Ketiga, gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa dan bermetamorfosis sedemikian rupa menjadi seperangkat orkestra gamelan Jawa. Gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa saat Sriwijaya menguasai Nusantara, termasuk Jawa. Gamolan Lampung terpahat dalam relief di Candi Borobudur (abad ke 8 M). Candi Borobudur sendiri dibangun Dinasti Syailendra Sriwijaya, sekelompok orang yang membuat Candi Borobudur juga adalah orang Lampung [Hasyimkan, 2011].

Sriwijaya sebagai sebuah Kerajaan Maritim terbesar di Asia Tenggara mempunyai perjalanan sejarah yang panjang dan pertautan yang sangat erat dengan Kerajaan Sekala Brak. Kerajaan Sriwijaya didirikan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga seorang Raja Buddhis dari Ranau Sekala Brak. Pendiri Sriwijaya ini dijuluki Syailendravarmsa atau Raja Pegunungan.

Pandangan ini didukung pendapat para ahli dan sejarawan sebagaimana yang diungkapkan Lawrence Palmer Briggs dalam The Origin of Syailendra Dinasty dalam Journal of American Oriental Society Vol 70, 1950. Lawrence menyatakan "Sebelum tahun 683 Masehi ibu negeri Sriwijaya terletak di daerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu dipayungi dua gunung dan dilatari oleh sebuah danau. Itulah sebabnya Syailendra dan keluarganya disebut Raja Pegunungan."

Jelas, dua gunung yang dimaksud Lawrence adalah Gunung Pesagi dan Gunung Seminung, sedangkan danau yang dimaksud adalah Danau Ranau.

Setelah perpindahan dari Sekala Brak, Sriwijaya setidaknya tiga kali berpindah ibu negeri, yaitu Minanga Komering, Palembang, dan Darmasraya Jambi. Namun, para sejarawan juga ada yang berpendapat bahwa Patthani di selatan Thailand adalah ibu negeri terakhir Sriwijaya.

***

Menurut Wirda Puspanegara, secara etimologi, gamolan berasal dari kata gimol yang artinya gemuruh atau getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi gamolan, yang artinya bergemuruhan atau bergetaran. Sementara itu, begamol, artinya berkumpul. Seniman cetik (gamolan) Syapril Yamin mengatakan gamolan pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang meghanai tuha (bujang lapuk), yang menetak peghing mati temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati.

Gamolan yang merupakan instrumen xilofon yang berasal dari Lampung Barat, dideskripsikan Margaret J. Kartomi dalam Musical Instruments of Indonesia sebagai berikut: "Gamolan terdiri dari delapan lempengan bambu dan memiliki kisaran nada lebih dari satu oktaf, lempengan bambu tersebut diikat secara bersambung dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng, penyangga yang tergantung bebas di atas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul sepasang tongkat kayu. Gamolan memiliki tangga nada 1 2 3 5 6 7, dua orang pemain duduk di belakang alat musik ini salah satu dari mereka memimpin [begamol] memainkan pola pola melodis pada enam lempeng, dan yang satunya [gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya, lempeng lempeng pada gamolan distem dengan cara menyerut punggung bambu agar berbentuk cekung. Gamolan dimainkan bersama-sama dengan sepasang gong [tala], drum yang kedua ujungnya bisa dipukul [gindang] dan sepasang simbal kuningan [rujih]."

***

Pergeseran istilah instrumen musik ini dari gamolan menjadi cetik, konon karena tampilan suara yang dihasilkan gamolan, sehingga akhirnya gamolan juga dijuluki sebagai cetik. Pergeseran istilah ini terjadi pada sekitar medio tahun 90-an. Demikianlah penyebutan gamolan menjadi cetik akhirnya menjadi lumrah dan menjadi sebutan yang umum bagi gamolan. Bahkan, dalam penulisan sekalipun seperti dalam penulisan buku Pelajaran Muatan Lokal untuk Provinsi Lampung.

Namun, beberapa peneliti dari Taman Budaya Lampung (TBL) menyebut instrumen musik ini sebagai kulintang. Demikianlah dinamika gamolan dalam istilah dan penyebutan. Oleh sebab itu, saya sepakat untuk kembali menyebut gamolan bagi instrumen musik ini karena terkait dengan sejarah panjang serta fungsi dan peranan gamolan dalam tradisi masyarakat adat Lampung.

***

Saya agak kaget manakala mengetahui bahwa Way Kanan juga adalah daerah asal dari gamolan, walaupun di Lampung, gamolan sebagai instrumen musik juga digunakan sebagai piranti adat di Semaka (Tanggamus) dan Way Kanan. Belum jelas seperti apa tepatnya informasi yang menyatakan bahwa Way Kanan juga merupakan origin dari gamolan peghing ini. Namun, sepertinya alasan politis dan kepentingan lebih berperan di sini.

Walaupun sebagian besar etnis Lampung dari berbagai buay dan marga dari setiap konfederasi adat memiliki tambo sejarahnya masing-masing dan mengakui puyang ulun Lampung berasal dari dataran tinggi Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi; tidak ada "origin Bersama" dari sebuah produk kebudayaan. Keris misalnya, walaupun telah menjadi salah satu produk kebudayaan besar Nusantara dan telah menjadi produk budaya dan tradisi tidak saja Jawa, tetapi juga Bali, Sasak, Sunda, Bugis bahkan Melayu namun tidak dapat dipungkiri bahwa Keris adalah produk dari Kebudayaan Jawa yang merupakan daerah originnya.

Demikianlah apa pun dan bagaimanapun dinamika dari sebuah sebudayaan, tapi sejarah dan istilah harus diluruskan karena berkaitan dengan tradisi, falsafah, dan perjalanan panjang sejarah dan peradaban dari sebuah suku bangsa.

Diandra Natakembahang, peminat sejarah budaya Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Desember 2011

[Buku] Bukti Ilmiah Kakbah Pusat Dunia

Judul : Ka’bah Pusat Dunia, Sebuah Mukjizat Ilmiah

Penulis : Saad Muhamad Al-Marsafy

Penerjemah : Iwan Nurdaya-Djafar

Penerbit : llagaligo Publisher, Bandar Lampung

Cetakan : I, 2011

Tebal : xxiii + 113 Halaman

PADA awalnya karena kebutuhan untuk standardisasi pembagian zona waktu dan peredaran tanggal di seluruh dunia, delegasi dari berbagai negara mengadakan konferensi garis bujur internasional yang dilangsungkan di Washington D.C., yang berhasil menetapkan kota Greenwich sebagai pusat bumi dan ditetapkan terletak pada garis bujur nol derajat dan dijadikan referensi tempat-tempat lain untuk menentukan nilai letak geografisnya yang disetujui oleh 22 negara dari 25 negara peserta konferensi.

Dari hasil konferensi tersebut, praktis Garis Bujur Utama ditetapkan melintasi Greenwich sebagai "pusat waktu dan angkasa" dan rumah milenium baru sehingga dalam hal ini Greenwich Mean Time (GMT) adalah garis imajiner yang melintasi Greenwich dan tujuh kota lainnya dalam garis bujur ditetapkan sebagai garis bujur nol derajat dan dalam bola bumi dibagi menjadi 24 pembagian waktu dengan porsi perbedaan waktu 150/jam.

Namun dalam perkembangan peradaban modern ini, penetapan Greenwich sebagai pusat bumi mulai digugat dan dijustifikasi sebagai ketetapan yang tidak ilmiah berdasarkan observasi dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, dalam hal ini seorang saintis Indonesia, Bambang E. Budhiyono, mengutarakan bahwa penetapan Greenwich sebagai pusat bumi tidak berdasarkan bukti ilmiah, tetapi hanya berdasarkan faktor "leluhur" dan "kebetulan".

Alasannya, ternyata penetapan Greenwich sebagai pusat bumi berikut sistem GMT-nya adalah karena faktor nenek moyang Tuan Charles F. Dowd, yang sebelum diangkut dengan kapal May Flower untuk dibuang ke Amerika ternyata berasal dari Kota Greenwich, dan kebetulan di kota itu terdapat sebuah observatorium yang tergolong penting di dunia.

Jika status Greenwich sebagai pusat bumi tidak berlandaskan dasar ilmiah, lalu di mana letak pusat bumi sebenarnya? Buku Ka'bah Pusat Dunia karya Saad Muhamad Al-Marsaafy ini menjawab, di sinilah kemudian mukjizat ilmiah membuktikan bahwa Kakbah merupakan pusat dunia. Pembuktian tersebut didapat setelah menggambar peta beserta semua benua di atasnya, Mekah ditemukan berada di tengah-tengah (pusat) bumi pada peta tersebut. Mekah adalah suatu pusat dari lingkaran yang menggabungkan semua benua.

Dalam suatu cara mengancam, daratan bumi rata dibagi keliling Mekah. Observasi tersebut diperkuat dengan kalkulasi-kalkulasi yang dibuat menggunakan komputer membuktikan fakta tersebut, proses tersebut muncul dengan hasil berikut: pertama, dunia lama dengan mengambil sembilan kota dan pulau untuk menjadi batas-batas dari dunia lama, jarak lengkung yang dihitung di antara Mekah dan masing-masing jaraknya adalah sekitar 8.039 km. Dengan pembuktian tersebut, berarti Mekah ada di pusat dari sebuah lingkaran yang menyentuh tepi-tepi dari tiga benua yang membentuk dunia lama.

Kedua, Dunia Baru, dengan perbandingan tiga lokasi, Kota Wellington di Selandia baru, Corn Horn (titik terjauh di Amerika Selatan), dan Alaska Utara (titik terjauh di Amerika Utara), jarak yang diukur adalah kira-kira 13.253 km yang mencapai titik-titik terjauh pada dunia baru dan ternyata Mekah memang ada di pusat dari suatu lingkaran yang melintasi batas-batas benua dari dunia baru. Sama halnya dengan dunia lama, lingkaran juga melintasi batas-batas timur dan barat dari kutub selatan.

Secara lebih gamblang buku ini memang menjelaskan semua fakta-fakta ilmiah dari hasil riset tokoh-tokoh ahli, disertai data-data mukjizat ilmiah dan gambaran-gambaran peta dunia baru yang menunjukkan dan dengan dalil Kakbah sebagai pusat bumi serta konsep tata waktu dan pembagian zona berdasarkan standardisasi kelimuan ilmiah dan konsep waktu syari.

