June 25, 2009

Tapis Tembus Pasar Luar Negeri

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hasil kerajinan tapis dan sulam usus Lampung berpotensi besar memasuki pasar luar negeri. Nigeria menjadi salah satu negara yang siap menerima tapis Lampung sebagai komoditas tekstil untuk dipakai sesuai dengan gaya berbusana masyarakat negara tersebut.

Hal ini diungkapkan Minister Political & Economic Nigeria, Abdul Azis M. Dankano, Rabu (24-6). Abdul Aziz datang ke Lampung bersama dua staf kedutaan Nigeria, yaitu N.N. Inechioma dan Oladipupa, untuk melihat langsung pembuatan tapis dan sulam usus di Rahayu Galery yang berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta, Kedaton, Bandar Lampung.

Abdul Aziz mengatakan peluang ekspor kain tapis dan sulam usus ke Nigeria terbuka lebar. Mengingat masyarakat Nigeria khususnya kaum wanita, sehari-hari menggunakan kain sebagai busana. Kain yang biasa disebut asoke ini hampir mirip dengan bahan kain tapis. Bedanya asoke�20tidak disulam seperti pengerjaan tapis.

Abdu Aziz sangat terkesan dengan keindahan kain tapis dan sulam usus. "Karena dibuat dengan tangan, bentuk dan model sulaman terlihat begitu indah dan memiliki nilai seni tinggi," kata dia.

Menurut dia, di Nigeria banyak beredar sulaman yang hampir mirip dengan kain tapis atau bordir. Produk tekstil tersebut berasal dari Swiss, Korea, dan China. Namun produk tersebut dibuat menggunakan mesin tidak seperti kain tapis dan sulam usus yang dibuat secara tradisional menggunakan tangan.

"Kami siap memasarkan kain tapis dan sulam usus. Tolong perbanyak brosur, pamflet atau gambar-gambar untuk mempermudah mengenalkan tapis dan sulaman usus di negara kami," kata dia.

Sementara itu, pemilik Rahayu Galery, Siti Rahayu, mengatakan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, kerajinan tapis tidak hanya berbentuk kain. Tapis kini telah dimodifikasi dan dibuat kerajian sebagai suvenir. Seperti hiasan dinding, peci, syal, dan berbagai model suvenir lainnya. Adapun bahan yang dipakai adalah kain sanwos atau tenun, benang emas atau perak dan pembidang. Sedangkan hasil kerajinan sulam usus antara lain berupa baju, sarung bantal kursi, peci, taplak meja dan lainnya.

"Dengan 18 orang pegawai di galeri ini yang sudah sangat terlatih, kami siap memasarkan tapis hingga ke luar negeri," kata Rahayu. n CR-1/E-2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 25 Juni 2009

June 24, 2009

Komedi Hitam Rasa Melayu

Oleh Ibnu Rushdi

NAMANYA Aruk. Ia bukan Don Kisot. Tapi, karena watak pandirnya, nasibnya selalu sial. Teater Satu Lampung, dengan menggunakan format teater kampung, menyajikan kisah Aruk, yang ditulis oleh sang sutradara, Iswadi Pratama. Pertunjukan ini renyah, lucu, sekaligus getir.


Lakon ini telah dipentaskan Teater Satu Lampung di puluhan desa, sekolah-sekolah, dan instansi pemerintahan di Lampung. Mereka juga menjajal memainkan drama ini di komunitas-komunitas teater, dari Solo sampai Jakarta. Dan kini dicoba di Teater Komunitas Salihara, Jumat dan Sabtu lalu. Panggung di Salihara diubah ke dalam bentuk arena. Tak banyak properti digunakan, hanya beberapa meja kecil yang kadang berfungsi sebagai bangku hingga dipan. Ada kain putih besar membentang sebagai latar. Di depan kain itu, Iswadi dan kawan-kawannya duduk dalam satu saf.

Pertunjukan dibuka oleh keluarga Aruk. Ayah Aruk, Rustam, seorang pria berdarah biru dengan gelar Tiang Dirangkuman bin Datuk di Ulu Sungai, dan ibu Aruk bernama Hindun binti Latif. Aruk yang bergelar Radin Segalakena ditampilkan sebagai sosok sedemikian malas dan bodoh. Ketika disuruh menangkap ikan di sungai memakai bubu, Aruk pulang dengan tangan hampa. Udang yang masuk ke bubu ia lepas kembali. "Kan Emak suruh Aruk tangkap ikan," kata Aruk polos. Kali lain, ia pulang membawa bubu yang berat, penuh berisi tahi.

Aruk kemudian dititipkan ke pamannya (diperankan oleh Iswadi sendiri). Di tempat sang paman, Aruk mempersiapkan diri mengikuti ujian menjadi bintara polisi. Pada adegan-adegan awal ini, kelucuan belum muncul. Situasi menggelikan terjadi saat adegan Aruk mengikuti tes polisi. Aruk muncul dengan kaus bertulisan "Police" dan bersepatu bot. Ia tak mau ikut ujian menembak. "Untuk apa ujian menembak bila pistol hanya di (dalam) sarung saja. Gatal rasanya tangan ini," kata Aruk. Penguji pun marah.

Iswadi membuat adegan selanjutnya seperti fragmen-fragmen biografi Aruk. Setelah gagal jadi polisi, Aruk menikah. Adegan lamarannya penuh berbalas pantun ala Melayu. Harus diakui, Teater Satu Lampung memiliki stok aktor yang kuat. Sugianto sebagai Aruk, Ruth Marini sebagai Hindun (ibu Aruk), Hamidah sebagai istri Aruk, dan Iswadi sendiri menampilkan akting yang cukup tertakar. Permainan Sugianto sebagai Aruk memang yang paling patut dipuji. Setiap fase baru dalam hidup Aruk bisa ia mainkan dengan segar.

Sebuah komedi yang bagus, kata Rendra, selalu penuh kejenakaan yang kelucuannya karena kesimpulan lucu yang diambil sendiri oleh penontonnya. Menonton akting Sugianto sebagai Aruk, yang dari nelayan menjadi pengarang, pikiran kita bisa gemas sendiri melihat keluguan dan kepandirannya. Ketika mengenakan wig gondrong, saat berprofesi pengarang, penampilannya berubah. Penonton tertawa saat cerpen-cerpennya ditolak oleh redaktur surat kabar karena selalu berhubungan dengan ikan, seperti Ayat-ayat Ikan, Ketika Ikan Bertasbih.

Lakon ini bersumber dari sastra lisan Lampung, "warahan", alias dongeng berisi nasihat, pesan, dan sindiran yang dituturkan seorang pencerita. Dongeng ini biasanya disampaikan dengan iringan gambus. Warahan Aruk Gugat, oleh Teater Satu, diadopsi ke konsep teater modern. Maka dimunculkan peran-peran, karakter, hingga aktualisasi naskah. Dalam dialog, kita juga mendapati banyak ungkapan ciri khas Melayu. Beragam pantun, gaya bahasa penuh perumpamaan (seperti: titik didih permasalahan; diam sesunyi malam; seperti jangkrik yang memukul beduk), dan tuturan hiperbolis khas Lampung pesisir selatan (seperti: air mata sudah setengah pipi; luasnya samudra; di muka bumi ini) diucapkan.

Menurut sang sutradara, pada dasarnya Aruk Gugat adalah komedi hitam. Yang menarik, setelah adegan demi adegan yang terasa unsur teater rakyatnya, klimaks adegan digarap dengan pendekatan yang terasa modern. Itu ada dalam adegan Aruk diadili, karena dianggap membakar desa.

Tiba-tiba panggung Teater Salihara temaram dan musik soundscape--yang minimalis dengan nada rendah menderam--menguasai ruangan. Suasana sangat berbeda dengan adegan-adegan sebelumnya, yang beratmosfer musik gambus atau rebana. Terlihat Aruk dengan badan telanjang meringkuk di meja dengan dikelilingi oleh ayah, ibu, dan istrinya yang berdiri kaku. Mereka masing-masing bersaksi bahwa tak ada yang salah dengan Aruk. Suasana secara psikologis menekan. Aruk sendiri--tampak dalam kesakitan--enggan memberi kesaksian. "Saya cuma ingin bertanya, kenapa kalian terus menertawai saya." dia mengerang. Lalu ia berteriak memanggil Emak. Tak ada jawaban.

Sumber: Koran Tempo, Rabu, 24 Juni 2009

Seni Lukis: DKL Undang Perupa Ikuti Pameran

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Lampung (DKL) mengundang para perupa Lampung untuk mengikuti Pameran Lukisan bertajuk Spirit in The Day yang akan digelar pada 6 Agustus mendatang.

Kurator pameran Joko Irianta, dalam rilisnya kepada Lampung Post, Selasa (23-6), mengatakan pameran yang menggunakan proses kuratorial ini memberi kesempatan kepada para perupa Lampung yang berusia di atas 50 tahun untuk ikut berpameran.

"Para perupa yang berminat bisa mengirimkan karyanya dalam bingkai kuratorial Spirit in The Day," kata Joko.

Tema Spirit in The Day sengaja dipilih penyelenggara karena kreativitas dan semangat berkarya para seniman Lampung tidak pernah usai, tetapi terus berkesinambungan.

Lebih lanjut, Joko mengatakan karya yang dipamerkan adalah karya dua dimensi atau karya lukis dan untuk medium (bahan teknik) yang digunakan bebas.

"Kegiatan ini selain sebagai ajang silaturahmi juga memberi kesempatan kepada para perupa sepuh yang terus konsiten menggeluti jagat seni rupa. Tetapi tetap tak menafikan kualitas karya dengan adanya seleksi dalam bingkai kuratorial yang kompetitif," ujar Joko.

Meski diperuntukkan perupa senior, tidak tertutup kemungkinan juga untuk para pelaku yang baru terjun ke dunia seni rupa untuk ikut serta dalam pameran ini. Pasalnya, menurut Joko, bisa saja pelaku mulai berkarya ketika usianya sudah lanjut karena disibukkan dengan profesinya.

Joko menambahkan panitia memberi kesempatan kepada para peserta untuk menyetorkan foto karyanya untuk dikurasi hingga tanggal 10 Juli 2009.

Ada pun persyaratan peserta, antara lainnya karya lukis berukuran maksimal 200 x 200 cm dan minimal 70 x 80 cm. Sedangkan untuk karya yang diusulkan, lanjut Joko, dikirim dalam bentuk data digital dalam CD atau dalam bentuk foto ukuran 5 R.

Selain itu, setiap karya dilengkapi data karya, konsep karya, harga karya, biodata, dan foto peserta. "Peserta mengusulkan maksimal empat karya dan minimal dua karya yang dibuat antara tahun 2006--2009," Kata Joko. n ITA/K-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 Juni 2009

June 23, 2009

Teater CCL Pukau Penonton lewat Lakon 'Air'

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Gerak olah tubuh meliuk-liuk dipadukan keselarasan musik gamelan dengan latar olahan multimedia berhasil memukau penonton di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Senin (22-6).

