September 29, 2012

Jokowi Amalkan Kentut Ki Semar

Oleh Tandi Skober


BENARKAH taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Tanda tanya Tandi ini meluncur pada sebuah diskusi "secangkir kopi buat Indonesia" (23-9) di kedai depan Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Bisa jadi memang begitu itu. Jokowi telah mematematika kearifan kultural sebagai teologi kerakyatan. Heriditas pesona personality yang bertasbih pada jiwa rakyatlah yang membuat Jokowi dihalalkan duduk di mobil berpelat nomor B-1. Ia tahu bahwa, "All political theology, should be no more and no less than folk political theology, political theology of the people." (C. Song, 1982). Artinya: Semua teologi politik seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat.

Tersebab itu, tidak aneh meskipun Fauzi Bowo memiliki kekayaan Rp59,3 miliar, didukung koalisi parpol segede gajah, berhiaskan kumis yang selalu disemir hitam dan citrakan diri sebagai sosok muslim istikamah, toh pada Pilkada Jakarta, Kamis (20-9), ambruk dikalahkan Joko Widodo dengan score 45,89% berbanding 54,11%. "Kumis di hari kamis tidak bagus dijadikan arena zero sum game pilkada," tuturku di hadapan peserta diskusi. Tapi Foke tidak juga mau mengerti. Bahkan diyakini bahwa jiwa manusia Jawa memosisikan kumis?rambut yang tumbuh di atas bibir di bawah hidung itu?sebagai simbol pria perkasa sekaligus tetenger sejatining drajating praja. Ia membuntuti pikiran bos Parpol Demokrat SBY. Timur Pradopo jadi kapolri disebabkan memiliki kumis melintang. SBY pada 2004 memilih Jusuf Kalla untuk melenggang ke istana disebabkan kumis tipis Kalla mirip Charlie Chaplin yang kerap disebut sebagai kumis politik pembawa berkah. Lantas ketika tahu Joko Widodo tidak berkumis, kian dipertebal pula kumis Foke.

Ah, Foke, andai dikau berteman daku juga Udo Z. Karzi di Facebook, pasti taulah bahwa tragedi kumis Foke di hari Kamis sudah diprediksi akan menjadi kartu mati Pilkada DKI. Tapi nasi sudah menjadi tai, mustahil dipungut ulang untuk dimakan. Yang bisa dicermati bahwa Jokowi tiap kali buat testimoni selalu diawali dengan tertawa hehehe usai itu lontarkan aksesori orasi yang cerdas. Tertawa hehehe Jokowi adalah presentasi kultural bercirikan kerakyatan khas wayang Semar sedang lontaran testimoni cerminkan aura negara batin Mamak Kenut. Terus? Kami peserta diskusi bersepakat bahwa wajah Jokowi mirip banget dengan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 bernama Udo Z. Karzi. "Simak, wajah tirus bertubuh kurus Jokowi cerminkan lelananging jagad yang mengadop frasa budaya Solo "cegah dahar kalawan guling," ucap saya yang disambut dengan tepuk tangan meriah.

Dalam arti lain, Jokowi kibarkan jargon teologi kultural yang berbasis pada hasrat steril akar rumput. Ini bisa dilihat ketika ada tetes eces di sudut bibir Jokowi saat melahap nasi bungkus. Hal ini paling tidak menjadi cerita citra kesalehan sosial akar rumput yang mengesankan. Bahkan ketika Jokowi tahu persis jerit tangis rakyat saat Pilkada Solo, ia ogah membalihokan gambar diri. Kenapa? Sebab rakyat tidak butuh gambar dan sesumbar. Rakyat itu butuh sandang, papan, pangan, dan udud.

Tapi itu sudah! Semua serba salah kaprah, Foke! Frasa lama Jawa ingatkan bahwa "Lanang lirlanangira yen tinemu kumis apes kamis wekasan". Lelaki akan kehilangan kelakiannya bila kumis di hari Kamis dijadikan simbol politik kekuasaan. Kumis di hari Kamis disarankan hanya untuk pemanis hubungan seksual di sebuah kamar harum bersama istri hingga fajar subuh menjelang. "Malam Jumat adalah malam ibadah menunaikan hajat kumis," tulis saya di Facebook.

Usai itu, Jumat pagi, sang pemilik kumis layak mengadop amalan Kanjeng Nabi Muhammad saw. seperti diriwayatkan Bukhari bahwa ada, "Lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku."

Kumis ?Baplang?

Itu sudah! Sebagai sesama lansia tak elok kumis dipelihara, diplintir-plintir agar dilirik rakyat. Emang sih, kumis dalam perspektif teologi kultural Darma Ayu, Cirebon pertengahan abad ke-16, juga pernah menjadi tetenger dealetika demokrasi manunggaling kawula gusti. Era itu, ada pergulatan yang memetafor kumis sebagai kesatuan substansional suara kawula adalah suara gusti. Gusti yang berkumis dan kawula klimis selayaknya memanunggal lir manis kalawan madu manunggaling kawula-gusti. Kawula adalah rakyat dan gusti adalah Tuhan. Ikhwal ini bersebrangan dengan mindset penguasa saat itu yang memosisikan penguasa sebagai emanasi Ilahiah bersifat otonom dan tunggal. Dengan begitu, mustahil gusti berkumis dan kawula klimis menjadi satu kesatuan emban ingemban selawase.

Pengusung jargon yang bertentangan dengan mindset penguasa bernama Kantong Bolong. Seperti Mamak Kenut di Lampung, narasi sejarah Cirebon menuturkan bahwa Kantong Bolong adalah personifikasi nagara batin di hamparan akar rumput Dermayu. Ia memiliki kumis baplang?tidak jelas apakah Mamak Kenut juga berkumis? ia juga bersuara serak-serak basah berwajah aneh yang ngangenin. Disebabkan itu kumis Kantong Balong menjadi idola di dataran akar rumput. Kenapa? Kantong Bolong mendekonstruksi orientasi duniawi ke ruang steril ukhrawi. Ia tuding saudagar yang kuasai Pelabuhan Cimanuk adalah bayang-bayang mentalitas tak terpuji. Salah satu dari cacat besar sekaligus beban berat saat menyebrangi sirotolmustakim adalah wong ati saudagar.

Dari perdebatan antara penguasa dan Kantong Bolong inilah muncul teologi kerakyatan bahwa hanya suara rakyat yang bisa menentukan siapa yang layak menjadi penguasa. Hanya Kantong Bolong yang berkumislah yang layak menjadi demang Darma Ayu. Demokrasi kawula gusti ini menjadi pembicaraan di kalangan kasultanan Ceribon. Tersebab itu, Kesultanan Ceribon mengutus Nyi Endang Darma Ayu untuk membenahi kalbu rakyat Cimanuk. Maka peradilan kumis Kantong Bolong pun digelar. Nyi Endang paparkan bahwa suara rakyat bukan suara Tuhan tapi pada posisi tertentu adalah suara hantu. Mayoritas umat manusia pada zaman Nabi Nuh as. menentang dakwah nabi Nuh as., zaman Nabi Isa as. menentang dakwah Nabi Isa as., juga di era nabi Muhammad saw.. Artinya, suara mayoritas rakyat malah bertentangan dengan ajaran Tuhan.

Kantong Bolong kian terpuruk. Terlebih lagi saat Nyi Endang paparkan hanya Ahlul Halli wal ?Aqdi, yaitu kalangan ulama, ahli fiqih dan orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing yang mampu menempatkan siapa menduduki kursi apa. "Kumismu itu kumis ikan lele, Ki Sanak Kantong Balong," ujar Nyi Endang, "Hal aneh ketika bumi dicacah kuasa dan memutuskan kerumitan dengan cara menyembah pada pendapat banyak manusia. Ini lakon ling lang lung. Sebab, kebanyakan manusia itu bersepakat di atas kekufuran kepada Allah swt.. Mereka merekayasa fajir dan dhalim sebagai kesepakatan yang tidak terjelaskan."

Kumis Umbel

Kantong Bolong kalah! Ia duduk ngelemprak di hadapan Nyi Endang Darma Ayu. Ia menyayat ujung hidung. Darah Kantong Bolong membasahi jaringan kumis dan menetes ke tanah tiap kali Kantong Bolong paparkan esensi dari demokrasi kawula gusti. Sayatan darah merah itulah yang menjadi cikal-bakal berdirinya pedukuhan Lemah Abang (Tanah Merah) Sekober Indramayu.

Adakah pada Kamis (20-9), kumis dikau pada hakikatnya mendaur ulang kumis Kantong Bolong, wahai Foke? Benarkah taman pikir Jokowi bernuansa alur zikir Mamak Kenut, berbalut kentut Ki Semar mesem? Saya hanya angkat bahu! Sebab, narasi sejarah kabarkan bahwa sejak kumis Kantong Bolong memble di hari kamis, sejak itulah muncul rintihan macapat berbunyi "Benjing amenanging kala tida, wong duwur dadi umbul-umbul, wong cilik tengal-tengul nyedoti kumis umbel, brebes milih tetangisan."

Tandi Skober, budayawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 september 2012

Rancage Mamak Kenut

Oleh Tandi Skober


HADIAH sastra rancage made in Pasundan entah kenapa tak pernah mletek di tanah Cerbon Dermayu. Padahal ada banyak pemahat kata berkacamata sastra yang layak diayak untuk menjadi penerima rancage. Sebut saja Ahmad Subhanuddin Alwy, Nurdin M. Noer, Supali Kasim, Sumbadi Sastra Alam, Masduki Sarpin, dan Ipon Bae.

Yang memedihkan, ketika rancage lebih melirik sastra Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo Z. Karzi untuk dianugerahi Hadiah Sastra Rancage 2008. Jadi wajar ketika ada sastrawan Cerbon yang enggan disebut namanya berurai airmata, nelangsa, "Aja mujur ngalor sedurung tinemu mleteke rancage!" (Jangan dulu dikubur menghadap kiblat sebelum mendapat hadiah sastra rancage).

Adakah ini pertanda duka sastra ketika Cerbon selalu terposisikan sebagai anak haram budaya? Bisa jadi, memang begitu itu. Tapi menjadi lain ketika saya membaca Mamak Kenut (2012) karya sang peraih hadiah sastra Rancage itu. Adalah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z. Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf... tidak berakal.

"Hmm, luar biasa, luar dalam," ucap saya untuk diri saya sendiri.

Kenapa? Udo mampu memetakan pulau-pulau keterasingan ketika kekuasaan (baca Jakarta) bertiwikrama menjadi puncak menara gading yang angkuh, gelo, dan lugu. Mamak Kenut adalah kritik akar rumput, ludah yang muncrat-muncrat sekaligus sejenis kesunyian yang meletihkan. Harap maklum, "Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa --Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita-- diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lir ambune njabah kelir lakon (Sejatining kritik akar rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa). Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar makruf nahi munkar yang hukumnya fardu kifayah. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil." (QS. Almaaidah: 8)

Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang hak kritik akar rumputpun dialirkan. "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."

Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z. Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan kritik akar rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara.

Sebut saja 'orang bersih', 'politisi olahraga', 'kapasitas', 'biasa saja', 'musyawarah-mufakat', dan entah apalagi. Peraih hadiah sastra Rancage 2008, Udo Z. Karzi, secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus --mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977-- sejenis pergulatan kultur tersembunyi yang sukar ditangkap oleh orang lain.

Tak pelak, kritik akar rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Imanuel Kant menyebutnya sebagai das ding an sich (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). Das ding an sich ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana rsuara tanpa rupar yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, Kritik akar rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.

Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok yang seolah-olah masuk akal. Abstraksi realitas ini memosisikan kritik akar rumput sebagai mikroskop steril yang futuris.

Artinya, seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, The Sociology of The Future (1973: 8), "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."

Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Jadi, tak aneh apabila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling bersebrangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.

***

Aneh atau tidak, kritik akar rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jati diri menjadi sosok cleptocracy yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, kritik akar rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."

Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal tahun terakhir.

Emang sih, kritik akar rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir Indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel nurudin (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.

Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya kritik akar rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.

Tandi Skober, budayawan, penulis, sastrawan

Sumber: Galamedia, Jumat, 28 september 2012

September 23, 2012

Kritik Akar Rumput Mamak Kenut

Oleh Tandi Skober


KRITIK Akar Rumput itu bernama Mamak Kenut. Sebuah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf tidak berakal. Soalnya, kekuasaan (baca Jakarta) pada puncak menara gading, konon sejenis kesunyian yang meletihkan.

Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa—Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita—diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. “Lir ambune njabah kelir lakon” yang bermakna sejatining Kritik Akar Rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa.

Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar ma’ruf nahi munkar yang hukumnya fardhu kifayah. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil ” (QS. Al-Maaidah[5]: 8)

Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang Hak Kritik Akar Rumput pun dialirkan "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."

Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z.Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan Kritik Akar Rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara. Sebut saja ‘Orang Bersih’, ‘Politisi Olahraga’, ‘Kapasitas’, ‘Biasa Saja’, ‘Musyawarah-Mufakat’ dan entah apalagi. Dan, peraih hadiah Sastra Rancage 2008 Udo Z Karzi secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus—mengutip Edward T. Hall," Beyond Culture", 1977— sejenis pergulatan 'kultur tersembunyi' yang sukar ditangkap oleh orang lain.

Tak pelak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar Rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Dan Imanuel Kant menyebutnya sebagai ‘Das Ding an Sich’ (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). "Das Ding an Sich" ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana 'suara tanpa rupa' yang mustahil bisa membaca.

Tak pelak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.

Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok 'yang seolah-olah masuk akal'. Abstraksi realitas ini memosisikan Kritik Akar Rumput sebagai mikroskop steril yang futuris. "Artinya," seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Dan, memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, "The sociology of the future" 1973: 8, "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."

Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo Z Karzi mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. Roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Maka tak aneh bila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling berseberangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance" diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.

***

Aneh atau tidak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jatidiri menjadi sosok "Cleptocracy" yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, Kritik Akar Rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini. Dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."

Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal 'tahun terakhir'.

Emang sih, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel "nurudin" (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.

Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya Kritik Akar Rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau, tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.

Bandung, 21 September 2010

Tandi Skober, penasihat budaya Indonesia Police Watch

Sumber: Waspada, Minggu, 23 September 2012

Lampung dalam Reportase J. Pattullo & Capt. Jackson

Esai Arman A.Z.


BUKU Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka yang disusun Anthony Reid, terbitan Komunitas Bambu (2010), memuat reportase atau catatan perjalanan sejumlah penjelajah barat yang pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumatera antara abad ke-9 hingga abad ke-20. Anthony Reid, yang sejarawan dengan spesialisasi sejarah Asia Tenggara, memang tertarik dengan Sumatera.

Menarik, melihat situasi dan kondisi Sumatera kala itu; aspek sosial, agama, budaya, politik, dan seluk-beluk sejumlah daerah di Sumatera, dari perspektif orang-orang dari negeri atas angin.

Sejumlah reportase mereka kemudian menjadi dokumen vital bagi rekonstruksi sejarah Sumatera, khususnya catatan perjalanan pra 1850. Hanya dua orang asli Sumatera yang dimuat kesaksiannya dalam buku ini, yaitu Tan Malaka dan Muhammad Radjab.

Taprobane, Rami atau Ramni, Azebai atau Azebani, Lameri, Swarnadwipa, Indalas atau Andalas, Sobormah, Samandar, Zamatra, Zamara, Java Minor, dan Ophir adalah sejumlah variasi nama bagi pulau yang kini dikenal sebagai Sumatera.

Pulau ini memang menarik minat penjelajah atau penulis masa silam untuk menuliskan segala sisik melik di dalamnya. Demikian pula dengan mereka yang tulisannya termaktub dalam buku Sumatera Tempo Doeloe.

Sayang, buku setebal 400 halaman ini tak satu pun memuat ihwal Lampung. Yang dominan dibahas dalam buku ini adalah Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Nias. Memang sangat sedikit, bisa dibilang langka, catatan perjalanan orang-orang barat yang pernah singgah di Lampung di abad-abad silam.

Sesungguhnya ada reportase dari dua penjelajah yang mengunjungi Lampung pada abad 18, tepatnya ke Danau Ranau dan Way Tulangbawang. Kedua catatan perjalanan ini bisa ditemukan dalam buku Malayan Miscellanies vol II, terbitan Sumatran Mission Press, Bengkulu 1822.

Mungkin Reid memiliki pertimbangan sendiri hingga tidak memasukkan dua reportase ini dalam buku STD.

Catatan perjalanan pertama berjudul Account of a Journey To The Lake of Ranow In The Interior of Kroee In 1820, yang ditulis J. Pattullo. Catatan kedua, ditulis oleh Captain Jackson, berjudul Course of The Tulang Bawang River, In The Eastern Coast of Sumatra, Extracted From The Journal of Capt. Jackson, of The Brig Tweed, 1822.

Pattullo memulai perjalanannya dari Krui, malam 19 September 1820. Ia sempat menginap di Dusun Uluh (ejaan lama). Tak dijelaskan secara perinci jumlah rombongan Pattulo kala itu. Hanya tertera seorang rekannya yang turut dalam perjalanan, bernama Mr. Beasley.

Dalam reportasenya, Pattullo juga menginventarisir populasi penduduk di sekitar Danau Ranau dan Liwa kala itu. Data itu mencakup jumlah rumah, jumlah pria dan wanita, juga keluarga. Total penduduk di sekitar Ranau kala itu sekitar 1.500 lebih.

Sementara populasi penduduk di Liwa yang didata Pattullo hampir 1.500, dengan asumsi tambahan sekitar 500 penduduk sedang berada di ladang. Kalimat yang cukup menarik dan bisa ditelisik lebih jauh validitasnya, seperti: Lewah is governed by a pangeran and twelve proatteens, who are in alliance with the Honorable Company.

Istilah-istilah kuno untuk suatu daerah juga merupakan peninggalan budaya dari suatu masa yang jauh. Dalam jurnal Pattulo ada banyak nama daerah dalam ejaan lama.

Sejumlah tempat yang dilewati atau dilihat Pattulo, seperti Tubbah Pituh (Gunung Tujuh), Lumboh (Lumbok), Dusun Sourabaya, Dusun Suhubye, Sungai Waye Assat, Warkie, Sukow atau Socow (Sukau), Ranow (Ranau), Gunung Si Menung (Seminung), Dusun Wallah di Banding, Gunung Chukut Lioh Kichil, gunung Chukut Tambur, gunung Chukut Lioh Gadang, Lewah (Liwa), Pulo (Pulau) Pisang.

Selain beberapa lokasi di atas, Pattulo juga mencatat nama-nama dusun di Ranau kala itu: Lumboh, Ranow, Sourabaya, Banding Auging, Warku, Tanjong Jatie, Suhubye, Padang Ratoo, Ungkusa, Pila, Gadong. Lima dusun terakhir dibuat berdasarkan perkiraan rata-rata.

Dusun Banding Auging merupakan penyatuan Dusun Negri dan Pendaggang, dengan tujuan mempertahankan diri dari serangan Makakows (?). Sementara nama-nama dusun di Liwa kala itu: Bumi Agong, Surubaya, Kasugihan, Paggar, Negri, Perwatta, Banding, Waye Mengaku, Tanjung, Gadong, Sungie, dan Genting. Beberapa nama daerah tersebut mungkin saja sudah berganti nama seiring zaman.

Reportase Captain Jackson bertitimangsa 24 Juli 1820. Ia membawa rombongan beberapa perahu dan sampan berisi peralatan. Jackson mengungkapkan pengalamannya menyaksikan sekitar dua ratusan gajah liar, juga macan, yang ditemuinya dalam perjalanan.

Daerah-daerah di sekitar Sungai Tulangbawang yang tertulis dalam catatan Capt. Jackson, antara lain Kampung Labboo, Negeri Parooan, Oojong Goonong, Manjab, Tenjening, Boomi Agong, Bagarding, Barouan, Goonong Trang, Kerterjis, Rombiu, dan Paronas.

Selain menuliskan proses pernikahan penduduk Lampung kala itu, Jackson juga menjelaskan bagaimana proses perkelahian atau balas dendam di antara kaum lelaki. Ada pula kalimat menarik yang ditulis Capt. Jackson mengenai penduduk Lampung dibanding penduduk Melayu di daerah lain: "The natives of the Lampong country about the banks of the river Toolang Bawang are generally speaking of a moderate stature, well made and their countenances much more pleasant than the generality of Malays."

Sulit melacak lebih jauh biografi J. Pattullo dan Captain Jackson. Namun, merujuk tahun penulisan reportase itu, kemungkinan besar mereka berasal dari Inggris kala zaman EIC, sebelum Belanda dan Inggris tukar guling Malaka dan Bengkulu.

Reid dalam pengantar buku STD mengingatkan agar pembaca bersedia untuk terus mengeksplorasi literatur-literatur mengenai Sumatera, dan yang paling penting adalah mengeksplorasi realita, yaitu Sumatera itu sendiri. Apa yang dikatakan Reid ada benarnya, dan bisa diperkecil ruang lingkupnya pada daerah Lampung.

J. Pattulo dan Captain Jackson memang tak seterkenal penulis masa silam yang reportasenya termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, apatah lagi seperti William Marsden yang bukunya, History of Sumatra, masih jadi rujukan mereka yang tertarik mengetahui Sumatera masa silam.

Mungkin saja reportase Pattullo dan Jackson tentang Lampung abad 18-an ini tak menarik di mata Anthony Reid untuk disertakan dalam buku Sumatera Tempo Doeloe. Mungkin juga tak ada gunanya buat masyarakat Lampung saat ini yang kian abai pada sejarah.

Namun, hemat saya, reportase atau kesaksian J. Pattullo dan Captain Jackson, meskipun tampak sepele, tentulah berharga sebagai bagian dari sejarah panjang Lampung. Ia semacam potret Lampung tempo dulu.

Bisa menambah referensi tertulis tentang Lampung selain yang telah banyak diketahui umum. Reportase mereka dapat pula menjadi rujukan melihat Lampung masa silam lewat perspektif orang luar Lampung, tepatnya orang-orang dari negeri atas angin.

Arman A.Z., pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2012

September 22, 2012

'Terasing di Negeri Sendiri' segera Cetak Ulang

BUKU Terasing di Negeri Sendiri yang diterbitkan oleh Indepth Publishing mendapatkan tanggapan yang baik dari para pembaca, sehingga disiapkan untuk dapat segera dicetak ulang, kata penerbit buku ini.
   
Managing Director Indepth Publishing, Tri Purna Jaya, di Bandarlampung, Sabtu, menjelaskan, sebanyak 1.000 eksemplar buku ini telah habis dalam waktu tiga bulan setelah diluncurkan.
   
Tri menjelaskan, penulis buku itu, Oki Hajiansyah Wahab, kini tengah menyiapkan revisi untuk penerbitan edisi kedua sebanyak 2.000 eksemplar.
   