Selain itu, dalam buku ini juga dilengkapi dengan wawasan sejarah dan kondisi Kakbah serta jazirah Arab pada umumnya ari aspek historis, geografis, dan kebudayaan sehingga buku ini sangat layak dikonsumsi oleh para praktisi dan saintis muslim, terutama yang bergelut dalam bidang geografi, astronomi, dan falak, serta masyarakat pada umumnya sebagai pengetahuan dunia baru yang lebih bernuansa ilmiah. n

M. Hadi Bashori, ahli falak di Pusat Layanan Falakiyah IAIN Walisongo Semarang.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Desember 2011

Menguji Nyali, Berlayar di Teluk Lampung

DI tengah laut, hanya air, perahu, kain layar, pelampung. Manusia menjadi amat kecil. Itulah saatnya manusia menghargai angin sebagai mesin untuk jalan menuju pulang.



FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA

Revita dengan lincah bermanuver, taking—mengubah haluan dengan cara mendorong kemudi—cepat ia lakukan untuk mengikuti arah angin dan ia nyaris tak terkejar, dan kami terus berlayar ke tengah. Sayup-sayup Pantai Mutun terlebih seperti lidi, semakin kecil dipelupuk.

Perahu-perahu nelayan hilir mudik, datang dan pergi, di antara keterombang-ambingan ombak kuat Teluk Lampung.

Sesekali kami menjaga layar agar tiang tidak kalah oleh angin, hari yang terik itu angin tak terduga-duga, mengalir kencang, padahal seharusnya angin kencang, angin barat berhembus mulai dari Juli hingga September.

Perahu layar jenis optimis—perahu terkecil dalam olahraga perahu layar berkapasitas satu orang—yang kami gunakan hanya terombang-ambing saat angin mereda.

Berperahu layar, menjadi sensasi lain untuk menikmati laut, merasakan betapa ketika berada sendirian di tengah laut yang luas, saat melihat daratan hanya seperti garis-garis samar.

Perahu layar juga menjadi semacam tantangan untuk menguji nyali karena hanya mengandalkan selembar kain sebagai mesinnya.

Di Lampung, khususnya di sepanjang pesisir Padangcermin, Kabupaten Pesawaran, olahraga perahu layar memang seperti barang yang asing buat masyarakat. Sebagian dari mereka bahkan menganggap perahu layar tak ubahnya perahu nelayan biasa yang tak bermesin, tapi baru mahfum ketika dijelaskan bahwa ini adalah perahu layar.

Tak gencarnya pengurus Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (Porlasi) Lampung waktu itu, membuat olahraga ini memang terlihat aneh. Lesunya pengurus Porlasi ketika itu membuat olahraga ini juga minim pembinaan apalagi bantuan tambahan perahu layar terbaru untuk atlet perahu layar berlatih.

Akhirnya saat itu, olahraga ini seperti hidup segan mati pun tak mau, atlet pun tak terasah, Revita, atlet perahu layar asal Lampung, mengaku sering kesulitan untuk latihan. Untuk perempuan yang hanya lulusan SMA ini rasanya tak mungkin menyewa perahu layar hanya untuk latihan, akhirnya Lampung tak pernah banjir prestasi dari olahraga ini.

Padahal, meskipun jarang sekali latihan, Revita pernah mengukir prestasi perahu layar di kelas optimis di tingkat nasional, "Saya hanya kalah oleh atlet perahu layar dari Jawa Timur dan Bali saja, itu pun hanya karena perahu layar yang saya pakai dari bertanding adalah pinjaman dari atlet asal provinsi lain.”

Gereget olahraga layar ini baru terlihat beberapa pekan terakhir, sejak kepengurusan Porlasi Lampung diganti, latihan digencarkan apalagi untuk menghadapi Pra-PON kemarin latihan digenjot hampir setiap hari.

Ketua Porlasi Lampung Tommy M. Nur mengaku prihatin saat melihat cabang olahraga ini seperti “ada dan tiada”. Ia menyatakan keanehannya, Lampung memiliki garis pantai terpanjang di Indonesia, tapi olahraga perahu layar tak bisa meraih prestasi.

"Pertama kali saya lihat, atlet yang punya potensi dan Lampung yang sebagian besar adalah daerah pesisir. Jadi saya yakin dan tanamkan atlet Porlasi Lampung harus punya prestasi, bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga internasional.”

Ia bahkan menilai olahraga ini bisa menjadi peluang untuk Lampung mempromosikan betapa indahnya pantai di pesisir Teluk Lampung melalui olahraga layar ini. "Olahraga ini bisa jadi sarana promosi pariwisata, kami juga akan menggelar event-event nasional," kata Tommy optimistis.

Untuk atlet perahu layar yang mempunyai kualitas, ia menjanjikan pembinaan yang serius. Karena itu Tommy berharap dukungan dari masyarakat Lampung untuk mengembangkan olahraga ini. (MEZA SWASTIKA/M-1)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Desember 2011

December 11, 2011

[Refleksi] Tokoh

Oleh Djadjat Sudradjat

TOKOH tak lahir dari papan reklame. Juga tidak dari lembaga-lembaga adat atau agama, lembaga kemasyarakatan atau institusi niaga, yang menahbiskannya lewat upacara yang takzim di panggung yang bergemuruh dan publikasi yang rancak. Tokoh dengan “T” besar justru kerap lahir dari ruang sepi dan publik tak memahaminya seketika. Ia tak meminta, melainkan memberi. Ia pertama-tama meneguhkan “kehormatan” untuk publiknya, bukan untuk dirinya.

Tetapi, tokoh dengan “t” kecil memang bisa lahir dari hasil kepandaiannya menjajakan diri di ruang yang ingar-bingar. Ia bisa membeli ruang dan publik agar “mendaulatnya.” Ia berharap dan berhitung akan sebuah panggung yang tak boleh membuat dirinya jadi tak sesuai. Ia risau jika keringatnya menetes dan sepatunya berlumpur tak tertangkap kamera media. Ia cemas jika makamnya nanti tak cukup dikenang banyak orang.

“Politik popularitas” yang kini tengah jadi rujukan di alam demokrasi kita yang tengah bertumbuh, memang tengah jadi tren di hampir seluruh aktivitas pemilihan. Publikasi dan reklame jadi institusi yang dianggap mampu melegitimasi seseorang layak dipilih, lalu ia diteguhkan melalui survei. Lembaga survei kini bahkan bisa jadi “alat produksi” (t)okoh. Politik kini berlomba “memproduksi” (t)okoh seperti pabrik memproduksi barang-barang manufaktur untuk kemudian dilempar ke pasar. Jika produk industri dalam menjaga kualitas diuji berkali-kali lewat mekanisme uji kualitas yang ketat, pembuktian (t)okoh dalam pemilihan, hanya bisa dilakukan setelah terpilih. Wajar jika kita kerap kecewa.

(T)okoh sejati umumnya tak peduli pada popularitas. Mungkin ia butuh, tetapi tak menempuhnya dengan cara dagang semata. Satu-satunya citra yang ia jaga adalah jika ia berjauhan dengan publik. Jika pun ia berharap ada apresiasi, ia persembahkan untuk publik yang membesarkannya. Sebab, dedikasi untuk sesama (manusia) atau masyarakat adalah dasar bekerjanya. Bukan pada pamrih. Prinsipnya adalah, tak ada “bungkus yang bisa mengalahkan isi”. Artinya, apa pun “bungkusnya”, “isi”-lah yang utama.

Tokoh kini tengah dibicangkan di sini. Siapa mereka, di mana ia lahir, apa yang mereka lakukan, di mana medan “pengabdiannya”, dan di mana dimakamkan? Sebuah perbincangan yang kini mungkin dianggap sementara pihak “aneh”, tetapi sebuah ikhtiar perlulah dihargai. Dari mana pun ikhtiar itu datang. Juga dari komunitas pers, misalnya.

Apakah tokoh dengan “T” (besar) perlu dicari? Jawaban yang tepat, mungkin, “hal-hal baik” termasuk dari (tokoh) itu perlu diwartakan agar –siapa tahu—bisa menginspirasi orang ramai yang galau mencari referensi. Bukankah sejarah juga kerap ditulis dengan banyak versi untuk mencari rekonstruksi yang paling dekat dengan faktanya? Yang pertama bisa jadi untuk kepentingan sejarah itu sendiri; yang kedua, ini yang terpenting, untuk kepentingan manusia melanjutkan kehidupannya.

Bukankah kita juga tengah mempertanyakan apa yang kita perbuat hari ini yang, serbaselebral, permukaan, dan meninggalkan substansi? Mungkin membincangkan tokoh adalah upaya untuk mencari substansi, bukan menghidupkan sesuatu yang telah “mati” orang-orang tertentu. Karena itu, kendati itu datang dari kehendak keluarga dan juga kelompok (tertentu), tetaplah ia perlu jujur dan objektif, dan berorientasi kepada publik yang lebih luas.

***

DI sini (Lampung), di manakah tempat orang-orang seperti Sulaiman Rasyid dan K.H. Rais Latief (kelahiran Lampung Barat), dua ahli fikih mumpuni di Indonesia pada zamannya; K.H. Gholib (lahir di Jawa Timur), ahli agama yang mengangkat senjata di Lampung; Raden Aria Taher Tjindarboemi (putra Lampung Tengah), tokoh pers terkemuka dan sahabat dekat pendiri Boedi Oetomo, Dr. Sutomo, yang terlibat dalam polemik kebudayaan dengan berbagai tokoh terkemuka; Raden Mohamad Mangoendiprodjo (kelahiran Solo) yang berjuang untuk Lampung dan menjadi residen pertama di wilayah ini? Di manakah Haji Abdoel Moeloek (kelahiran Sumatera Barat), yang menjadi “ikon” dunia kedokteran di Lampung; Gele Harun Nasution (putra Batak) yang jadi advokat pertama di Lampung, kemudian mengangkat senjata?

