Oleh Asarpin
MAMAK Kenut, sebuah nama dalam khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung, yang kembali dipopulerkan Udo Z. Karzi lewat serangkaian kolomnya di rubrik Nuansa Lampung Post, kini telah dibukukan dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012).
Apa boleh buat, Mamak Kenut pun menjelma seorang tokoh yang begitu melekat dengan si penulisnya. Sampai-sampai beberapa teman pembaca mengindentikkan Mamak Kenut dengan sosok Udo Karzi sendiri.
Mamak Kenut adalah tokoh yang usil, cerewet, dan nakal. Sentilan-sentilan, olok-oloknya, dan celotehnya yang sarkas terasa menyegarkan untuk sebuah kolom pendek dengan ruang yang amat terbatas. Antara nama yang kampungan dengan cita-rasa yang sekolahan dalam diri Mamak Kenut tampaknya berbaur.
Sosok Mamak Kenut tak mudah ditafsirkan karena posisi dan wataknya seringkali sulit ditangkap, walaupun kelampungan dan kekampungan dari nama itu amat kentara. Mamak Kenut memang bukan tokoh tunggal dalam kolom-kolom Udo, tetapi posisinya yang sentral tak bisa dimungkiri.
Posisi ini serupa tapi tak sama dengan Mister Rigen dalam kolom-kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat tahun 1980-an atau Markisot dalam kolom-kolom Emha Ainun Nadjib. Walaupun Udo mencoba menghadirkan tokoh-tokohnya dengan posisi yang nyaris tetap dan selalu memiliki pasangan perwatakan, hemat saya Mamak Kenut adalah sebuah pokok dan tokoh sekaligus.
***
Mamak Kenut bisa jadi agak membosankan jika didekati secara tematik. Sebab, apa yang dihadirkan Udo di situ sudah pula dimamah-biak oleh media massa. Namun, yang menarik—dan menjadi daya tarik Mamak Kenut—adalah bagaimana persoalan-persoalan politik itu tercermin lewat penggunaan bahasa Udo yang khas.
Harus diakui, sebagian besar kolom dalam Mamak Kenut menggunakan bahasa campuran Lampung dan Indonesia. Bahkan, di sana-sini muncul pula bahasa Inggris. Pencampuran atau pembauran bahasa dalam Mamak Kenut bukan sekadar strategi kosong, memang barangkali diniatkan dengan sengaja agar tulisan terasa komunikatif dan lucu. Lewat bahasa Lampung Udo tampaknya sengaja mengomentari dunia Indonesia, dan lewat bahasa Indonesia ia tampak menemukan kerinduan akan bahasa kedua orang tuanya.
Apakah ini dapat disebut sebagai strategi melokalisasi bahasa Indonesia? Dengan kata lain, sebuah cara yang sengaja untuk me-Lampung-kan bahasa Indonesia sebagaimana banyak kolumnis-kolumnis Jawa yang sengaja tampaknya ingin men-Jawa-kan bahasa Indonesia? Bisa jadi karena ini kolom-kolom yang dihadirkan dengan bahasa orang kebanyakan dengan maksud menghibur.
Kalaulah Udo lebih total bereksprerimen dengan nakal, kolom-kolomnya lebih berpeluang untuk menampilkan hakikat dari falsafah wat-wat gawoh yang dipopulerkan Lampung Post. Kolom-kolom Udo hemat saya adalah jelmaan dari wat-wat gawoh yang berhasil dan mendalam.
Udo diam-diam memiliki ketangkasan berbahasa khas orang Lampung yang pandai nurik, pacak menghadirkan pubalahan. Udo kaya dengan pubalahan yang khas dan menukik, yang mengingatkan saya kepada beberapa kolom mendiang Mahbub Djunaidi, terutama dalam buku Kolom Demi Kolom.