TEATER. Komunitas Celah-Celah Langit mementaskan lakon Air di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Bandar Lampung, Senin (22/6). (LAMPUNG POST/M. REZA) 

Pertunjukan dengan lakon Air yang dibawakan Komunitas Celah-Celah Langit (CCL) asal Bandung berupaya mengolaborasikan teater, tari, seni rupa, dan multimedia menjadi satu pertunjukan yang apik.

Lakon Air ini menceritakan bagaimana melihat air dari berbagai sudut pandang. Dari soal air, akan bergeser ke problem sosial, budaya, ekonomi. Menceritakan air sebagai air, air dalam imagi kreatif, bahkan air yang bisa saja sangat filosofis.

Komunitas CCL ingin mengajak masyarakat membangun kesadaran lingkungan. Medianya lewat teater. "Intinya, kami ingin membuat sesuatu pertunjukan yang tidak sekadar menghibur, tetapi bisa membawa dampak di masyarakat," kata Iman Soleh, pendiri Komunitas CCL sekaligus sutradara dalam lakon tersebut.

Lakon Air ini merupakan karya bersama yang senantiasa berkembang. "Berawal dari obrolan, kami masukan apa-apa yang akan menjadi titik pandang bersama, hingga kemudian lahirlah lakon Air ini," kata dia. Komunitas CCL sendiri merupakan komunitas kesenian yang berasal dari kawasan belakang Terminal Ledeng, Bandung.

Lakon Air ini pertama kali dipentaskan pada akhir 2005. Selain pernah dipentaskan di beberapa kota di Indonesia, pertunjukan teater ini juga pernah berkesempatan diundang dalam forum World Performing Art 2006 di Pakistan.

Setelah Lampung, Komunitas CCL akan menggelar pertunjukan di Palembang dan Jambi. Rencananya lakon Air ini pada 2010 akan kembali pentas di beberapa negara seperti Slovenia, Spanyol, dan Australia. n MG16/MG4/K-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 23 Juni 2009

June 22, 2009

Begawi Belum Diminati Wisman

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pembukaan Begawi Adat dalam rangkaian peringatan HUT ke-327 Kota Bandar Lampung Sabtu (20-6) berlangsung meriah. Ribuan warga memadati GOR Saburai tempat acara berlangsung. Namun, event yang masuk agenda Visit Indonesia Year 2009 ini, belum mampu menarik perhatian wisatawan mancanegara (wisman).

"Dari tahun ke tahun acaranya monoton dan tak ada satu pun wisawatan yang sengaja datang untuk menyaksikan Begawi Bandar Lampung," kata Ketua Komite Pariwisata Lampung Citra Persada, Sabtu (20-6). Meski digelar setiap tahun, Begawi Bandar Lampung tidak pernah diminati wisatawan baik domestik maupun mancanegara.

Begawi yang ditampilkan hanya apa adanya dengan alasan dana yang tersedia sangat terbatas. Padahal, kata Citra, dana yang terbatas bukan jadi alasan untuk mempromosikan wisata. "Dana terbatas tapi tetap bisa maksimal."

Menurut Citra, seharusnya acara yang ditampilkan dalam Begawi Bandar Lampung khas tarian dan budaya Lampung. Bukan budaya dan tari daerah lain.

Wisatawan tidak akan melihat dan mencari budaya daerah lain di Lampung. Pemkot harusnya lebih banyak menampilkan budaya Lampung.

Pemerintah, kata Citra, beralasan menampilkan beberapa budaya daerah dalam Begawi karena warga Bandar Lampung beragam. Alasan tersebut tidak bisa diajukan dalam konteks pariwisata.

"Budaya Indonesia memang beragam. Namun, dalam pariwisata harus ada yang layak dijual kepada wisatawan yang menjadi khas Bandar Lampung." kata Citra.

Menurut Citra, Lampung menjadi daerah tujuan wisata ke-18 di antara daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan potensi wisata dan budaya yang ada Pemkot seharusnya lebih menjual budaya Lampung.

Wali Kota Eddy Sutrisno saat pembukaan mengatakan Bandar Lampung memiliki potensi wisata yang cukup untuk menggaet wisatawan lokal dan mancanegara. Persoalan yang dihadapi adalah belum maksimalnya pengelolaan potensi wisata yang ada.

Eddy mengungkapkan Pemkot akan terus mengemas objek wisata yang dimiliki, seperti wisata seni dan budaya. Pemkot juga harus meningkatkan pencitraan sehingga timbuh kesan positif Bandar Lampung sebagai daerah kunjungan wisata.

Format Ulang

Citra mengusulkan Begawi Bandar Lampung perlu diformat ulang agar layak dijual. Pemerintah Kota (Pemkot) harus harus mendesain ulang Begawi, materi dan isi acaranya.

Acara begawi juga harus terjadwal dengan baik. Bila begawi sudah layak jual, banyak pihak yang mau mempromosikan wisata. Travel agency (biro perjalanan) tidak mau mempromosikan Begawi karena acara yang disajikan tidak layak dijual. "Promosi gampang asal ada hal yang layak dijual," kata dia.

Selain budaya, menurut Citra, potensi pariwisata yang dimiliki Bandar Lampung adalan alam yang indah. Pemerintah seharusnya lebih mempromosikan alam Bandar Lampung.

Citra juga mengkritik waktu promosi yang dilakukan Pemkot. Pemkot baru mempromosikan begawi saat sudah mendekati waktu pelaksaaan. Dia juga menyesalkan sikap Pemkot yang tidak berkonsultasi dengan Komite Pariwisata Lampung dan Dinas Pariwisata Provisni Lampung. Dengan konsultasi, begawi diharapkan bisa lebih maksimal.

Fesitival 'Indie'

Dalam rangkaian HUT ke-327 Bandar Lampung ini, Dewan Kesenian Kota Bandar Lampung (DKKBL) mengadakan festival musik band, yang diadakan di pelataran parkir GOR Saburai, Minggu (21-6).

Ketua Harian DKKBL Syaiful Anwar selain merupakan rangkaian acara HUT Kota Bandar Lampung, tujuan festival musik tersebut juga untuk mencari band-band indie di Bandar Lampung yang memiliki potensi.

"Festival ini diharapkan dapat menggali potensi band-band indie di Bandar Lampung. Setidaknya sudah ada dua band indie setempat yang meramaikan musik nasional," kata dia.

Menurut dia, DKKBL akan membina band-band yang dianggap memiliki potensi. "Kini, band-band yang ikut festival ini yang akan diprioritaskan lebih dahulu."

Tetapi, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan kepada band-band lain yang tidak ikut festival ini juga dibina. Kirim saja demo lagu ke DKKBL. Jika bagus, akan dibina.

Festival yang dikuti 33 band indie ini gratis. Bahkan, panitia menyediakan hadiah bagi pemenangnya. Juara I Rp1 juta, juara II Rp750 ribu, dan juara III Rp500 ribu.

Pada festival ini, peserta membawakan dua buah lagu, dengan satu lagu daerah Lampung sebagai lagu wajib yang berjudul Mak Kham Sapa Lagi Mak Ganta Kapan Lagi dan satu lagu bebas. n MG2/MG13/K-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Juni 2009

June 21, 2009

[Wawancara] Raswan: Tapis Lampung Harus Mendunia

IRONI tentang kain tapis itu datang pada awal Juni 2009 ketika Lampung Post mewartakan terbitnya buku yang membahas kain khas Lampung itu oleh peneliti asal Amerika Serikat.

Ketika buku Wearing Wealth and Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatrea, Indonesia, yang ditulis dosen seni University of Michigan, Amerika Serikat, Mary-Louise Totton terbit, Raswan, salah satu perajin, pengamat, dan peneliti tapis lampung, berharap budayawan dan seniman Tanah Lada ini tidak hanya banyak komentar dan bereuforia soal kebudayaan Lampung. Tapi, Raswan meminta semua bangkit dan menunjukkan kepada dunia bahwa budaya Lampung pun bisa dijual.

Raswan mengatakan buku setebal 188 halaman yang diterbitkan University Press of New England, merupakan hasil studi lapangan, sebagai sarjana kunjungan Pusat Studi Asia Tenggara di beberapa negara, termasuk Indonesia (Lampung) selama tujuh tahun, sejak tahun 2002--2009. Bahkan, narasumber dalam buku tersebut adalah pengamat, perajin, dan peneliti tapis lampung sendiri. Jadi, bukan tidak mungkin, peneliti tapis lampung mampu membuat buku sejenis itu, yang jauh lebih detail, lengkap, dan jelas.

"Ini sangat luar biasa. Kita sendiri saja belum ada yang membuat buku seperti ini. Bukan saja mengenai tapis lampung, melainkan buku ini juga menceritakan kehidupan masyarakat Lampung sejak abad ke-18 lalu," kata Raswan, sambil menunjukkan buku yang baru diterimanya dari Mary-Louise.

Namun, kata Raswan, memang tidak mudah menggali soal budaya Lampung, terlebih membahas soal tapis. Bahkan, seorang peneliti ataupun desainer tapis pun harus sangat memahami dan filosofi tapis dan budaya Lampung itu sendiri.

Tentang tapis dan seputaran masalahnya, Raswan menjelaskan kepada wartawan Lampung Post Lukman Hakim di Galeri Tapis Helau, Kamis (18-6). Berikut petikannya.

Pada kain tapis. Apakah ada filosofinya?

Tentu ada. Untuk mengenal tapis, seseorang harus lebih dulu mengetahui sejarah dan arti motif yang tertuang di dalamnya. Setelah itu, barulah membuat kreasi untuk mengembangkan motif kain tapis tersebut.

Anda sudah melakukan penelitian soal tapis?

Penelitian saya soal tapis bermula dari tugas akhir di bangku kuliah. Dari situ, saya tertarik meneliti tapis. Sebab, saya menilai kain tapis merupakan salah satu kerajinan tradisional Lampung yang menyelaraskan hidup terhadap lingkungannya maupun pencipta alam semesta.

Di mana munculnya kain tapis ditempuh melalui tahapan-tahapan yang mengarah pada kesempurnaan teknik tenunnya maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat.

Ringkas saja, bagaimana perkembangan sejarah dan tapis Lampung?

Perkembangan kerajinan tenun di Lampung merupakan teknik kerajinan tapis sebagai hasil proses akulturasi kebudayaan. Kemudian dilengkapi dengan berbagai variasi budaya. Sedangkan hiasan-hiasan yang tertera pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain.

Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Demikian pula dengan perkembangannya, ragam hias tapis masih terlihat pengaruh dari unsur-unsur ragam hias yang timbul dalam periode Hindu Indonesia. Dalam ragam hias menggunakan unsur flora dan fauna yang dihubungkan dengan kepercayaan umat Hindu. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata ikut memperkaya kerajinan tapis ini.

Seperti apa?

