October 31, 2004

Sastra Modern (Berbahasa) Lampung

Oleh Udo Z. Karzi

KILU mahap nihan, kutulis esai inji. Dengan segala maaf, saya tulis esai ini.Saya sebenarnya telah "kena marah" oleh ulun tuha yang tentu lebih paham dengan apa yang mereka sebut sebagai sastra tradisi (dan karena itu biasanya dalam bentuk lisan) Lampung. Saya mungkin salah karena telah menulis kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia Momentum (2002).

Sayangnya mereka yang memarahi saya tidak menuliskan kemarahan mereka dalam bentuk tulisan. Tapi, hanya lewat lisan yang langsung atau tidak langsung saya dengar, baik di situasi formal maupun informal.

Ada beberapa sebab mengapa mereka memarahi saya. Pertama, saya secara sadar memakai huruf "r" untuk huruf "gh" atau "kh" yang selama ini diributkan masing-masing penganutnya. Padahal, menurut mereka, dalam bahasa Lampung tidak dikenal huruf r, tetapi gh atau kh.

Kedua, para tuha-tuha adat adat juga menganggap saya telah semau-mau menulis sajak. "Kamu itu benar-benar ngawur!" kata mereka. Sebab, sastra Lampung itu tidak begitu. Ada sanjak abab atau aaaa atau ..., coba lihat contoh konkrit berbagai jenis puisi Lampung lainnya (dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, dan lain-lain).

Ketiga, bahasa yang saya gunakan bukan bahasa Lampung "tinggi" yang biasa dituturkan jelma Lappung dalam acara rasan buhimpun (musyawarah adat) atau upacara adat lain. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Lampung sehari-hari yang sering saya pakai di Liwa, Lampung Barat. Ini, bisa jadi, mereka anggap merusak bahasa Lampung.

Keempat, sajak-sajak Lampung yang saya tulis hampir sama sekali tidak memuat nilai-nilai tradisi Lampung seperti pi'il pesenggiri (pi'il pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan). Saya malah menuliskan masalah-masalah kekinian (kontemporer) dalam bentuk puisi dengan bahasa sehari-hari dan seperti diucapkan sambil lalu saja. Bahkan, dalam beberapa sajak saya justru bersikap kritis terhadap apa yang "sudah dianggap tradisi" itu.

Saya memang sama sekali tak hendak mengindah-indahkan bahasa puisi saya, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia.Sayangnya, kritik atau "kemarahan" tuha-tuha adat ini tak pernah dituangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, sekian bulan saya berharap buku kumpulan sajak saya itu mendapatkan apresiasi yang memadai dari mereka yang katanya ingin mengembangkan seni-budaya Lampung. Tapi, saya pun harus segera maklum. Sebab, budaya tulis masih belum melekat dalam diri kita. Kita masih lebih suka dengan segala bentuk kelisanan, termasuk dalam sastra (berbahasa) Lampung yang sering disimpelkan dengan menyebutkan sastra tradisi Lampung.

* * *

Lalu, saya mendapat undangan untuk mengikuti sebuah acara bertajuk "Pertemuan Dua Arus", sebuah acara pembacaan karya oleh sastrawan tradisi dan sastrawan modern, 21 Juli 2004. Saat Direktur Jung Foundation Christian Heru Cahyo Saputro mengontak saya dan bertanya, "Anda memilih arus tradisi atau arus modern?" saya sempat berpikir, saya ini tergolong sastrawan tradisi atau modern. Tapi, agar tak terlalu berlarut-larut, saya segera menjawab saja, "Tradisi."

Malam itu bertemulah dua jenis karya sastra yang disebut tradisi dan modern. Dari arus modern berderet nama Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, Budi P. Hatees, Dyah Indramertawirana, Panji Utama, Eddy Samudra Kertagama, Sugandhi Putra, Ahmad Julden Erwin, Iswadi Pratama, Dyah Indra Mertawirana, Arie Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, AM. Zulqornain, dan Inggit Putria Marga membacakan puisi atau cerpen modern (sastra berbahasa Indonesia).Sedang dari arus tradisi, ada Masnuna, Havisi Hasan, Azhari Kadir, Sutan Dermawan Sutan, Sutan Purnama, Sutan Punyimbang Sutan, A. Roni Angguan, Johan Ratu Bahagia, Paksi Marga, Ria Gusria, Solihan, Rosila, Abas Sutan Oelangan, Andi, Yusnawati, Indra Bangsawan, Heri Junaidi, dan Nurdin Darsan melantunkan dadi, pattun, wayak, sesikun, seganing, segata, termasuk lagu klasik Lampung.

Dua arus: tradisi dan modern bertemu saat itu. Sastra tradisi -- secara kebetulan -- hampir semua berbahasa Lampung. Sebaliknya, sastra modern -- secara kebetulan -- hampir semuanya menggunakan bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan saya? Kebetulan saya membacakan sajak hampir di penghujung acara ketika para apresiasian seni satu per satu meninggalkan pertunjukkan. Dalam bahasa Lampung, saya katakan, saya ingin membacakan sajak yang sebetulnya menurut saya modern. Cuma saya memilih menggunakan bahasa Lampung. Maka, saya bacakan dua sajak berbahasa Lampung: "Repa Nyak Dapok Lupa" (Bagaimana Mungkin Aku Lupa) dan "Kik Cawa Mak Tiregai Lagi" (Bila Kata Tak Dihargai Lagi) sebagaimana orang biasa membaca puisi. Sebabnya, saya memang tidak bisa membacakan puisi Lampung itu seperti para seniman Lampung lainnya melantunkan dadi, wayak, pisaan, dan berbagai bentuk puisi tradisi Lampung itu.