Buku yang juga telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dengan judul "Alienated in Their Own Homeland" dan didistribusikan untuk pembaca di beberapa negara ini, akan direvisi sesuai dengan masukan dari para pembaca.

Dalam edisi revisi ini, kata dia, penulis diminta menyederhanakan gaya penulisan ilmiah populer sehingga dapat lebih bisa dicerna publik, dan juga menampilkan lebih banyak foto.
   
Menurut penulis buku ini, Oki Hajiansyah, hasil penjualan edisi perdana buku ini berhasil membantu pembangunan Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Moromoro, Mesuji, Lampung.
   
Sama seperti edisi perdana, cetakan kedua buku ini, juga akan dibuat dalam dua edisi, yakni Bahasa Indonesia dan Inggris, katanya.
   
Ia berharap, penjualan edisi kedua juga akan dapat berkontribusi bagi pengembangan masyarakat Moromoro.
   
Buku ini adalah media bagi mereka yang tak terdengar suaranya untuk bicara lewat buku, ujar dia lagi.
   
Oki juga mengungkapkan sebuah lembaga di Canada, telah bersedia mendistribusikan buku edisi revisi ini.
   
Sebelumnya buku ini juga telah didistribusikan di Belanda, Hongkong, Thailand, dan Malaysia.
   
Buku ini juga menjadi rujukan referensi dan bahan bacaan bagi para mahasiswa dan dosen serta peneliti di sejumlah perguruan tinggi di Lampungdan beberapa daerah, serta kasus yang dialami warga Moromoro seperti terungkap dalam buku ini, menjadi perhatian kalangan LSM di dalam dan di
luar negeri.

Sumber: Antara, Sabtu, 22 September 2012

September 16, 2012

[Buku] Muda, Malaikat, dan Kucing

Data buku:
Semuda (Selalu Muda)

Fritz Nuzir

Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2012

ix + 132 hlm

"Namaku muda. Hanya satu kata Muda." Itu beberapa kata yang kerap muncul dalam Semuda (Selalu Muda) karya Fritz Nuzir.

MESKIPUN nama tokoh yang sama, cerita antarbagian berbeda dan tidak berhubungan. Setiap cerita berdiri sendiri. Buku ini memang lebih pas bila disebut kumpulan cerpen, bukan novel.

Cerita tokoh, muda, ditampilkan hanya sebagian sisinya saja. Kehidupan tokoh pun tidak detail dengan alur yang cerita tidak kompleks. Ini merupakan ciri khas dari sebuah cerpen.

Buku ini adalah buku fiksi perdana karya Fritz. Fritz sudah lebih dahulu dikenal sebagai seorang akademisi arsitektur dan pengamat masalah perkotaan. Beberapa kali muncul mengkritik kebijakan pemerintah yang keliru dalam menyelesaikan masalah tata ruang perkotaan. Pria kelahiran Metro ini pun adalah seorang praktisi. Dia membuka jasa konsultasi bagi siapa pun yang membutuhkan desain rumah dengan berbagai konsep arsitektur modern.

Selama ini, Fritz hanya identik dengan arsitektur dan tata kota. Meskipun hobi menulis, karyanya berupa tulisan nonfiksi yang tidak jauh-jauh dari persoalan tata ruang. Namun, di balik keseriusan bidang ilmu yang dia geluti, sejak 2004 pria 30 tahun ini memang sudah hobi menulis cerpen. Karangan itu ditampilkan dalam blog pribadinya.

Arsitektur memang cita-cita Fritz. Tapi, penulis adalah mimpinya sejak kecil. Motivasi menulis sastra tumbuh berkat dorongan guru Bahasa Indonesianya sewaktu SMA. Apresiasi dari sang guru inilah yang menjadi pemicu Fritz untuk terus menulis sastra.

Seperti kata Djadjat Sudradjat, sastra bisa dimasuki siapa saja. Sastra adalah dunia yang bebas. Banyak penulis yang muncul daari berbagai berlatar belakang. Misalnya Taufik Ismail seorang dokter hewan, Dee yang merupakan penyanyi, dan Andera Hirata yang merupakan lulusan finance dari Prancis.

Menurut Djadjat, sastra menawarkan kenikmatan yang tidak didapat di profesi yang lain. Bisa bermain dengan imajinasi dan membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin disesuaikan dengan keinginan pengarang. Fritz mendapatkan kenikmatan setelah masuk ke dunia sastra.

Dalam 10 cerpen yang ada dalam buku Semuda. Ada beberapa kejutan yang tidak terduga dan membuat pembaca merasa kaget. Misalnya, pada cerpen Selalu  Muda. Muda dalam cerita ini ternyata seorang malaikat yang menikah dengan manusia. Kemudian istrinya inilah yang melahirkan kembali dirinya bukan sebagai malaikat tapi manusia biasa.

Dalam cerita Jack dan Muda, pembaca akan disuguhkan dengan kejutan lain. Awalnya Jack diceritakan memiliki orang tua yang kemudian mati dibunuh oleh para perampok. Pada akhirnya, Jack ternyata adalah seekor kucing yang kemudian dipelihara oleh tetangganya yang bernama Amy.

Muda memainkan banyak peran, muda yang menjadi malaikat, muda yang menjadi pelajar, muda yang menjadi waria dan mengamen di pinggir jalan, muda yang tinggal di luar negeri, dan muda yang menjadi pengusaha sukses dan kaya. Muda pun berakhir dengan kematian. Kadang, orang di sekitarnya yang justru tewas meninggalkan Muda. Begitulah kehidupan, kadang ada di atas dan kadang terjerembap ke bawang tanpa terduga. Kadang semuanya bisa lepas dari kendali manusia dan hilang tidak berbekas.

Muda ingin mengajarkan bagaiama kehidupan ini serba tidak terduga dan mengejutkan. Orang yang yang diremehkan bisa berganti menjadi pahlawan. Muda yang berpenampilan waria ternyata bisa menjadi penyelamat bagi orang yang meremehkannya.

Pemilihan bahasa yang dipakai sangat ngepop, khas anak muda. Gaya penulisan cerpen populer mudah dinikmati dan dipahami. Layaknya seperti tulisan cheeklit atau teenlit. Di beberapa bagian, ada cerita yang sangat singkat dan di bab lainnya ceritanya sangat panjang. Cerita yang panjang terutama ada pada bagian akhir bab.

Beberapa setting tempat mengambil lokasi di Eropa di Jerman. Dialog pun dibuat dalam bahasa Jerman dan Inggris. Fritz pernah menyelesaikan pendidikan di Jerman sehingga tidak mengalami kesulitan dalam mendiskrisikan beberapa kota. Selain itu, ada deskripsi yang menyinggung soal arsitekur yang memang bidang ilmu yang dia geluti

Pesan lain yang ditangkap adalah bahwa muda bukan hanya persoalan fisik saja. Meskipun fisik tua, pemikiran dan semangat masih muda, bisa dikakan tetap berjiwa muda.

Inspirasi Semuda sepertinya sosok Gie yang hidup dengan penuh idealisme. Gie yang meninggal saat usia masih sangat muda ini dikenal sebagai aktivis dan demostran. Kata-kata dalam buku Gie pun dikutip sempurna, "Yang paling beruntung adalah tidak pernah dilahirkan, kedua adalah mati muda, yang paling sial adalah berumur tua, beruntunglah mereka yang mati muda."

Fritz pun memuji orang yang mati muda. Melalui tokoh muda dia mengungkapkan, "Aku selalu iri pada mereka yang mati muda saat idealisme mereka belum luntur oleh usia dan virus yang bernama pengalaman."

Pada akhirnya, sampai pada pesan bahwa pemuda bisa menjadi apa saja dan pemuda pun akan menjadi tua. Namun, jiwa dan semangat idealisme Muda tidak berubah. Muda tetaplah menjadi muda sampai kematian memisahkan. n

Muhammad Reza, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2012

Wacana Teater, Teater Wacana, dan ‘Tau Ah Gelap’!

Oleh Alexander G.B.



"Cuma mengulang pertengkaran yang sama, dari dulu sampai sekarang. Punya pasangan bukannya makin baik malah makin jauh..." (Gegeroan, Harris Priadie Bah)

‘GEGEROAN’. Kelompok Teater Kami menampilkan teks dramatik Gegeroan karya Harris Priadie Bah di Taman Budaya, Bandar Lampung, Jumat (7-9). Teks dramatik Gegeroan menyoalkan masalah keretakan hubungan antarpersonal individu yang berada dalam sebuah relasi keterhubungan satu dengan yang lain. (LAMPUNG POST/IKHSAN D.N. SATRIO)

SEBUAH kalimat yang menarik dan menjadi pintu masuk untuk membaca pertunjukan teater dari Kelompok Teater Kami di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, 7-8 September lalu.

Memasuki usianya yang ke-23, kelompok teater yang didirikan Harris Priadie Bah pada 21 Juli 1989 ini hadir menyapa Lampung. Kelompok Teater Kami—seperti tertulis di database Yayasan Kelola—termasuk salah satu kelompok teater yang produktif dan sering mengangkat tema yang menjadi problema di sekitar kehidupan manusia.

Cara memandang kelompok ini, menurut Afrizal Malna, bisa disederhanakan dengan "mereka menggarap tema-tema realis dengan bentuk yang imajinatif". Harris sendiri mengakui, baik naskah sendiri maupun naskah asing akan diperlakukan dengan cara seperti itu.

Karena itu saya merasa bahagia bisa menonton pentas Gegeroan dari kelompok teater ini.

***

Gegeroan yang disutradarai Harris Priadie Bah tampil dengan konsep fragmentatif menyapa publik teater di Lampung. Tak banyak properti di atas panggung sepanjang pertunjukan. Penonton disuguhi kecerdasan dalam penataan properti dan blocking pemain yang efektif.

Pertunjukan dimulai dengan seorang lelaki yang asyik menabuh jembe. Lalu muncul empat orang performer lain. Keempatnya mengucapkan dialog yang sama, berulang-ulang, berganti posisi, diulang-ulang. Lalu panggung kembali gelap.

Ketika lampu kembali menyala, menerangi seorang lelaki tua (Jean Maramis) tampak sangat lelah dan frustrasi dengan kehidupan yang ia jalani. Sebuah kursi, obat nyamuk semprot, lampu yang menggantung di sisi kanan panggung. Saya teringat kisah Nyanyian Angsa karya Anton Chekov, tentang seorang aktor yang kesepian di usia senjanya. Penampilan lelaki itu unik. Hadir dengan batuk parah yang menegaskan penderitaan. Bertahun-tahun berkutat dengan sepi dan hidup yang terasa tak berarti. Fragmen ini berakhir ketika si lelaki minum obat nyamuk, semacam keadaan absurditas yang dihadapi seorang tokoh atas hidupnya.

Fragmen selanjutnya. Seorang wanita (Irawati) sedang mengeringkan rambutnya. Seorang lelaki (Zank Smooth) masuk lalu duduk di sisi yang berbeda. Setelah sejenak diam, lelaki itu mengungkapkan perasaannya yang tidak sepaham dengan si wanita. Lelaki itu merasa kurang dihargai oleh si wanita yang kerap terlambat pulang ke rumah dan membalas SMS (pesan singkat) darinya.

Wanita itu adalah istrinya, yang kemudian membela diri atas apa yang dilakukannya. Rupanya si lelaki egois dan mau menang sendiri, sedangkan si wanita yang sibuk dengan pekerjaannya pun tak kalah egois. Macetnya komunikasi menjadi akar perselisihan yang berujung pada perceraian.