Walau unsur baru telah terpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Unsur dari berbagai unsur tersebut menampilkan suatu bentuk yang baru yang merupakan ciri kerajinan Lampung. Unsur-unsur tersebut dapat menunjukkan motif yang sama, tapi arti dan makna yang dilukiskan berbeda.

Misalnya, motif tumpal yang sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Pada tradisi Hindu, tumpal merupakan lambang Dewi Kemakmuran. Bentuk tumpal dalam bentuk sederhana, yaitu pucuk rebung, yang melambangkan sesuatu kekuatan yang tumbuh dari dalam. Namun, ada pula yang mengatakan bentuk segitiga ini sebagai abstraksi dari manusia.

Tepatnya, sejak tahun berapa Anda penelitian tapis?

Sejak tahun 1987. Waktu itu sebagai tugas akhir sekolah. Karena saya mencintai tapis, tahun 1997--1998, seorang peneliti dari Kansas, Amerika Serikat, Mr. Tim Smith, mengajak saya meneliti tapis. Sampai sekarang, draf hasil penelitian itu masih saya simpan dan belum saya terbitkan sebagai buku. Sebab, saya memang perlu melakukan studi lapangan ke Amsterdam, Belanda, yang banyak menyimpan motif dan jenis kain tapis lampung.

(Raswan juga menjelaskan, sejauh ini, dikenal 36 jenis kain Tapis Lampung. Namun, di Museum di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 53 jenis tapis lama yang usianya bahkan mencapai 400 tahun).

Masih ada perajin tapis asli di Lampung?

Pada masyarakat Lampung, banyak ditemukan pembuat kain tapis. Sedangkan tempat asal yang dikenal adalah Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Sungkai Way Kanan, Pubian Telu Suku, dan Pasir.

Tapis lampung dulu tidak setenar sekarang. Sejak kapan sebenarnya mula tenar?

Kain tapis lampung sudah ada sejak lebih dari 400 tahun lalu, berupa tenun ikat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan banyak alat tenun yang hilang, baru pada era 1980-an, kain tapis mulai dikenal kembali masyarakat luas. Sayangnya, masyarakat hanya mengenal kain tapis sumatera (untuk menyebutkan kain tapis lampung).

Sejauh ini, kain tapis hanya identik dengan perempuan Lampung. Pada perkembangannya, banyak juga laki-laki yang menggunakan kain tapis tersebut.

Benar, kain tapis merupakan pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam (Lampung cucuk).

Kerajinan tapis tradisional Lampung merupakan kain tenun yang dihubungkan dengan proses penenunan benang untuk membuat kain dasar dan proses penyulaman benang untuk membuat motif-motif dan ragam hiasanya. Kini, beberapa pakaian adat Lampung yang dikenakan laki-laki, juga sudah menggunakan tenun tapis dan ternyata sangat etnik dan elegan.

Konon, menenun tapis merupakan kegiatan sakral. Apa benar?

Sakral sih, tidak. Tetapi tradisi yang seperti harus dilakukan saat itu.

Tapis lampung termasuk kerajinan tradisonal, terlebih peralatan yang digunakan dalam pembuatan kain dasar dan motif-motif hias masih sangat sederhana dan dikerjakan langsung oleh perajin. Kerajinan itu umumnya dibuat kaum hawa, baik ibu rumah tangga ataupun anak gadis (muli), yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang. Tujuan awalnya untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral.

Muli Lampung waktu itu akan dinilai sangat pemalas dan tercela bila tidak bisa membuat kain tapis. Sedangkan bagi suatu keluarga, jika seorang anak perempuannya lahir, sang ibu sudah menyiapkan sebuah kain tapis yang akan dibawa pada saat anak gadisnya akan menikah.

(Kain tapis Lampung saat ini dapat diproduksi perajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditas yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Bahkan, di Galeri Tapis Helau milik Raswan, di Jalan Teuku Umar No.98 Bandar Lampung, kain tapis lampung dijual dengan harga Rp750 ribu--Rp7 juta).

Di awal pembicaraan, Anda mengatakan dalam membuat kain tapis tidak boleh mencabut perajin dari akar budayanya. Maksudnya?

Begini, banyak sekali pengusaha tapis membawa perajin tapis dari Pringsewu ke Tanjungkarang. Hal itulah yang selama ini dilakukan pengusaha tapis lampung. Akibatnya, kerajinan tapis justru tidak berkembang. Kita harus tiru Obin atau Iwan Tirta yang mengembangkan batik dengan tetap membuat batik dari daerah asalnya, Jepara.



Menyelamatkan Tapis dan Sastra Lisan


SEJAK kecil, Raswan memang sudah sangat mencintai dunia seni dan budaya. Hobinya sejak SMP adalah melukis, main drama, menulis puisi, dan menulis cerpen. Bahkan, di SMP dia sudah sering menjuarai lomba melukis.

Waktu itu, Raswan remaja sedang bersekolah di MTs Negeri 1. Bahkan, hobi itu terus berlanjut sampai ke SMA. Karya puisi dan cerpen hasil buah pikirannya, bahkan sempat dimuat di Lampung Post, pada halaman Carem Ragem-Muli Mekhanai.

Saat kuliah, Raswan mengambil Jurusan Bahasa dan Seni Universitas Lampung (Unila). "Semula, saya ingin melanjutkan kuliah ke Asri Yogyakarta. Namun, waktu itu, saya dan keluarga menilai Yogyakarta sebuah tempat yang sangat jauh dan di sana tidak memiliki keluarga. Akhirnya, pilihan tetap kuliah di Lampung, mengambil jurusan bahasa dan seni.

Saat kuliah, Raswan pernah mengikuti kegiatan temu penyair. Bahkan, tahun 1987, Raswan dilibatkan Anshori Djausal (budayawan Lampung) dalam kegiatan temu budaya, riset, studi pustaka, tentang budaya Lampung. Baik itu soal seni suara, sastra lisan, maupun tapis sendiri. Bahkan, Raswan masuk Tim Masterplan Pariwisata Bagian Sosial Budaya.

Tahun 1997--1998, bersama Tim Smith, peneliti dari Kansas, Amerika Serikat. Raswan sendiri serius menekuni usaha tapis sejak tahun 1996, terinspirasi dari banyak orang-orang yang membuat tapis, tapi tidak sesuai dengan defenisi tapis itu sendiri.

Apalagi, pada Kongres Tekstil 1999 di Yogyakarta, ada kesepakatan bahwa untuk membuat kerajinan tradisional harus membuat 100 persen sesuai dengan aslinya; jangan ada yang dikurangi dan jangan ada yang ditambah. "Boleh saja modifikasinya, tapi tidak difungsikan dalam adat," kata dia.

Profesinya, kini, sebagai peneliti, pengamat, dan perajin Tapis Lampung, mendapat dukungan penuh keluarga. Bahkan, mantan guru ini, akan terus bertekad melestarikan budaya Lampung, terutama sastra lisan maupun kain tradisional tapis. "Untuk sastra lisan, draf buku sudah saya susun," tinggal penerbitan saja. n LUKMAN HAKIM/M-1


Biodata

Nama: Raswan
Tempat, tanggal lahir: Tanjungkarang, 14 Maret 1966
Pendidikan: Jurusan Seni dan Sastra Indonesia
Universitas Lampung (1987)

Penelitian:
- Kebudayaan Lampung (1987)
- Tim Masterplan Pariwisata Lampung (1989)
- Sastra Lisan Lampung (1996--1998)
- Penelitian Tapis (1987--sekarang)

Istri: Yuliana
Anak:
1. Muhammad Rizki Arafat (9)
2. Karimah Akilah Putri Larasati (1)

Ayah: Muin Rupian (alm.)
Ibu: Robiah (almh.)
Ayah mertua: Ahmad Usul
Ibu mertua: Nur Aimah

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

[Perjalanan] Kawasan Wisata Terpadu Lombok 'Mulang Pekon' yang Sebenarnya

KAWASAN Wisata Terpadu Lombok Ranau (KWTLR) di Kecamatan Sukau, Lampung Barat, didedikasikan untuk Anda yang ingin merasakan "pulang kampung" yang sesungguhnya.

Paduan alam yang indah, Danau Ranau seluas 128 kilometer persegi, Gunung Seminung setinggi 1.880 meter, udara yang sejuk, dan kearifan budaya daerah yang lestari adalah keunggulan Kawasan Wisata Terpadu Lombok, Sukau, Lampung Barat. Dibangunnya hotel sekelas bintang 2 oleh Pemkab Lampung Barat pada 2006 lalu, menambah kelengkapan wisata di perbatasan Lampung--Sumatera Selatan ini.

Dari aspek alam, danau yang nokang di tiga provinsi ini (Lampung-Sumsel-Bengkulu) menghadirkan kesejukan air yang nyata dan bisa dirasakan. Pada momen-momen tertentu dan dalam panduan pengelola atau warga, pengunjung dapat berenang, keliling dengan perahu motor atau speedboat, atan wisata air lainnya. Gunung Seminung, meskipun berada di utara, wilayah Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan, dapat dinikmati pemandangannya dengan saksama. Sebab, gunung ini menjulang tinggi melebihi gugusan gunung-gunung Bukit Barisan Selatan.

Sementara, Bukit Barisan Selatan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung (taman nasional), masih lestari dan menyimpan flora-fauna yang memikat. Bagi yang gandrung dengan wisata petualangan atau peneliti, kawasan ini masih mewakili tantangan yang memukau.

Dari aspek budaya, sisi selatan dan tenggara Danau Ranau yang dihuni warga suku Lampung masih asli memegang teguh budayanya. Memasuki Pekon (Desa) Lombok, setelah perjalanan sekitar 7 kilometer dari jalur Liwa--Muara Dua, aura etnik lebih terasa. Rumah-rumah panggung tinggi, atap seng yang mayoritas mengindentifikasi ketuaannya, dinding rumah dari papan tanpa cat, dan ornamen-ornamen khas Lampung Pesisir masih sangat natural. Memang, beberapa bangunan sudah berubah menjadi gedung beton modern, tetapi jumlahnya belum memengaruhi suasana tradisional.

Beberapa pengamat pariwisata mengidentifikasi daerah ini lebih tepat dijadikan wisata kampung budaya dengan menempatkan kehidupan warga sebagai keunggulan. Wisatawan diajak berbaur dan beraktivitas selayaknya kegiatan warga sehari-hari yang berinteraksi dengan alam yang indah. Rumah-rumah warga dapat dijadikan tempat tinggal wisatawan (home stay), tanpa perlu menyediakan hotel.

Identifikasi pengamat itu tidak berlebihan. Ini dapat dibuktikan dengan kurang diminatinya hotel milik Pemkab yang dibangun dengan menawarkan layanan modern. "Wisatawan mancanegara tidak membutuhkan layanan modern di sini. Kalau yang begitu, di negara mereka jauh lebih hebat. Mereka ingin yang natural atau asli," kata Iswadi Pratama, budayawan Lampung.

