April 12, 2014

Bukan Sekadar Kamus

Oleh Dyah Merta


SAYA mendengar kabar jika kamus Bahasa Lampung karya H.N. van der Tuuk telah “pulang kampung”. Ini sebuah berita baik. Jika ada warta menggembirakan, semestinya ini dirayakan. Merayakannya tentu tidak dengan jamuan akbar.

Van der Tuuk bekerja menyusun Bahasa Lampung setelah dia pernah tinggal setahun di Lampung. Lahir di Malaka pada 1824 dari darah Belanda-Jerman, Van der Tuuk atau Tuan Dertik mengenyam sebagian besar pendidikannya di Belanda.

Dia bukan penduduk asli Lampung. Keahliannya membuatnya mampu mengorganisasi kerja yang kala itu belum tercetus di pikiran penduduk setempat, yakni menyusun kamus.


Tuan Dertik adalah satu di antara produk dari sebuah sistem ilmiah yang telah terbangun di Eropa sejak abad pencerahan. Iklim intelektual membuat para penjelajah Eropa yang tersebar mengelilingi bumi dibekali dengan pisau kerja dan analisis untuk melihat kebudayaan yang berbeda dengan mereka.

Penjelajahan “benua baru” bukan lagi ekspedisi buta. Mereka membawa serta metode-metode ilmiah dan ilmu pengetahuan dalam memandang pribumi. Dengan itu, mereka membangun superioritas. Superioritas ditegakkan sebagai landasan dominasi dan eksploitasi. Perspektif ini kemudian dikenal dengan pandangan orientalisme.

Edward Said mendefinisikan orientalisme sebagai cara yang sudah mengurat akar dalam berurusan dengan Timur–dengan cara membuat klaim-klaim tentang mereka, melegitimasi prasangka tentang mereka, menggambarkan mereka, mengajari mereka, menguasai mereka, dan memerintah mereka.

Singkatnya, orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan menguasai Timur (Hanneman Samuel, 2010: 20). Kapan gagasan ini masuk ke Nusantara? Tentu sejak Nusantara bersentuhan dengan orang-orang Eropa, dan masing-masing wilayah di Nusantara memiliki masa persinggungan yang berbeda.

Tuan Dertik hanya satu dari segelintir intelektual pada masa itu yang bekerja menyusun kamus bahasa daerah ke dalam Bahasa Belanda. Di antara dia ada beberapa nama lain, seperti J. Kreemer, P.J. Zoetmulder, dan Hoessein Djajadiningrat. Bahasa Lampung, sebagai contoh, dipelajari untuk memahami saripati pengetahuan dan alam pikir masyarakat Lampung.

Aksara dan bahasa dibawa ke Belanda, dicetak, dan dipelajari. Sebagian besar dilengkapi dengan kajian pada teks-teks tradisional. Dari situ digali “celah” informasi untuk memudahkan jalan penginferioran yang sistematis yang dikirim kembali dalam sebuah paket pengetahuan baru.


Mentalitas Vs Materialisme

Lawan dari kata modern adalah kuno. Zaman baru akan meyakinkan masa lampau tidaklah lebih baik dari masa kini. Peradaban tumbang silih-berganti.

Modernitas dekat dengan konsep materialisme. Apa pun, tolok ukurnya adalah materi. Namun, apakah materialisme ini mampu mengubah mentalitas yang sudah diinferiorkan? Nyatanya tidak.

Kalau bukan Fortuner, itu belum elegan. Naik delman? Tidak tren lagi. Itu kuno. Sepeda? Oh, no. Well, jangan berteriak dengan kemacetan dan polusi karena jutaan produk sepeda motor Jepang dan sepeda motor Tionghoa membanjiri pasar dan jalanan.

Jangan menangis jika Bahasa Lampung punah. Sebab, jika kau dengar suaramu dengan bahasa itu, terasa cadel, sengau, dan kuno. Kau tidak keren! Berbeda jika temanmu mendengarmu berbahasa asing, Inggris misalnya. Pekerjaan juga menunggumu. Liman haga nambah sekelik! Apa itu? Come on, Bro!

Jadi, punah itu pasti. Utamanya bagi yang tak mampu bertahan. Charles Darwin sudah memberi kode itu. Lalu, bagaimana kira-kira agar tidak punah? Dibutuhkan sebuah kerja ekstra membalik “kapsul waktu” dengan melihat cara kerja Tuan Dertik. Di kamusnya tersimpan ingatan masa silam.

Kerja seperti ini tidak boleh berhenti hanya karena “dia” sudah pulang kampung lalu menggelar pesta raya dan menaruhnya di sebuah kotak kaca. Itu jebakan romantisme! Sebab, mentalitas inferior hanya dapat dipulihkan dengan membangun mentalitas superior. Sialnya, identitas kita sudah pretel satu per satu.

Suku cadang pengganti begitu sulit didapat. Di generasi sekarang, bengkel untuk kerusakan semacam ini sebagian besar sudah punah karena termakan usia. Kalaupun masih ada, itu termasuk sesuatu yang langka.

Kita butuh semangat kerja Tuan Dertik serta jerih payah yang luar biasa untuk menembus masa yang lebih panjang ke belakang untuk membaca kembali narasi-narasi masa silam melalui kamus Tuan Dertik demi membangun suku cadang baru. Sesuatu yang mengakar. Ini bukan pekerjaan mudah, tapi tidak berarti tak mungkin.

Jika orientalisme hanya sebuah perspektif, artinya kita mampu mencipta perspektif sendiri. Bukan dengan terus mengamini bagaimana Barat melihat kita. Kesuksesan orientalisme adalah justru ketika masyarakat pengampu merasa bahasa dan budaya leluhurnya lebih udik, jadul, tidak intelek dibandingkan dengan kebudayaan Barat.

Ironisnya, persepsi ini muncul dari generasi yang “melek” pengetahuan modern. Sekalipun praktik kolonialisme semacam ini secara resmi sudah berakhir sejak 1945, terbukti tidak dengan gagasan-gagasannya. Nahasnya, kini itu kian merasuki pemilik budaya tersebut. Padahal, ini zaman sudah beda, Bung! Mereka (Barat) mendengungkan sebuah era nano telah tiba. n

Dyah Merta, Prosais dan peminat kajian sejarah, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 April 2014

No comments:

Post a Comment