Fragmen bergeser lagi. Seorang aktor bergerak dan berdialog sendiri. Lakunya didukung lampu yang membentuk satu garis membelah panggung. Di salah satu sudut panggung dua performer berperan sebagai pengamen. Komposisi yang sangat menarik.

Fragmen lain, mungkin di sebuah kamar atau ruang tamu. Seorang wanita-istri (Ribka Maulina Salibia) dan lelaki-suami (Harris Priadie Bah) mengusung fragmen "Tema yang dibicarakan" dan "Menonton". Percapakan terus berlangsung pada persoalan-persoalan filosofis dari realitas yang tampak sederhana.

***

Secara umum pertunjukan berlangsung dengan rapi (terencana), sederhana, dan efektif. Setiap pemain mengikuti garis laku tertentu. Setiap fragmen hadir secara utuh, pergantian antarfragmen cukup rapi. Semangat pelaku teater untuk terus berinovasi dan bereksplorasi pada setiap penghadirannya cukup apresiatif dan mendapatkan aplaus dari penonton.

Namun, ada beberapa catatan pentas ini. Pertama, titik lemah dari pertunjukan Gegeroan adalah teks (dialog). Aspek filosofis yang mencoba ditampilkan terlampau banal atau berkesan menggurui. Kilasan-kilasan peristiwa yang dibangun pada pementasan Gegeroan juga tak mampu menjangkau lapis kesadaran penonton yang lebih dalam (manusia secara psikologis).

Kehadiran fragmen demi fragmen, tidak memungkinkan adanya sublimasi di panggung dan penontonnya. Sementara beberapa celoteh yang segar dan mengundang komedi, menjadi gagal sebagai ironi. Karena sepanjang pertunjukan penonton hanya dihadapkan rentetan pemikiran dan bukan peristiwa. Masih mengatakan dan belum menunjukkan.

Dari segi acting (laku) aktor di panggung, banyak laku yang kurang jelas motif dan sasarannya.  Misalnya, apa alasan yang kuat ketika seorang aktor meminta salah satu penonton untuk menggambar posisi rebahnya, sebab setelah itu ia asyik dengan dirinya sendiri, dengan celoteh-celotehnya. Keterlibatan penonton yang semula dibangun pada awal fragmen jadi sia-sia.

Lalu pada adegan selanjutnya seorang lelaki yang tampak sedang melakukan pemanasan (perenggangan yang lazim pada setiap latihan teater) sambil terus mengucapkan dialog. Dialog-dialog filosofis pula. Ia terus beraktivitas, tetapi aktivitasnya itu sepertinya tidak bertolak dari dialog atau peristiwa yang mencoba dibangun. Termasuk kemunculan bocah kecil yang melintas sambil salto bagi saya tidak memiliki alasan yang kuat di pertunjukan tersebut.

Dengan begitu, setidaknya pendapat saya, Gegeroan adalah pentas kebanalan pelaku teater dengan persoalannya sendiri, yang pretensinya keluar dari niat teater sebagai pertunjukan yang objektif, yang mengungkap kemanusian dari berbagai sudut pandang dan teater sebagai ilmu pengetahuan yang bisa ditelusuri jejaknya. Teknik yang mereka tampilkan tidak berfungsi untuk memperkuat peristiwa panggung, tetapi sebaliknya karena hanya memenuhi aspek indah secara artifisial semata.

Ada kesan pentas Gegeroan tak peduli dengan penonton, dan tak lebih baik daripada gosip atau berita berbagai stasiun televisi atau surat kabar yang bisa kita dapatkan setiap hari.

Maka, dialog pada salah satu fragmen: "cuma mengulang pertengkaran yang sama, dari dulu sampai sekarang. Punya pasangan bukannya makin baik malah makin jauh", bagi saya adalah potret retaknya hubungan antara pelaku teater dan penontonnya, yang semakin terasing dan saling mengasingkan. Panggung teater, kini tak ubahnya hanya menampilkan kehausan eksistensi pelaku teater itu sendiri.

***

Masalahnya sekarang, apakah pelaku teater hendak menampilkan kebanalan dan kehausan eksistensi semacam itu dalam perjalanan teater kita di masa mendatang? Ada apa dengan teater kita? Teater kita mungkin tidak ada apa-apa. Tidak jelas masalah apa yang hendak dipanggungkan, tidak jelas ideologi, tidak tegas sikapnya terhadap persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya.

Sayang sejak dulu, bertahun-tahun yang lalu, meski telah banyak yang menulis tentang sepinya kritik teater di Indonesia, faktanya sampai sekarang kita masih menghadapi kenyataan yang sama. Sehingga pelaku teater terkadang tak bisa disalahkan ketika bersikap semena-mena terhadap pertunjukan dan penontonnya.

Ah, mengapa hingga hingga saat ini persoalan sama masih harus teater hadapi. Teater hanya wacana. Wacana teater yang melulu ekspresi tanpa memperhatikan presisi. Teater kehilangan pijakannya sebagai ilmu pengetahuan. Teater telah kehilangan objek, kehilangan tema, kehilangan dirinya. Ekspresi teater sepertinya melulu eksistensi dan (mungkin) ekonomi.

Pelaku teater kemudian tidak jauh berbeda dengan kebiasaan sebagian dari sastrawan kita yang terus menerus bergelut dengan kesepiannya, dengan kesendiriaannya, dengan sore dan hal-hal yang melankolik belaka, tanpa sadar (menutup mata) dengan kenyataan—realitas sosial yang terjadi di sekitarnya, dengan berbagai praktek penindasan dan kekerasan yang terus berlangsung setiap hari. Sastrawan terasing dengan masyarakat pembacanya. Demikian halnya teater, yang juga sibuk dengan kelimun pikirannya sendiri sehingga pelan-pelan penonton menarik diri. Padahal teater lebih dari itu. Bukan sekadar itu. Benarkah?

Alexander G.B., cerpenis, pekerja teater

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2012

[Inspirasi] Pulung Berseni Kembali

SETELAH pensiun dari sebagai birokrat, Pulung Suwandaru bisa kembali menekuni dunia perupa yang sudah lebih dahulu dia geluti. Ada perasaan lebih bebas untuk berkarya setelah lepas dari jabatan sebagai abdi negara.

Pulung pensiun dengan posisi terakhir sebagai Kepala Museum Lampung. Jabatan itu dia pegang selama hampir empat tahun hingga 2010. Kini, dia hanya melakukan dua hal, berkarya dan mengajar.

Sebagai pelukis, goresan Pulung dikenal khas dengan gaya realis yang kental dengan kritik sosial. Kini goresannya merambah untuk keperluan fashion. Dia menggambar ornamen khas Lampung yang selanjutnya akan dijadikan sebagai desain batik Lampung.

Menurut Pulung, secara sosilogis historis nenek moyang masyarakat Lampung tidak mengenal dan memakai batik. Orang Lampung zaman dahulu lebih mengenal tenun, sulam, dan tapis. Kain yang dikenal dan banyak dipakai adalah sulam dan tapis. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang memang lebih dahulu sudah memakai batik sebagai pakaiannya.

Meskipun tidak mengenal batik, kata Pulung, orang Lampung kaya akan ragam hias. Berbagai ornamen khas diukir di rumah-rumah dan berbagai peralatan yang terbuat dari kayu. “Jika saat ini masyarakat ingin membuat batik yang khas Lampung perlu mengetahui seperti apa ragam hias terdahulu,” katanya.

Itulah aktivitas yang digeluti kakek satu cucu ini. Melukis ornamen khas Lampung yang nantinya dijadikan motif batik. Tempat melukis di samping rumahnya, di Jalan Panglima Polim, Bandar Lampung, menumpuk desain batik hasil goresan Pulung. Beberapa desain terkumpul rapi dalam map, dan sisanya ditempel di tembok.

Menurut Pulung, ornamen khas Lampung sangat kaya. Namun, yang selalu ditampilkan hanyalah siger dan kapal. Masyarakat Lampung dahulu membuat ornamen dengan melihat dari alam. Alam sebagai sumber ilmu pengetahuan
sudah dimanfaatkan sejak dahulu. “Padahal kaya ornamen, tapi yang selalu ditonjolkan hanya siger dan kapal. Lama-lama bosan, orang memakainya. Bandingkan dengan ragam batik Jawa yang juga sangat kaya,” kata dia.

Pulung mencontohkan beberapa ornamen Lampung yang justru jarang dipakai, bunga kopi, bunga manggis, kayu ara, buah, dan kembang nanas. Selain flora, fauna pun bisa menjadi motif, selain dari gajah, misalnya kerbau. “Untuk motif binatang pun jangan dibuat menyerupai gambar sebenarnya. Untuk ragam hias batik, perlu dibuat desain yang lebih simetris dua dimensi. Misalnya kerbau hanya digambar dengan bentuk kepala segitiga dan diberi tanduk,” kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember ini.

Dia mengingatkan agar para pembuat desain batik tahu filosofi ornamen Lampung sehingga tidak keliru dalam menempatkannya. Misalnya ornamen yang harusnya ditempatkan pada badan bagian bawah, jangan diletakkan pada pakaian untuk di kepala. “Dalam pembuatan orneman memang tidak ada salah dan benar. Tapi yang perlu diperhatikan adalah filosfinya,” ujar Pulung.

Museum Lampung, kata dia, merupakan tempat belajar tentang ragam ornamen yang pernah dibuat oleh masyarakat zaman dahulu. Dengan melihat referensi dan literatur yang ada dalam museum, pembuat batik tidak akan melakukan kekeliruan. Ornamen yang dibuat hari ini bertujuan melestarikan karya nenek moyang dengan mempertimbangkan keberlangsungannya hingga hari esok. “Jangan hanya asal-asalan membuat ornamen karena ingin mendapat keuntungan. Jadi batik bukan bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, tapi juga untuk melestarikan ornamen zaman dahulu,” katanya.

Guna mengenalkan kekayaan ornamen khas Lampung, Pulung mengajarkannya pada anak-anak TK dan TPA. Anak-anak diminta untuk mewarnai berbagai ornamen sederhana supaya tahu bahwa bahwa ornamen tersebut bukan hanya siger dan kapal. Beberapa anak di sekitar rumahnya pun bisa belajar melukis dengan datang langsung ke sanggarnya pada hari Minggu. Semua ilmu tentang melukis akan diberikan Pulung secara cuma-cuma.

Dia pun mengajar narapidana. Menurutnya, beberapa narapidana yang masih sangat muda perlu diberikan keterampilan. Para pemuda yang masuk penjara ini masih memiliki keinginan kuat untuk berubah dan memperbaiki dari. Selain mengajarkan tekni melukis, Pulung pun mengajarkan keterampilan mengolah buah brenuk atau buah maja menjadi menjadi barang yang laku dijual. Di tangan Pulung brenuk bisa dibuat berbagai hiasan, seperti lampu, kotak tisu, dan alat musik.

Pulung adalah pelukis yang memperkenal tentang pengolahan brenuk menjadi barang kerajinan. Dia pun dipercaya Pemprov Lampung untuk menjadikan brenuk sebagai salah satu barang kerajinan khas dari Sai Bumi Ruwa Jurai.

Usai memang sudah tidak lagi muda, tapi Pulung masih produktif melukis di kanvas. Minimal dia menargetkan dua sketsa lukisan dalam satu bulan.
Menuangkan ide awal dalam bentuk sketsa untuk kemudian dikerjakan jadi lukisan utuh.

Pria kelahiran Lampung 58 tahun silam ini masih aktif mengikuti berbagai pameran skala nasional. Pada Juni lalu, lukisannya ditampilkan dalam pameran manifesto 2012. Dia pun berencana akan terlibat dalam pameran lukisan yang akan digelar beberapa bulan ke depan. Pameran ini khusus diikuti oleh pelukis senior yang usianya di atas 50 tahun.