Meskipun demikian, kehadiran fasilitas wisata dan penetapan Lombok sebagai kawasan wisata sangat memberi imbas untuk pariwisata daerah itu. Setidaknya, dengan adanya hotel dengan dua ruang konvensi berkapasitas besar itu menjadikan tempat ini dilirik wisatawan, meskipun lokal dan dinas.

Manager Hotel Seminung Lombok Resort, Samba, mengakui wisatawan yang hadir dan menginap di hotelnya lebih banyak dari instansi pemerintah. Mereka umumnya melakukan kegiatan pelatihan, rapat, atau konvensi. Juga yang hadir untuk melakukan kegiatan peninjauan.

Ke depan, kata Samba, pihaknya akan mengembangkan resort di tepi danau ini dengan aneka pilihan fasilitas. "Kami akan buat semacam kebun binatang mini, kebun buah, aneka permainan, dan lain-lain," ujarnya.

Memadukan beberapa keunggulan dalam kawasan wisata Lombok, yang terdiri dari wilayah dalam dua desa (Lombok dan Sukabanjar) itu, berwisata bisa menjadi momen seperti pulang ke kampung halaman. Anda bisa dimanjakan dan dipandu warga etnik yang ramah dan terbuka untuk menyusuri setiap lekuk eksotisme kawasan itu. Juga berbagai jenis ikan danau yang selalu menjadi menu utama. Juga dengan berbagai cara memasaknya. Liburan sekolah dan hendak mulang pekon? Coba ke Lombok! n SUDARMONO/HENRY ROSADI

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

[Perjalanan] Mitos yang Melestarikan Kijang

SUKAU--Matahari mulai lindap. Tetapi, amparan Danau Ranau masih kemilau tersorot mentari yang menguning. Gunung Seminung yang bertakhta di belakangnya terbias dari birunya air danau di Pekon Sukabanjar, Kecamatan Sukau, Lampung Barat.

Sementara, aktivitas pekon mulai lingsir. Warga yang semula berikhtiar di sebilang tempat, kembali bersatu ke rumah-rumah di perkampungan etnis Lampung yang lestari itu.

Pekon (desa) yang terletak di perbatasan Provinsi Lampung--Sumatera Selatan ini memang eksotis. Itu karena paduan alam dengan satwanya dan budaya yang masih melekat. Tak heran jika di desa yang berada di paling ujung dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) tersebut banyak menyimpan legenda. Salah satunya leganda tentang kijang yang membuat hewan ini lestari di kawasan itu.

Dikisahkan Haji Romzi, tetua warga Sukabanjar, legenda yang menjadi mitos itu berawal dari kisah beberapa abad silam. H. Muhammad Amin, yang diyakini berasal dari tanah Arab datang ke wilayah sekitar Danau Ranau. Di daerah baru itu, perantau itu menyebut diri Puyang Sekhajangan.

Suatu waktu, pemuda itu mendengar adanya sayembara Kerajaan Sekala Brak untuk mendapatkan gadisnya. Syaratnya, sang pemuda harus dapat menumbuhkan tunas dari arang kayu dan lesung. Maka, Sekhanjangan ikut dan menang.

Namun, saat hendak membawa pulang sang gadis, dalam perjalanan ia diadang segerombolan orang yang hendak merebut. Di luar dugaan, datanglah sekelompok kijang dari semak-semak. Para anggota gerombolan tergoda menangkap kijang dari pada konsentrasi merebut gadis. Sehingga, Puyang Sekhanjangan lolos bersama sang gadis.

Kisah itu dikuatkan Ketua Adat setempat, Nasruddin gelar Suttan Taruttus. Suttan menambahkan dalam beberapa perperangan di wilayah Danau Ranau, Puyang Sekhanjangan kembali diselamatkan dan dibantu oleh kijang-kijang. Sehingga sejak itu, Puyang Sekhanjangan bersumpah bahwa anak cucu dan keturunannya kelak tidak boleh memakan daging kijang. Jika dilanggar, mereka akan menderita penyakit kurap yang tidak bisa diobati.

Menurut, Nurdin, tetua masyarakat lainnya, ada keturunan Puyang Sekhanjangan yang pernah melanggar sumpah itu, kemudian mengalami penyakit kurapan yang sangat parah. Orang itu baru sembuh setelah datang ke keramat Sekhanjangan (nangguh) untuk meminta ampun kepada Tuhan.

Karena keyakinan terhadap mitos yang masih melekat tersebut, sehingga masyarakat Pekon Sukabanjar merasakan adanya ikatan batin dengan kijang-kijang yang ada di daerah itu. Sehingga jika ada pemburu-pemburu yang masuk Pekon Sukabanjar, mereka cukup dengan bahasa batin "awas pergi jauh-jauh", maka mudah-mudahan pemburu itu tidak bertemu satu pun kijang di wilayah mereka.

Imbas positif dari mitos itu, binatang kijang di pekon dan kawasan TNBBS lestari. Bahkan, sangat sering kijang muncul di permukiman dengan bergerombol tanpa diganggu warga. "Kijang-kijang itu sering turun ke kampung. Kami biasa saja. Dan mereka juga tidak takut dengan warga. Kijang-kijang itu sudah seperti ternak kambing warga saja. Tapi kalau ada orang luar, mereka tidak muncul," kata Suttan.

Penasaran, beberapa wartawan dan fotografer Lampung Post ingin membuktikan keberadaan kijang-kijang itu. Dipandu Suttan dan beberapa warga, mereka datang ke juru kunci untuk meminta izin. Setelah didoakan, mereka menyusuri kawasan Bukit Barisan Selatan. Namun sayang, mereka belum dipertemukan. n HENRY ROSADI/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

Hijau Daun Memberi Inspirasi

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kelompok musik Hijau Daun tampil memukau pada puncak peringatan HUT ke-327 Bandar Lampung di Tugu Adipura, Sabtu (20-6) malam. Keberhasilan grup band asal Lampung ini pun menginspirasi kaum muda Lampung untuk menembus ketatnya persaingan di tingkat nasional.

PULANG KAMPUNG. Grup band Hijau Daun menghibur 10 ribuan penonton pada puncak HUT ke-327 Bandar Lampung di Tugu Adipura, Sabtu (20-6) malam. Kelompok musik asal Lampung yang sukses menembus belantika musik Tanah Air itu "pulang kampung" untuk menyapa penggemarnya. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

"Hijau Daun bisa sukses dan dikenal banyak orang. Berarti kalau kami serius, kami juga bisa seperti mereka," kata Jaujau (19), pemain band lokal yang ditemui saat menonton konser.

Bukan hanya Jaujau yang terinspirasi Hijau Daun. Yadi (23), pemuda asal Pringsewu, mengaku sengaja datang jauh-jauh dari kotanya untuk menyaksikan band idolanya itu. Yadi dan seorang rekannya berangkat dari Pringsewu dengan sepeda motor sekitar pukul 18.30 agar tidak terlambat menikmati penampilan Hijau Daun.

Klorofers (fans Hijau Daun) wanita juga tidak ketinggalan meramaikan konser tersebut. Ririn, asal Telukbetung, mengaku sangat mengagumi band yang digawangi Dide (vokal), Array dan Arya (gitar), Deny (drum), serta Richan (bass) itu. Ririn dan teman-temannya menggunakan kaus hijau bertuliskan Klorofers sebagai bukti kekaguman mereka pada Hijau Daun.

Sebelum Hijau Daun tampil, beberapa band Indie seperti Napoleon, Filosofi, Sticker, Tetris, Spit Band, Efte, dan Ox Band menjadi band pembuka pada gelaran ini. Hijau Daun baru tampil sekitar pukul 21.00. Mereka membawakan 11 lagu yang berasal dari album pertama Ikuti Cahaya dan satu lagu baru dari album kedua. Mereka juga membawakan tiga lagu milik musisi lain seperti Melly Goeslaw (Bunda), Andra and The Backbone (Musnah), dan Peterpan (Walau Habis Terang).

Lagu berjudul De Javu membuka konser ini dan dilanjutkan dengan lagu Ikuti Cahaya. Hampir semua penonton ikut bernyanyi pada lagu ini. Tembang lain seperti Lihatlah, Jatuh, Cobalah Mengerti, Sampai Kau Bicara, Selalu Begitu, Dewi, Cobalah, dan lainnya dilantunkan Hijau Daun dengan sempurna.

Tugu Adipura

Vokalis Hijau Daun, Dide, mengungkapkan rasa bangganya bisa menghibur warga Bandar Lampung yang menunggu sejak sore. "Kami merasa terhormat bisa tampil di tugu kebanggaan warga Bandar Lampung ini. Mudah-mudahan penampilan kami bisa menghibur dan memuaskan semua penonton yang hadir," kata Dide sesaat sebelum naik panggung.

Sekitar sepuluh ribu penonton mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa turut meramaikan konser ini. Padatnya penonton sempat membuat dua anak kecil pingsan. Keduanya lalu diselamatkan ke area panggung kemudian dibawa pulang keluarganya. Pada acara tersebut panitia tidak menyiapkan posko kesehatan.

Sesaknya penonton membuat kendaraan di beberapa ruas jalan yang melewati Bundaran Tugu Adipura dialihkan. Kendaraan dari Jalan Raden Intan dialihkan ke Jalan Tulangbawang dan dari arah Jalan Sudirman dialihkan ke Jalan Majapahit.

Pengalihan kendaraan juga terjadi dari Jalan Diponegoro ke Jalan Amir Hamzah, sedangkan Jalan Ahmad Yani ditutup dan digunakan sebagai lokasi penonton. Ratusan motor yang terparkir di sekitar pagar pembatas konser sempat membuat macet arus lalu lintas.

Pemilihan lokasi konser di Bundaran Tugu Adipura menjadi unik karena baru kali ini pusat kota dijadikan arena pertunjukan musik.

Polda Lampung dan Poltabes Bandar Lampung mengerahkan 400-an personel keamanan yang terdiri atas Samapta Polda, Samapta Poltabes, dan Satuan Lalu Lintas. "Kami menurunkan tiga peleton," kata Kapoltabes Bandar Lampung Kombes Syauqie Achmad.

Project Officer Indomanajemen, Frances, menjelaskan pihaknyalah yang menggagas lokasi konser di pusat kota dan hal itu direstui Pemkot Bandar Lampung. Penyelenggaraan konser di Tugu Adipura merupakan yang pertama dan kemungkinan tidak akan berulang. "Ini satu-satunya konser yang diperbolehkan digelar di Tugu Adipura," kata Kabag Bina Mitra Poltabes Bandar Lampung AKP Syahrudin Lubis di lokasi konser.

