April 27, 2014

[Lampung Tumbai] De Lampoengers

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

BIASANYA dalam setiap pertemuan Indisch Genootschap, seseorang diminta memberikan ceramah dengan topik yang dianggap relevan untuk pengembangan kepentingan Hindia-Belanda. Pada 16 Maret 1923, ketua perkumpulan itu, C. van Vollenhoven, mempersilakan R.A. Kern untuk berbicara mengenai orang Lampung. Pada hari itu, ceramahnya berjudul Over 't Lampuengsche Volk dengan kata lain Tentang Orang Lampung.

Litograf armada dagang Cornelis de Houtman, abad ke-17.
(dilukis oleh W. Hanna)
Dari mana nama Lampung? Tidak diketahui apakah di zaman dahulu kala nama itu digunakan untuk membedakan diri dengan tetangga-tetangganya di daerah lain, tetapi pada awal abad ke-20, nama orang Lampung sudah lazim digunakan. Orang Lampung sendiri menggunakan istilah aboeng (oeloen aboeng) untuk mengacu pada penduduk yang tinggal di daerah dataran tinggi, berbeda dengan penduduk yang tinggal di dataran rendah. Oleh karena itu, ada dugaan nama Lampung sebetulnya digunakan sebagai istilah untuk menyebutkan penduduk dataran rendah.


[Perjalanan] Karang Eksotis Batu Gigi Hiu

Oleh Meza Swastika

Teluk Kiluan seperti tak ada habisnya di eksplorasi keragaman potensinya. Tak hanya sebagai habitat dua spesies lumba-lumba terbesar di dunia, Teluk Kiluan juga menyajikan beragam objek lain. Salah satunya, batu karang gigi hiu.

Batu gigi hiu. (LAMPUNG POST/MEZA SWASTIKA)
DI sisi barat teluk ini terdapat pantai berpasir putih yang menghadap langsung ke arah Samudera Hindia. Di pantai ini, terdapat gugusan karang eksotis yang oleh warga setempat disebut sebagai batu gigi hiu.


April 20, 2014

[Lampung Tumbai] P.A. Van der Lith di Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


HAMPIR dua puluh tahun setelah F.G. Steck berkelana di Lampung, sekitar tahun 1890-an, P.J. Van der Lith (guru besar di Universitas Leiden) melakukan penjelajahan di Sumatera.

Sebetulnya, bukan hanya di Sumatera, melainkan juga di pulau-pulau nusantara lainnya. Namun, yang menarik perhatian, tentunya adalah uraian mengenai Residensi Palembang, Bengkulu, dan Lampung.

Tujuan penjelajahannya itu adalah menelusuri wilayah Residensi Palembang sampai akhirnya tiba di Residensi Bengkulu. Dalam perjalanan, Van der Lith dan rombongannya berusaha untuk mampir di sana-sini.


April 13, 2014

Anak Dalom dan Dayang Rindu

Oleh Arman A.Z.

Penulis-penulis Lampung zaman itu merangkum Dayang Rindu dan Anak Dalom ke dalam teks beraksara Lampung setelah mendengar dari penutur lainnya. Ini mestinya jadi kebanggaan tersendiri buat Lampung.

Pentas 'The Song of Dajang Rindu” karya Ari Pahala Hutabarat dari
Teater Komunitas Berkat Yakin (KoBER). (Foto: Dedi Iswanto)
TULISAN ini sekadar menambah informasi dari esai Iwan Nurdaya Djafar di Lampost (9 & 16 Maret 2014) tentang cerita rakyat Anak Dalom dan Dayang Rindu, dua cerita rakyat Lampung. Memang menjadi kebetulan, naskah Anak Dalom ternyata ada di bagian akhir kamus Van der Tuuk. Naskah itu pun tulis tangan dan jumlah halamannya sedikit sekali.


[Lampung Tumbai] Kembali ke Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


BEBERAPA tahun setelah menerbitkan laporan topografi dan geografi Lampung pada 1859, F.G. Steck menerbitkan laporan tambahannya pada 1862. Ia membuat penelitian ulangan dengan fokus pada empat marga, yaitu Waay Orang, Radja Bassa, Datoeran, dan Negara Ratoe. Beberapa hal baru ditemuinya.

Gunung Radja Bassa paling mudah didaki melalui Taman dan Kalau, yang terdapat di sisi sebelah utaranya. Jalan-jalan setapak menuju puncak gunung yang melewati dari kedua tempat itu menyatu tidak jauh dari Toelong Kring. Jalan itu lalu melewati tempat yang dulu dikenal sebagai  Marambong.


