December 11, 2011

[Refleksi] Tokoh

Oleh Djadjat Sudradjat

TOKOH tak lahir dari papan reklame. Juga tidak dari lembaga-lembaga adat atau agama, lembaga kemasyarakatan atau institusi niaga, yang menahbiskannya lewat upacara yang takzim di panggung yang bergemuruh dan publikasi yang rancak. Tokoh dengan “T” besar justru kerap lahir dari ruang sepi dan publik tak memahaminya seketika. Ia tak meminta, melainkan memberi. Ia pertama-tama meneguhkan “kehormatan” untuk publiknya, bukan untuk dirinya.

Tetapi, tokoh dengan “t” kecil memang bisa lahir dari hasil kepandaiannya menjajakan diri di ruang yang ingar-bingar. Ia bisa membeli ruang dan publik agar “mendaulatnya.” Ia berharap dan berhitung akan sebuah panggung yang tak boleh membuat dirinya jadi tak sesuai. Ia risau jika keringatnya menetes dan sepatunya berlumpur tak tertangkap kamera media. Ia cemas jika makamnya nanti tak cukup dikenang banyak orang.

“Politik popularitas” yang kini tengah jadi rujukan di alam demokrasi kita yang tengah bertumbuh, memang tengah jadi tren di hampir seluruh aktivitas pemilihan. Publikasi dan reklame jadi institusi yang dianggap mampu melegitimasi seseorang layak dipilih, lalu ia diteguhkan melalui survei. Lembaga survei kini bahkan bisa jadi “alat produksi” (t)okoh. Politik kini berlomba “memproduksi” (t)okoh seperti pabrik memproduksi barang-barang manufaktur untuk kemudian dilempar ke pasar. Jika produk industri dalam menjaga kualitas diuji berkali-kali lewat mekanisme uji kualitas yang ketat, pembuktian (t)okoh dalam pemilihan, hanya bisa dilakukan setelah terpilih. Wajar jika kita kerap kecewa.

(T)okoh sejati umumnya tak peduli pada popularitas. Mungkin ia butuh, tetapi tak menempuhnya dengan cara dagang semata. Satu-satunya citra yang ia jaga adalah jika ia berjauhan dengan publik. Jika pun ia berharap ada apresiasi, ia persembahkan untuk publik yang membesarkannya. Sebab, dedikasi untuk sesama (manusia) atau masyarakat adalah dasar bekerjanya. Bukan pada pamrih. Prinsipnya adalah, tak ada “bungkus yang bisa mengalahkan isi”. Artinya, apa pun “bungkusnya”, “isi”-lah yang utama.

Tokoh kini tengah dibicangkan di sini. Siapa mereka, di mana ia lahir, apa yang mereka lakukan, di mana medan “pengabdiannya”, dan di mana dimakamkan? Sebuah perbincangan yang kini mungkin dianggap sementara pihak “aneh”, tetapi sebuah ikhtiar perlulah dihargai. Dari mana pun ikhtiar itu datang. Juga dari komunitas pers, misalnya.

Apakah tokoh dengan “T” (besar) perlu dicari? Jawaban yang tepat, mungkin, “hal-hal baik” termasuk dari (tokoh) itu perlu diwartakan agar –siapa tahu—bisa menginspirasi orang ramai yang galau mencari referensi. Bukankah sejarah juga kerap ditulis dengan banyak versi untuk mencari rekonstruksi yang paling dekat dengan faktanya? Yang pertama bisa jadi untuk kepentingan sejarah itu sendiri; yang kedua, ini yang terpenting, untuk kepentingan manusia melanjutkan kehidupannya.

Bukankah kita juga tengah mempertanyakan apa yang kita perbuat hari ini yang, serbaselebral, permukaan, dan meninggalkan substansi? Mungkin membincangkan tokoh adalah upaya untuk mencari substansi, bukan menghidupkan sesuatu yang telah “mati” orang-orang tertentu. Karena itu, kendati itu datang dari kehendak keluarga dan juga kelompok (tertentu), tetaplah ia perlu jujur dan objektif, dan berorientasi kepada publik yang lebih luas.