Terus terang sejak awal saya memang bingung, mau ditempatkan dimana puisi-puisi (berbahasa) Lampung saya. Tradisi atau modern? Kalau saya berkeras sajak saya modern, pendengarnya boleh dibilang mayoritas tidak mengerti apa yang saya katakan dalam bahasa Lampung. Terus kalau puisi saya tradisi -- toh akhirnya malam itu saya digolongkan sastrawan tradisi -- rasanya saya tidak meneruskan tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Saya "kayak" mengada-ada dan menyalahi "pakem" sastra (berbahasa) Lampung.

* * *

Belajar dari sastra (berbahasa) Indonesia, sampai kini toh masih ada pertanyaan, bahkan polemik tentang kapankah sastra (modern) Indonesia lahir. Ada pakar sastra Indonesia yang bilang, sastra Indonesia dimulai pada 1920. Tapi, ada juga yang mengatakan, sejak tahun 1870-an dengan ditandai dengan terbitnya puisi "Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi" (anonim)" yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Maka, berdebatlah A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan Slametmoeljana.Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan Airlangga.

Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.Dengan tegas Braginsky menyatakan, "Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia. Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya." (lihat: Asep S. Sambodja, 2004).

Dengan acuan di atas, kita juga berhak bertanya, adakah sastra modern Lampung atau atau kapankah sastra modern Lampung lahir? Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang aneh karena kita telah menyaksikan sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang ada sekarang telah menjadi sastra modern.Ukuran modern memang relatif, tetapi dalam esai ini "sastra modern" lebih mengacu pada struktur atau bentuk karya sastra. Kalau dari segi isi atau tema, sastra modern bisa saja berisi nilai-nilai tradisi. Atau sebaliknya, sastra tradisi (biasanya lisan) berisi nilai-nilai modern.

* * *

Kalau orang bicara sastra (berbahasa) Lampung, maka yang segera disodorkan adalah bentuk-bentuk sastra tradisi Lampung yang karena masih tradisi, biasanya dituturkan secara lisan secara turun-temurun. Sastra tradisi lisan Lampung dengan begitu menjadi milik kolektif sebuah komunitas, katakanlah masyarakat adat Lampung di tempat-tempat tertentu. Biasanya juga sastra tradisi ini sering melekat dalam berbagai upacara adat Lampung.

Sastra tradisi lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung dan sebagai penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.

Menurut pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi, sastra lisan Lampung dapat mendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik, memupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama, menunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung, dan menunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.

Dalam keterbatasan ruang tentu tidak pada tempatnya jenis-jenis sastra tradisi lisan Lampung ini dibahas satu per satu dan diberikan contohnya di sini. Tapi, dalam berbagai diskusi jenis-jenis sastra tradisional inilah dikhawatirkan punah. Penyebabnya, antara lain regenerasi penutur atau pembaca sastra sebut saja dadi yang sering dilantunkan Masnuna, seniman sepuh Lampung terlampau lambat kalau bukan hampir macet. Pertanyaannya kan, masih adakah yang bisa membawakan dadi selain Masnuna dan sedikit seniman lainnya?

Di sinilah, letak kegelisahan itu. Sastra tradisi lisan sebagaimana sebutannya, diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas adat, tidak pernah dituliskan, dan sering anonim. Kalau pun sekarang ada yang menuliskan, tentu yang menuliskan sastra tradisi itu tidak berhak mencantumkan namanya sebagai penulis atau pencipta karya itu. Sebab, itu bukan karya pribadinya. Soalnya, ia hanya menuliskan sastra lisan yang ia ingat dan pernah popular dalam masyarakat adat. Sastra tradisi milik kolektif dan tidak diketahui siapa penciptanya.

* * *

Dengan latar seperti itulah, saya kemudian mencoba menulis sajak-sajak modern (berbahasa) Lampung, yang kemudian antara lain terkumpul dalam buku: Momentum (2002). Sebetulnya, penerbitan buku itu memang ingin saya jadikan momentum bagi kebangkitan sastra modern Lampung. Maka, saya perlu mengucapkan terima kasih banyak kepada sahabat Kuswinarto, orang Metro yang kini tinggal di Malang, Jawa Timur dan Binhad Nurrohmat, penyair Lampung Timur yang bermukim di Jakarta; yang telah mengapresiasi buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesia tersebut.

Sajak-sajak saya dalam buku itu memang sama sekali tidak lagi patuh pada tata aturan atau kaedah perpuisian (berbahasa) Lampung yang selama ini dikenal masyarakat (ulun) Lampung. Ya, saya ngawur seperti yang dituduhkan tuha-tuha adat. Dalam sajak-sajak, baik bahasa Lampung maupun bahasa Indonesia, saya mencoba lebih "bebas" (lengkapnya lihat Kuswinarto, 2003 dan Binhad Nurrohmat, 2003).

Dalam pengantar buku kumpulan sajak saya itu, saya tuliskan: inji ampai muwak ni. Artinya, saya masih berharap banyak pada perkembangan dan kemajuan sastra Lampung. Tradisi dan modern berjalan seiring. Lagi pula, tradisi atau modern dalam karya sastra terkadang sulit dipisahkan. Saya hanya mau menekankan bagaimana agar kehidupan sastra Lampung (dengan tekanan menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku) tetap berkembang dinamis dengan segala kreatifitas para pendukung sastra Lampung; sastrawan Lampung sendiri. Tegasnya, sastrawan menjadikan bahasa Lampung sebagai bahan baku bagi proses kreatifnya. Mengapa tidak?

Meski agak basi karena terlalu sering diucapkan pejabat, terpaksa saya gunakan juga kalimat klise berbunyi: mak tanno kapan lagi, mak ram sapa lagi.Tabik.

BACAAN:
1. Asep S. Sambodja. Dua 'Kiblat' dalam Sastra Indonesia". Cybersastra, 03 September 20042.
2. Binhad Nurrohmat. "Kebangkitan Sastra Lokal". Suara Pembaruan, Minggu, 8 Juni 2003.
3. Kuswinarto. "Sastra Lampung Merindukan Hujan Sastrawan". Cybersastra, 8 Januari 2002.
4. Kuswinarto. "Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung". Cybersastra, 28 Mei 2003.5.
5. Udo Z. Karzi. "Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tak Merata". Cybersastra, 9 Januari 2002.
6. Udo Z. Karzi. "Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan". Teknokra, November 2003.