Menurut Pulung, pameran ini diadakan untuk memberikan inspirasi dan semangat bagi para pelukis muda untuk terus berkarya. “Yang tua-tua saja masih aktif, masak yang muda tidak,” ujarnya.

Awalnya, Pulung lebih sering melukis alam berupa, flora dan fauna. Namun, menjelang reformasi 1997, lukisannya mulai berubah aliran. Karyanya lebih dikontekskan pada kondisi sosial masyarakat dan politik yang terjadi menjelang dan pascareformasi. Lukisannya pun menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi pada saat terjadi krisis moneter.

Ketika Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Gusdur, Pulung pun membuat lukisan. Lukisan yang menggambarkan kekecewaannya pada kebijakan presiden ke-4 tersebut. Pulung mengawali karier sebagai PNS di Kanwil Departemen Penerangan di Lampung. Setelah dibubarkan, dia pun masuk ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Ada sebuah lukisan karya Pulung yang menggambarkan bagaimana pertarungan Gubernur Lampung Sjachroedin ketika berkonflik dengan DPRD yang mengakibatkan terhambatnya APBD. Dalam lukisan itu digambarkan dua ayam jantan bersama satu bola basket yang berada dalam sangkar. Lukisan dua dimensi digabungkan dengan sangkar ayam tiga dimensi. Di sangkar terebut digantungkan kipas dan peluit.

“Meskipun saya adalah PNS Pemprov, karya tetap bebas dan tidak ada tekanan. Apalagi setelah pensiun ini bisa lebih bebas lagi,” kata suami dari Wahyu Endang Yuniati ini. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 September 2012

September 15, 2012

Warga Lumbok Berharap Promosi Wisata Lebih Digencarkan

BANDARLAMPUNG -- Sebagian warga Lumbok di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung yang berada di sekitar objek wisata alam setempat mengharapkan promosi lebih gencar untuk pengenalan tempat wisata itu, sehingga dapat membantu peningkatan ekonomi mereka.
   
"Kami minta objek wisata di daerah ini terus dipromosikan, sehingga dapat dikenal lebih luas," ujar Sobirin, salah satu warga Pekon (Desa) Kagungan, Kecamatan Lumbok Seminung, saat dihubungi dari Bandarlampung, Sabtu.
   
Daerah tempat Sobirin tinggal berada di sekitar kawasan Danau Ranau yang merupakan salah satu objek wisata unggulan di daerah itu.
   
"Sepulang dari Jakarta sekitar tahun 2007 lalu, saya dan istri menekuni usaha berjualan ikan bakar, dan hasilnya bisa menopang ekonomi keluarga," kata dia lagi.
   
Sobirin menamakan tempat usahanya itu dengan "Lesehan Gayun".
   
Menu spesial yang bisa disantap pengunjung sambil menikmati panorama Danau Ranau dan Gunung Seminung yang bertandang ke tempatnya, adalah ikan mujair bakar dengan harga Rp25 ribu untuk satu porsinya.
   
"Rata-rata penjualan sekitar 10 kilogram per hari, dengan jumlah pengunjung sekitar 30 orang," ujar Sobirin lagi.
   
Karena itu, kata dia pula, usaha seperti yang ditekuninya akan bisa semakin menjamur dan diminati masyarakat bila pemerintah daerah setempat bisa mendorong perbaikan sektor pariwisata.
   
"Semisal memperbaiki infrastruktur jalan dan menggencarkan promosi mengenai Danau Ranau kepada publik," kata dia.
   
Kapolsek Balikbukit dan Lumbok Seminung AKP Yuliansyah sepakat dengan pernyataan Sobirin bahwa upaya pengenalan tempat wisata Danau Ranau dengan gencar kepada masyarakat luas itu, akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi warga setempat.
   
Wisata unggulan di Danau Ranau yang secara geografis berada dalam dua wilayah provinsi, sebagian wilayah Kabupaten Lampung Barat, dan sebagian lain danau tersebut merupakan wilayah Provinsi Sumatera Selatan.
   
Namun akses dan fasilitas wisata di kawasan Danau Ranau itu, dinilai masih lebih baik yang berada di wilayah Sumsel, dibandingkan wilayah Lampung.

Sumber: Antara, Sabtu, 15 September 2012

September 13, 2012

Indepth Publishing Menggebrak Dunia Penerbitan: Tiga Bulan Luncurkan Tujuh Buku

INDEPTH PUBLISHING. Nama yang cukup baru di dunia penerbitan Lampung, tetapi telah berhasil mencuri perhatian. Hanya dalam tiga bulan, penerbit yang beralamat di jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 87 Bandar Lampung ini sukses meluncurkan tujuh buah buku. Menariknya buku-buku tersebut diterima pasar dengan baik.

Terbentuknya Indepth Publishing berawal dari ide awal ide mendirikan usaha mandiri organisasi profesi jurnalis: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Lebih dari itu, sekaligus sebagai media ekspresi para jurnalis muda yang memiliki pengalaman di dunia jurnalistik.

"Kami (AJI Bandar Lampung) memiliki banyak sumber daya yang baik. Jadi kenapa tidak kami manfaatkan saja tuk membuka usaha penerbitan yang bisa menghasilkan," ujar Managing Director Indepth Publishing,Tri Purna Jaya, kepada Tribun, Selasa (11/9).

Indepth Publishing melihat, banyak penulis, akademisi, di Bumi Ruwa Jurai yang kesulitan dalam pengurusan berbagai publikasi. "Akhirnya kami bulatkan tekad, dan pada bulan Mei lalu kami mulai belajar otodidiak bisnis penerbitan dengan berdiskusi dengan para penerbit yang telah berpengalaman, survey percetakan lalu membentuk sebuah tim," tutur jurnalis KBR 68 H ini.

Buku garapan pertama Indept Publishing adalah milik mahasiswa calon doktor, Sugeng Dwiono berjudul Progresivitas Mahkamah Konstitusi dalam Menegakan Keadilan Substansi. Tim mengerjakan buku ini mulai dari pracetak sampai cetak.

Orderan kemudian berdatangan. Mulai dari Menulis dengan Telinga karya Adian Saputra, Terasing di Negeri Sendiri, yang kemudian diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris, Alienated in Their Own Homeland karya Oki Hajiansyah Wahab, serta Hak Anda Mendapatkan Informasi karya Juniardi.

Belakangan, datang order dari Udo Z Karzi, penyair yang juga jurnalis Lampung Post dengan judul buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh. Hingga yang terakhir, Semuda, kumpulan cerpen karya arsitek Fritz Akhmad Nuzir.

"(Datangnya orderan) saya kira itu dampak dari totalitas dan kecintaan kami akan pekerjaan, sehingga melahirkan kepercayaan. Di samping itu dukungan dari teman-teman AJI yang lain juga sangat besar meski mereka tidak terlibat langsung dalam tim ini. Misalnya ikut mempromosikan buku-buku yang akan terbit lewat media-media sosial,dan blackbery massenger pada relasinya masing-masing," ujar Tri.

Dalam hal pekerjaan, tim Indept Publishing berusaha membagi berdasarkan keahlian masing- masing anggota. Ada yang mengurusi soal buku hukum, berkaitan dengan jurnalistik dan ada juga soal sastra.

Disinggung mengenai apa yang membedakan antara Indepth Publishing dengan penerbit lain, pria berambut kribo ini mengatakan, dari layanan one stop service yang mereka tawarkan. Mulai dari proses pra cetak, cetak, promo, pra dan pasca terbit, serta launching hingga pemasaran buku.

"Saya kira layanan itulah yang membuat mereka (para penulis) tertarik menerbitkan karyanya di sini," imbuhnya.

Ia menambahkan, ada dua model penerbitan yang ditawarkan, yaitu self publishing dan royalty. Self publishing adalah penulis yang membiayai seluruh kebutuhan, dan keuntungannya mereka jugalah yang menentukannya.

Sementara sistem royalty adalah Indepth Publishing yang membiayai seluruh biaya penerbitan buku, sedangkan penulis hanya mendapatkan royalty dari buku yang diterbitkan. "Untuk model kedua ini baru satu buku yang kami terima, penerimaan itu tentunya berdasarkan penilaian bahwa penulis tersebut telah memiliki nama, punya segmen pembaca dan unsur komersil lainnya," jelas Tri.

Pihaknya ini berharap tidak hanya penulis yang sudah punya nama saja yang berani mempublikasikan karyanya, tetapi begtu juga bagi penulis pemula. "Ke depannya kami juga akan mendorong para akademisi di Lampung untuk lebih berani mempublikasikan karyanya. Bukankah akademisi tanpa buku, belum lengkap mengklaim dirinya sebagai akademsi?" ujar Tri. (ren)

Sumber: Tribun Lampung, Kamis, 13 September 2012



September 10, 2012

Makam KH Ghalib Jadi Pusat Wisata Religi

PRINGSEWU -- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pringsewu, Provinsi Lampung, berencana menjadikan makam dan situs peninggalan KH Ghalib sebagai pusat kawasan wisata religi daerah itu.
   
Menurut Bupati Prigsewu, Sujadi Sadad, di Pringsewu, Senin, semasa hidupnya KH Ghalib merupakan ulama besar dan tokoh pejuang kemerdekaan di daerah itu, serta mempunyai jasa-jasa yang tak ternilai harganya bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
   
"Tidak berlebihan jika situs dan juga makam tokoh penyebar Islam di wilayah Pringsewu ini, dilestarikan serta dirawat sebaik-baiknya," kata dia.
   
Terlebih, lanjut dia, makam KH Ghalib maupun Masjid Jami KH Ghalib banyak dikunjungi oleh para peziarah, terutama dari luar wilayah Lampung, seperti dari Pulau Jawa, dan Sumatera sendiri, bahkan tak jarang dari luar negeri.
   
Sujadi mengatakan, pihaknya berencana menjadikan situs KH Ghalib sebagai pusat wisata religi ziarah, seperti halnya ziarah Wali Songo di Pulau Jawa.
   
Kesemua itu diharapkan dapat terwujud, bila sejumlah kelengkapan fasilitas juga tersedia, kata dia.
   
Bupati Pringsewu itu menegaskan, KH Ghalib merupakan tokoh ulama besar sekaligus tokoh pejuang kemerdekaan.
   
"KH Ghalib adalah komandan pasukan tentara atau Laskar Hizbullah yang terkenal gagah berani berjuang melawan pendudukan Belanda dan Jepang, bukan hanya di wilayah Pringsewu atau Lampung namun hingga wilayah Sumatera Selatan dan sekitarnya," ujar dia lagi.
   
Ia menjelaskan, KH Ghalib gugur di tangan pasukan Belanda pada tahun 1949, dan dimakamkan tak jauh dari pesantren miliknya, saat ini bernama Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pringsewu Barat.
   
"Guna mengenang jasa-jasa perjuangan dan kepahlawanan beliau, nama KH Ghalib saat ini diabadikan menjadi salah satu nama jalan protokol di ibu kota Kabupaten Pringsewu," kata dia pula.
   
Salah satu ahli waris keluarga KH Ghalib, Farida, sangat menghargai kepedulian Pemkab Pringsewu, untuk turut melestarikan dan menjaga situs peninggalan salah satu pahlawan pejuang kemerdekaan tersebut.
   
Dia menyatakan, pihaknya siap membantu dan memfasilitasi jika pemerintah memerlukan data maupun aset peninggalan KH Ghalib untuk keperluan penunjang rencana pengembangan kawasan situs wisata rohani
tersebut.
   