***

DI sini (Lampung), di manakah tempat orang-orang seperti Sulaiman Rasyid dan K.H. Rais Latief (kelahiran Lampung Barat), dua ahli fikih mumpuni di Indonesia pada zamannya; K.H. Gholib (lahir di Jawa Timur), ahli agama yang mengangkat senjata di Lampung; Raden Aria Taher Tjindarboemi (putra Lampung Tengah), tokoh pers terkemuka dan sahabat dekat pendiri Boedi Oetomo, Dr. Sutomo, yang terlibat dalam polemik kebudayaan dengan berbagai tokoh terkemuka; Raden Mohamad Mangoendiprodjo (kelahiran Solo) yang berjuang untuk Lampung dan menjadi residen pertama di wilayah ini? Di manakah Haji Abdoel Moeloek (kelahiran Sumatera Barat), yang menjadi “ikon” dunia kedokteran di Lampung; Gele Harun Nasution (putra Batak) yang jadi advokat pertama di Lampung, kemudian mengangkat senjata?

Di mana pula tempat Zainal Abidin Pagar Alam, pemimpin yang tegas, terbuka, dan berkali-kali menjabat bupati di berbagai daerah dan kemudian gubernur provinsi ini? Di mana tempat Tan Beng Seng (kelahiran Kotabumi), pengusaha berdarah Tionghoa tapi nasionalismenya tinggi dan menjadi pemasok logistik untuk para pejuang di Lampung? Di mana tempat Zulkifli Warganegara (kelahiran Natar), “tukang insiyur” pertama di Lampung –yang mengangkat senjata – dan menjadi inspirasi generasi sesudahnya meraih titel serupa?

Di mana tempat Hilman Hadikusuma (kelahiran Lampung Utara), yang mendedikasikan hidupnya pada dunia ilmu, profesor hukum adat yang mumpuni dan buku-bukunya jadi rujukan di banyak fakultas hukum di Indonesia? Di mana pula tempatnya manusia berdededikasi seperti Ny. Masnuna yang berkhidmat menggeluti sastra lisan Lampung, yang tak menarik bagi banyak orang? Di mana Imron Rosadi, “suhu” angkat besi/berat yang telah melahirkan begitu banyak atlet berkelas? Di mana Surono Danu, penemu benih padi unggul Sertani 1, yang hidupnya spartan itu? Deretan pertanyaan itu bisa amat panjang.

Biarlah tokoh punya banyak versi sejauh itu memang dibuat bagi sebuah jalan mencari substansi yang akan dipersembahkan bagi banyak orang. Beri tempat bagi siapa saja untuk mendokumentasikannya sejauh kriterianya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Termasuk yang dilakukan Lampung Post lewat buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung (2008). Ia boleh jadi tak sempurna, tapi bukan jalan sesat yang harus diberangus dan dinegasi. Toh, ada banyak pihak yang mendapat banyak inspirasi darinya.

Sekali lagi tak ada versi tokoh yang sempurna. Termasuk tokoh para penerima Hadiah Nobel yang dianggap amat prestisius itu. Juga buku Michaeal H. Hart yang mendunia (Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (1978): ada protes di sana. Bukankah sekian banyak buku para ahli juga menyulut debat yang tak putus-putus. Begitulah hakikat ilmu: berkembang karena selalu ada pergumulan tesis, antitesis, dan sintesis.

Sebuah versi (tokoh) adalah sebuah gagasan. Secara ekstrem penulis Elbert Hubbard mengatakan, “Sebuah gagasan yang tidak berbahaya sama sekali tidak pantas disebut gagasan.” Terlebih, buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung tak berbahaya dan tak menyesatkan. Ia mungkin–serupa produk pers—bukanlah kebenaran, melainkan sebuah upaya mencari “kebenaran”. Setidaknya, ia bermanfaat sebagai informasi awal bagi banyak pihak (khususnya sejarawan atau siapa pun) di Provinsi Lampung yang ingin “mencari” para pelaku “cerita” di banyak bidang: tokoh atau bukan. Setidaknya, ia telah menjadi barang cetakan yang tersedia dan portable (bisa dijinjing ke mana suka), membantu kerja selanjutnya.

Bagaimana orang-orang yang hanya menumpang lahir tapi berkiprah di luar Lampung (nasional ataupun internasional)? Ah, mestinya dalam konteks kebangsaan, orang-orang seperti ini sudah otomatis diakuinya dengan kearifan dan rasa hormat. Bukankah orang-orang Lampung semestinya berterima kasih kepada tokoh-tokoh ini, yang karena “tugas” (terlebih lagi tugas negara), tak sempat secara fisik “berjuang” di tanah kelahirannya. Tetapi, di mana pun ia, setidaknya inspirasinya terus bergema bagi kita semua.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Desember 2011

No comments:

Post a Comment