Di mana pula tempat Zainal Abidin Pagar Alam, pemimpin yang tegas, terbuka, dan berkali-kali menjabat bupati di berbagai daerah dan kemudian gubernur provinsi ini? Di mana tempat Tan Beng Seng (kelahiran Kotabumi), pengusaha berdarah Tionghoa tapi nasionalismenya tinggi dan menjadi pemasok logistik untuk para pejuang di Lampung? Di mana tempat Zulkifli Warganegara (kelahiran Natar), “tukang insiyur” pertama di Lampung –yang mengangkat senjata – dan menjadi inspirasi generasi sesudahnya meraih titel serupa?

Di mana tempat Hilman Hadikusuma (kelahiran Lampung Utara), yang mendedikasikan hidupnya pada dunia ilmu, profesor hukum adat yang mumpuni dan buku-bukunya jadi rujukan di banyak fakultas hukum di Indonesia? Di mana pula tempatnya manusia berdededikasi seperti Ny. Masnuna yang berkhidmat menggeluti sastra lisan Lampung, yang tak menarik bagi banyak orang? Di mana Imron Rosadi, “suhu” angkat besi/berat yang telah melahirkan begitu banyak atlet berkelas? Di mana Surono Danu, penemu benih padi unggul Sertani 1, yang hidupnya spartan itu? Deretan pertanyaan itu bisa amat panjang.

Biarlah tokoh punya banyak versi sejauh itu memang dibuat bagi sebuah jalan mencari substansi yang akan dipersembahkan bagi banyak orang. Beri tempat bagi siapa saja untuk mendokumentasikannya sejauh kriterianya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Termasuk yang dilakukan Lampung Post lewat buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung (2008). Ia boleh jadi tak sempurna, tapi bukan jalan sesat yang harus diberangus dan dinegasi. Toh, ada banyak pihak yang mendapat banyak inspirasi darinya.

Sekali lagi tak ada versi tokoh yang sempurna. Termasuk tokoh para penerima Hadiah Nobel yang dianggap amat prestisius itu. Juga buku Michaeal H. Hart yang mendunia (Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (1978): ada protes di sana. Bukankah sekian banyak buku para ahli juga menyulut debat yang tak putus-putus. Begitulah hakikat ilmu: berkembang karena selalu ada pergumulan tesis, antitesis, dan sintesis.

Sebuah versi (tokoh) adalah sebuah gagasan. Secara ekstrem penulis Elbert Hubbard mengatakan, “Sebuah gagasan yang tidak berbahaya sama sekali tidak pantas disebut gagasan.” Terlebih, buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung tak berbahaya dan tak menyesatkan. Ia mungkin–serupa produk pers—bukanlah kebenaran, melainkan sebuah upaya mencari “kebenaran”. Setidaknya, ia bermanfaat sebagai informasi awal bagi banyak pihak (khususnya sejarawan atau siapa pun) di Provinsi Lampung yang ingin “mencari” para pelaku “cerita” di banyak bidang: tokoh atau bukan. Setidaknya, ia telah menjadi barang cetakan yang tersedia dan portable (bisa dijinjing ke mana suka), membantu kerja selanjutnya.

Bagaimana orang-orang yang hanya menumpang lahir tapi berkiprah di luar Lampung (nasional ataupun internasional)? Ah, mestinya dalam konteks kebangsaan, orang-orang seperti ini sudah otomatis diakuinya dengan kearifan dan rasa hormat. Bukankah orang-orang Lampung semestinya berterima kasih kepada tokoh-tokoh ini, yang karena “tugas” (terlebih lagi tugas negara), tak sempat secara fisik “berjuang” di tanah kelahirannya. Tetapi, di mana pun ia, setidaknya inspirasinya terus bergema bagi kita semua.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2011

December 9, 2011

Musik Tradisional: ‘Gamolan’ Lampung Pecahkan Rekor Muri

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pertunjukan gamolan Lampung selama 25 jam oleh 25 grup sukses tercatat dalam rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) kategori superlatif sebagai pertunjukan gamolan terlama di Indonesia.

Deputi Manajer Musium Rekor Dunia-Indonesia (Muri), Damian Awan Raharjo (kanan) menyerahkan piagam Muri kepada Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. di lapangan Korpri Pemprov Lampung, Kamis (8-12). (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)


Deputi Manajer Muri, Damian Awan Raharjo, secara langsung menyerahkan piagam Muri kepada Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. di lapangan Korpri Pemprov Lampung, Kamis (8-12).

Menurut Damian, rekor ini sangat fantastik karena 25 grup musik tanpa berhenti terus memainkan gamolan selama 25 jam. Pertunjukan dimulai Rabu (7-12), pukul 10.05, dan berakhir pukul 11.05 kemarin.

"Kalau gamelan, sudah ada rekornya waktu dimainkan di TMII selama 36 jam 36 menit 36 detik. Kalau gamolan kan baru ini. Jadi tetap masuk dalam rekor Muri," kata Damian.

Gubernur mengatakan tercatatnya pertunjukan gamolan Lampung dalam rekor Muri merupakan satu momentum yang sangat baik untuk mempromosikan alat musik tradisional yang pertama kali ditemukan di Way Kanan dan Lampung Barat itu.

Pasalnya, selama ini kebanyakan masyarakat Lampung hanya mengetahui beberapa alat musik tradisional Lampung, seperti kolintang dan cetik bambu. Sementara gamolan sedikit terpinggirkan.

"Sebelum ini kan banyak yang tidak tahu ada alat musik tradisional bernama gamolan Lampung. Padahal gamolan merupakan alat musik tertua yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke 4 Masehi. Jadi harus terus kita gemakan dan lestarikan," kata Gubernur saat memberi sambutan pada acara pemecahan rekor Muri kemarin.

Gubernur berharap pertunjukan gamolan tidak terhenti sampai pemecahan rekor Muri. Majelis penyeimbang adat bekerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota juga diminta melestarikan gamolan dengan menggelar pertunjukan secara rutin dan memperkenalkannya kepada generasi muda.

Pemprov, menurut Gubernur, juga akan berupaya memberikan hak kekayaan intelektual dan hak paten pada alat musik gamolan agar ke depannya tidak mudah diakui sebagai milik daerah atau negara lain.

Kemarin, Gubernur dan Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL) juga memberikan gelar adat Ratu Berlian Sangun Anggun kepada peneliti gamolan asal Monash University Australia, Margaret J. Kartomi.

Pemberian gelar adat ini sebagai penghargaan kepada Margaret yang selama 27 tahun meneliti asal muasal gamolan Lampung dan menuliskan dalam bukunya, Musical Instrument of Indonesia. (LIN/R-2)

Sumber: Sumber: Lampung Post, Jumat, 9 December 2011

December 8, 2011

Perjalanan Puitik Dahta Gautama

Oleh Febrie Hastiyanto


BANYAK tempat yang puitik, tempat yang darinya dapat lahir puisi-puisi yang indah sekaligus menggugah. Bagi seorang penyair, tempat yang puitik bisa berada di mana saja: di taman, di sekolah, kebun binatang, mal, terminal, atau jalan. Jalan atau jalanan memang identik dengan puisi. Tak sedikit penyair yang memulai karier kepenulisannya dari jalan(an). Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastrawan yang diasuh Umbu Landu Paranggi misalnya kerap nongkrong di kawasan (Jalan) Malioboro Jogja. Dari rahim PSK lahir sejumlah sastrawan terkemuka tanah air macam Emha Ainun Nadjib termasuk penyanyi balada Ebiet G. Ade. Jalan dan jalanan memang memberikan ruang yang penuh kontemplasi sekaligus paradoks, dan biasanya pula penyair menggemari realitas ini.

Berbeda dengan PSK sebagai komunitas yang alumninya produktif melahirkan karya saat komunitas ini masih eksis antara tahun 1969 hingga 1977, Dahta Gautama penyair kelahiran Hajimena Lampung Selatan 37 tahun lalu ini adalah seorang pejalan kaki yang sunyi. Seorang diri Dahta Gautama muda kerap memburu puisi di sejumlah ruas jalan di Bandar Lampung, semenjak Jalan Raden Intan, Jalan Malahayati, Jalan Kartini atau Jalan Teuku Umar yang seringkali berakhir di Pasar Seni (Enggal?). Dalam keramaian Dahta meresapi kesunyian—sesungguhnya laku ini sudah puitik; memaknai perasaan kaku, gugup, gelisah, rendah diri, sulit bergaul dan insomnia yang dideritanya. Dalam penyakit psikis yang diakui Dahta menderanya saat remaja ini justru terlahir banyak puisi. Melalui puisi pula Dahta hendak berkabar bahwa banyak hal yang terjadi terhadap dirinya, dan kesemuanya ia potret dari jalan. Puisi-puisi itu sebagian kemudian diterbitkan dalam Ular Kuning: Sajak-Sajak Pilihan (Pijar Media, Juli 2011).

Puisinya Belati di Jakarta misalnya, begitu kuat memotret realitas jalanan di Jakarta. Memotret, karena dalam banyak puisinya Dahta menggunakan metode bercakap-cakap dengan pembacanya. kau torehkan belati di pipiku/ sebagai kenang-kenangan bahwa kita/ pernah bertemu dan bersahabat/ di Tanah Abang. Kegetiran belati yang diacungkan kepada seorang pejalan kehidupan di Jakarta ditulis Dahta tanpa pretensi amarah dan dendam. Dahta justru menulisnya secara bersahabat, sebagai tanda perkenalan. Dahta melanjutkan kisahnya dengan lancar: ketika itu kita bertengkar soal Tuti/ pelacur yang ketiaknya bau bedak kantil/ kita tak pernah peduli, ternyata Tuti/ bukan perempuan Madura/ rasanya pun biasa-biasa saja. Sedikit rasis, namun Dahta mengolok-olok dirinya sendiri dan pembaca yang kerap ke lokalisasi. Tak peduli Ramuan Madura sebagaimana kata iklan di televisi karena “rasanya pun biasa-biasa saja”. Kalau kita panjangkan, Dahta hendak mengatakan kepada pembaca: kalau begitu, mengapa masih juga kau datang ke sana?