Wartini, salah satu peziarah yang datang dari Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan mengaku, dirinya bersama keluarganya hampir setiap tiga tahun sekali selalu berziarah mengunjungi makam KH Ghalib, untuk berdoa dan mencari berkah.
   
Berkaitan fasilitas penunjang, ia mengharapkan agar di area tersebut juga dapat dilengkapi sarana kegiatan kepariwisataan lainnya, seperti pusat penjualan oleh-oleh atau suvenir.
   
Selama ini, lanjut Wartini, dia dan peziarah lain, merasa kesulitan dalam mencari oleh-oleh atau suvenir khas Pringsewu untuk dibawa pulang.

Sumber: Antara, Senin, 10 September 2012



September 9, 2012

Mamak Kenut di antara Novel Kemanusiaan Dunia

Oleh Hardi Hamzah


NOVEL Ana Karenina, mungkin salah satu karya Leo Tolstoy yang menjadi acuan romantisme dalam perang dan sejarah.

Tolstoy kemudian mampu merubah daratan Rusia, bahkan Eropa melihat kekejian perang sebagai suatu kesejarahan yang tidak terpisahkan dengan realitas seting sosial masyarakat. Perang memang harus dilalui, korban dan penyiksaan bagian dari kesejahteraan anak manusia yang panjang.

Demikian, buku ikut mengukir kesejarahan "yang ganas" menjadi dramatik, melankolik, bahkan romantik. Belum lagi bila kita berbicara tentang Boris Pasternak dalam Dr. Zhivago-nya, semua mereka menggiring humanisme sebagai sentrifugal masalah kehidupan.

Satu per satu novel-novel di dunia mengais sense of humanity sebagai kewajiban akal manusia, katakanlah seperti yang diintrodusir Karl May dengan Winnetou-nya, semua menjalin logika yang sama dalam keterikatan satu dengan yang lain terhadap semangat kemanusiaan itu.

Menguatnya semangat kemanusiaan yang semakin mencuat melalui novel-novel, sesungguhnya telah berjalan sejak munculnya beberapa karya menarik di berbagai bidang pada dekade abad ke-18, bagaimana suatu karya bisa besar dan membesarkan manusia, karya novel terkenal Brainded yang difilmkan dan diperankan Tza Tza Gaboor, memberikan gambaran bahwa secara ideologis, novel membangun psikokemanusiaan seseorang yang tidak ingin disubordinasi oleh lawan jenisnya, kesederajatan merupakan kemutlakan, sebagaimana diceritakan dalam film yang disadur dari novel ini.

Di Indonesia, novel yang mengaktualisasikan semangat kemanusiaan itu, kenyataannya digantungi oleh akar dilematis antara politik etis Belanda pada awal abad ke-20, sampai pada reinterpretasi karya-karya Chairil Anwar.

Tokoh yang meninggal sangat belia ini tersentuh dengan aroma kemanusiaan, manakala lamunannya di kamar membedah kegelisahannya tentang eksistensi diri.

Dengan hidup "menggelandang" di Jakarta, Aku karya Chairil adalah akumulasi dari rasa kemanusiaan sebagai nilai yang tidak romantik, tetapi lebih pada heroik dan melankolik, tapi toh masih bicara kemanusiaan.

Sastra kemanusian, yang terbawa politik etisnya Belanda, juga terdapat pada Max Havelar, suatu karya yang spektakuler di zamannya, membuka aib inhumanitis kehidupan bangsanya sendiri di tanah Jawa.

Multatuli kemudian tampil dalam gugus baru sastra praksis yang tidak terlalu romantik dan melankolik, tapi cukup mendramatisasi kondisi dan mengusik para pemberontak kemanusiaan.

Ketika panggung sejarah modern Indonesia, setidaknya digebyah-uyah oleh para pemikir kaum sekolahan Indonesia, muncullah Sutan Takdir Alisjahbana dengan masuk lewat relung renaisans melalui bungkusan budaya Indonesia.

Sedangkan Syahrir lebih pada ideologis politis kebangsaan. Dua-duanya meskipun mengangkat aktualitas semangat kemanusiaan, mereka berdua telah mengaktualisasikan respons politik yang agak ambivalen.

Mengapa agak ambivalen, karena polemik kebudayaan dalam konteks aktualisasi menguatkan semangat kemanusiaan kurang terbantu, meskipun tentang fungsi dari aspek politik kebangsaan cukup menggugah kita, Mungkin sekali Indonesia Menggugat sebagai pledoi terbaik di abad ke-20 itu, tidak menutup peluang untuk mengais nuansa kemanusiaan sehingga Bung Karno dengan pledoinya yang spektakuler itu mampu merambah alam pergerakan Indonesia ketika itu.

Kita sesungguhnya memang miskin sastra kemanusiaan, atau katakanlah kesusasteraan kemanusian. Semua kesusasteraan kita berjangka linear dari percintaan ke romantisme kesejarahan, kalaupun ada kemanusiaan, kesemuanya berdiri atas eksistensi.

Misalnya saya berharap dari Tenggelamnya Kapal Van der Wick-nya Hamka, pun kita terpesona dengan Grotta Azzura-nya Sutan Takdir Alisjahbana yang tebal dan melelahkan itu, kenyataannya belum ada atmosfer yang mengarah ke visobortisasi ke arah kemanusiaan yang umum, setidaknya ia hanya mengintip jendela kehidupan kita dan itu hanya sedikit.

Dekat-dekat dengan itu, kita bisa melihat Ziarah-nya Iwan Simatupang, Harimau Harimau-nya Mochtar Lubis, ia memang menyentuh nilai kemanusiaan, tapi tetap jaga estetika jua. Kita, dan atau Barat sekali pun, bahkan bangsa-bangsa di dunia lahir karena karya sastra dan kemanusiaan.

Tengoklah Frankenstein yang sedikit mampu mengaktualisasi eksitensi kemanusiaan di tengah masyarakat Amerika Selatan yang berbahasa Perancis. Kita juga tahu Surat-surat Cinta Charkes D. Faule yang juga memainkan peran bagi kemajuan atau kepedulian elitis pada masyarakat.

Mungkin kalau kita berbicara lebih universal lagi, titik balik abad global ini semakin ditentukan arahnya oleh ambivalensi penulisan kesusasteraan atau katakanlah novel, karya Varoline dengan Harry Potter-nya, cenderung menjebak generasi yang satu dengan yang lainnya lebih banyak berfantasi, halusinasi, dan ilusi, demikian pula novel yang diterjemahkan melalui pemetaan terhadap semangat religius, seperti Ayat-ayat Cinta, keduanya (Harry Potter dan Ayat-ayat Cinta) telah menemukan titiknya sendiri dan terpisah dari semangat kemanusiaan itu, lalu best seller, ini yang patut kita pahami bersama, terutama bila kita punya tugas budaya.

Rangsangan pasar yang sedemikian kuat, pada gilirannya mulai membuat kita "tidak malu-malu" membuat karya asal jadi, apalagi itu dalam konteks karya cetak, audio, maupun audio visual, semuanya tanpa misi peradaban.

Padahal, misi peradaban harus dibarengi atau dimulai dengan visi kemanusiaan. Visi kemanusian merupakan pengejawantahan memberdayakan kepedulian dan kejujuran atas nama peradaban masa depan anak bangsa.

Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z. Karzi, mungkin kita bisa saja mengangapnya sederhana. Namun, ia bukanlah suatu hal yang patut diabaikan.

Karya dari kumpulan nuansa ini, kenyataannya memberikan nuansa dan atau aktualisasi kemanusiaan pada masing-masing lakonnya, ia mengajari kita tentang kesusahan, jarak, dan keseharian anak bangsa yang terkulai oleh zaman.

Pun demikian pula Mamak Kenut, telah mengajak kita, ayo mulai dari yang sederhana, tetapi bermanfaat bagi sesama.

Haruslah diakui Mamak Kenut bermain pada jaringan lakon kemanusiaan dengan refleksi cinta yang minimal karena sesungguhnya kemanusiaan itu tidak berkutat pada percintaan an sich. Bukankah kita sudah senang dan agak bosan dengan Marga T., Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar, dan lain-lain.

Untungnya juga, kita masih dalam lingkup Putu Wijaya dan Sapardi Djoko Damono meskipun mereka masih bermain dalam nilai kemanusiaan yang tidak kontekstual.

Pada titik inilah sebagai orang Lampung kita patut berbangga, bahwa Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh, meskipun terkoyak oleh tokoh-tokoh di tengah novel-novel dunia sebagaimana yang penulis paparkan di atas, Mamak Kenut telah menjadi bagian dari kebesaran novel-novel tersebut.

Semoga semangat kemanusiaan teraktualisasi dalam jaringan yang tepat dan karya sastra yang diperlukan.

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 September 2012
 

September 8, 2012

Mamak Kenut: 'Pubalahan' dan 'Taturik' Menukik

Oleh Asarpin

MAMAK Kenut, sebuah nama dalam khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung, yang kembali dipopulerkan Udo Z. Karzi lewat serangkaian kolomnya di rubrik Nuansa Lampung Post, kini telah dibukukan dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012).

Apa boleh buat, Mamak Kenut pun menjelma seorang tokoh yang begitu melekat dengan si penulisnya. Sampai-sampai beberapa teman pembaca mengindentikkan Mamak Kenut dengan sosok Udo Karzi sendiri.

Mamak Kenut adalah tokoh yang usil, cerewet, dan nakal. Sentilan-sentilan, olok-oloknya, dan celotehnya yang sarkas terasa menyegarkan untuk sebuah kolom pendek dengan ruang yang amat terbatas. Antara nama yang kampungan dengan cita-rasa yang sekolahan dalam diri Mamak Kenut tampaknya berbaur.

Sosok Mamak Kenut tak mudah ditafsirkan karena posisi dan wataknya seringkali sulit ditangkap, walaupun kelampungan dan kekampungan dari nama itu amat kentara. Mamak Kenut memang bukan tokoh tunggal dalam kolom-kolom Udo, tetapi posisinya yang sentral tak bisa dimungkiri.

Posisi ini serupa tapi tak sama dengan Mister Rigen dalam kolom-kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat tahun 1980-an atau Markisot dalam kolom-kolom Emha Ainun Nadjib. Walaupun Udo mencoba menghadirkan tokoh-tokohnya dengan posisi yang nyaris tetap dan selalu memiliki pasangan perwatakan, hemat saya Mamak Kenut adalah sebuah pokok dan tokoh sekaligus.

***

Mamak Kenut bisa jadi agak membosankan jika didekati secara tematik. Sebab, apa yang dihadirkan Udo di situ sudah pula dimamah-biak oleh media massa. Namun, yang menarik—dan menjadi daya tarik Mamak Kenut—adalah bagaimana persoalan-persoalan politik itu tercermin lewat penggunaan bahasa Udo yang khas.

Harus diakui, sebagian besar kolom dalam Mamak Kenut menggunakan bahasa campuran Lampung dan Indonesia. Bahkan, di sana-sini muncul pula bahasa Inggris. Pencampuran atau pembauran bahasa dalam Mamak Kenut bukan sekadar strategi kosong, memang barangkali diniatkan dengan sengaja agar tulisan terasa komunikatif dan lucu. Lewat bahasa Lampung Udo tampaknya sengaja mengomentari dunia Indonesia, dan lewat bahasa Indonesia ia tampak menemukan kerinduan akan bahasa kedua orang tuanya.