Dalam pidato pembukaannya, Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno mengatakan konser ini merupakan puncak perayaan HUT ke-327 Bandar Lampung. "Ini merupakan hasil kerja keras semua pihak. (Piala) Adipura menjadi kado indah untuk ulang tahun kita," kata Eddy. n MG3/CR-3/MG13/MG10/U-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

Menjadikan Budaya Asli Mesuji sebagai Kekuatan

PEMKAB Mesuji bekerja sama dengan Lampung Post menggelar diskusi terbatas membahas budaya Mesuji, di kantor Lampung Post, Selasa (16-6). Ada yang penting untuk mengancah masalah ini, sebab ternyata Mesuji mempunyai budaya yang khas. Sama sekali berbeda dengan Lampung.

Menurut Ismail Ishak, tokoh adat dan tokoh pemuda Mesuji, kebudayaan Mesuji merupakan budaya tersendiri, tidak masuk ke dalam ranah budaya Lampung maupun Sumatera Selatan. Pun termasuk kebudayaan yang lamat-lamat menghilang dari habit masyarakatnya.

Kepunahan budaya asli Mesuji ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain posisi geografis Mesuji yang diapit antara Sumatera Selatan dan Lampung, determinasi dari modernitas seperti televisi yang menayangkan simbol-simbol modernitas itu sendiri, serta pola hidup yang mengenyampingkan budaya asli dari masyarakatnya itu sendiri.

Cara terbaik mengatasi dekadensi budaya Mesuji itu adalah masyarakatnya harus bersikap "asli", dalam arti menggunakan budaya asli pada kehidupan sehari-hari karena budaya terbentuk dari kehidupan sehari-hari, dari kebiasaan.

Menurut Iswadi Pratama, budayawan/seniman Lampung, "Budaya adalah suatu keadaan yang terbentuk dari cipta, karsa, dan karya manusia yang berkaitan erat dengan kondisi geografis tempat manusia tersebut berada."

Tetapi, ke-asli-an tersebut jangan membuat seakan-akan masyarakat Mesuji menjadi eksklusif dibandingkan yang lain, masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Merunut pendapat Sudjarwo, akademisi FKIP Unila, bahwa jangan sampai akibat ke-eksklusif-an tersebut masyarakat Mesuji menjadi menutup diri terhadap kebudayaan lain.

Mengutip perkataan Iswadi yang mengatakan biarkan saja budaya-budaya tersebut bercampur, "Justru hal tersebutlah yang akan memperkaya." Bila ada penilaian, yang mana budaya asli dan yang bukan, malah akan membuat budaya tersebut mati pelan-pelan.

Sedangkan Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka berpendapat sebaiknya pemerintah pun harus ikut andil dalam melestarikan kebudayaan asli Mesuji. Peran tersebut dapat melalui sektor pendidikan.

Pendidikan bisa dikatakan sebagai langkah kedua, tetapi hendaknya bukan hanya kewajiban dalam menyelesaikan sebuah kurikulum yang sudah ditetapkan, melainkan mengonsepkan pendidikan yang dapat menumbuhkan pemahaman dari murid didik bahwa mereka memiliki budaya asli dan bangga terhadap budaya aslinya.

Syaiful pun mengatakan bahwa penyediaan sarana dan prasarana penyokong agar kegiatan kebudayaan tetap berjalan secara berkelanjutan, bukan hanya berhenti saat semua fasilitas terpenuhi. Sebab, kebudayaan dapat lestari bilamana ada penggeraknya yang mengapresiasikannya secara terus menerus.

Namun, hendaknya pula tidak terjebak oleh anggapan klise bahwa kebudayaan itu adalah benda-benda visual seperti patung-patung simbol atau tempat kesenian. Merunut pandangan Iswadi dan Sudjarwo, jika menganggap kebudayaan adalah hal-hal tersebut, kebudayaan itu adalah kebudayaan yang mati. Lebih tepat adalah agar nilai-nilai kultural dari daerah Mesuji yang lebih digali lagi.

Setelah nilai-nilai kultural tersebut dapat ditanamkan, menurut Isawadi, langkah yang selanjutnya adalah pen-ciri-khas-an daerah Mesuji yang mencerminkan budayanya tersebut. Diperlukan gerak cepat dalam mempromosikan budaya Mesuji tersebut, bisa dengan promosi pariwisata ataupun dari website untuk menjadi peta budaya.

Bila promosi pariwisata hendak dilakukan, sebaiknya diambil sebuah ciri khas dari Mesuji yang dijadikan tema pariwisata tersebut. Ciri khas Mesuji adalah sungai. Oleh karena itu, mengadakan festival sungai adalah cara terbaik dan termudah. Adakan sebuah rangkaian acara festival yang berhubungan dengan ciri khas tersebut.

Selain itu, menurut Iswadi, promosi dapat juga dilakukan dengan mengundang penulis atau wartawan yang diajak berkeliling kemudian menuliskan sebuah travellog (catatan perjalanan), sehingga tidak hanya dari segi pariwisata saja yang didapatkan angle-nya, tetapi akan banyak angle yang akan diperoleh, entah itu humaniora, sejarah, atau bahasa.

Pemusnah terbesar suatu kebudayaan adalah manusianya sendiri. Karena jika manusianya sendiri tidak mau mengakui kebudayaan asli dan tidak mau berinteraksi dengan kebudayaan yang lain untuk memperkaya diri dan pikirannya, niscaya kebudayaan akan mati, cepat atau lambat. MG13/P-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

Begawi Adat Dipadati Warga

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pembukaan Begawi Adat dalam rangka peringatan HUT ke-327 Kota Bandar Lampung, di GOR Saburai, Enggal, Tanjungkarang Pusat, berlangsung meriah, Sabtu (20-6).

Ratusan warga Bandar Lampung antusias, berdesak-desakan ingin melihat dan menikmati berbagai tarian serta pertunjukan budaya lainnya. Begawi Adat ini merupakan salah satu agenda Visit Indonesia Year 2009.

Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sempat dibuat repot karena banyak pengunjung yang berusaha mendekati panggung, untuk melihat sajian-sajian budaya yang cukup menarik. Namun, petugas berusaha mencegah massa agar pembukaan Begawi berjalan lancar.

Pembukaan Begawi Adat ditandai dengan penglepasan balon dan burung merpati. Sementara itu, Wali Kota meniup lilin dan memotong kue sebagai simbol perayaan HUT Bandar Lampung.

Para pejabat penting yang hadir dalam pembukaan Begawi Adat, antara lain staf ahli Bidang Ekonomi dan Iptek Kementrian Budaya dan Pariwisata Titien Soekarya; Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno; Wakil Gubernur Lampung Djoko Umar Said; Ketua DPRD Bandar Lampung Azwar Yacub; Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani; dan Ketua Tim Penggerak PKK Nurpuri Eddy Sutrisno.

Begawi Adat Bandar Lampung dimulai dengan pertunjukan tari Sumur Putri yang dipentaskan Sanggar Tapis Berseri. Tari ini mengisahkan tentang dua orang putri raja yang menyukai pemuda yang sama. Pemuda itu akhirnya harus memilih salah satu putri. Putri yang lain akhirnya sedih dan menangis karena ditinggal saudaranya. Begawi Bandar Lampung digelar hingga 23 Juni mendatang.

Atraksi dilanjutkan dengan penampilan drumben yang dibawakan puluhan siswa SMU Negeri 10 Bandar Lampung, juga lomba jajanan pasar, lomba kasidah, dan lomba lagu pop daerah.

Usai penampilan drumben, perwakilan dari 13 kecamatan mementaskan tarian dan pawai budaya. Parade budaya yang ditampilkan, meliputi Kecamatan Kedaton menampilkan tarian Tor-Tor dari daerah Tapanuli; Kecamatan Telukbetung Selatan mementaskan barongsai dan beladiri wushu; Kecamatan Panjang memamerkan budaya Bugis; Kecamatan Sukabumi menampilkan reog Ponorogo; Kecamatan Telukbetung Utara membawakan kebudayaan daerah Banten, Kecamatan Kemiling menampilkan kesenian tari singa asal Depok. Selain itu atraksi kuda lumping.

Namun, parade tari dan budaya terlihat belum maksimal. Beberapa pawai budaya tampil seadanya. Titien Soekarya menuturkan Bandar Lampung memiliki banyak potensi wisata dan mempunyai kekuatan untuk menjadi tujuan pariwisata yang diminati wisatwan lokal dan mancanegara.

Potensi wisata Bandar Lampung terlihat dari bentuk geografis yang mendukung. Bandar Lampung memiliki alam yang indah yang didukung banyak bukit di pinggir-pinggir pantai dan pesisir yang luas. Kota Tapis Berseri juga memiliki beragam etnis dan budaya masyarakat.

"Ini adalah kekuatan pariwisata Bandar Lampung," kata Titien Soekarya.

Bandar Lampung, lanjutnya, merupakan lintasan sekaligus pintu masuk Pulau Sumatera. Kondisi tersebut menjadi kesempatan besar bagi Bandar Lampung untuk menggaet wisatawan. "Bandar Lampung bisa menjadi daerah singgah bagi wisatwan untuk menginap atau sekadar membeli oleh-oleh," kata dia.

Titien Soekarya meminta Pemkot meningkatkan promosi wisata. Hal itu bisa dilakukan dengan cara mempublikasikan potensi wisata di kapal-kapal feri, sebagai salah satu transportasi yang kerap dipakai ke Lampung. Promosi dilakukan dengan menampilkan video atau film pariwisata di kapal-kapal penyeberangan. Promosi wisata dapat dilakukan dengan publikasi ke Jakarta.

Pengembangan pariwisata harus dilakukan dengan kerja bersama pemerintah dengan masyarakat. Masyarakt juga harus membantu peningkatan pariwisata. Yang dapat dilakukan masyarakat bersifat terbuka dan berlaku baik terhadap wisatawan.

Wali Kota Eddy Sutrisno mengatakan Bandar Lampung memiliki potensi wisata yang cukup untuk menggaet wisatawan lokal dan mancanegara. Persoalan yang dihadapi adalah belum maksimalnya pengelolaan potensi wisata yang ada. Eddy mengungkapkan Pemkot akan terus mengemas objek wisata yang dimiliki, seperti wisata seni dan budaya. Pemkot juga harus meningkatkan pencitraan sehingga timbuh kesan positif Bandar Lampung sebagai daerah kunjungan wisata. n MG2/K-4

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Juni 2009

June 20, 2009

Begawi Diharapkan Tarik Wisatawan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemerintah Kota Bandar Lampung berharap Begawi tahun 2009 dapat menarik wisatawan lokal dan mancanegara. Begawi Bandar Lampung yang menjadi salah satu agenda Visit Indonesia Year 2009 tersebut dibuka hari ini (20-6).

Pembukaan Begawi akan dilangsungkan di GOR Saburai pada pukul 13.00. Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kota Bandar Lampung Fachruddin, saat dihubungi, Jumat (19-6), mengatakan telah mengundang beberapa kedutaan besar untuk menghadiri Begawi.

Undangan juga sudah disampaikan pada saat kunjungan Dewan Kesenian Bandar Lampung ke Belanda, Mei lalu. Namun, kata Fachruddin, Dispar belum mendapat konfirmasi berapa wisatawan dan kedutaan besar yang akan hadir.