Tak hanya soal-soal menggetarkan dari jalanan yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas, Dahta pun mampu menyuguhkan realitas puitik dari jalanan secara apik. Puisinya yang lain lagi, Khimaci di Showa Kinen menggambarkan renik kehidupan di Taman Showa Kinen Tokyo dengan apik. Sebab puisi ini pula Dahta diganjar Pena kencana Award sebagai Puisi Terbaik Indonesia Tahun 2008. Katanya kepada pembaca: Showa Kinen bertabur lili/ jalan-jalan merintih. Konon taman ini dibangun/ dewa matahari. Dan gadis kecil itu adalah Khimaci/ ia kekasih abadi lelaki, yang pernah punya luka belati.

Sebagai orang yang sedang kasmaran dan menggubahnya menjadi puisi, Dahta masih menambahi: Khimaci, beri aku mawar/ sebagai penawar/ dan Showa Kinen sebagai mata kita/ ia telah mengungkap pengembaraanku ke kota-kota penuh taman. Tak ada catatan apakah Dahta sungguh pernah mengunjungi Tokyo dan menjejak Taman Showa Kinen, namun Dahta mampu mendeskripsikan Tokyo secara meyakinkan. Kereta-kereta listrik, Pendeta Budha di Kelenteng Bhoghaca, Pasar Khoyota, Paman Khobata adalah tempat, nama dan identitas yang dapat membawa asosiasi persepsi publik pembaca di tanah air terhadap Jepang. Kata-kata ini bertabur dalam Khimaci di Showa Kinen sebagai ikhtiar Dahta untuk meyakinkan pembacanya.

Seperti halnya jalan(an) yang menyimpan paradoks, sebagai penyair Dahta pun berada pada kondisi yang sama. Selain fasih bertutur mengenai realitas puitik di jalan(an), Dahta juga mampu menyajikan puisi yang memikat tentang rumah dan kehidupan di dalamnya. Meskipun lelah memburu puisi di jalanan, pada rumahlah Dahta kembali dan bersarang, dan darinya pula tercipta puisi. Puisi Catatan Harian Halaman: 2008, Habis menceritakan realitas rumah yang penuh dengan kebahagiaan dalam kesahajaan. Kumulai hari ini dengan bangun pagi/ sikat gigi dan nyanyi di kamar mandi./ ketika ingin menulis puisi/ istriku dari kamar berteriak:/ beras di kaleng, tinggal setengah/ terasi dan ikan kering, habis! Tanpa perlu memperdebatkan kriteria kemiskinan pada konsumsi 2.100 kalori, atau pendapatan 2 dolar Amerika Serikat satu hari, realitas ini sesungguhnya sehari-hari terjadi dalam banyak rumah tangga kita. Namun Dahta mampu mengemasnya secara jenaka, tak menertawai kemiskinan namun menghayatinya dengan rendah hati. pada selembar terakhir buku harian/ aku tulis kata-kata serupa doa:/ Tuhan, mengapa engkau ciptakan banyak tikus/ bersarang di loteng rumahku/ bila malam, tikus-tikus itu turun dan mencuri banyak makanan. Dahta mengakhiri puisinya secara manis dengan mengatakan: Tuhan, aku mohon padamu sekali lagi/ beri aku beras, sayuran, ikan kering, air di sumur/ makanan untuk sebulan/ dan jadikan aku manusia.

Kepada orang-orang terdekatnya, Dahta mengucapkan terimakasih melalui puisi. Ingin kucium lehermu/ sambil kubangun fantasi, dongeng/ purba. Bahwa kelak engkau melahirkan batu./ mari bercumbu, istriku/ berbulan madu dengan ciuman/ yang hanya sesaat saja/ di tengah air mata dan luka ini/ setelah engkau melahirkan/ seorang perempuan/ baru kutahu/ ia ternyata anak, yang kelak/ aku beri nama: sajak. Puisi ini diberi tajuk Istri dan Sajak menggenapi puisi yang lain lagi soal rumah dalam Rumah Penyair. Rumah ini tanpa halaman/ selalu saja ada orang-orang/ bercakap-cakap di dalamnya/ sebagai perjamuan sunyi. Dahta mengakhiri puisinya dengan sajak pendek-pendek: di depan rumah/ ada jalan raya/ dilewati orang-orang/ yang merantau di dunia kecil ini.

Melalui puisi Dahta ingin mengabarkan kebahagiaan yang dihadirkan jalan(an), rumah dan orang-orang di dalamnya dalam kesahajaan. Teknik bertutur Dahta mengalir lancar, namun pada beberapa puisi teknik ini membuat puisi yang ditulisnya tak efektif dalam masing-masing larik. Puisi Ular Kuning yang dijadikan judul kumpulan puisinya justru ditulis secara panjang-lebar dan menjadi tak ringkas sebagaimana puisi-puisi yang lazim kita kenal, bahkan bila Dahta meniatkannya sebagai prosa atau puisi prosaik sekalipun, Ular Kuning tampak terbata-bata menempatkan estetika dirinya. Beberapa larik Ular Kuning yang sesungguhnya masih dapat dipadatkan sehingga ringkas dan kuat misalnya: pernah ketika masih kanak, nenek dan ayah memukul pantatku dengan ranting tritis. makanya aku tak pernah mempercayai bahwa rasa sakit bisa mengakibatkan kematian. Atau larik yang lain lagi, seperti: ayah dan nenek melarangku berbicara tentang ular kuning/ yang kutemui di semak-semak di samping rumah kami./ mereka bilang, aku tak boleh depresi seperti kakek/ akan menyusahkan karena harus ke rumah sakit jiwa/ setiap hari rabu. Dahta melanjutkan berpanjang-panjang dalam bertutur, seperti larik: nenek bisa mengatur agar kakek tidak terlalu banyak minum kopi./ alasannya, karena setelah itu kakek selalu meracau/ membaca syair yang ditulisnya bermalam-malam.

Sebagai terbitan, Ular Kuning tampak disunting terburu-buru. Masih ada kata-kata tak baku maupun kesalahan penulisan tanda baca yang terlewat oleh penyunting. Kata “kerab” (maksudnya mungkin “kerap”), “prilaku” atau “kedasyatan” atau “merefresentasikan” masih bertabur dalam Ular Kuning. Begitu juga penulisan “di” sebagai kata yang menunjukkan tempat masih banyak ditulis tanpa dipisah dengan kata di belakangnya. Termasuk riwayat penerbitan masing-masing puisi yang tersebar di sejumlah media nasional, regional maupun lokal tak dicantumkan sehingga pembaca yang tak mengenal karya-karya Dahta akan merasa ahistoris membaca bukunya ini. Meski demikian, kalau kita sepakat mengabaikan kekurangtelitian ini, Ular Kuning pantas menjadi referensi untuk dibaca sebagai bekal menghayati jalan, jalanan dan perjalanan serta rumah dan kehidupan di dalamnya. Bukankah sesungguhnya kita adalah pengguna jalan, dan pada akhirnya kembali ke rumah masing-masing?

Febrie Hastiyanto, Pembaca buku dan penikmat puisi. Tinggal di Tegal Jawa Tengah


Sumber: http://horisononline.com, 8 Desember 2011

Lampung Tercatat dalam MURI Penabuh Gamolan Terlama

BANDARLAMPUNG - Lampung tercatat dalam urutan 5233 rekor muri penabuh alat musik Gamolan terlama yakni 25 jam, 25 group dan 25 gamolan.

"Kami tim Muri mencatat secara sah kepada warga Lampung yang telah menabuh alat musik Gamolan Lampung terlama selama 25 jam," kata Deputi Muri, Damian Awan Raharjo, di Bandarlampung, Kamis.

Alat musik tradisional yang dimainkan oleh siswa SMU negeri 2 Bandarlampung itu, berhenti pada pukul 11.05 wib.

Sementara dalam sambutan pemecah rekor muri penabuh gamolan sekaligus menyematan gelar adat pada peneliti gamolan asal Australia, Gubernur Lampung Sjahcroedin ZP, mengatakan akan mempatenkan alat musik itu sebagai salah satu alat musik tradisional yang berasal dari Waykanan, Lampung.

"Kami akan patenkan alat musik itu, supaya seluruh dunia mengetahui, bahwa alat musik itu asalnya dari Lampung," kata Oedin, panggilan akrab gubernur.

Dia juga mengatakan, bulan Desember, akan menggelar parade kebudayaan Lampung.

"Ketika semua orang berfikir untuk berlibur pada akhir tahun, nah, kita akan mengadakan pertunjukkan kebudayaan khas Lampung," katanya.

Gamolan merupakan alat musik tradisional lampung yang berasal dari Skala Brak, Lampung barat. Alat musik tersebut dibuat dari Bambu Betung, lalu dilaraskan menjadi pelog enam dengan nada do, re, mo, sol, la, si, do.

Alat musik itu juga dipakai untuk mengiringi sastra lisan dan tari. Gamolan yang diperkirakan berasal dari kata 'gamel' (sansekerta) yang berarti memukul dipakai oleh orang India, kemudian kata itu bergeser menjadi "gamolan" oleh bangsa Cina yang berarti berkumpul.

Kemudian, alat musik itu dipakai oleh orang Lampung untuk mengumpulkan orang. Gamolan diperkirakan diciptakan pada abad IV Masehi dan mengalami puncak perkembangan pada abad V masehi.

Menurut peneliti alat musik tersebut, Margaret, Gamolan adalah jenis alat musik Xilophone yang telah didatangkan dari Asia Tenggara sampai Afrika pada abad V Masehi. kemudian baru dilukis di Candi Borobudur pada abad VIII Masehi.

Sumber: Antara, Kamis, 8 Desember 2011

Margaret Mendapat Gelar Ratu Berlian Sangun Anggun

BANDAR LAMPUNG -- Majelis Pertimbangan Adat Lampung (MPAL) mengukuhkan Prof DR Margaret J Kartomi mendapat gelar adat Ratu Berlian Sangun Anggun, sebagai bentuk penghargaan masyarakat Lampung atas temuan alat musik Gamolan di wilayah itu.

Usai pengukuhan gelar adat tersebut, Margaret di Bandarlampung, Kamis, dikelilingi tokoh-tokoh adat Lampung sambil menari. tarian tersebut menunjukkan bahwa orang yang telah diberi adat, telah resmi menjadi bagian keluarga masyarakat di sana.

peneliti musik tradisional asal Australia itu mendapat gelar adat Lampung, karena dia telah melakukan penelitian alat musik tersebut sejak tahun 1983.

