June 1, 2014

[Lampung Tumbai] Lampung dalam Catatan Kern

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, tinggal di Belanda

Sawah di Metro, 1935 (KITLV, Leiden)
KEPALA marga bukanlah pemimpin-pemimpin absolut. Dalam pengambilan keputusan, mereka selalu bermusyawarah dengan penyimbang dan warganya. Bahwa Belanda hendak berlaku seolah kepala-kepala adat itu tidak ada dan tidak mengakui keberadaan mereka, menurut R.A. Kern, aneh sekali mengingat surat-surat resmi Hindia Belanda justru masih terus menyebut-nyebut kepala marga. Memang, sejak 1857, segala sesuatu dilakukan untuk melucuti hak masyarakat atas pranata-pranata sosial dan politiknya.

Sebelum 1870, kekuasaan marga atas pendayagunaan tanah—kekuasaan inilah yang terutama memberikan kekuatan politik kepada kepala marga—dikesampingkan oleh residen dengan suatu peraturan. Peraturan itu menentukan bahwa batas dusun tidak melebihi 4 paal (1 paal = 1.851,85 meter) dan batas dusun yang lebih kecil tidak melebihi 2 paal. Tak ada lagi pengakuan terhadap tanah marga. Siapa pun bebas membangun rumah, membuat ladang dan meramu hasil hutan. Perubahan ini memungkinkan orang yang bukan warga marga—seperti orang dari Palembang dan Jawa—dapat semena-mena menggunakan tanah yang tadinya termasuk dalam wilayah marga tertentu. Namun, warga marga nyatanya tetap memperhatikan pembagian wilayah marga (yang tradisional) dalam pembudidayaan tanah.