Menurut dia, Begawi Bandar Lampung merupakan salah satu agenda dari tahun kunjungan wisata Lampung 2009. Ada 40 kegiatan di beberapa kabupaten/kota yang masuk dalam agenda Visit Lampung Year 2009. Begawi menjadi salah satu alat promosi wisata di Lampung. "Begawi dan beberapa event wisata lain diharapkan mampu mendongkrak jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung," kata Fachruddin.

Fachruddin mengatakan Pemkot tidak menetapkan target wisatawan dalam Begawi. Begawi menjadi salah satu media promosi wisata untuk menarik para wisatwan.

Kepala Bagian Humas Kota Bandar Lampung Zainuddin mengatakan Begawi Bandar Lampung merupakan salah satu agenda wisata nasional. Kegiatan ini sudah masuk dalam daftar agenda Visit Indonesia Year 2009. Departemen Pariwisata telah mempromosikan Begawi Bandar Lampung ke luar negeri melalui website-nya. Dia berharap agar Begawi dapat menjadi ikon pariwisata di Provinsi Lampung.

Menurut Zainuddin, Begawi Bandar Lampung belum bisa mengimbangi kegiatan budaya di daerah lain, seperti Bali dan Yogyakarta. Pemkot akan terus berusaha untuk merintis agar Begawi dapat meningkatkan minta wisatawan untuk mengunjungi Bandar Lampung.

Atraksi Budaya

Begawi akan dimeriahkan dengan pawai budaya yang akan ditampilkan oleh 13 kecamatan. Budaya yang dipamerkan tidak hanya budaya Lampung, tapi juga budaya Tionghoa dan Jawa. Pawai budaya akan dimulai dari GOR Saburai menuju ke Jalan Majapahit, Jalan Raden Intan, Jalan Jenderal Sudirman.

Fachruddin mengungkapkan dalam Begawi Bandar Lampung akan ditampilkan tari melinting, tari sembah, atraksi barongsai, atraksi reog ponorogo, dan atraksi drumben.

Menurut dia, pembukaan Begawi dijadwakan akan dihadiri Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. dan Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Iptek Departemen Pariwisata Titin Sukarya.

Pembukaan Begawi dilakukan bersamaan dengan pembukaan Bandar Lampung Expo. Begawi juga akan dimeriahkan dengan berbagai perlombaan seperti lomba lagu pop daerah dan lomba mawalan. Agenda Begawi akan ditutup pada 23 Juni.

Bandar Lampung Expo akan diikuti semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan 13 kecamatan, kelompok pengusaha, serta pedagang kecil. Kegiatan ini akan dimeriahkan dengan hiburan rakyat seperti komedi putar. Pemkot Bandar Lampung juga menggelar konser Hijau Daun di Bundaran Adipura, Sabtu (20-6), pukul 19.00. Konser band asal Lampung ini gratis untuk semua warga Bandar Lampung. MG2/K-2

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009

Wahai SZP dan ADT

Oleh Edy Irawan Arief

SAYA masyarakat Lampung, asli suku Lampung, besar dan berkiprah di Lampung, sangat mencintai Lampung, dan berharap kedamaian terjadi di Lampung. Sejak tahun 1980-an berprofesi di dunia kampus, dunia yang masih terpancar sinar kejujuran dan objektivitas. Ketika itu saya mencoba menyuarakan pemikiran konstruktif melalui seminar/diskusi, komentar, maupun artikel dalam membangun daerah tercinta ini, tetapi suara itu berlalu saja, bahkan barangkali tidak terdengar.

Oleh karena itu, pada 2004, saya masuk ke dalam sistem dalam peran sebagai legislator dari Partai Golkar. Beberapa saat lagi tugas itu akan berakhir, dan saya telah masuk kembali ke habitat semula. Demi kebaikan dan atas nama kebenaran, saya menulis ini terlepas dari kepentingan dan tekanan, partisipatif studi saya lakukan, dengan melakukan generalisasi menuju representasi.

Tokoh Fenomenal

Siapa tidak kenal, atau siapa yang belum pernah mendengar nama Sjachroedin Z.P. (SZP) dan Alzier Dianis Thabranie (ADT), barangkali kenal dan pernah mendengar pasti jawabnya. Dua tokoh ini selalu menjadi buah bibir masyarakat dan wajahnya selalu ada di surat kabar Lampung. Dua tokoh ini hampir mempunyai karakter dan latar belakang yang tidak jauh berbeda, pragmatis, ceplas ceplos, dan berasal dari keturunan pemimpin di Lampung. Mungkin yang membedakan adalah perjalanan kariernya, yang satu menempuh jalur kepolisian, dan yang satu wiraswasta, tapi akhirnya sama-sama dalam memimpin partai politik.

Sejak tidak berkarier lagi di kepolisian, SZP mencalonkan diri sebagai gubernur Lampung, sangat pantas dan masuk hitungan. ADT ketika itu masih muda dan belum menjadi tokoh provinsi, tiba-tiba muncul sebagai calon gubernur. Dengan kerja keras, dengan semangat yang menggebu, pandai memanfaatkan jaringan, serta efektif memanfaatkan potensi, ADT akhirnya terpilih menjadi gubernur dengan mengalahkan SZP, bahkan Oemarsono yang pada waktu itu sangat kuat.

Kondisi ini menjadi titik awal tarik menarik antara SZP dan ADT. Walau menang, ternyata ADT tidak dilantik. Kemudian dilakukan pemilihan ulang, akhirnya SZP menang dan yang dilantik. Dari wiraswasta, ADT mulai bergeser menjadi politisi papan atas, dengan segala kepiawaiannya ADT menjadi ketua Partai Golkar yang notabene sebagai partai pemenang pemilu.

Dalam perjalanannya SZP tidak kalah gigih, dengan posisinya yang berkuasa saat itu dan latar belakang orientasi politik orang tuanya, SZP menjadi ketua PDI-P yang notabene partai besar di provinsi ini. Seru dan sangat kompetitif keduanya melakukan manuver, masyarakat Lampung terperangah, para tokoh terdiam, akademisi hilang kearifan, makelar politik dan para pendemo mengais keuntungan.

Lampung Prihatin

SK 15, mungkin satu-satunya Surat Keputusan DPRD Lampung yang paling populer, banyak yang menyimpan dan ribuan yang membacanya. SK ini menghebohkan Lampung, SK ini menjadi pemicu pertarungan eksekutif dan legislatif. ADT wajar saja berada pada satu sisi pertarungan, sebab ADT ingin mendapatkan hak-hak politiknya yang ditempuh melalui jalur hukum. SZP juga wajar berada pada sisi yang lain, apa salah dan dosanya kemudian di SK 15 kan.

SZP dan ADT sama-sama berjuang, segala kekuatan digunakan, dan terjadi adu jaringan di sentral kekuasaan. Sayang sungguh sayang, kejadian itu sampai mengenyampingkan kepentingan masyarakat Lampung, pertumbuhan tersendat, kemiskinan menjadi bertambah. Lampung sangat prihatin ketika itu. Pemerintah pusat sebagai juri terasa lambat menuntaskannya, bahkan semua dibiarkan berlalu hingga bergesernya kekuatan politik di legislatif.

Situasi ini tidak ada penyelesaikan hingga Pilgub 2008 dilaksanakan, sehingga SZP dan ADT masih terus berhadapan, baik dalam situasi frontal, gerilya, tusuk kiri maupun tusuk kanan dalam metode kompetisinya.

Pilgub sebagai Wasit

Walau terdapat 7 pasang calon, ternyata pasangan SZP (UJ) dan ADT (Abang) yang paling tinggi tingkat sentimennya. Masyarakat Lampung dengan harap-harap cemas menggantungkan pilgub sebagai wasit atau Al-Furqon (pemisah) untuk semua harus legowo menerima apa pun hasilnya. Benar saja, SZP ranking pertama dan ADT ranking kedua, dan SZP keluar sebagai pemenang. Masyarakat sorak gembira menyambut pilgub yang relatif damai, kita terima hasilnya dengan lapang dada. Rupanya tidak demikian karena proses pelantikan yang begitu lama dilakukan, ternyata ada proses hukum yang berjalan, yaitu money politics dan dana APBD untuk incumbent.

Dalam proses hukum money politics, ada keputusan PN, diperkuat dengan keputusan PT, bahkan ada fatwa Mahkamah Agung, kemudian ditindaklanjuti dengan SK KPU. Kasus APBD untuk incumbent, ada pleno Panwaslu, dan ada SK pembatalan KPU. Isu beredar SZP tidak dilantik, tapi banyak juga yang mengatakan SZP pasti dilantik. Ada isu ADT bisa dilantik, tetapi juga ada yang bilang karteker.

Seminggu sebelum pelantikan (2 Juni), isu pelantikan menjadi obrolan warung kopi, semua berandai-andai, tetapi tidak seorang pun (kecuali SZP barangkali) yang tahu kepastian pelantikan 2 Juni tersebut. Sampai-sampai sebagian besar anggota DPRD termasuk PDI-P masih harap-harap cemas sebelum rapat paripurna berlangsung. Kepastian baru muncul setelah SZP datang ke gedung DPRD, dan tidak lama menyusul Mendagri. Wasit menentukan SZP sebagai gubernur lampung.

Lampung Damai

Saya dalam setiap kali diskusi dengan kawan-kawan, dan bahkan saya sempat minta sampaikan kepada SZP melalui orang dekatnya, agar ada konferensi pers seusai pelantikan. Jika saja SZP mengatakan, permainan sudah berakhir, semua sudah selesai, lupakan masa yang lalu, masa lalu hanya merupakan dinamika politik dan kehidupan, kepada masyarakat Lampung saya mohon maaf bila ada kata dan tindakan selama pilgub ada yang tidak berkenan, mari bersama kita membangun Lampung, kepada para calon termasuk ADT mari kita bekerja sama, kepada PNS dan elemen masyarakat diminta tenang, tidak ada politik balas dendam, semua akan ditata sesuai aturan. Manis terdengar, indah terucap, santun dirasakan, dan damai untuk dilaksanakan, itulah skenario itu bila terjadi.

Mungkin suasana batin SZP pada waktu itu berbeda, kenyataan lain, tetapi sudahlah, yang penting jangan terus menerus seperti ini, tidak baik untuk masyarakat Lampung. Kita menginginkan kedamaian, apa yang tidak bisa kita kompromikan. Pada dasarnya SZP dan ADT sama-sama ingin membangun Lampung, semua punya potensi untuk itu, mungkin hanya kesempatan.

Wahai SZP

Perkenankan saya berucap, kami bangga SZP menjadi gubernur Lampung yang demokratis, yang punya semangat tinggi, dan mampu menggerakkan segenap potensi. Fokuskan pembangunan Lampung untuk kesejahteraan rakyat, JSS dan pembangunan Natar dinanti masyarakat, tata dan tempatkan PNS dalam jabatan yang sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya, saya yakin SZP tidak mempunyai sikap yang ingin menyakiti orang lain termasuk ADT.