"Waktu itu, saya jalan-jalan ke Lampung Barat bersama suami saya, dan di sana saya mendengar alat musik itu dimainkan oleh penduduk setempat," katanya.

Bagi Margaret, alunan musik tradisional yang dimainkan oleh warga di sana, terdengar sangat indah. Hampir diseluruh dunia, tidak ada suara musik tersebut. Namun dia menemukan keindahan musik tersebut justru di Lampung.

"Saya sangat tertarik untuk mendalami alat musik tersebut, kemudian saya mengajukan penelitian terkait alat musik itu. Dan hasilnya, bahwa alat musik tradisional gamolan sebenarnya berasal dari Lampung," ujarnya.

Dia berharap, pemerintah dan masyarakat Lampung bisa ikut merasa bangga dan melestarikan alat musik tersebut sebagai salah satu alat musik tradisional Lampung.

"Saya senang, melihat anak-anak sekolah begitu antusias memainkan alat musik ini, dan saya berharap semoga pemerintah setempat segera patenkan alat musik itu, sebagai salah satu alat musik yang berasal dari Lampung," ujarnya.

Gamolan diperkirakan diciptakan pada abad ke-4 masehi dan mengalami puncak perkembangan pada abad ke-5 Masehi. Gamolan adalah jeni alat musik xilophone yang telah diekspor dari Asia Tenggara sampai Afrika pada abad ke-5 masehi. Relief gamolan dilukis di Candi Borobudur pada abad ke-8 Masehi.

Hipotesis Prof DR Margaret J Kartomi dalam bukunya 'musical Instrumen of Indonesia' mengatakan gamelan sekarang seperangkat alat musik, tapi merujuk pada alat musik tunggal zaman dahulu.

Dalam hipotesisnya itu, dia menyatakan alat musik tunggal itu hanya ditemukan di Lampung tepatnya di Lampung Barat dan Waykanan.

Sumber: Antara, Kamis, 7 Desember 2011

‘Gamolan’, Musik Lampung di Relief Borobudur

BANDAR LAMPUNG—Hari ini (8-12) gamolan Lampung bakal tercatat di Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) dalam kategori pertunjukan alat musik tradisional terlama. Sejak Rabu (7-12) pukul 10.00 hingga Kamis (8-12) pukul 11.00, sebanyak 25 grup menabuh gamolan tanpa henti selama 25 jam.

PECAHKAN REKOR. Sejumlah mahasiswa Unila bermain gamolan dalam Museum Rekor Dunia Indonesia di lapangan Korpri, Pemprov Lampung Bandar Lampung, Rabu (7-12). (LAMPUNG POST/MG3)

Pemecahan rekor Muri ini diharapkan bisa memperkenalkan gamolan kepada masyarakat dan pencinta musik tradisional untuk dilestarikan sebagai salah satu alat musik tertua Indonesia. "Saya senang ada yang mengangkat kembali gamolan Lampung karena ini adalah alat musik tertua Lampung. Saya pernah menelitinya pada 1980," kata Margareth J. Kartomi, penulis sekaligus peneliti gamolan Lampung, di lapangan Korpri, Pemprov Lampung, Rabu (7-12).

Profesor asal Universitas Monash, Australia, itu menjelaskan dia berkenalan dengan gamolan di Krui, Lampung Barat, tahun 1980. Gamolan yang ditemukan terbuat dari bambu, kayu, dan dimainkan dua orang. "Saya waktu itu dari Bengkulu bersama suami. Saya pikir itu sama dengan gamelan dari Jawa. Ternyata bukan, itu gamolan. Suaranya berbeda, lebih indah. Gamelan juga merupakan seperangkat alat musik, sedangkan gamolan hanya sebuah alat musik," kata wanita kelahiran 24 November 1960 itu.

Dia memprediksi gamolan ada sejak abad ke-3 Masehi karena tergambar di relief Candi Borobudur. Gamolan terdiri dari bambu dan kayu yang disebut kendang dan tawak-tawak. Alat musik ini, menurut dia, berasal dari perpaduan seni India dan China yang terbawa ke Lampung melalui Way Kanan. "Tapi dulu nadanya lengkap dari do re mi fa sol la si do. Tapi sekarang fa-nya hilang. Ini menarik untuk diteliti lagi," kata dia.

Di sisi lain, dosen Program Studi Seni Tari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung Hasyimkan mengatakan gamolan merupakan bagian kebudayaan Nusantara. Gamolan berasal dari kata begamol yang dalam bahasa Lampung sama dengan begumul atau berkumpul dalam bahasa Melayu.

Instrumentalia ini terdiri dari delapan lempengan bambu diikat bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan simpul di bagian teratas lempengan. Gamolan dan gamelan memiliki nama yang nyaris sama tetapi berbeda.

"Tangga nada gamolan Lampung berdasar arkeologi atau instrumen, yakni do re mi so la si do. Sedangkan gamelan Jawa slendro instrumennya do re mi so la si," kata dia. (LIN/U-1)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 8 Desember 2011

December 7, 2011

Lampung Gelar Tabuh Gamolan 25 Jam Nonstop

BANDARLAMPUNG -- Provinsi Lampung menggelar tabuh gamolan yakni alat musik dari bambu selama 25 jam nonstop dalam upaya memecahkan rekor MURI.

Acara pemecahan rekor Muri tabuh gamolan berlangsung di Lapangan Korpri Perkantoran Gubernur Lampung di Bandarlampung, Rabu, dibuka oleh Wakil Gubernur Lampung MS Joko Umar Said dan dihadiri peneliti gamolan asal Australia Prof Margaret J Kartomi.

Upaya pemecahan rekor Muri, gamolan itu dimainkan oleh 25 kelompok pemusik masing-masing memainkan alat musik tradisional itu selama satu jam.

Masing-masing kelompok terdiri atas 25 pemain untuk memainkan gamolan selama satu jam, kemudian disusul hingga grup lainnya dan seterusnya untuk memainkan alat tradisonal Lampung itu.

Kelompok pemain musik gamolan itu tidak hanya siswa sekolah tetapi juga mahasiswa. Ke-25 kelompok penabuh gamolan itu yakni PGSD Unila, STAH Bandarlampung, Prodi Tari Unila, SD Fransiskus Tanjungkarang, SD Kartika II, SD 2 Rawa Laut, SD Xaverius Telukbetung.

Kemudian SDN 1 Budidaya Lampung Selatan, SMPN 14 Bandarlampung, SMP Muhammadiyah Bandarlampung, SMPN 22 Bandarlampung, SMP PGRI 3 Bandarlampung, SMPN 16 Bandarlampung, SMPN 2 Bnadarlampung, SMPN 4 Bandarlampung, SMKN 4 Bandarlampung.

Selanjutnya, SMA Fransiskus Bandarlampung, SMA Perintis I Bandarlampung, SMAN 7 Bandarlampung, SMAN 1 Gading Rejo, SMAN 9 Bandarlampung, SMA Al Kautsar Bandarlampung, SMAN 1 Bandarlampung dan SMAN 2 Bandarlampung.

Permainan alat musik itu berlangsung Rabu (7/12) sejak pukul 09.00 WIB hingga Kamis (8/12) pukul 10.00 WIB.

Menurut peneliti gamolan asal Australia Prof Margaret J Kartomi mentatakan alat musik yang dimainkan itu berupa delapan lempengan bambu pada gamolan diikat secara bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan simpul di bagian teratas lempengan.

Gamolan dan gamelan menurutnya memiliki nama yang nyaris mirip tetapi berbeda. "Tangga nada gamolan Lampung berdasarkan arkeologi atau instrumen ialah do re mi so la si do.

"Keunikan alat musik gamolan tidak ada tangga nada `fa`," kata dia.

Sedang gamelan Jawa Slendro instrumennya ialah do re mi so la si," kata dia menambahkan.

Sumber: Antara, Rabu, 7 Desember 2011

Lampung akan Patenkan Alat Musik Gamolan

BANDARLAMPUNG -- Provinsi Lampung akan mematenkan alat musik gamolan sebagai budaya asli kesenian tradisional daerah itu.

"Lampung harus memiliki hak paten alat musik tardsional sebagai budaya asli daerah ini, sehingga tidak diakui oleh pihak lain," kata Wakil Gubernur Lampung MS Joko Umar Said, di Bandarlampung, Rabu.

Ia menyebutkan, alat musik gamolan berdasarkan keterangan peneliti asal Australia Prof Margaret J Kartomi diperkirakan sudah dibuat pada abad ke 4 Masehi.

Menurutnya, berdasarkan penelitian Margaret, alat musik tradisional tersebut berasal dari Lampung Barat dan Waykanan.

Alat musik itu lanjutnya, juga terdapat dalam ornamen candi Borobudur. Artinya alat musik gamolan itu lebih dahulu ada dibandingkan candi tersebut.

Masyarakat Lampung Barat dan Waykanan menurutnya, pada saat itu telah memiliki nilai kebudayaan yang cukup tinggi dengan menciptakan alat musik gamolan.

Di sisi lain untuk melestarikan kesenian tradsional lampung itu menurutnya, gamolan harus diperkenalkan kepada masyarakat luas terutama siswa sekolah.

Permainan musik gamolan katanya harus banyak ditampilkan sehingga masyarakat semakin mengenal alat musik tradisional tersebut.

Joko juga mendorong bupati dan wali kota untuk mengenalkan alat musik tradisional tersebut kepaad masyarakatnya.

"Di sekolah, pelajar juga harus mengenal gamolan dan bisa memainkannya, agar alat musik tradisional asli Lampung itu tidak punah," kata dia menambahkan.

Sementara itu, Dosen Program Studi Seni Tari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) Hasyimkan mengatakan, alat musik gamolan merupakan bagian kebudayaan nusantara.

Gamolan berasal dari kata 'begamol' yang dalam bahasa Lampung sama dengan 'begumul' dalam bahas Melayu artinya berkumpul.

Ia menjelaskan, delapan lempengan bambu pada gamolan diikat secara bersambungan dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan simpul di bagian teratas lempengan.