Sumber: Koran Festival, Edisi Istimewa, Oktober 2004

April 25, 2004

Sandyakala Bahasa dan Sastra Daerah Lampung

Oleh Kuswinarto

FEBRUARI 2004, pada minggu yang sama, saya mendapat e-mail dari dua sastrawan di Bandar Lampung. Satu dari Alex R. Nainggolan dan satu lagi dari "bapak puisi modern (berbahasa) Lampung" Udo Z. Karzi. Yang satu berisi "kedukaan", sedangkan yang lainnya berisi "kegembiraan". Seolah-olah saya ini kritikus sastra, Alex teriak, "Mas Kus, kapan pulang! Lampung miskin kritikus nih!" Teriakan Alex itu membuat saya beberapa detik tercenung di depan layar monitor.

Sementara itu, lewat e-mailnya, Udo Z. Karzi mengabarkan bahwa surat kabar tempatnya bekerja, Lampung Post, setiap Senin kini menghadirkan rubrik khusus "Pah Bubahasa Lappung". Rubrik ini kerjasama Lampung Post dengan D3 Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Unila.

Kabar dari Udo Z. Karzi itu saya kategorikan kabar "gembira" karena ada upaya selangkah lagi lebih maju untuk pembinaan bahasa Lampung. Akan tetapi, setelah mengirim berita “gembira” itu, beberapa hari kemudian Udo Z. Karzi mengirim sebuah esai “duka” ke Cybersastra.net, berjudul “Sastra (Berbahasa) Lampung dari Kelisanan ke Keberaksaraan” (Cybersastra.net, 14/03/2004). Esai ini saya kira merupakan lanjutan esai Udo Z. Karzi yang ditulis jauh sebelumnya, yakni esainya “Hujan Sastra (Sastrawan) Lampung Memang Tak Merata” (Cybersastra.net, 09/01/2002). Dalam esai barunya, Udo Z. Karzi antara lain kembali mengungkapkan sebuah realita bahwa orang Lampung malu dengan bahasanya sendiri.

Malu menggunakan bahasa daerahnya sendiri, ini sebetulnya merupakan gejala umum pemakai bahasa daerah di Indonesia. Penutur bahasa daerah lain di Indonesia juga menunjukkan gejala yang sama dengan penutur bahasa Lampung.

Di propinsi yang bertetanggaan dengan Lampung, yakni Bengkulu, tak terkecuali. Generasi muda Suku Rejang di Bengkulu banyak yang tidak dapat membaca wacana yang ditulis dengan aksara peninggalan nenek moyang mereka, yakni aksara Kagana. Bahasa lain di Bengkulu, yakni bahasa Serawai, bahasa Lemba, dan bahasa Melayu, belakangan juga hanya digunakan oleh orang-orang tua (llihat Kompas, 08/03/2001).

Kaum muda Sunda dan Gorontalo juga lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerahnya. Ini diinformasikan oleh Ani Sekarningsih, pengarang roman antropologis Namaku Teweraut, dalam sebuah emailnya kepada saya. Dalam amatan Ani Sekarningsih, seperti pemakai bahasa Lampung, banyak pemakai bahasa Sunda dan bahasa Gorontalo malu menggunakan bahasa daerahnya.

Bahasa-bahasa daerah di Maluku Utara kondisinya juga tak jauh berbeda. Semakin banyak generasi muda Maluku Utara tidak bisa lagi menggunakan bahasa daerahnya, seperti bahasa Ternate, Tidore, Makin, dan bahasa Sanana. Menurut Zulkifli Sahafin, staf pengajar bahasa pada Universitas Khairun, Maluku Utara, malah banyak orang Ternate yang bisa berbahasa Ternate justru setelah ia keluar Ternate. Misalnya, kuliah di Jakarta. Ketika saya tanya mengapa bisa begitu, Zulkifli Sahafin mengemukakan, "Soalnya, di luar Ternate, mereka bisa tidak diakui sebagai orang Ternate oleh kawan-kawannya jika tidak bisa menggunakan bahasa Ternate. Maka mereka terpaksa belajar bahasa Ternate."

Di Sumatera Utara, kabar tentang bahasa Batak, satu dari delapan bahasa daerah di Sumut juga memprihatinkan. Bahkan, program studi Bahasa Batak dan Bahasa Melayu di Universitas Sumatera Utara (USU) terancam tutup akibat jumlah peminatnya hanya 10 orang (=daya tampung kedua program studi itu 40-50 orang), padahal tidak ada lagi perguruan tinggi di Indonesia yang membuka program studi itu (Kompas, 19/06/2002).

Kemerosotan juga terjadi pada bahasa Minang. Rina Marnita AS dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, mengemukakan bahwa bahasa Minang, terutama ragam resmi, perlu pendapat perhatian serius. Sebab, dalam sebuah penelitiannya, Rina Marnita AS menyimpulkan bahwa tingkat pengenalan dan kemampuan memakai ragam resmi bahasa Minang oleh generasi muda dewasa ini, khususnya di daerah perkotaan, sangat rendah (MLI, 1999:29).

Di propinsi paling timur Indonesia, Papua, eksistensi bahasa daerah tak kalah memprihatinkan. Dalam sebuah penelitiannya, Theodorus T. Purba dari Universitas Cenderawasih mengungkapkan ada sekitar 250 bahasa daerah di Papua, terdiri dari dua kelompok bahasa daerah, yakni kelompok Austronesia (sekitar 50 bahasa) dan Kelompok Non-Austronesia (sekitar 200 bahasa). Dari semua bahasa di Papua, hanya 17 bahasa yang penuturnya 10.000 ke atas, 18 bahasa penuturnya 5000--10.000, 61 bahasa penutur 1000--5000, sekitar 143 bahasa berpenutur kurang dari 1000, 62 bahasa penuturnya tidak lebih dari 200 orang, dan 33 bahasa penuturnya tidak lebih dari 100 orang.