Jika SZP dan ADT duduk dalam satu meja menjadi sejarah dan amal keduanya. Golkar dan PDI-P serta partai lainnya saling mengisi, PNS yang terpecah dirajut kembali. Waktu masih terbuka, saya siap mempertaruhkan segalanya untuk kedamaian itu. Wahai SZP, secara praktis kami berharap muncul kesejukan pada setiap kali memberi pengarahan atau berpidato, kami siap menjaga eksistensi kepemimpinan SZP, ini ucapan jujur dan ikhlas, bacalah tulisan ini dengan derai senyuman yang terlukis.

Wahai ADT

Pengabdian bisa di mana saja, semua hanya kesempatan. ADT merupakan pemimpin masa depan, Allah Mahaadil, 5 tahun lagi tidak lama, masyarakat Lampung masih menanti 2014. Wahai ADT, pimpinanlah Partai Golkar dengan kearifan, terus berkarya untuk masyarakat, saya yakin SZP akan mendukung pada saatnya nanti. Duduk satu meja dengan SZP mudah-mudahan dapat terwujud. Tidak ada persyaratan, sebab semua demi kebaikan dan kedamaian Lampung tercinta. ADT adalah ADT, sosok yang pantang menyerah dan dermawan. Wahai ADT, munculkan kedamaian setiap kali berkomentar, sadari bahwa komentar yang keluar akan mempunyai dampak yang luas.

SZP gubernur saat ini, ADT pemimpin masa depan, tidak ada masalah, apalagi saling mendukung, kalaupun ada perbedaan selesaikan dengan baik dan berdasarkan hukum yang berlaku, Lampung damai harapan masyarakat Lampung.

* Edy Irawan Arief, Direktur Program Pascasarjana Universitas Saburai

Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Juni 2009

[Buras] Belajar Prestasi dari Band 'Indie'!

Oleh H. Bambang Eka Wijaya

"MALAM Minggu kita merayakan HUT Kota Bandar Lampung sambil menonton band Hijau Daun di Tugu Adipura!" ajak Umar.

"Ajakanmu terbalik!" sambut Amir. "Kita nonton Hijau Daun sambil merayakan HUT kota! Sebab, HUT kota setiap tahun, sedang menonton band Hijau Daun secara langsung kesempatan langka!"

"Kenapa Hijau Daun begitu istimewa bagimu?" tanya Umar.

"Karena prestasi band indie kota kita yang berhasil ke tingkat nasional tergolong langka!" jawab Amir. "Untuk dekade ini, tercatat hanya Kangen dan Hijau Daun yang berhasil mewujudkan impian setiap grup band itu! Kita layak belajar dari sukses mereka, yang sungguh tidak mudah meraihnya! Sukses kedua band melengkapi kebanggaan warga Lampung dalam bidang seni, memperkuat daftar sukses para penyairnya di tingkat nasional!"

"Apanya yang perlu dipelajari?" kejar Umar.

"Ketekunan mereka berkreasi dalam kondisi serbaterbatas, tanpa berharap bantuan fasilitas atau dana APBD!" tegas Amir. "Dalam kondisi penuh keterbatasan itu mereka mampu mengeksplorasi kekuatan intuisi dirinya, mangaktualisasikannya dalam wujud karya seni! Meski kedua band beraliran pop, tak dapat dikesampingkan arti kreasi seninya dalam menciptakan lagu sendiri sebagai kekhasan band indie! Sukses band indie didasari kepekaan dua hal sekaligus, atas irama dan lagu yang orisinal, dan syairnya mengena semangat zamannya! Dengan demikian, sukses band indie adalah sukses multidimesi--irama musik yang padu dengan syair lagunya!"

"Terharu aku mendengar uraianmu!" sambut Umar. "Betapa tidak! Anak-anak pinggiran dalam kondisi serbaterbatas mampu mengukir prestasi ke tingkat nasional di bidang yang didominasi selebriti! Di sisi lain, tak sedikit kalangan yang bergelimang fasilitas dan dana cuma bisa berkutat di kandang, gagal menembus ke mana pun!"

"Lebih penting untuk belajar dari sukses mereka adalah kalangan birokrat dan politisi dalam mengelola pembangunan daerah, khususnya dalam berorientasi pada prestasi!" tegas Amir. "Orientasi pada prestasi itu, di kalangan birokrat pemerintahan dan politisi, cenderung kurang mendapat prioritas!"

"Itu karena birokrat dan politisi lebih berorientasi pada kepentingan!" potong Umar. "Birokrat lebih berorientasi kepentingan kedudukan, sedang orientasi politisi dalam kepentingan kekuasaan! Akibatnya, bahkan orientasi ideal birokrat sebagai pelayan rakyat dan politisi mengabdi kepentingan rakyat malah cuma jadi sambilan!"

"Maka itu, kusambut ajakanmu menonton Hijau Daun!" tegas Amir. "Asal jangan seperti studi banding, hanya dengan melihat-lihat buah kerja keras dan ketekunan orang, lantas yakin akan bisa berprestasi menyamainya--tanpa kerja keras dan ketekunan yang sama!" **

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009

HUT KE-327 Bandar Lampung: Hijau Daun Puji Band 'Indie' Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Personel Hijau Daun memuji band-band indie Lampung karena punya kualitas, power, dan karakter yang sangat khas.

Tiga faktor itu modal yang kuat untuk bersaing dengan grup musik dari daerah lain, khususnya Jawa. "Band-band indie Lampung berpotensi besar karena style-nya sangat beda," ujar Dide, vokalis Hijau Daun, saat dihubungi Lampung Post, kemarin.

Pujian Dide tentu bukan basa-basi di atas pentas. Sebab, Hijau Daun pun tadinya berangkat dari band indie. Begitu pula Kangen Band yang sudah lebih dulu mengentak belantika musik Tanah Air.

Malam ini, Hijau Daun yang digawangi Dide, Array dan Arya (gitar), Deny (drum), dan Richan (bas) pulang kandang untuk menyambangi fans dan masyarakat Lampung di Tugu Adipura, Bandar Lampung. Kepulangan anak-anak band asal Bumi Ruwa Jurai itu untuk memeriahkan HUT Kota Bandar Lampung ke-327 yang baru saja meraih Penghargaan Adipura.

Di mata Dide, kualitas band-band Lampung--seperti Pangeran, Coin, The President, The Potter, Sticker, Aliaz, atau b.a.g--tak kalah dengan band-band Jakarta, Bandung, atau Yogya.

"Tinggal bagaimana mengembangkan diri dan mau masuk major label," kata Dide yang tinggal di Jalan Mayjen Sutiyoso No. 84 Kotabaru, Bandar Lampung.

Sebelum meraih sukses, ungkap Dide, Hijau Daun cukup lama "mengamen" sebagai band indie lokal. Band yang kini bermarkas di Cibubur, Jabar, itu sempat merekam lagunya dalam Kompilasi Video Klip Indie Lampung. Bendera Hijau Daun baru berkibar pada April 2008 setelah Sony merekam album perdana Ikuti Cahaya.

Ia mengakui selama ini band-band di Jawa mendominasi belantika musik Tanah Air. Itu sebabnya, ketika sukses lewat single hits-nya, Suara (Ku Berharap), banyak yang mengira asal Hijau Daun dari Bandung.

Apa boleh buat, Dide dkk. perlu waktu ekstra meyakinkan publik bahwa Hijau Daun lahir dan dibesarkan di Bumi Ruwa Jurai. "Sewaktu konser di berbagai kota, banyak yang tidak tahu di mana Bandar Lampung. Mereka kira Lampung itu cuma hutan melulu."

Dide mengaku sangat bangga pada Lampung. Bangga jadi orang Lampung. Maka, setiap kali konser, ia tak lupa memakai syal sulaman usus etnik Lampung yang berwarna hijau. "Di panggung, saya berusaha jadi duta daerah untuk memperkenalkan Lampung," kata Dide.

Meski telah menembus pasar Ibu Kota dan merebut hati pencinta musik Indonesia, personel Hijau Daun mengaku lebih kerasan berada di Lampung. Dide pun berencana membuat base camp di Bandar Lampung. AST/X-2

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009

Quo Vadis Visit Lampung Year

Oleh Alamsyah

VISIT Lampung Year adalah salah satu program unggulan Pemerintah Provinsi Lampung untuk mengembangkan sektor pariwisata yang cenderung mati suri. Tapi, program ini terkesan elitis. Hasil polling Lampung Post menunjukkan tak ada perbedaan signifikan antara mereka yang mengetahui (57 persen) dan tidak mengetahui (43 persen) keberadaan program ini (Lampung Post, 19 Januari 2009).

Program ini menargetkan dua juta wisatawan akan berkunjung ke Provinsi Lampung. Target yang bombastis dan terkesan utopis. Faktanya, per Januari 2009, jumlah tamu domestik dan asing yang menginap di hotel hanya 6.149 orang (258 tamu asing dan 5.891 tamu domestik) atau 0,30 persen dari dua juta wisatawan. Mereka menginap juga tak terlalu lama. Tamu domestik tidak pernah dari dua hari, sedangkan tamu asing tak lebih dari tiga hari (Lampung Post, 12 Maret 2009).

Indikator durasi menginap ini bisa diinterpretasikan macam-macam. Pertama, ia menunjukkan bahwa mereka yang menginap di hotel tidak betah tinggal di Provinsi Lampung. Mengapa mereka tidak betah? Jawabnya, tak ada yang eksotis untuk dilihat meskipun budaya dan alam Provinsi Lampung sesungguhnya sangat eksotis.

Kedua, mereka yang menginap di hotel bukanlah wisatawan, tetapi hanya sekelompok orang yang transit di Provinsi Lampung karena ada urusan lain yang tak ada sangkut pautnya dengan aktivitas berwisata ria. Artinya, Provinsi Lampung belum dimaknai sebagai tempat kunjungan wisata.

Apabila kedua interpretasi ini bisa diterima, kita sampai persoalan bagaimana mengemas budaya dan alam Provinsi Lampung sebagai tempat kunjungan wisata. Saya kira, upaya awal yang bisa dilakukan adalah mempertegas sudut pandang dalam memahami sektor pariwisata dan meredefenisi peran pemerintah dalam sektor ini.

Esensi Pariwisata

Industri pariwisata muncul karena setiap orang membutuhkan waktu khusus untuk memanfaatkan waktu luang mereka. Pariwisata identik dengan berlibur baik secara perorangan maupun berkelompok. Tujuannya adalah rileks, melepas lelah, dan mencari kesenangan.

Keindahan panorama alam, keunikan budaya manusia, dan situs-situs bersejarah merupakan tiga faktor utama sebuah lokasi untuk dijadikan tempat wisata yang dikunjungi orang. Faktor lain, misalnya karena alasan pendidikan sebagaimana dikembangkan Aa' Gym dengan wisata ruhani ke Daarut Tauhid atau study tour siswa pelajar/mahasiswa ke Pulau Jawa dan Pulau Bali. Atau, karena alasan life style sebagaimana dikembangkan Malaysia dengan slogan Truly Asia yang dicitrakan sebagai surga belanja.