Judul-judul seperti Politisi Olahraga, Biasa Saja, Bablas, Musyawarah-Mufakat, Orang Bersih, Kapasitas, Iqra, Sementara Itu, Satu Miliar adalah kolom-kolom tangguh yang berkelas. Bahasanya kadang langsung menukik. Kolom-kolom Udo terasa lebih kuat justru ketika ia bicara hal-hal yang tidak terkait langsung dengan isu aktual. Campuran bahasa Lampung dan bahasa Indonesia sengaja dipakai dengan maksud untuk mempertegas identitas atau mungkin menunjukkan sebuah peralihan budaya.
Udo berusaha menghadirkan kembali bahasa percakapan sehari-hari yang tidak birokratis. Udo bolak-balik menggunakan bahasa Indonesia bergaya Lampung dengan bahasa Lampung bergaya Indonesia. Dalam campuran linguistik ini, lalu lintas bahasa tampaknya berjalan sangat komunikatif. Inilah bahasa keakraban, bahasa kehidupan sehari-hari orang Lampung kini, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Melalui bahasa campuran, pembaca merasa lebih akrab dan tersentuh.
Dari segi linguistik, Udo saya kira telah memiliki bahasa pengucapan khas, yang bukan sekadar pengagum para pendahulunya, yang memiliki keberanian berucap yang konyol tapi penuh kejujuran sekaligus bijak. Orang yang telah memiliki bahasa dengan gayanya sendiri adalah orang yang tak mudah tergoda oleh rayuan tulisan orang lain yang bagus. Kalaupun sesekali ia menelikung, ciri khas dan karakternya akan dengan mudah dikenali oleh pembaca setianya.
Saya cemburu dengan orang yang telah memiliki bahasa pengucapan khusus, dalam arti telah memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri. Soal model dan genre yang dipakai, itu urusan nomor sekian. Yang terpenting saya telah menemukan sesuatu yang menyegarkan tatkala membacanya.
Tak banyak orang yang menyukai "kolom-kolom yang tidak serius" tapi menghadirkan urusan yang begitu serius. Ketika masih mahasiswa, saya sama sekali tak menyukai kolom-kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, Zaim Saidi, dan Farid Gaban. Tapi belakangan saya "tergila-gila" dengan tulisan mereka lantaran itulah menurut saya hakikat dari sebuah tulisan esai yang sejati.
Udo selalu konsisten dengan gayanya yang ke-Lampung-Lampung-an. Saya kira ini modal awal bagi seorang penulis yang bersungguh-sungguh dan percaya diri. Dan Udo, adalah satu dari seribu orang Lampung yang mampu menyampaikan pubalahan dan taturik yang menukik dalam bentuk tulisan pendek. Orang yang pacak menyampaikan warahan atau pubalahan serta taturik secara lisan belum tentu tetap pacak ketika disampaikan dalam bentuk tulisan. Dan Udo telah melakukan itu, dan hasilnya adalah ratusan kolom yang layak untuk dijadikan bahan skripsi para calon sarjana di bidang humaniora.
Pilihan kata yang menerabas kaidah resmi dan dengan ringan mencomot kosakata daerah Lampung demi sebuah kisah yang hidup, sungguh amat terpuji. Pilihan kata ada yang begitu lucu. Ambil contoh misalnya kata "pelitisi". Kata ini tentu pelesetan dari politisi. Selain logatnya agak kelampungan, kata ini mengandung maksud ledekan atau sindiran. Udo memilki semangat bertutur secara lisan yang kadang unik, tetapi terkadang begitu polos, seperti “Gua Gegol Nanti”. Gerundel-gerundel dan pisuh-misuh-nya amat berbahaya dan bisa menimbulkan perkara yang panjang.
Barangkali dapat dimaklumi jika anak-anak muda kurang berselera dengan gaya Mamak Kenut, apalagi anak muda yang tak mengerti bahasa Lampung. Tapi jangan coba-coba meremehkan pembaca tua, apalagi dengan santai Anda yang berusaha membacakannya kepada kakek Anda, apalagi dia orang Lampung, spontan rawut wajahnya ceria dan terkadang tertawa terbahak-bahak (mungkin) tidak karena ceritanya lucu, tetapi pilihan nama tokoh-tokohnya begitu menyentuh perasaan kelampungan. n
Asarpin, Esais, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012
MAMAK Kenut, sebuah nama dalam khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung, yang kembali dipopulerkan Udo Z. Karzi lewat serangkaian kolomnya di rubrik Nuansa Lampung Post, kini telah dibukukan dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012).