April 12, 2014

Bukan Sekadar Kamus

Oleh Dyah Merta


SAYA mendengar kabar jika kamus Bahasa Lampung karya H.N. van der Tuuk telah “pulang kampung”. Ini sebuah berita baik. Jika ada warta menggembirakan, semestinya ini dirayakan. Merayakannya tentu tidak dengan jamuan akbar.

Van der Tuuk bekerja menyusun Bahasa Lampung setelah dia pernah tinggal setahun di Lampung. Lahir di Malaka pada 1824 dari darah Belanda-Jerman, Van der Tuuk atau Tuan Dertik mengenyam sebagian besar pendidikannya di Belanda.

Dia bukan penduduk asli Lampung. Keahliannya membuatnya mampu mengorganisasi kerja yang kala itu belum tercetus di pikiran penduduk setempat, yakni menyusun kamus.


April 6, 2014

[Perjalanan] Indahnya Pantai Labuan Jukung Krui

Oleh Tri Sujarwo


Lampung Barat dan Pesisir Barat. Dua kabupaten yang sebelumnya berada dalam satu daerah otonomi itu punya daya pikat pariwisata sama kuat, tetapi beda rasa. Liwa dengan sejuk alamnya. Krui dengan spektakulasi pantainya.

PERJALANAN ke Krui ini merupakan perjalanan pertama saya. Selepas menikmati pesona Kota Liwa, saya langsung beranjak menuju Krui, ibu kota Kabupaten Pesisir Barat.

Hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di kota pesisir ini dari Kota Liwa. Replika pohon damar tampak begitu kokoh dengan ikan marlin di atasnya yang seperti hendak terbang. Itulah tugu yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Tugu Marlin. Tugu ini menjadi ikon bagi kabupaten yang baru terbentuk sekitar tiga tahun yang lalu ini.


[Lampung Tumbai] Emas di Belantara Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


ORANG Lampung menanam padi, lada, dan kapas. Para petani di daerah pantai menanam padi di sawah. Memang sawah hanya ada di daerah pantai. Sungai-sungai yang dalam dengan tebing-tebing terjal di kiri-kanan alirannya di daerah perdalaman Lampung sulit diandalkan untuk pengairan sawah. Orang Lampung menanam padi di ladang-ladang yang kering.

Sebelum dapat berladang, petani Lampung harus membuka lahan lebih dahulu. Kayu-kayu dari semak dan perdu dipotong; pohon-pohon besar ditebang. Lalu, semuanya dibiarkan mengering, kemudian dibakar.


Melihat Sejarah Lampung dari Satu Sisi

Oleh Udo Z. Karzi

Dengan gaya tuturan langsung, akan sangat terlihat bagaimana kekhasan Sjachroedin berbicara: apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, dan terkadang meledak-ledak. Cukup memadai untuk memahami karakter Oedin, terutama selama memimpin Lampung.

Data buku:
Merampungkan Tugas Sejarah: Memoar Komjen
Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H.
Satu Dekade Memimpin Pembangunan Lampung
(2004- 2014)

Zulfikar Fuad
Alifes Inc.-by PT Media Kisah Hidup, Jakarta
I, Januari 2014
xvi + 292 hlm.
MEMBACA, mendengar, dan menyaksikan sendiri sepak terjang seorang Sjachroedin selama satu dasawarsa memimpin Lampung memang terasa menggetarkan. Ya, memang butuh orang yang luar biasa dalam memimpin provinsi ujung pulau ini. Wajar jika ada ujaran yang menyebutkan, "Kalau bukan Bang Oedin..." Sungguh tak terbayang bagaimana jadinya Lampung.

Menjelang habisnya masa jabatannya, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memberikan kenangan indah bagi masyarakat berupa sebuah memoar: Merampungkan Tugas Sejarah, Memoar Komjen Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H. Satu Dekade Memimpin Pembangunan Lampung (2004-2014).

April 5, 2014

Menakar Peluang Pendirian FIB di Unila

Oleh Karina Lin


MENARIK dan seru! Itulah kesan yang saya tangkap ketika mencermati rubrik opini di surat kabar Lampung Post yang bertemakan wacana mendesak pendirian fakultas ilmu budaya (FIB) di Universitas Lampung (Unila).

Dalam sebulan ini (Maret 2014), saya mencatat telah tiga kali opini yang bertemakan mendesak pendirian FIB di Unila ditampilkan di Lampung Post. Artikel opini pertama ditulis Hardi Hamzah yang berjudul Urgensi FIB di Unila (Lampung Post, 3 Maret 2014); opini kedua berjudul Memimpikan FIB di PTN Lampung ditulis Dina Amalia Susanto (Lampung Post,15 Maret 2014); dan opini ketiga berjudul FIB Berbasis Empirisme? yang ditulis Destaayu Wulandari (Lampung Post,i 20 Maret 2014).