Generasi muda Papua, menurut Theodorus T. Purba, cenderung tidak lagi memakai bahasa ibu. T. Purba juga menemukan realita bahwa di Papua hanya orang yang berumur 60 tahun ke atas yang bisa memakai bahasa Tobati dan bahasa Kayupulau, sedangkan yang bisa memakai bahasa Ormu hanya mereka yang berumur 40 tahun ke atas. Realita di Papua bahwa generasi muda tidak bisa lagi memakai bahasa ibunya juga berlaku pada bahasa Nafri, bahasa Inanwatan, bahasa Puragi, dan bahasa Eraso.

Tak hanya merosot pemakaiannya, bahasa Dukari di Kepala Burung, Papua, malah sudah tidak dipakai lagi (Reesink, 1996). Ini berarti bahasa Dukari sudah mati. Dan bahasa Dukari tidak sendiri. Di Papua, ada sejumlah lagi bahasa daerah yang sudah hilang atau mati. Ini terungkap dalam Konferensi Bahasa Daerah yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa pada 6--8 November 2000.

Jangankan bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya kecil, bahasa Jawa yang jumlah penuturnya mencapai tujuh puluh juta orang (Alwi, dkk., 2000:22), juga mengalami kemerosotan dalam pemakaian. Padahal, pembinaan bahasa Jawa (bersama bahasa Sunda dan bahasa Bali) termasuk luarbiasa jika dibandingkan dengan pembinaan bahasa-bahasa daerah lain di tempat lain.

Kemerosotan pemakaian itu antara lain tampak pada menurunnya jumlah penerbitan buku (sastra) berbahasa Jawa, Sunda, dan Bali pada tahun 2003. Berkaitan dengan pemberian Hadiah Sastra Rancage 2004, Ajip Rosidi mengemukakan bahwa buku bahasa Sunda yang pada tahun 2002 terbit 27 judul, tahun 2003 hanya terbit 16 judul. Buku bahasa Jawa yang tahun 2002 terbit 10 judul, tahun 2003 hanya 8 judul. Buku bahasa Bali yang tahun 2002 terbit 19 judul, tahun 2003 hanya 5 judul. Jumlah buku yang terbit dalam setiap bahasa daerah itu, menurut Ajip Rosidi, sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang diklaim sebagai penuturnya, apalagi kalau jumlah-cetak buku-buku tersebut juga diperhitungkan (lihat “Ajip Rosidi dan Hadiah Sastra Rancage 2004” esai A. Kohar Ibrahim di Cybersastra.net, 29/02/2004). Di Kalimantan Barat, jumlah sastrawan daerah dan karyanya juga semakin menurun. Event sastra dan bahasa daerah di Kalbar semakin minim (Pontianak Post, 29/08/2002).

Demikianlah gambaran beberapa bahasa daerah di Indonesia. Namun, masih ada juga kabar gembira tentang bahasa daerah, yakni bahasa Dawan dan bahasa Madura. Di Pulau Timor, orang Dawan sangat bangga menggunakan bahasa Dawan. Orang-orang Dawan, kalau bertemu, lebih suka menggunakan bahasa Dawan dalam berkomunikasi karena bahasa itu dirasakan sebagai alat perekat suku besar Atoni, dengan tetap menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia.

Untuk bahasa Madura, penyair D. Zawawi Imron masih yakin bahwa bahasa Madura belum punah karena masyarakat Madura masih kuat menggunakannya. Selain itu, media massa di Madura masih banyak yang menggunakan bahasa Madura, seperti beberapa radio swasta dan RRI setempat yang masih memiliki mata acara berbahasa daerah (Surabaya Post, 21/02/2001).

Selain bahasa Dawan dan bahasa Madura, kebanyakan adalah karnaval berita “duka” yang membuat kita agaknya “dipaksa” untuk membenarkan pernyataan pakar sosiolinguistik dari UI, Asim Gunarwan, bahwa fungsi bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah masih perlu dipertanyakan kebenarannya. Bahkan, saya kira, yang juga perlu dipertanyakan kebenarannya adalah fungsi bahasa daerah sebagai lambang identitas daerah.

Semakin jarang bahasa daerah dipergunakan sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Kalau benar bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah dan lambang identitas daerah, kenapa penutur bahasa-bahasa daerah malu menggunakan bahasa daerahnya? Kenapa penutur bahasa daerah tidak bangga menggunakan bahasa daerahnya?

Menurut Masman Hatuwe, tidak kurang dari 400-an bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa-bahasa daerah itu ada yang dimiliki oleh satu suku bangsa/kelompok etnis, ada pula yang dimiliki oleh beberapa suku bangsa/kelompok etnis (Benny H. Hoed, MLI, 1999:23).

Bahasa-bahasa daerah itu diramalkan bakal punah. Dan di antara bahasa-bahasa daerah yang diramalkan bakal punah itu, bahasa Lampung diramalkan lenyap lebih awal. Karena itu, sudah semestinya jika masyarakat Lampung berusaha keras melakukan upaya untuk menyelamatkan bahasa Lampung. Bahkan, upaya itu semestinya lebih keras dan serius dibandingkan dengan yang dilakukan pada bahasa-bahasa daerah lain, apalagi ramalan itu merupakan ramalan yang disadarkan oleh sebuah penelitian yang andal.