Apakah ini dapat disebut sebagai strategi melokalisasi bahasa Indonesia? Dengan kata lain, sebuah cara yang sengaja untuk me-Lampung-kan bahasa Indonesia sebagaimana banyak kolumnis-kolumnis Jawa yang sengaja tampaknya ingin men-Jawa-kan bahasa Indonesia? Bisa jadi karena ini kolom-kolom yang dihadirkan dengan bahasa orang kebanyakan dengan maksud menghibur.

Kalaulah Udo lebih total bereksprerimen dengan nakal, kolom-kolomnya lebih berpeluang untuk menampilkan hakikat dari falsafah wat-wat gawoh yang dipopulerkan Lampung Post. Kolom-kolom Udo hemat saya adalah jelmaan dari wat-wat gawoh yang berhasil dan mendalam.

Udo diam-diam memiliki ketangkasan berbahasa khas orang Lampung yang pandai nurik, pacak menghadirkan pubalahan. Udo kaya dengan pubalahan yang khas dan menukik, yang mengingatkan saya kepada beberapa kolom mendiang Mahbub Djunaidi, terutama dalam buku Kolom Demi Kolom.
Judul-judul seperti Politisi Olahraga, Biasa Saja, Bablas, Musyawarah-Mufakat, Orang Bersih, Kapasitas, Iqra, Sementara Itu, Satu Miliar adalah kolom-kolom tangguh yang berkelas. Bahasanya kadang langsung menukik. Kolom-kolom Udo terasa lebih kuat justru ketika ia bicara hal-hal yang tidak terkait langsung dengan isu aktual. Campuran bahasa Lampung dan bahasa Indonesia sengaja dipakai dengan maksud untuk mempertegas identitas atau mungkin menunjukkan sebuah peralihan budaya.

Udo berusaha menghadirkan kembali bahasa percakapan sehari-hari yang tidak birokratis. Udo bolak-balik menggunakan bahasa Indonesia bergaya Lampung dengan bahasa Lampung bergaya Indonesia. Dalam campuran linguistik ini, lalu lintas bahasa tampaknya berjalan sangat komunikatif. Inilah bahasa keakraban, bahasa kehidupan sehari-hari orang Lampung kini, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Melalui bahasa campuran, pembaca merasa lebih akrab dan tersentuh.

Dari segi linguistik, Udo saya kira telah memiliki bahasa pengucapan khas, yang bukan sekadar pengagum para pendahulunya, yang memiliki keberanian berucap yang konyol tapi penuh kejujuran sekaligus bijak. Orang yang telah memiliki bahasa dengan gayanya sendiri adalah orang yang tak mudah tergoda oleh rayuan tulisan orang lain yang bagus. Kalaupun sesekali ia menelikung, ciri khas dan karakternya akan dengan mudah dikenali oleh pembaca setianya.

Saya cemburu dengan orang yang telah memiliki bahasa pengucapan khusus, dalam arti telah memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri. Soal model dan genre yang dipakai, itu urusan nomor sekian. Yang terpenting saya telah menemukan sesuatu yang menyegarkan tatkala membacanya.

Tak banyak orang yang menyukai "kolom-kolom yang tidak serius" tapi menghadirkan urusan yang begitu serius. Ketika masih mahasiswa, saya sama sekali tak menyukai kolom-kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, Zaim Saidi, dan Farid Gaban. Tapi belakangan saya "tergila-gila" dengan tulisan mereka lantaran itulah menurut saya hakikat dari sebuah tulisan esai yang sejati.

Udo selalu konsisten dengan gayanya yang ke-Lampung-Lampung-an. Saya kira ini modal awal bagi seorang penulis yang bersungguh-sungguh dan percaya diri. Dan Udo, adalah satu dari seribu orang Lampung yang mampu menyampaikan pubalahan dan taturik yang menukik dalam bentuk tulisan pendek. Orang yang pacak menyampaikan warahan atau pubalahan serta taturik secara lisan belum tentu tetap pacak ketika disampaikan dalam bentuk tulisan. Dan Udo telah melakukan itu, dan hasilnya adalah ratusan kolom yang layak untuk dijadikan bahan skripsi para calon sarjana di bidang humaniora.

Pilihan kata yang menerabas kaidah resmi dan dengan ringan mencomot kosakata daerah Lampung demi sebuah kisah yang hidup, sungguh amat terpuji. Pilihan kata ada yang begitu lucu. Ambil contoh misalnya kata "pelitisi". Kata ini tentu pelesetan dari politisi. Selain logatnya agak kelampungan, kata ini mengandung maksud ledekan atau sindiran. Udo memilki semangat bertutur secara lisan yang kadang unik, tetapi terkadang begitu polos, seperti “Gua Gegol Nanti”. Gerundel-gerundel dan pisuh-misuh-nya amat berbahaya dan bisa menimbulkan perkara yang panjang.

Barangkali dapat dimaklumi jika anak-anak muda kurang berselera dengan gaya Mamak Kenut, apalagi anak muda yang tak mengerti bahasa Lampung. Tapi jangan coba-coba meremehkan pembaca tua, apalagi dengan santai Anda yang berusaha membacakannya kepada kakek Anda, apalagi dia orang Lampung, spontan rawut wajahnya ceria dan terkadang tertawa terbahak-bahak (mungkin) tidak karena ceritanya lucu, tetapi pilihan nama tokoh-tokohnya begitu menyentuh perasaan kelampungan. n

Asarpin, Esais, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012

Pentas Teater: Gegeroan, Sketsa Hidup yang Kian Melambat

BANDAR LAMPUNG—Orang-orang berkumpul kemudian bertengkar satu sama lain. Lalu, tiba-tiba terdengarlah kata-kata yang membuat suasana hening: "Dari dulu sampai sekarang cuma mengulang-ulang pertengkaran yang sama. Bukannya tambah baik malah makin menjauh."



TEKS DRAMATIK GEGEROAN. Kelompok Teater Kami menampilkan Teks Dramatik Gegeroan karya Harris Priadie Bah di Taman Budaya, Bandar Lampung, Jumat (7-9). Teks Dramatik Gegeroran menyoalkan masalah keretakan hubungan antarpersona individu dalam sebuah relasi. (LAMPUNG POST/MG3)

Begitulah pembuka lakon Gegeroan (memanggil-manggil dari jauh) dari yang dipentaskan Kelompok Teater Kami di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Jumat (7-9) sore.

Gegeroan, sebuah karya impresif teks dramatik yang merupakan bagian akhir dari Bah Trilogi karya penulis sekaligus sutradara Harris Priadie Bah. Sebelumnya lakon Gegerungan (2009) dan Gegirangan (2011).

Lakon Gegeroan ini berkisah tentang keretakan antar persona dalam keluarga. Kisah pun dimulai. Seorang lelaki tua yang telah bercerai, Jean Marais, sedang duduk santai di kursi malasnya.

Tiba-tiba dia bangkit dari tempat duduknya, dan berjalan ke kanan dan ke kiri sambil menatap ke arah penonton. Dia pun mempersilakan penonton maju dan memberikan sesuatu kepada penonton. Penonton pun mengangguk dan Jean tertidur di lantai panggung, dan penonton pun menyambutnya dengan mencoret tubuh Jean dengan kapur.

Adegan kedua, sepasang suami-istri yang bertengkar. Pertengkaran semakin ngawur. Kata-kata yang dimuntahkan menjadi ngalor-ngidul, tak ada juntrungannya. Hingga pada ujung pertengkarannya, timbul untuk mengambil jalan masing-masing: bercerai.

Adegan selanjutnya, dua wanita penyuka sesama jenis menikmati kehidupan mereka dalam irama dugem yang menghentak-hentak.

Adegan baru lainnya, sepasang suami-istri tampak sedang berlatih yoga di rumahnya. Mereka membincangkan beragam yang berbuah pertengkaran. Pada puncaknya, putranya datang meledek dengan "wacana doang". Tawa pun pecah.

Adegan akhir, semua tokoh yang tampil di atas panggung ditampilkan kembali, tapi dengan sketsa yang merambat pelan. Ya, kehidupan mendadak melambat. Begitulah. (WANDI BARBOY/P)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012

Karya Hanna Fransisca Membongkar Isu Minor

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Karya-karya Hanna Fransisca berhasil menyingkap hal-hal yang minor, terutama dari etnik Tionghoa. Hal-hal yang justru tersimpan rapat dan jarang diungkap penyair perempuan lain justru dibongkar habis oleh Hanna.

Penyair dan sutradara Teater Satu, Iswadi Pratama, mengatakan hal itu dalam pidatonya saat roadshow tiga buku Hanna Fransisca di Taman Budaya Lampung (TBL), Kamis (6-9). Tiga buku Hanna tersebut adalah Benih Kayu Dewa Dapur (kumpulan puisi), Kawan Tidur (naskah lakon), dan Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (kumpulan cerpen). Dalam kesempatan itu pula tampil musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan cerpen, dan pembacaan dramatik karya-karya Hanna Fransisca.

Menurut Iswadi, Hanna mampu mengangkat kembali tradisi dalam karyanya untuk diramu menjadi puisi, cerpen, dan juga lakon yang menarik. "Kultur Tionghoa yang ditulis Hanna terasa sangat humanis mengingat selama ini bagaimana etnis ini sering dimarginalkan dan mendapat perlakuan yang tidak adil di negeri ini," ujarnya.

Dalam pandangan Iswadi, sastrawan kelahiran Singkawang, 33 tahun silam ini berhasil menemukan gaya ungkapnya sendiri. "Kalau penyair perempuan lain masih berasyik-asyik dengan dunianya sendiri, Hanna tampil dengan sesuatu yang berbeda. Kalau bicara bunga biasanya yang ditulis bunga melati atau bunga mawar, tetapi Hanna bicara tentang bunga yang lain," kata Iswadi.

Sama dengan puisi, cerpen-cerpen Hanna juga mempunyai daya ungkap yang khas. Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina, misalnya, sangat menarik karena Hanna yang juga seorang pengusaha di Jakarta, justru mengambil setting Lampung. "Kalaulah itu dilakukan cerpenis Lampung, enggak heran. Tapi Hanna kan orang yang sibuk, sempat-sempatnya melakukan riset di Lampung untuk karyanya."

Sayangnya, kata Iswadi, dalam cerpen itu ada beberapa logika yang mengganggu. "Saya melihat agaknya datanya belum matang diolah, sehingga kurang logis. Atau bisa jadi karena Hanna terlalu asyik membuat cerpennya puitik, sehingga melupakan narasi," kata Iswadi.

Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan naskah drama. Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media, antara lain Kompas, Koran Tempo dan Suara Merdeka. Sebelumnya, ia telah menerbitkan kumpulan puisi Konde Penyair Han (2010) yang menjadi Buku Sastra Terbaik pilihan Tempo 2010. Cerpen-cerpennya bisa ditemukan dalam antologi Kolecer & Hari Raya Hantu (2010).

Pengusaha bidang otomotif ini selain bersastra juga aktif di kegiatan sosial, seperti Lions Club Jakarta Kalbar Prima. Bahkan, ia juga bermain teater. Belum lama ini ia menjadi salah satu pemain pada pentas teater-puisi Kapal Penyeberangan Hukla, Leon Agusta. (UZK/K-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012

September 7, 2012

Kematian, Akhir Cerita Semuda

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kematian bukan akhir, melainkan awal dari kehidupan. Kematian selalu menjadi ending kumpulan cerita dalam buku Semuda karya Fritz Nuzir yang diterbitkan Indepth Publishing. Semuda merupakan kumpulan cerita yang dibuat Fritz Nuzir dalam kurun waktu enam tahun.