Gamolan dan gamelan menurutnya memiliki nama yang nyaris mirip tetapi berbeda. "Tangga nada gamolan Lampung berdasarkan arkeologi atau instrumen ialah do re mi so la si do.

"Sedang gamelan Jawa Slendro instrumennya ialah do re mi so la si," kata dia menambahkan.

Sumber: Antara, Rabu, 7 Desember 2011

December 5, 2011

Bupati Lampung Barat Ajak Pengusaha Promosikan Pariwisata

LIWA, LAMPUNG -- Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri mengajak pengusaha produk ternama nasional untuk menjalin kerjasama dalam mempromosikan pariwisata Lampung Barat.

"Pariwisata Lampung Barat sangat elok dan mampu memikat siapa saja yang melihatnya, keindahan alam tersebut mampu dijadikan sebagai objek pembuatan iklan produk ternama," kata Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, di Liwa, Senin.

Dia menjelaskan, terdapat beberapa produk ternama nasional yang turut andil mempromosikan pariwisata di beberapa daerah di Indonersia.

Menurut dia, sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional, daerah tersebut cukup pantas untuk mendapatkan publikasi baik media cetak, elektronik, maupun publikasi iklan produk.

"Saya melihat, produk jamu, rokok, dan makanan yang menggunakan icon pariwisata di beberapa daerah di Indonesia, dan melihat keelokan yang ditawarkan Lampung Barat ini, layak mendapat tanggapan dari pengusaha produk tersebut," kata dia lagi.

Bupati optimis, bila pariwisata Lampung Barat digunakan sebagai objek pembuatan iklan produk, optimis mampu meningkatan jumlah kunjungan wisatawan.

Kemudian lanjut dia, hingga kini pemerintah daerah terus mengencarkan promosi daerah di berbagai media, hal tersebut dilakukan agar keelokan alam tersebut dapat di nikmati masyarakat baik di dalam dan luar daerah.

"Saya berharap tawaran ini dapat ditanggapi oleh pengusaha produk yang konsen terhadap publikasi pariwisata di Indonesia salah satunya di Lampung Barat, dan berharap penawaran kerjasama ini dapat ditanggapi dengan cepat," katanya.

Lampung Barat menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Provinsi Lampung dan Nasional, setiap tahunnya tak kurang dari 100 ribu wisatawan asing berkunjung di daerah tersebut.

Lampung Barat memiliki panorama yang indah, seperti pantai, danau, bukit, air terjun, dan beberapa objek wisata lain yang dapat memikat siapa saja yang bertandang di daerah tersebut.

Potensi pariwisata di Lampung Barat belum tergarap optimal, sehingga membuat pemerintah daerah terus melakukan berbagai upaya promosi guna menawarkan keindahan alam tersebut kepada masyarakat nasional.

Kecenderungan pemerintah daerah mengajak pengusaha produk ternama disebabkan produk tersebut memiliki daya pikat cukup besar terhadap masyarakat, sehingga dengan ajakan tersebut target pemerintah daerah dalam mempromosikan pariwisata di Lampung Barat dapat tercapai maksimal.

Beberapa produk besar yang seperti jamu, muinuman, dan makanan layak mengandeng daerah tersebut untuk menjadi objek pembuatan iklan produk, sebab keindahan yang dimiliki Lampung Barat dapat menarik konsumen dan mampu menggenjot penjualan.

Pemerintah daerah berjanji untuk dapat memfasilitasi pengusaha produk untuk mempermudah kerjasama dalam memanfaatkan daerah tersebut dalam pembuatan iklan.

Beberapa wilayah yang layak dijadikan sebagai objek ikaln diantaranya, Pantai Tanjung Setia, Pantai Karang Nyimbor, jelajah alam hutan kawasa, kawasan danau Lumbuk, dan sungai Way Besay, dan beberapa tempat lain yang pantas untuk dijadikan sebagai objek iklan.

Sumber: Antara, Senin, 5 Desember 2011

December 4, 2011

Unila, Bahasa Lampung dan Multikultur

Oleh Didi Arsandi

SUDAH saatnya perguruan tinggi di Lampung—Universitas Lampung (Unila) utamanya—menempatkan diri sebagi poros bagi upaya-upaya pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Sebagai satu-satunya universitas negeri di Lampung, Unila dapat diposisikan secara strategis sebagai pusat kebudayaan Lampung, bukan sekadar pusat studi budaya Lampung.

Desakan itu mengapung dalam Bilik Jumpa Sastra-Budaya Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (Bijusa UKMBS) Unila dengan tema Peranan Universitas Lampung dalam pelestarian dan pengembangan bahasa Lampung di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), Sabtu (19-11) lalu.

Bijusa kali ini menghadirkan para narasumber, di antaranya Kepala Lembaga Penelitian Unila Admi Syarif, mantan Ketua Program Studi D-3 Bahasa Lampung Iqbal Hilal, dan peneliti bahasa Lampung Iing Sunarti dengan moderator Didi Arsandi.

Turut hadir dalam acara ini rekan-rekan dari berbagai lembaga kemahasiswaan seperti BEM KBM Unila, Cendikia FISIP Unila, UKPM Teknokra, KSS FKIP Unila, UKMBS UBL, UKMBS Teknokrat, UKM Senior Umitra, UKM SBI IAIN Raden Intan, juga dari rekan-rekan independen seperti Komunitas Berkat Yakin (Kober), Klub Pembaca dan Penulis Muda (KPPM) Lampung, dan beberapa penyair seperti Edy Samudra Kertagama, Fitriyani, dan Anton Kurniawan.

Iing Sunarti mengatakan kurangnya kebanggaan ulun Lampung dalam memakai bahasa Lampung antara lain disebabkan oleh kurangnya sarana pendukung bagi pengembangan kebudayaan daerah, kurangnya peminat penelitian tentang kebudayaan daerah, dan masih minimnya usaha pendokumentasian kekayaan budaya daerah. Di ruang-ruang publik perkotaan, misalnya, ulun Lampung sendiri masih sungkan atau malu menggunakan bahasa Lampung.

Kendala pengembangan bahasa Lampung, kata Iing, juga disebabkan kurangnya sarana pendukung seperti belum dibukanya Program Studi S-1 Bahasa Lampung, dan hingga kini pembelajarannya masih menempel pada Program Studi S-1 Bahasa Indonesia.

Dukungan pihak perguruan tinggi terhadap usaha penelitian bahasa Lampung oleh para peneliti S-3 sekali pun masih sangat minim. Fakta lain yang cukup ironis pada era multimedia informasi masa kini ialah masih minimnya usaha-usaha pendokumentasian kekayaan budaya Lampung bila dibandingkan dengan usaha-usaha daerah lain, khususnya di Pulau Jawa.

"Bila saya pulang ke Yogya, kemudian ada yang bertanya adakah di sini orang Lampung, saya akan acung tangan dan berkata sayalah orang Lampung. Bila ditanya lagi, bisakah Anda berbahasa Lampung, saya akan menjawab bisa meski cutik-cutik (sedikit-sedikit). Bagi saya, kebanggaan akan identitas diri sebagai orang Lampung adalah hal pertama yang harus dimiliki bila sudah menjadi penduduk di daerah ini. Saya tinggal di Lampung, maka saya menjadi orang Lampung," ujarnya dengan bersemangat dan disambut tepuk tangan para peserta Bijusa.

Perlu Upaya-Upaya Kreatif

Di sisi lain, Admi Syarief optimistis terhadap eksistensi dan perkembangan bahasa Lampung. "Saya enggan percaya terhadap prediksi yang mengatakan bahwa bahasa Lampung akan punah beberapa tahun lagi. Itu kacamata yang pesimis meskipun benar secara ilmiah. Saya selalu optimis bahwa bahasa Lampung akan selalu ada di daerah ini sampai kapan pun," kata penyusun Kamus Lengkap Bahasa Lampung ini.

Sesuai dengan kompetensi keilmuannya, yaitu multimedia dan teknologi informasi, Admi Syarief berupaya menemukan hal-hal baru, yang segar, untuk mendukung pengembangan bahasa Lampung, salah satunya pembuatan Kamus Bahasa Lampung-Indonesia dan Kamus Bahasa Indonesia-Lampung untuk menunjang pembelajaran bahasa Lampung. Tim peneliti Unila juga sudah berusaha membuat software bahasa Lampung untuk memudahkan pembelajaran bahasa Lampung melalui alat multimedia seperti telepon seluler atau internet. Khusus media internet, sudah disediakan situs web khusus yang menyediakan layanan kamus bahasa Lampung online, yakni di link http://kamus.lampung.cc.

Berkenaan dengan wacana pembukaan Program Studi Sarjana (S-1) Bahasa Lampung di Unila, Iqbal Hilal menjelaskan hal ini masih dalam tahap perencanaan, mengingat Unila masih menganalisis peluang lulusannya untuk dapat diserap oleh dunia kerja. Sebenarnya, pembicaraan serius mengenai hal ini sudah dilakukan Rektor Unila Sugeng P. Harianto dengan Ketua Komisi V DPRD Lampung Yandri Nazir di ruang senat Unila. Itu setahun yang lalu (Maret 2010).

"Mungkin kehadiran kita di sini, di forum Bijusa UKMBS Unila ini, sekadar mengingatkan kembali bahwa kita para pelaku dan peminat bahasa Lampung masih menunggu realisasi dari rencana tersebut. Dan saya optimis program studi S-1 akan dapat dibuka dalam waktu dekat," ujarnya.

Salah seorang rekan dari BEM KBM Unila menyinggung soal masih jarangnya penggunaan bahasa Lampung di daerah-daerah pelosok, khususnya yang dihuni masyarakat nonsuku Lampung. Di lingkungan tersebut, masyarakatnya masih lebih suka menggunakan bahasa etnis sendiri (misalnya Jawa, Bali, dan lain-lain) dalam percakapan sehari-hari terhadap sesamanya.

Menanggapi hal tersebut, agaknya Iing Sunarti, Iqbal Hilal, dan Admi Syarief sependapat hal itu hak setiap individu. "Meski demikian, sangat disayangkan bila seseorang yang menghuni suatu daerah enggan mengenal lebih dekat situasi budaya daerah tersebut, misalnya dengan mempelajari bahasa lokalnya," ujar Iing.