***

E-MAIL agak panjang, tertanggal 31 Agustus 2002, yang saya terima dari Ani Sekarningsih, pengarang roman antropologis Namaku Teweraut, bagian yang di bawah ini agaknya memang relevan dikutip: Mas Kus, contoh paling dekat yang pernah saya alami di Jawa Barat sini. Suatu ketika saya masuk ke suatu desa terpencil. Satunya di Cianjur, satunya lagi dekat Sumedang. Peristiwanya hampir sama. Saya ingin membeli air Aqua ke warung sederhana. Dan saat itu saya berpikir bahwa komunikasi yang paling benar di desa/kampung yang jauh dari kota metropolitan adalah menggunakan bahasa Sunda. Tetapi ternyata saya dibuatnya tercekat. Di kedua tempat itu, yang sangat terpelosok, saya malah disambut jawaban dengan bahasa INDONESIA. Langsung saya tak sabar bertanya: "Kenapa kamu tidak menjawab saya dengan bahasa Sunda saja?" Apa yang dijawab pemilik warung itu? "Tidak keren, Ibu. Kan ibu orang kota."

Kemudian ada peristiwa lain. Suatu ketika dalam kunjungan tugas saya ke Wina, dan saya harus berhubungan langsung dengan Pak Dadang Sukandar yang saat itu menjabat wakil duta besar RI di Austria, saya menyampaikan urusan saya ke Pak Dadang dalam bahasa Sunda. Giliran Pak Dadang yang bengong dan heran kali itu. Ia tertegun lama, menatap lekat-lekat pada saya. "Baru kali ini ada orang Sunda nggak malu-malu berbahasa Sunda dengan saya." "Lho? Kenapa?" tanya saya penasaran. "Ada apa dengan bahasa Sunda?" "Iya. Kebanyakan orang Sunda itu tak mau berbahasa Sunda dengan sesama orang Sunda. Katanya kampungan. Tak bergengsi."

Dalam kutipan di atas ada alasan mengapa seorang pemakai bahasa daerah malu menggunakan bahasa daerahnya, yakni bahasa daerah itu (bahasa Sunda dalam kutipan itu) dipandang tidak keren, kampungan, atau tidak bergensi oleh penutur aslinya. Pandangan demikian itu menyebabkan pemakai bahasa daerah meninggalkan bahasa daerahnya. Barangkali, para penutur bahasa Lampung malu menggunakan bahasa Lampung juga karena alasan demikian itu. Tetapi, tentu, hal ini perlu dikaji lewat penelitian yang komprehensif.

Akibat ditinggalkan oleh pemakainya, bahasa-bahasa daerah di Indonesia perlahan-lahan bergerak menuju kuburan bahasa, menyusul bahasa-bahasa daerah lain yang lebih dulu menjadi almarhum, dan ini merupakan realita yang hampir tak terbantah. Kondisi seperti ini tak terkecuali dialami juga oleh bahasa Jawa sangat besar jumlah penuturnya.

Gejala punahnya bahasa daerah antara lain ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah kosakata karena secara berangsur-angsur kosakata menghilangnya dari pemakaian. Jegala ini tampak, misalnya, pada bahasa Jawa dan bahasa Cirebon.

Bahasa Jawa memiliki banyak istilah tentang pupuk kandang, tetapi secara berangsur-angsur istilah-istilah itu hilang dari pembendaharaan kata bahasa Jawa. Menghilangnya istilah-istilah tentang pupuk kandang itu seiringan dengan penggalakan penggunaan pupuk buatan. (lihat Kompas, 06/11/2000). Terkikisnya kosakata bahasa Cirebon mengakibatkan dipandang perlunya adanya kamus bahasa Cirebon. Selain untuk menjaga kelestarian kosakata, kehadiran kamus bahasa Cirebon juga dimaksudkan sebagai panduan atau acuan penggunaan bahasa Cirebon (lihat Kompas, 07/03/1997). Bahkan, untuk menjaga bahasa Sakai yang sedikit agak mirip dengan bahasa Melayu, Suku Sakai, etnik Melayu tua, di rimba raya Sumatera Timur-antara Kota Minas dan Kota Dumai-di Propinsi Riau telah memiliki Kamus Bahasa Sakai-Indonesia-Jerman. Suku Sakai merupakan masyarakat terbelakang yang mendapatkan julukan "masyarakat terasing" di Riau (lihat Suara Karya, 25/07/2002).

Mengapa bahasa daerah justru dipandang tidak keren, kampungan, dan tidak bergensi oleh penuturnya yang seharusnya merasa bangga (bukannya malah malu) menggunakan bahasa daerahnya karena bahasa itu merupakan salah satu identitas kedaerahannya? Pertanyaan yang menunjukkan adanya sikap kurang positif pemakai bahasa daerah terhadap bahasa daerahnya ini, jawabannya agaknya perlu juga kita telusuri pada bahasa daerah itu sendiri.

Sebuah bahasa akan terjamin hidup dan kelestariannya hanya jika ia digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh masyarakat pendukungnya. Agar dapat digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari, bahasa itu sendiri harus mampu melayani kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya. Jadi, kita tidak bisa hanya mengandalkan “kesetiaan” masyarakat pendukungnya. Bahkan, “kesetiaan” masyarakat pendukung sebuah bahasa bisa luntur karena bahasanya yang tidak dapat lagi melayani mereka dalam komunikasi modern.

Bahasa Lampung, saya kira, termasuk bahasa daerah yang demikian itu. Bahasa Lampung tidak lagi mampu melayani kebutuhan komunikasi masyarakat pendukungnya yang semakin modern. Masyarakat terus bergerak maju, sementara bahasa Lampung tetap di tempat, bahkan semakin terdesak ke belakang (ditinggalkan) karena tidak lagi mampu melayani kebutuhan komunikasi modern di dalam rumah sekalipun.

Paling mencolok, kekurangmampuan bahasa Lampung melayani kebutuhan komuni-kasi masyarakat modern Lampung tampak pada bidang kosakata. Kita ambil contoh barang elektronik yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai televisi dan video. Dua barang elektronik ini sudah lama menjadi bagian kehidupan keluarga modern pada masyarakat Lampung.

Salah satu fungsi bahasa daerah adalah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Jadi, salah satu fungsi bahasa Lampung adalah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah Lampung. Jika di dalam rumah orang Lampung harus berkomunikasi menggunakan bahasa Lampung, orang Lampung harus menyebut apa untuk dua barang elektronik yang dalam bahasa Indonesia disebut televisi dan video? Kita tahu, bahasa Lampung tidak punya kata yang maknanya sepadang dengan kata televisi dan video dalam bahasa Indonesia.