Apa boleh buat, Mamak Kenut pun menjelma seorang tokoh yang begitu melekat dengan si penulisnya. Sampai-sampai beberapa teman pembaca mengindentikkan Mamak Kenut dengan sosok Udo Karzi sendiri.
Mamak Kenut adalah tokoh yang usil, cerewet, dan nakal. Sentilan-sentilan, olok-oloknya, dan celotehnya yang sarkas terasa menyegarkan untuk sebuah kolom pendek dengan ruang yang amat terbatas. Antara nama yang kampungan dengan cita-rasa yang sekolahan dalam diri Mamak Kenut tampaknya berbaur.
Sosok Mamak Kenut tak mudah ditafsirkan karena posisi dan wataknya seringkali sulit ditangkap, walaupun kelampungan dan kekampungan dari nama itu amat kentara. Mamak Kenut memang bukan tokoh tunggal dalam kolom-kolom Udo, tetapi posisinya yang sentral tak bisa dimungkiri.
Posisi ini serupa tapi tak sama dengan Mister Rigen dalam kolom-kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat tahun 1980-an atau Markisot dalam kolom-kolom Emha Ainun Nadjib. Walaupun Udo mencoba menghadirkan tokoh-tokohnya dengan posisi yang nyaris tetap dan selalu memiliki pasangan perwatakan, hemat saya Mamak Kenut adalah sebuah pokok dan tokoh sekaligus.
***
Mamak Kenut bisa jadi agak membosankan jika didekati secara tematik. Sebab, apa yang dihadirkan Udo di situ sudah pula dimamah-biak oleh media massa. Namun, yang menarik—dan menjadi daya tarik Mamak Kenut—adalah bagaimana persoalan-persoalan politik itu tercermin lewat penggunaan bahasa Udo yang khas.
Harus diakui, sebagian besar kolom dalam Mamak Kenut menggunakan bahasa campuran Lampung dan Indonesia. Bahkan, di sana-sini muncul pula bahasa Inggris. Pencampuran atau pembauran bahasa dalam Mamak Kenut bukan sekadar strategi kosong, memang barangkali diniatkan dengan sengaja agar tulisan terasa komunikatif dan lucu. Lewat bahasa Lampung Udo tampaknya sengaja mengomentari dunia Indonesia, dan lewat bahasa Indonesia ia tampak menemukan kerinduan akan bahasa kedua orang tuanya.
Apakah ini dapat disebut sebagai strategi melokalisasi bahasa Indonesia? Dengan kata lain, sebuah cara yang sengaja untuk me-Lampung-kan bahasa Indonesia sebagaimana banyak kolumnis-kolumnis Jawa yang sengaja tampaknya ingin men-Jawa-kan bahasa Indonesia? Bisa jadi karena ini kolom-kolom yang dihadirkan dengan bahasa orang kebanyakan dengan maksud menghibur.
Kalaulah Udo lebih total bereksprerimen dengan nakal, kolom-kolomnya lebih berpeluang untuk menampilkan hakikat dari falsafah wat-wat gawoh yang dipopulerkan Lampung Post. Kolom-kolom Udo hemat saya adalah jelmaan dari wat-wat gawoh yang berhasil dan mendalam.
Udo diam-diam memiliki ketangkasan berbahasa khas orang Lampung yang pandai nurik, pacak menghadirkan pubalahan. Udo kaya dengan pubalahan yang khas dan menukik, yang mengingatkan saya kepada beberapa kolom mendiang Mahbub Djunaidi, terutama dalam buku Kolom Demi Kolom.