"Kita memang sepatutnya merayakan konsep multikulturalisme sebagai haluan hidup kita dalam bersosial di negeri ini. Lampung adalah provinsi yang sudah multikultral. Tapi semoga kita tidak lupa juga, kita orang Indonesia kan punya prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Saya orang Lampung asli, tapi kalaupun saya suatu saat menetap di daerah lain, saya pasti akan mempelajari bahasa lokalnya karena saya sudah menjadi bagian dalam masyarakat di daerah tersebut," ujar Admi Syarif yang diamini pembicara lain.

Peserta lain dari Cendikia FISIP Unila juga menyayangkan bahasa Lampung yang masih jarang dipakai dalam keseharian mahasiswa-mahasiwa di kampus Unila. "Kalau saja mahasiswa-mahasiwa Unila yang suku Lampung tidak minder, tidak malu menggunakan bahasa Lampungnya dalam percakapan sehari-hari, pasti para mahasiwa lain yang bukan dari suku Lampung perlahan-lahan akan tertarik untuk turut mempelajari dan menggunakannya."

Penyair Anton Kurniawan menambahkan, "Wacana semacam ini sudah sering berputar dari diskusi ke diskusi. Mungkin yang kita perlukan sekarang adalah langkah-langkah nyata, baik oleh pihak Unila sendiri maupun semua insan yang mengaku peduli terhadap pengembangan bahasa Lampung."

Menanggapi kedua hal ini, Iqbal Hilal mengusulkan gagasan pembentukan Komunitas Berbahasa Lampung (Kobala) di lingkungan Unila sendiri. "Jadi wacana pelestarian dan pengembangan bahasa Lampung tidak berhenti di tataran teoritis dan diskusi-diskusi belaka. Kita juga harus punya gebrakan-gebrakan segar yang konkret dan implikatif dalam upaya tersebut," ujarnya.

Iqbal Hilal juga berharap suatu saat pihak Unila membangun Sesat Agung di lingkungan kampus sebagai pusat studi budaya Lampung dan segala aktivitas kemahasiswaan yang sifatnya mendukung pelestarian dan pengembangan budaya Lampung itu sendiri.

Didi Arsandi, pekerja seni

Sumber: Lampung Post, 4 Desember 2011

[Refleksi] RD

Oleh Djadjat Sudradjat


SETIAP pribadi punya mimpi dan pesonanya sendiri. Dan setiap pesona juga punya cara untuk memancarkan marwahnya. Agaknya juga Rahmad Darmawan, nama yang tengah mencuat di langit sepak bola Indonesia. Rahmad, seorang pelatih, orang yang punya kuasa. Tapi, juga orang yang setiap saat siap dimaki secara terbuka. Berkuasa tapi juga siap dicerca. Dua kata yang memang kerap berdampingan bagi seorang pelatih.

Namun, Rahmad punya cara yang lentur mengelola kuasa itu. Ia tak menghardik anak asuhanya yang, mungkin, bermain tak apik. Ia juga tak menuduh mereka yang tak patuh. Ia terus meneguhkan spirit anak-anak yang rapuh dengan menggali potensi dan menata emosi yang, bisa jadi kerap berfluktuasi.

RD, demikian ia dipanggil, seperti galibnya orang-orang ternama disapa, dengan inisial huruf depan setiap kata, kadang juga akronim, atau yang lain, adalah pelatih-pendidik. Komunikasi dan bukan indoktrinasi, dialog dan bukan monolog, adalah andalannya dalam bekerja. Sebab, berkomunikasi bisa menggali potensi dan dialog memecahkan kejumudan aneka persoalan.

Dalam melatih, RD tak semata bicara bola, tapi bicara manusia, dan problem manusia sungguhlah kompleks. Tapi, ia membuka diri untuk anak asuhannya menceritakan urusan manusia yang kompleks itu, jika memang perlu soal pacar atau keluarga, misalnya. Ia paham, kitaran usia tim Garuda Muda, 18—23 tahun: usia yang dalam kacamata psikologi memang “rawan emosi”. Dan jika tak diatasi, bisa jadi kendala performa.

Menengok biodata RD, yang lahir di Desa Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah, 26 November 1966, adalah pemain tim nasional 1980-an dan 1990-an. Tapi, saya tak mendegar gema namanya di percaturan sepak bola Indonesia di kurun waktu itu. Mungkin juga karena saya bukan pemerhati bola. Berbeda dengan beberapa nama, seperti Ronny Patinassarani, Andi Lala, Nobon, dan Sutan Ricky Yakobi, yang akrab di telinga pada zamannya. Padahal, ia atlet plus: sarjana lulusan Fakultas Olahraga Kesehatan IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) dan tentara Angkatan Laut, kini berpangkat kapten (Marinir).

Tentulah latar belakang itu jadi modal penting menekuni kepelatihan. Selain di dalam negeri, ia menimba ilmu di Malaysia dan juga Jerman. Cerita sukses RD bisa dilihat jejaknya, antara lain membawa Persipura dan Sriwijaya FC juara. Tetapi, yang kian membuat namanya jadi buah bibir ketika timnya tampil mengesankan di laga SEA Games ke-26 yang baru lalu itu.

RD melambung bukan karena “keberhasilan” sesuai target, capaian yang jadi keharusan dalam dunia usaha, tapi karena ia dengan jujur mengatakan, ia pelatih gagal. “Saya gagal karena hasil Garuda Muda dalam SEA Games kali ini tak sesuai target. Target sepak bola Indonesia kan medali emas,” kata lelaki yang hobi bertopi itu. Oleh sebab itu, ia dengan rendah hati “menampik” upaya “promosi” untuk dirinya.

Yang “berhasil” dan yang “gagal” memang tak selalu beroposisi ekstrem, tetapi bisa juga lentur. RD memang gagal mempersembahkan emas, yang juga seolah-olah telah menjadi “harga mati” bagi para pencinta Tim Nasional, tapi kekalahannya atas Malaysia dalam laga final bukan kegagalan yang penuh. RD, yang rendah hati itu, memang tak “sukses” merebut emas, tetapi ia “berhasil” meracik talenta anak-anak muda menyuguhkan permainan yang impresif. Para penggila bola jadi penuh harap pada lelaki yang suka menyanyi ini. Ia diyakini punya potensi menghidupkan kembali sepak bola nasional yang selama dua dekade meredup.

***

SEPAK BOLA kini memang telah menjadi permainan yang lintas bangsa. Sudah sangat umum para pelatih tim nasional di berbagai negara dikomandani para pelatih dari aneka bangsa. Tapi, dalam konteks Indonesia, kepercayaan yang diberikan kepada RD kali ini punya arti penting. Setidaknya, pertama ia memperlihatkan tak semua yang luar negeri jadi jaminan mutu. Kedua, membangkitkan semangat percaya diri kepada apa yang disebut “dalam negeri”. Sebab, problem bangsa-bangsa jajahan, seperti kata para antropolog, mengidap kompleks inferioritas. Ia baru percaya diri jika luar negeri mengakuinya. Inilah senomania yang berpotensi meruntuhkan diri sendiri.

Saya kira jika diberi kepercayaan, RD adalah harapan sepak bola kita. Jawaban-jawabannya atas pertanyaan Lampung Post yang mewawancarainya di sela-sela persiapan laga di babak semifinal melawan Vietnam (18-11), membuat harapan itu tak berlebihan. Awalnya ia menyaring 50 pemain, umumnya mereka kalah bersaing dengan para pemain asing di klub masing-masing. Lalu dikerucutkan jadi 40, 27, dan terakhir 23 nama. Tapi, atas keinginan menjadi bagian untuk mengharumkan bangsa, para pemain minta 27 nama itu tetap dipertahankan. Dan RD dengan penuh haru setuju. “Kami ingin ikut menjadi bagian dari tim untuk bangsa ini,” kata para pemain seperti ditirukan RD. (Lampung Post, 20-11). Di tangan RD mereka jadi “berbunyi”.


Hanya tiga bulan RD menyiapkan timnya. Sementara kucuran dananya pun tersendat-sendat. Dalam kondisi seperti itu tak mungkin menyiapkan tim dengan syarat ideal. Rencana 16 kali uji coba, 10 dia antaranya laga persahabatan di luar negeri, hanya jadi mimpi. Laga di negeri orang hanya terlaksana tiga kali. Bandingkan dengan Malaysia yang mempersiapkan tim selama dua tahun dan kaya akan laga persahabatan. Bagi tim baru, pertandingan luar negeri amatlah penting untuk mengukuhkan mental. Bukankah urusan mental memang problem umum para etlet kita. Problem bangsa-bangsa bekas jajahan!

Tentu RD tak hendak berapologi, tetapi kenyataannya Indonesia memang dua kali dihempaskan Malaysia dalam SEA Games yang baru usai itu. Ada kemiripan suasana dan harapan publik kali ini dengan Piala AFF tahun lalu, ketika Indonesia begitu cemerlang mengalahkan musuh-musuhnya, tetapi pada akhirnya kalah dari dari negeri jiran itu. Kekalahan beruntun yang kian menyulut akumulasi emosi untuk membalas setiap kedua tim bertemu di masa datang.

RD benar, dalam soal apa pun, apalagi sepak bola, prestasi tak mungkin hadir dengan jalan pintas. Setidaknya ada empat hal yang harus mendapat perhatian khusus. Pertama, kualitas kompetisi harus lebih banyak dan skup lebih luas. Kedua, sarana yang lebih memadai. Ketiga, pembinaan pemain-pemain muda secara sistematis. Keempat, pendidikan untuk pelatih. Sementara di negeri ini seperti ada kecenderungan umum. ingin hasil bagus tanpa peduli prosesnya.

Mengenai bibit pesepak bola, Indonesia, kata RD, tanah yang subur, tetapi bakat-bakat itu kerap melisut. Ia tak menjadi buah karena tak diurus serius. Negeri ini begitu banyak pelatih, tetapi umumnya autodidak, dan tak bisa ikut mengembangkan olahraga yang berbasis ilmu. Biaya pendidikan kepelatihan memang mahal, dan seperti pengalaman RD, ia harus merogoh kocek sendiri ketika menimba ilmu kepelatihan di Jerman. PSSI harus mulai membiayai para pelatih muda yang bertalenta bagus untuk menjadi lokomotif sepak bola Indonesia yang penggemarnya luar biasa itu.