Banyak benda, konsep, gagasan, proses, dan sebagainya tidak/belum terwadahi kosakata dalam bahasa Lampung karena masih baru. Faktor ketidakmampuan bahasa Lampung melayani kebutuhan komunikasi di dalam keluarga modern Lampung agaknya salah satu penyebab ditinggalkannya bahasa Lampung oleh pemakainya. Dan kalau banyak yang merasa malu menggunakan bahasa daerah, bisa jadi karena bahasa daerah jadi terlihat miskin di tengah-tengah kehidupan modern ini.

Bahasa daerah itu kampungan? Harus kita akui bahwa pendapat itu juga ada benarnya. Umumnya bahasa daerah, tak terkecuali bahasa Lampung, saat ini memang digunakan tinggal di daerah-daerah kampung. Di samping itu, bahasa daerah memang cukup untuk melayani komunikasi dalam kehidupan kampung, tetapi tidak cukup untuk melayani komunikasi dalam kehidupan masyarakat modern.

Dalam kasus seperti televisi dan video di atas, mungkin ada orang Lampung pakai saja kata televisi dan video itu ketika bercakap dalam bahasa Lampung sehingga komunikasi dalam bahasa Lampung tetap bisa berlangsung. Jadi, Tiadanya kata bahasa Lampung yang maknanya sepadang dengan televisi dan video dalam bahasa Indonesia bukan halangan untuk tetap melangsungkan komunikasi dalam bahasa Lampung karena orang Lampung bisa meminjam begitu saja kata televisi dan video itu dari bahasa Indonesia.

Akan tetapi, sialnya, peminjaman begitu saja kata televisi dan video seperti itu dari bahasa Indonesia dapat merusak bahasa Lampung. Sebab, bahasa Lampung tidak punya fonem /v/. Jika menggunakan bahasa Lampung yang benar, kata televisi dan video itu mertilah berubah menjadi telepisi dan pideo. Fonem /v/ harus diubah menjadi fonem /p/ karena fonem /p/ paling dekat dengan fonem /v/ yang tidak ada dalam bahasa Lampung.

Bahasa daerah itu tak bergengsi? Harus kita akui bahwa pendapat itu juga ada benarnya. Sebuah bahasa bisa dikatakan bergensi jika bahasa itu, antara lain, mampu mengangkat kehidupan masyarakat pendukungnya. Prestise dan taraf kehidupan masyarakat mesti terangkat jika ia menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi sehari-hari, kalau bahasa daerah itu bergensi. Benarkah bahasa-bahasa daerah kita, termasuk bahasa Lampung, mampu memiliki peran ini?

Dalam pidato ilmiahnya saat dikukuhkan sebagai guru besar tetap pada FKIP UKI Atma Jaya pada tahun 2000, pakar bahasa, Bambang Kaswanti Purwo, menyinggung pendapat Asim Gunarwan yang memperlihatkan semakin "tipisnya" penggunaan bahasa Lampung sehingga Asim Gunarwan memprediksi 75-100 tahun mendatang bahasa Lampung akan sama sekali musnah.

Selain adanya rasa malu pada masyarakat Lampung untuk menggunakan bahasa daerahnya, Bambang Kaswanti Purwo menduga bahwa masyarakat Lampung meninggalkan bahasa daerahnya karena desakan oleh bayangan untuk hidup yang lebih layak pada masa depan. Dikemukakan Bambang Kaswanti Purwo, oleh desakan itu, ditinggalkannyalah bahasa Lampung, lalu masyarakat Lampung memilih menjadi penutur bahasa Indonesia.

Penggalakan pemakaian bahasa Lampung untuk menyelamatkannya dari kemusnahan, jelas harus juga memperhatikan faktor ini: gengsi dan kemampuan bahasa Lampung "membawa" pemakainya ke tingkat hidup yang lebih baik dibandingkan dengan jika mereka tidak berbahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan bahasa Lampung "membawa" pemakainya ke tingkat hidup yang lebih baik, ditinjau dari sudut pemakainya, boleh jadi merupakan hal yang sangat penting (kalau tidak terpenting). Karena itu, penggalakan pemakaian bahasa Lampung bisa jadi akan menjadi pekerjaan yang sama sekali tidak mudah, bahkan sia-sia, jika tanpa diiringi dengan peningkatan kemampuan bahasa Lampung “membawa” pemakainya ke tingkat hidup yang lebih baik.

Sebagai bandingan, ketika FKIP Unila baru membuka program D3 Bahasa dan Sastra Lampung, banyak sekali lulusan SLTA mendaftar untuk masuk program tersebut. Apakah banyaknya lulusan SLTA yang menyerbu program tersebut bisa diindikasikan bahwa banyak lulusan SLTA punya sikap positif terhadap bahasa dan sastra Lampung? Jawabnya: nanti dulu. Sebab, ada beberapa (calon) mahasiswa yang memilih program itu karena mereka dengar informasi bahwa lulus dari program itu bisa langsung kerja sebagai guru dan pegawai negeri.

Jadi, alasan yang mendorong beberapa mahasiswa itu masuk program D3 Bahasa dan Sastra Lampung di FKIP Unila adalah "bisa langsung kerja sebagai guru dan pegawai negeri" dan bukan alasan lain, semisal, "Saya ingin berpartisipasi aktif dalam upaya menggalakkan pemakaian bahasa Lampung supaya bahasa ini tidak punah."

***

BAHASA Lampung punah karena ditinggalkan pemakainya, maka sastra (berbahasa) Lampung pun musnah. Karena, sastra (berbahasa) Lampung adalah bagian dari bahasa Lampung dan, seperti dikemukakan Udo Z. Karzi dalam esainya "Sastra (Berbahasa) Lampung dari Kelisanan ke Keberaksaraan" (Cybersastra.net, 14/03/2004), bahan baku sastra adalah bahasa. Bahan baku sastra (berbahasa) Lampung adalah bahasa Lampung.