Judul-judul seperti Politisi Olahraga, Biasa Saja, Bablas, Musyawarah-Mufakat, Orang Bersih, Kapasitas, Iqra, Sementara Itu, Satu Miliar adalah kolom-kolom tangguh yang berkelas. Bahasanya kadang langsung menukik. Kolom-kolom Udo terasa lebih kuat justru ketika ia bicara hal-hal yang tidak terkait langsung dengan isu aktual. Campuran bahasa Lampung dan bahasa Indonesia sengaja dipakai dengan maksud untuk mempertegas identitas atau mungkin menunjukkan sebuah peralihan budaya.
Udo berusaha menghadirkan kembali bahasa percakapan sehari-hari yang tidak birokratis. Udo bolak-balik menggunakan bahasa Indonesia bergaya Lampung dengan bahasa Lampung bergaya Indonesia. Dalam campuran linguistik ini, lalu lintas bahasa tampaknya berjalan sangat komunikatif. Inilah bahasa keakraban, bahasa kehidupan sehari-hari orang Lampung kini, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Melalui bahasa campuran, pembaca merasa lebih akrab dan tersentuh.
Dari segi linguistik, Udo saya kira telah memiliki bahasa pengucapan khas, yang bukan sekadar pengagum para pendahulunya, yang memiliki keberanian berucap yang konyol tapi penuh kejujuran sekaligus bijak. Orang yang telah memiliki bahasa dengan gayanya sendiri adalah orang yang tak mudah tergoda oleh rayuan tulisan orang lain yang bagus. Kalaupun sesekali ia menelikung, ciri khas dan karakternya akan dengan mudah dikenali oleh pembaca setianya.
Saya cemburu dengan orang yang telah memiliki bahasa pengucapan khusus, dalam arti telah memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri. Soal model dan genre yang dipakai, itu urusan nomor sekian. Yang terpenting saya telah menemukan sesuatu yang menyegarkan tatkala membacanya.
Tak banyak orang yang menyukai "kolom-kolom yang tidak serius" tapi menghadirkan urusan yang begitu serius. Ketika masih mahasiswa, saya sama sekali tak menyukai kolom-kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, Zaim Saidi, dan Farid Gaban. Tapi belakangan saya "tergila-gila" dengan tulisan mereka lantaran itulah menurut saya hakikat dari sebuah tulisan esai yang sejati.
Udo selalu konsisten dengan gayanya yang ke-Lampung-Lampung-an. Saya kira ini modal awal bagi seorang penulis yang bersungguh-sungguh dan percaya diri. Dan Udo, adalah satu dari seribu orang Lampung yang mampu menyampaikan pubalahan dan taturik yang menukik dalam bentuk tulisan pendek. Orang yang pacak menyampaikan warahan atau pubalahan serta taturik secara lisan belum tentu tetap pacak ketika disampaikan dalam bentuk tulisan. Dan Udo telah melakukan itu, dan hasilnya adalah ratusan kolom yang layak untuk dijadikan bahan skripsi para calon sarjana di bidang humaniora.
Pilihan kata yang menerabas kaidah resmi dan dengan ringan mencomot kosakata daerah Lampung demi sebuah kisah yang hidup, sungguh amat terpuji. Pilihan kata ada yang begitu lucu. Ambil contoh misalnya kata "pelitisi". Kata ini tentu pelesetan dari politisi. Selain logatnya agak kelampungan, kata ini mengandung maksud ledekan atau sindiran. Udo memilki semangat bertutur secara lisan yang kadang unik, tetapi terkadang begitu polos, seperti “Gua Gegol Nanti”. Gerundel-gerundel dan pisuh-misuh-nya amat berbahaya dan bisa menimbulkan perkara yang panjang.
Barangkali dapat dimaklumi jika anak-anak muda kurang berselera dengan gaya Mamak Kenut, apalagi anak muda yang tak mengerti bahasa Lampung. Tapi jangan coba-coba meremehkan pembaca tua, apalagi dengan santai Anda yang berusaha membacakannya kepada kakek Anda, apalagi dia orang Lampung, spontan rawut wajahnya ceria dan terkadang tertawa terbahak-bahak (mungkin) tidak karena ceritanya lucu, tetapi pilihan nama tokoh-tokohnya begitu menyentuh perasaan kelampungan. n
Asarpin, Esais, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012
No comments:
Post a Comment