BEDAH SEMUDA. Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat (kanan) menjadi pembahas novel Semuda dalam peluncuran karya penulis Fritz Nuzir (kiri) siang tadi di Toko Buku Fajar Agung Bandar Lampung. (LAMPUNG POST/CR-3)

"Buku karya saya ini merupakan kumpulan cerita yang dibuat dalam kurun waktu enam tahun. Adapun tujuannya saya membuat karya ini biar bisa berbagi dan jika ada kebaikanya yang bisa diambil di dalamnya, alhamdulillah," kata Fritz Nuzir pada peluncuran dan diskusi buku Semuda di Toko Buku Fajar Agung, Jalan Raden Intan, Bandar Lampung, Kamis (6-9).

Menurut dia, judul buku Semuda dipilih karena di dalamnya terdapat tokoh berkarakter muda. Sementara itu, pembahas buku Semuda, Djadjat Sudradjat, mengatakan buku Semuda mempunyai makna yang sangat bervariasi, bergantung pada siapa pembacanya dan apakah sesuai dengan pemikiran pembaca. Menurut dia, yang sangat menarik karena di setiap cerita pada buku ini selalu berakhir dengan kematian.

"Kekuatan adalah suatu kebaruan, seperti karya yang dibuat Mas Fritz Nuzir merupakan suatu yang baru dengan judul bukunya Semuda. Adapun tujuan dari pengarang itu bergantung persepsi setiap pembaca mengambil nilai dan manfaatnya," ujar Djadjat yang juga Wakil Pemimpin Umum Lampung Post.Djadjat mengatakan sangat mengapresiasi karya Fritz Nuzir. "Secara umum saya mengucapkan selamat kepada Mas Fritz Nuzir yang telah berhasil membuat karya sastra, novel, yang mempunyai kebenaran autentik. Ini merupakan karya yang luar biasa menurut saya," kata dia.

Diskusi buku Semuda karya Fritz Nuzir ini dihadiri puluhan mahasiswa dan para pecinta buku fiksi sastra di Bandar Lampung. (CR1/K-1)

Sumber: Lampung Post, Jumat, 7 September 2012

September 6, 2012

Buku Semuda Penggugah Penulis Lampung

TRIBUNLAMPUNG.co.id - Kehadiran buku Semuda karya Fritz Nuzir yang merupakan kumpulan cerpen merupakan angin segar dalam perkembangan dunia tulis di Sai Bumi Ruwa Jurai. Fenomena ini jelas menjadi sebuah pertanda baik dari berbagai sisi, baik dari sisi pengarang atau penerbit lokal yang mampu menerbitkan karya yang bersaing.

Peluncuran dan diskusi tentang buku Semuda karya Fritz Nuzir. (Tribun Lampung/Heru Prasetyo)

Pemerhati sastra dan jurnalis senior Djajat Sudradjat mengatakan, apa yang dilakukan Fritz cukup mengejutkan. Di tengah profesinya sebagai arsitektur, dia malah menelurkan sebuah buku sastra, bukan buku ilmiah arsitek.

Tapi, sambung dia, keterkejutan ini sangat baik bagi perkembangan dunia menulis di Lampung. "Saya ucapkan selamat pada Fritz atas launching ini. Semoga hadirnya Semuda ini menjadi penggugah bangkitnya penulis-penulis lainnya," tegasnya, Kamis (6/9/2012).

Sementara itu, Oki Hajiansyah Wahab perwakilan dari penerbit Indept Publishing mengatakan, besar harapan geliat penulis Lampung makin tegugah dengan lahirnya Semuda. Menerbitkan hasil karya lewat penerbit indie merupakan, sebuah jalan lain untuk mendengungkan karya kita agar dapat dinikmati khalayak umum di samping sulitnya menembus jalan penerbit kenamaan.

"Moga ini bukan satu-satunya, tapi akan terus berlanjut dan tidak akan putus. Sehingga literasi Lampung kian kaya," jelas Oki. (Heru Prasetyo)

Editor : muhammadazhim

Sumber: Tribun Lampung, Kamis, 6 September 2012

September 5, 2012

Indept Luncurkan Novel Karya Seorang Arsitek

BANDARLAMPUNG News - Fritz Akhmad Nuzir Arsitek cum, akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL) segera meluncurkan novelnya berjudul Semuda. Pelucuran akan dilaksanakan, besok, Kamis sore (06/09) di Toko Buku Fajar Agung.

Direktur Indept Publishing,Tri Purna Jaya, menjelaskan, pihaknya tertarik dengan niatan Fritz untuk memulai karir dunia kepenulisannya. Acara peluncuran buku ini akan menghadirkan pembahas Djadjat Sudrajat (Wakil Pemimpin Umum Lampung Post) dan novelisnya, Fritz Nuzir.  Acara peluncuran akan dipandu moderator Heribertus (Jurnalis Tribun Lampung).

Fritz mengungkapkan, menjadi arsitek adalah cita-citanya. Sedangkan menjadi penulis adalah mimpinya sejak kecil. “Novel ini saya tulis sejak menempuh studi dan baru saat ini bisa diterbitkan.” Kata Fritz.

Indepth Publishing adalah penerbit lokal yang terus mendorong penulis-penulis muda dan akademisi, Empat bulan terakhir ini tercatat sudah ada tujuh buku yang diterbitkan. Selain novel berjudul Semuda,  Indepth juga akan meluncurkan beberapa buku baru lainnya.

"Strategi Marketing Indepth Publishing adalah mengoptimalkan penjualan lewat relasi para penulis. Yakni Pre Order atau pesan sebelum buku terbit,” kata Manager Pemasaran Indepth Publishing Oki.

Menurut Oki, enam buku sebelumnya rata-rata habis dalam waktu tiga sampai empat bulan dengan rata-rata dicetak 500-1.000 eksemplar. Khusus Novel berjudul Semuda sudah 30% dari total cetakan sudah terjual sebelum buku datang.

"Sebagai penerbit baru kami memang berupaya mengembangkan metode pemasaran lewat berbagai media sosial, kami tidak bergantung pada media penjualan konvensional di toko buku,” kata Oki.

Oki menjelaskan, novel Semuda karya Fritz dipasarkan dengan harga Rp33.300. Untuk pemesan pre order diberikan diskon 10% sehingga harganya menjadi Rp30.000. “Selain pasar lokal kami juga mengirimkan ke berbagai kota di Indonesia dan juga di luar negeri seperti Jerman, Belanda dan Hongkong,” kata Oki.  (jun/wan/bln)

Sumber: Bandarlampung News, 5 September 2012

Novel Semuda Diluncurkan

BANDAR LAMPUNG (LampostOnline): Novel karya penulis Lampung, Fritz Akhmad Nuzir, berjudul Semuda besok sore (Kamis, 6-9) diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung. Buku yang diterbitkan Indepth Publishing itu bergenre sastra dan pertama kali buat penerbit indie ini.

Direktur Indeoth Publishing Tri Purna Jaya mengatakan buku dicetak sekitar seribu eksemplar. Sampai dengan saat ini, jumlah pemesan sudah mencapai 300 orang. Tri mengatakan pihaknya memang berupaya untuk membuat pangsa pasar sendiri sehingga sebelum buku terbit calon pembaca sudah ada. "Ini strategi pasar kami dan membuat penghasilan atas buku ini cukup bagus," ujar eks jurnalis Lampung Post ini.

Acara besok sore, selain menghadirkan penulisnya, juga dihadiri Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjdat Sudradjat sebagai pembahas. Heribertus, jurnalis Tribun Lampung, didapuk sebagai moderator.

Novel Semuda ini adalah buku kelima yang dicetak Indepth dalam rentang empat bulan terakhir. Tri menjelaskan secara umum penjualan semua buku terbitan pihaknya cukup bagus. "Serapan pasarnya sangat cepat karena penulis juga berkontribusi dalam marketing dan promosi," ujar wartawan Kantor Berita Radio (KBR68H) ini.

Bahkan, ujar dia, buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh dalam sehari terjual 100 eksemplar. "Ini bukti bahwa penerbitan indie potensial untuk mendatangkan keuntungan. Termasuk juga menyemarakkan kultur literasi berupa membaca dan menulis di Lampung," ujar dia siang ini kepada LampostOnline.
Sumber: Lampungpost.com, Rabu, 5 September 2012

September 4, 2012

Indepth Publishing Luncurkan Novel

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Penerbit buku Indepth Publishing berencana meluncurkan buku baru bergenre sastra jenis novel. Direktur Indpeth Publishing Tri Purnajaya mengatakan, peluncuran novel karya Fritz Ahmad Nuzir akan diadakan,Kamis (6/9) pukul 15.00 di Toko Buku Fajar Agung.

"Novel dengan judul Semuda ini merupakan buku ke tujuh yang diterbitkan Indepth," kata Tri Purna Jaya, Selasa (4/9). Indepth Publishing merupakan penerbit buku baru yang hadir di Lampung sejak Mei 2012. (heribertus sulis)

Sumber: Tribun Lampung, Selasa, 4 September 2012

Organisasi Profesi: AJI Bandar Lampung Jual Buku untuk Operasional Sekretariat

Oleh Yulvianus Harjono

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung menggalang dana operasional sekretariat secara mandiri, yaitu melalui penerbitan buku yang ditulis para anggotanya.

Langkah ini ditandai dengan penjualan buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh yang ditulis Udo Z Karzi, jurnalis Lampung Post yang juga pernah memenangi Rancage Award. Buku ini diterbitkan oleh Indepth Publishing yang merupakan unit usaha mandiri AJI Bandar Lampung.

Ketua AJI Bandar Lampung Wakos Reza Gautama, Selasa (4/9/2012), menjelaskan, salah satu tujuan penjualan buku ini adalah untuk membiayai operasional sewa rumah bangunan sekretariat AJI di Bandar Lampung. Wakos menjelaskan, untuk sewa hingga dua tahun mendatang dibutuhkan dana 20 juta. Buku ini dijual Rp 50.000 per eksemplar. Diharapkan, sebagian dana penjualan buku ini bisa untuk menutupi kebutuhan biaya sewa itu.

"Kami berupaya mengoptimalkan semua potensi anggota untuk penggalangan dana sekretariat, sebagai bentuk rasa memiliki anggota dan bukti kemandirian organisasi," ujarnya.

Dalam waktu beberapa hari sejak diluncurkan, buku ini telah terjual 200 eksemplar, sehingga terkumpul dana 10 juta. "Kami bangga karena pembeli buku ini berasal dari berbagai kalangan. Kami berharap semua anggota akan berpartisipasi memasarkan buku ini ke publik, selain membangun juga budaya baca di Lampung," tutur jurnalis dari Tribun Lampung ini.

Penerbitan independen Indepth Publishing merupakan penerbitan independen yang saat ini sangat aktif dalam menerbitkan buku. Setidaknya sudah lima buku yang diterbitkan penerbitan yang dikelola anggota AJI Bandar Lampung ini. Salah satu buku itu adalah Terasing di Negeri Sendiri karya Oki Hajiansyah Wahab, jurnalis dan aktivis reforma agraria.

Buku yang mengisahkan soal polemik kasus agraria di Mesuji, Lampung, dan kehidupan masyarakat Moro-Moro yang terabaikan hak-hak sosial dan politiknya ini juga diterbitkan dalam versi Bahasa Inggris berjudul Alianated in Their Own Homeland. Buku ini telah dipasarkan hingga ke Belanda, Amerika Serikat, dan Hongkong.

Editor: Marcus Suprihadi

Sumber: Kompas.com, Selasa, 4 September 2012