Sastra adalah seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan bakunya. Karena itu sastra juga disebut seni bahasa. Maka, jelas, jika bahasa Lampung punah, sastra (berbahasa) Lampung akan musnah. Ini karena tidak ada lagi bahan baku untuk “membuat” sastra (berbahasa) Lampung. Jika masih ada orang “membuat” sastra (berbahasa) Lampung, bisa dipastikan bahasa Lampung masih hidup karena adanya orang “membuat” sastra (berbahasa) Lampung menandakan bahasa Lampung masih ada yang memakai. Lebih-lebih jika bahasa Lampung pun masih ada yang memakai untuk komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kondisi sekarang, kita tidak tahu apakah masih banyak orang (etnis) Lampung memandang bahasa dan sastra Lampung merupakan kekayaan, merupakan kekayaan budayanya. Sebab, kalau dipandang merupakan kekayaan, tentu bahasa dan sastra Lampung akan terus dipakai, dirawat, dipelihara, dikembangkan, dan dibanggakan.

Kenyataannya, pakar bahasa dari UI, Asim Gunarwan, mempertanyakan kebenaran fungsi bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah. Dan di Lampung, sepertinya bahasa Lampung memang tidak lagi berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah Lampung. Bahasa Lampung juga tidak lagi menjadi lambang identitas daerah Lampung. Bahasa, sastra, dan budaya Lampung tidak lagi dibanggakan oleh pemiliknya. Justru semakin ditinggalkan dan dilupakan.

Kalaupun setelah bahasa Lampung punah sastra (berbahasa) Lampung masih ada, kemungkinan besar adanya sastra (berbahasa) Lampung sebatas teks-teks di rak perpustakaan dan tidak ada yang menyentuhnya, kecuali debu.

Kemudian, teks-teks sastra itu akan diangkut orang-orang asing ke negerinya. Ini mungkin sekali. Sebab, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang sastrawan ternama, Danarto (Kompas, 13/11/2000), "Kita perlu mempertahankan bahasa dan sastra daerah antara lain disebabkan oleh kesenian. Kesenian di Indonesia yang adiluhung tersimpan di dalam bahasa dan sastra daerah."

Danarto menambahkan, kalau bukan masyarakat di daerah atau Indonesia umumnya yang mempertahankan kesenian itu, pihak luar atau orang asing yang akan melakukannya. Pihak asing akan mengambil karya adiluhung tersebut karena memiliki kederajatan dengan bentuk kesenian lain di dunia.

Sastra tidak hanya perlu dilestarikan, tetapi, lebih dari itu, perlu dikembangkan. Karena, seperti kata Danarto, sastra (kesenian) menyimpan jiwa manusia. Dan pengembangan sastra ini, tidak bisa tidak, mesti didahului dan dibarengi dengan pengembangan bahasa karena bahasalah bahan baku sastra dan sastra-kata Danarto-disimpan oleh bahasa. Jika tidak dikembangkan, bahasa tidak akan cukup mampu melayani kebutuhan sastra. Ini karena sastra merekam jiwa manusia, sedangkan manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Agar tetap eksis, bahasa harus memenuhi kebutuhan komunikasi modern dalam sastra maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pengembangan sastra, kita bisa membuat semacam "politik sastra" tentang bentuk dan isi sastra (berbahasa) Lampung. Misalnya, karya sastra (berbahasa) Lampung harus memuat nilai-nilai tradisi Lampung. Misalnya lagi, yang diakui sebagai puisi (berbahasa) Lampung adalah seperti yang dikemukakan Effendi Sanusi peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak.

Bisa dibuat seperti itu. Akan tetapi, perlu juga dipikirkan apakah itu tidak berarti memasung gerak kreativitas sastrawan Lampung sendiri. Lebih-lebih, sastra tradisional Lampung sendiri tidak semua memuat nilai-nilai tradisi Lampung. Dan jika sastrawan Lampung "diharuskan" menggunakan bentuk-bentuk sastra tradisional itu, sastrawan pun boleh jadi masih kesulitan karena --sejauh saya ketahui -- belum ada deskripsi yang merupakan hasil penelitian mendalam tentang bentuk-bentuk estetik atau puitik pada bentuk-bentuk sastra tradisional Lampung itu. Yang kita tahu tentang bentuk-bentuk sastra tradisional Lampung itu hingga sekarang barulah sebatas gambaran kasar belaka. Tentu saja, gambaran kasar demikian tidak banyak menolong sastrawan memasuki "jiwa" bentuk-bentuk sastra tradisional Lampung itu, apalagi menciptakannya.

Dalam pengembangan sastra (berbahasa) Lampung, ciri "kelampungan" sastra Lampung semestinya tidak dibatasi dengan isinya yang berupa nilai-nilai tradisi Lampung karena karya sastra memang tidak hanya berfungsi untuk merekam nilai-nilai tradisi pada masyarakat tradisional. Merekam nilai-nilai tradisi pada masyarakat tradisional hanyalah salah satu fungsi karya sastra. Para sastrawan pun berhak, bahkan juga punya tanggung jawab, untuk merekam dan mengekspresikan semangat zamannya serta menyuarakan nuraninya. Bahkan, atas nama nurani dan kemanusiaan, sastrawan Lampung pun sebaiknya tidak dibatasi jika hendak mengomunikasikan, misalnya, tentang persepsinya terhadap berbagai tragedi kemanusiaan yang terjadi di Lampung, Indonesia, bahkan di belahan dunia bagian lain lewat karya sastra (berbahasa) Lampung.
Ciri "kelampungan" sastra Lampung juga semestinya tidak dibatasi dengan bentuknya yang berupa bentuk-bentuk sastra tradisional Lampung yang telah ada. Sebab, pembatasan itu akan "membelenggu" sastrawannya dan kontraproduktif dengan semangat untuk mengembangkan dan menggalakkan bahasa dan sastra daerah Lampung.