RD, yang tetap mencintai tanah kelahirannya, menyimpan obsesi membangun sekolah sepak bola di Lampung dengan kompetisi yang ketat. Beberapa tahun lalu ia pernah merintis kompetisi di kampungnya dan berjalan bagus, tapi tangan-tangan yang tak paham bola merusaknya. Ia pun mundur. Padahal, katanya, Lampung punya banyak bibit pemain bola yang bagus. Dari kampung RD saja kini ada beberapa pemain di PSSI Junior. Coba kalau ada upaya serius di banyak daerah.

RD, kini ia tengah dibutuhkan untuk kepentingan yang lebih besar: Indonesia. Selain menjadi pelatih Garuda Muda (juga Persija), ia juga masih menangani program Indonesia Prima dengan 900 siswa di Bandung. Mestinya para elite di Lampung memberinya apresiasi. Suatu waktu ia bisa “diberi tugas” membangun persepakbolaan Lampung yang lama tak terdengar itu.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 December 2011

Rahmad Darmawan: ‘Saya Ingin Membangun Sepak Bola Lampung’

PENAMPILAN tim nasional sepak bola di bawah asuhan Rahmad Darmawan menuai banyak pujian dari berbagai kalangan masyarakat di seantero Tanah Air, termasuk Lampung. Gegap gempita sepak bola seakan kembali melejit seiring dahaga kerinduan akan prestasi yang telah lama menghilang.

Di bawah kepemimpinan Rahmad Darmawan pula, berjuta harapan penggila sepak bola Tanah Air saat ini seolah kembali bangkit.

Semua bermula dari penampilan ciamik yang dipertontonkan Tim Nasional Garuda Muda U-23 di perhelatan SEA Games XXVI. Meskipun hanya berhasil meraih medali perak, banyak yang acungkan jempol terhadap pelatih bertangan dingin asal Lampung ini.

"Saya ingin dan punya cita-cita membangun sepak bola di Lampung," kata RD, panggilan akrab Rahmad Darmawan, saat ditemui di kediaman orang tuanya, di Desa Tanggulangin, Punggur, Lampung Tengah, Sabtu (3-12).

Namun, RD mengaku masih harus melihat secara proporsional, karena untuk waktu sekarang dia lebih sering berada di pusat. "Suatu saat, saya pasti akan mulai berpikir untuk melakukan upaya membangun sepak bola di Lampung, mungkin salah satunya saya akan membuat sekolah sepak bola di sini (Lampung, red)," ujarnya.

Sebenarnya belum lama ini RD sudah ada rencana mengisi coaching clinic sebagai upaya penyegaran pelatih untuk youth. Tapi kemudian Lampung terpaksa dibatalkan dan dialihkan ke Medan karena ada konflik kepengurusan di Lampung.

"Saya juga kaget, kenapa Lampung belum apa-apa saja sudah ribut. Prestasinya saja belum ada, sudah ribut saja," kata dia.

Menurut RD, langkah awal untuk menyelesaikan adalah konsolidasi. Tekankan bahwa sepak bola atau olahraga apa pun bukan untuk kepentingan siapa-siapa, tapi demi kepentingan pemain yang butuh payung hukum yang benar.

Setelah itu dengan suasana kondusif yang ada, tentu pemain juga akan enjoy dalam mengemban tugasnya. "Jika ribut begini terus, kasihan pemainnya," ujarnya.

Menurutnya, geliat kompetisi sepak bola di Lampung masih minim. Padahal setiap pemain sepak bola bisa berkualitas dan menjadi pemain hebat jika mengikuti jenjang kompetisi yang bagus.

Pemain tidak akan bisa hebat dari hanya sekadar berlatih. Setiap pemain sepak bola akan menjadi matang, jika terus berlatih, bertanding, evaluasi, kemudian kembali berlatih, bertanding, dan evaluasi lagi, dan begitu seterusnya secara konsisten. Jika berlatih saja akan untuk apa. (YAR/HER/O-1)

Sumber: Lampung Post, 4 Desember 2011

[Inspirasi] Variasi Hidup ala Nila Nargis

ORANG perlu kaya agar bisa membantu perjuangan agama dan tidak diremehkan orang lain. Filosofi itu yang mendorong Nila Nargis untuk membuka jaringan bisnis dan berwirausaha.

Meskipun profesi utamanya sebagai dosen, jiwa wirausahanya begitu kuat. Nila membuka bisnis katering, kemudian bisnis penyewaan tarup pernikahan, dan baru-baru ini membuka rumah makan di Telukbetung Utara.

Sebagai dosen Fakultas Hukum (FH) Unila, Nila tidak hanya mengajarkan mahasiswa tentang hukum. Dia juga menanamkan tentang nilai-nilai agama saat kuliah. Lulusan Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga mendorong mahasiswa untuk berwirausaha. “Asalkan kita mau usaha, pasti saja ada jalan untuk mendapatkan uang,” kata dia.

Mahasiswa yang ingin berwirausaha dibantu dan diberi jalan. Dia pun memberi jaringan dan jalan bagi mahasiswa yang mau berbisnis. “Kalau mahasiswa mau berbisnis, silakan datang. Apa yang bisa ibu bantu? Nanti ibu ada jaringan, silakan saja,” ujar Nila.

Terkadang, mahasiswa pun ada yang menjadi perantara untuk mempromosikan penyewaan tarup dan katering. Mahasiswa bisa mendapat fee bila bisa menawarkan tarup dan makanan. “Kalau mahasiswa mau, mereka bisa dapat fee hingga Rp700 ribu bila bisa mencari pelanggan jasa tarup dan katering. Pokoknya kalau memang butuh uang dari usaha sendiri mudah, asalkan mau,” kata dia.

Dalam mengajar mahasiswa, Nila menekankan pada aspek agama dan perbaikan moral. Sebelum mulai kuliah, mahasiswa diminta untuk membaca doa belajar bersama-sama. Para mahasiswa pun membaca doa dengan suara keras untuk memulai perkuliahan.

Bukan tanpa alasan Nila menekuni bisnis yang bukan menjadi bidang keilmuannya. Nenek satu cucu ini bercita-cita menjadi seorang miliarder. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan menadi miliarder. Hal yang akan diwujudkannya adalah membantu syiar agama. “Orang-orang yang bukan Islam saja kadang mau memberikan hartanya untuk keperluan agama. Masa yang muslim tidak mau memberikan uangnya untuk agama,” ujarnya.

Nila juga dikenal sebagai ustazah yang kerap memberi ceramah agama. Dia diminta untuk memberi siraman rohani kepada ibu-ibu di tempat-tempat pengajian atau masjid-masjid. Nila tidak mau dibayar setelah memberikan ceramah. Ceramah menjadi ladang amal baginya untuk membantu mensyiarkan agama.

Lulusan Fakultas Hukum Unila ini begitu bersyukur atas apa yang sudah diberikan Allah kepada dirinya dan keluarga. Nila merasa apa yang diminta kepada Tuhan sudah dikabulkan, misalnya dia minta untuk kuliah S-2 di UI atau UGM serta meminta suami yang baik dan saleh serta keluarga yang bahagia.

Nila merasa Allah sudah membantunya. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya dia beryukur dalam bentuk mensyiarkan agama. Bentuk syiar agama yang akan dilakukan Nila adalah menulis buku dan berceramah.

Istri dari Iwan Setiawan ini sudah menerbitkan buku tentang pesan-pesan agama pada tahun 2010. Pada tahun 2012, Nila berencana menerbitkan dua buku yang isinya tentang Muhammad dan sedekah. Membuat buku juga bertujuan agar pesan-pesan yang dia sampaikan tidak mudah dilupakan. “Apa yang kita sampaikan saat ceramah kadang mudah dilupakan orang. Tapi jika sudah dituangkan dalam tulisan, bisa terus diingat,” ujar wanita kelahiran Bandar Lampung ini.

Ibu tiga anak ini mengumpulkan banyak literatur tentang Muhammad untuk memperkaya tulisan. Bahkan, dia rela untuk mengeluarkan banyak uang demi mengumpulkan buku yang menunjang tulisannya.

Sebelum aktif menulis buku, Nila memang sudah dikenal sebagai penulis di beberapa media lokal. Tulisannya beragam, mulai dari masalah hukum, pendidikan, dan agama. Beberapa pihak memuji tulisannya, bahkan ada beberapa orang yang mengkliping tulisan Nila. Dari dukungan itulah dia berani untuk membuat buku.

Mantan dosen UBL ini berencana membagikan buku secara gratis untuk kepentingan syiar islam. Nila benar-baner makin religius. Apa yang dilakukannya tidak pernah lepas dari agama. Misalnya, saat membuka rumah makan, dia salat untuk memohon petunjuk. Setiap harinya, Nila bisa mengerjakan salat hingga 70 rakaat. “Selalu ada Allah dalam semua yang kita lakukan, termasuk dalam berbisnis,” katanya.

Menjadi pengajar, wirausaha, dan penulis memberikan keasyikan tersendiri bagi mantan dosen UBL ini. Hidup lebih bervariasi dengan melakukan banyak kegiatan dan menekuni beberapa profesi.

Mengajar menjadi ladang amal dengan mendidik anak orang yang artinya sama dengan didik anak sendiri. Menjadi wirausaha membuat diri lebih bebas dan bisa pergi ke mana pun.

Miliarder adalah cita-cita yang masih dikejar oleh Nila. Dia selalu berdoa agar agar Tuhan mengabulkan permintaannya menjadi miliarder. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan menjadi orang kaya. “Hal ini juga untuk menunjukkan bahwa saya memang punya dan tidak diremehkan mahasiswa. Kadang ada mahasiswa yang gampang memberi dosen dan berharap bisa dipermudah dalam mengurus nilai. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa saya punya semuanya, jadi tidak perlu lagi ada hadiah,” ujar mantan anggota KPU Lampung ini.

Mengajar, bisnis, dan penulis ditekuni dengan serius oleh Nila. Dia berprinsip bahwa semuanya harus dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh. “Jangan dilakukan dengan main-main. Nasib tidak dapat dimain-mainkan,” ujarnya. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, 4 Desember 2011