Dengan demikian, kita bisa menerima (bahkan menyambut dengan gembira) apa yang telah dilakukan oleh Udo Z. Karzi lewat 25 puisinya dalam antologi Momentum-nya yang terbit tahun 2002 itu. Udo Z. Karzi telah melakukan pembaharuan dalam bidang puisi dalam perpuisian (berbahasa) Lampung baik dalam segi bentuk maupun isi. Dari segi isi, puisi-puisi Udo Z. Karzi memiliki keragaman tema, dari yang personal, religius, ode, sampai dengan yang protes. Dan dalam pengembangan sastra (berbahasa) Lampung, sastra modern (berbahasa) Lampung, yang dalam bidang puisi sudah dimulai oleh Udo Z. Karzi ini, sebaiknya diberi kesempatan untuk menempuh jalan panjangnya. Demikian juga di bidang lain, prosa dan drama, karena masa depan sastra (berbahasa) Lampung memang akan sangat ditentukan oleh para sastrawan Lampung sendiri.

Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa kemerosotan, kemunduran, dan hampir punahnya bahasa dan sastra Lampung diakibatkan oleh begitu banyak masalah. Dan masalah-masalah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yakni (1) masalah-masalah yang berkenaan dengan bahasa Lampung yang mengakibatkan bahasa Lampung kurang memiliki kemampuan untuk melayani kebutuhan komunikasi masyarakat modern Lampung, (2) masalah-masalah yang berkenaan dengan sastra (berbahasa) Lampung yang mengakibatkan sastra Lampung merana, dan (3) masalah-masalah yang berkenaan dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berbahasa dan bersastra Lampung pada para penutur bahasa Lampung itu sendiri. Masalah-masalah itu saling kait satu sama lain dalam hubungan sebab-akibat yang menyebabkan bahasa dan sastra Lampung menjadi seperti yang sekarang ini.

Permasalahan bahasa dan sastra Lampung itu memang tak cukup jika hanya diperdebatkan. Udo Z. Karzi benar, bahwa sesuatu yang konkrit mesti dilakukan untuk menyelamatkan dan menggairahkan kehidupan bahasa dan sastra Lampung karena permasalahan yang ada memang tidak ringan. Bahasa dan sastra daerah Lampung dihantui oleh kepunahan dan kepunahan itu diprediksi bakal terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi.

Karena itu, jika bahasa dan sastra daerah Lampung memang dipandang penting untuk diselamatkan, perlu segera dilakukan upaya untuk menyelamatkannya dengan sungguh-sungguh, terencana, sistematis, dan berkesinambungan.

Untuk keperluan itu, jika bahasa dan sastra daerah Lampung memang dipandang penting untuk diselamatkan, saya kira, Lampung sangat tepat jika mendirikan Pusat Bahasa Lampung. Pendirian lembaga ini sangat mungkin dilakukan, mengingat di era otomoni daerah ini setiap daerah memang memiliki "kedaulatan" untuk mengadakan dan penyelenggarakan apa yang memang benar-benar dibutuhkan dan dipandang penting oleh daerah.

Pusat Bahasa Lampung itu semacam Pusat Bahasa di Jakarta yang sekarang dipimpin oleh Dr. Dendy Sugono. Pusat Bahasa Lampung ini akan membuat berbagai kebijakan berkaitan dengan bahasa dan sastra daerah Lampung dan melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah Lampung.

Pusat Bahasa Lampung diisi oleh orang-orang yang memang memiliki dedikasi, kompetensi, dan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa dan sastra Lampung. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, lembaga bernama Pusat Bahasa Lampung ini nantinya bekerjasama dengan lembaga atau pihak lain, misalnya, perguruan tinggi, sekolah, media massa, dan tokoh masyarakat.

Saya berpikir demikian, karena, jika pekerjaan pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung ini hanya “dititipkan” ke perguruan tinggi atau lembaga lain, bisa jadi upaya penyelamatan bahasa dan sastra daerah Lampung ini akan terpinggirkan, terbengkalai, bahkan bisa jadi terlupakan. Sebab, insan-insan di perguruan tinggi dan lembaga lain yang sudah ada, tentu punya tugas dan kewajiban sendiri-sendiri yang juga tidak ringan.

Dengan Pusat Bahasa Lampung yang didirikan dengan tugas utama memang untuk mengelola segala permasalahan yang berkenaan dengan bahasa dan sastra daerah Lampung, upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Lampung pasti tidak akan terpinggirkan, terbengkalai, atau terlupakan. Akan ada lembaga yang selalu akan memikirkan dan melakukan tindak-tindak penyelamatan bahasa dan sastra daerah Lampung secara serius, terencana, sistematis, dan berkesinambungan.

Saya pikir tidak terlalu berlebihan jika Lampung memiliki Pusat Bahasa Lampung seperti itu, mengingat bagaimana kondisi bahasa dan sastra Lampung, juga para pemakainya, pada saat ini. Jika tidak ada penanganan yang konkret, serius, terencana, sistematis, dan berkesinambungan kondisi itu akan lebih parah, dan bahasa dan sastra Lampung pun -- seperti diprediksikan -- punah.

Akan tetapi, sekali lagi, itu jika bahasa dan sastra daerah Lampung memang dipandang penting untuk diselamatkan. Dan mestinya dipandang penting karena dunia internasional pun memberi perhatian terhadap bahasa ibu. Bahkan, United Nation Educational Social Cultural Organization (UNESCO) sampai mau repot-repot menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Namun, kalau ternyata bahasa dan sastra daerah Lampung dipandang tidak penting oleh masyarakat Lampung, gagasan mendirikan Pusat Bahasa Lampung ini, ya lupakan saja. n

Kuswinarto, alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung. Redaktur situs Cybersastra.net.

Dimuat dalam tiga bagian di Lampung Post, Minggu , 11, 18 dan 25 April 2004)