Saya sendiri lebih suka mendefenisikan pariwisata sebagai serangkaian kegiatan untuk membuat para pelancong betah menetap (bisa di hotel, di rumah saudara, atau di rumah teman) di Provinsi Lampung untuk menghabiskan waktu liburan mereka dengan melakukan perjalanan lokal dan mengeluarkan uang untuk keperluan konsumtif.

Dengan defenisi ini, kesuksesan industri pariwisata tidak hanya diukur dari tingkat hunian kamar hotel tetapi juga dari jumlah orang yang mengunjungi tempat-tempat wisata, pergerakan ekonomi lokal (misalnya, jumlah uang beredar, inflasi, pertumbuhan ekonomi), dan tingkat keuntungan pelaksanaan event-event wisata.

Jadi, pariwisata itu bukan hanya soal mengunjungi (visiting), tetapi soal menetap (staying), melakukan perjalanan (traveling), dan membeli (buying) barang dan jasa. Sudahkah kita mempersiapkan lokasi dan rute kunjungan wisata yang membuat para pelancong akan selalu berkunjung? Sudahkah kita mempersiapkan agar para pelancong betah menetap? Sudahkah kita mempersiapkan barang dan jasa yang akan dibeli para pelancong?

Redefenisi Peran Pemerintah

Dalam program Visit Lampung Year 2009, tampak kesan mendalam yang memosisikan institusi pemerintah sebagai pelaku utama industri pariwisata. Oleh sebab itu, isu utama yang mencuat adalah keterbatasan anggaran yang dialokasikan untuk sektor pariwisata dan budaya. Fakta mengatakan bahwa anggaran untuk sektor ini memang relatif kecil. Menurut data X, pada tahun anggaran 2007 dan 2008 mayoritas kabupaten/kota di Provinsi Lampung hanya mengalokasikan dana dalam hitungan desimal dari total APBD mereka untuk sektor ini. Sebagai contoh adalah dana APBD Provinsi Lampung.

Saya sepakat dengan opini publik yang terbentuk selama pelaksanaan program Visit Lampung Year 2009 yang mengatakan bahwa kesuksesan program ini tidak tergantung dengan dana. Saya juga sepakat bahwa dana untuk sektor pariwisata dan budaya perlu ditingkatkan. Tetapi, masalah utamanya bukan terletak pada besar kecilnya dana, tetapi bagaimana mengelola dana yang ada untuk menstimulasi industri pariwisata lokal.

Sektor pariwisata sesungguhnya memiliki karakter untuk dikelola dengan prinsip-prinsip pasar (ada permintaan, ada penawaran). Dalam konteks ini, pemerintah hanya sebagai regulator. Dalam konteks implementasi fungsi ini, yang paling penting, saya kira, adalah bagaimana mengatur dan mengintegrasikan program-program yang dimiliki setiap dinas yang terkait dengan sektor pariwisata dan budaya, membuat dokumen road map pengembangan sektor pariwisata Provinsi Lampung dalam jangka panjang, dan mendorong masuknya investor swasta ke sektor ini, mengawal agar road map tersebut tidak gonta-ganti seiring dengan gonta-gantinya kepala daerah akibat fluktuasi dinamika politik lokal. Kepastian kebijakan merupakan prasyarat utama datangnya investor dalam pengembangan sektor pariwisata di Provinsi Lampung.

Pemerintah bisa saja menjadi pelaku dalam sektor ini, misalnya mendirikan hotel dan mengelola objek wisata, tetapi kegiatan ini tidak dilakukan melalui dinas yang menangani sektor pariwisata dan budaya, tetapi melalui badan usaha milik daerah agar prinsip-prinsip manajemen bisnis swasta yang profit-oriented bisa diaplikasikan.

Rekomendasi

Saya kira, target Visit Lampung Year 2009 untuk mendatangkan wisatawan sebanyak dua juta orang terlalu berlebihan. Apalagi hal ini dikumandangkan di tengah situasi keterbatasan anggaran, cairnya aktor-aktor yang terlibat dalam sektor ini, minimnya partisipasi masyarakat, dan infrastruktur yang belum siap. Oleh sebab itu, penulis menyarankan sebaiknya program ini direvisi daripada menghambur-hamburkan dana APBD. Revisi difokuskan kepada pembenahan infrastruktur struktur fisik (renovasi objek wisata, perbaikan akses transportasi dan fasilitas umum di lokasi wisata), manajemen pengelolaan potensi wisata melalui kelembagaan BUMD atau pelibatan pihak swasta seluas-luasnya, dan persiapan sosial pada level komunitas yang berdekatan dengan objek wisata. Dalam proses ini, mereka yang terlibat dalam industri pariwisata Lampung dapat memfokuskan diri kepada wisatawan domestik yang potensial tetapi belum digarap optimal.

Terakhir, meskipun sering diremehkan banyak orang, saya kira sangat penting untuk membangun visi industri pariwisata di Provinsi Lampung. Visi ini yang akan menentukan apakah industri pariwisata di Provinsi Lampung akan bertumpu pada potensi panorama alam, sektor budaya, tempat bersejarah, dan sebagainya. Beberapa contoh visi yang cerdas, misalnya, never ending Asia (Yogyakarta), truly Asia (Malaysia).

* Alamsyah, Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Juni 2009

June 18, 2009

Sastra Lampung, Perlu Aksi agar Tetap Lestari

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pelestarian sastra berbahasa Lampung hendaknya tidak hanya berjalan dalam wacana saja. Action, adalah yang terpenting untuk dilakukan agar sastra berbahasa Lampung tetap lestari.

Bahasa adalah ornamen terpenting dari setiap karya sastra. Tanpa bahasa, maka sastra pun akan mati. Begitupun dengan sastra berbahasa daerah. Apabila bahasa daerahnya punah atau hampir punah, seperti bahasa Lampung, maka tinggal ditunggu saja kematian dari sastra daerah tersebut.

Penyair Oyos Saroso HN mengatakan bahwa bukan hanya bahasa Lampung saja yang hampir punah, tetapi juga bahasa-bahasa daerah yang lain pun sama. Lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia yang hampir punah. "Penyebab utamanya ialah tidak dipakainya bahasa-bahasa daerah tersebut dalam kehidupan sehari-hari," ungkapnya, Rabu (17-6).

Menurutnya diperlukan sikap untuk tidak malu dalam menggunakan bahasa daerah pada setiap kesempatan. "Terlebih lagi dalam pertemuan-pertemuan non-formil," katanya.

Oyos mengatakan 'sikap tidak malu' itu tidak berlaku hanya pada orang Lampung sendiri, tetapi juga kepada para pendatang. Bahasa Jawa contohnya.

Mengenai fungsi pendidikan yang seharusnya mempunyai andil lebih dalam melestarikan bahasa dan sastra Lampung, Oyos mengomentari bahwa ia merasa pesimis kalau sistem pendidikan sekarang ini dapat membantu melestarikan. "Muatan lokal sastra bahasa Lampung yang diajarkan di sekolah-sekolah itu tidak cukup karena hanya kurikulum saja," katanya.

"Diperlukan program pelestarian bahasa. Dan, hal tersebut dapat dimulai dari lingkungan terkecil masyarakat, yaitu keluarga," tegasnya.

Menurutnya, hanya dari lingkungan keluargalah kelestarian bahasa Lampung dapat dijaga. "Sebenarnya budaya Lampunglah yang harus lebih dulu diselamatkan, karena dari budayalah bahasa tercipta," lanjutnya. Oyos menambahkan, pemerintah daerah pun harus ikut serta dalam upaya pelestarian, "Di Jawa Barat sudah ada Perda tentang pelestarian budaya dan bahasa. Kalau di Lampung sendiri saya rasa belum ada."

Dalam kesempatan lain, Farida Ariyani, Akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mengatakan, "Kalau ingin bahasa serta sastra Lampung tidak punah. Sebaiknya tidak hanya dibahas saja. Lakukan, praktekkan, dan biasakan. Itulah yang utama."

Menurutnya, kiat untuk membangkitkan sastra berbahasa Lampung adalah dengan cara mengajak para penggiat sastra-sastra lisan yang masih ada di kampung-kampung di pelosok daerah Lampung. "Bisa juga dengan mengajarkan pantun-pantun sederhana pada anak-anak sekolah dasar sejak dini. Tidak perlu banyak, yang terpenting kualitasnya," ujarnya.

Berbeda dengan Oyos, Farida, yang ikut mendirikan program studi Bahasa Lampung di FKIP ini berpendapat bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai mata tombak yang lain dalam melestarikan sastra berbahasa Lampung. "Pendidikan dapat mendukung kelestarian sastra berbahasa Lampung. Tetapi kualitas pendidikan dan gurunya harus bagus," katanya.

Dalam pesan singkat yang dikirimkannya, Farida menyarankan sebaiknya pelestarian dimulai dari saat ini agar sastra berbahasa lampung tidak punah, "Anjak ganta betetagun. Ram nepis kepunayan. Sastra bidang waktu diluahkon. Sija gelarne pelestarian," katanya dalam bahasa Lampung. MG13/K-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Juni 2009

June 17, 2009

Sastra Lampung Belum Punya Strategi Pengembangan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hingga kini belum ada strategi bagi pengembangan sastra berbahasa Lampung. Akibatnya, kehidupan sastra etnik bahasa Lampung berjalan tersendat-sendat; hidup segan mati tak mau.

Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lampung Suwandi mengakui selama ini pihaknya sangat mendukung pelestarian sastra lisan Lampung. "Beberapa kali mementaskan sastra lisan Lampung dan kesenian tradisi lain bekerja sama dengan berbagai pihak," ujar Suwandi di ruang kerjanya, Selasa (16-6).

Mengenai sastra Lampung tulis, Suwandi mengatakan baru mengetahui jika saat ini telah berkembang pula sastra modern Lampung tulis, selain yang sudah sastra lisan. "Saya terima kasih sudah diberi tahu. Ini masukan bagi kami," ujarnya.

Sastra modern Lampung memang relatif baru dalam khazanah sastra etnik di nusantara. Meskipun baru, Yayasan Kebudayaan Rancage telah memberikan penghargaan kepada sastra Lampung berupa Hadiah Sastra Lampung pada 2008 lalu.

Sayangnya, pada tahun ini Rancage ini lepas dari sastrawan Lampung karena sepanjang tahun 2008 tidak ada buku sastra berbahasa Lampung yang terbit.

Suwandi menyatakan apreciate terhadap keberadaan sastra modern Lampung. Dia berharap sastra modern Lampung bisa berkembang bersamaan dengan sastra tradisional Lampung atau sastra lisan Lampung. "Kita akan mendukung berbagai upaya untuk mendukung keberadaan sastra berbahasa Lampung, baik sastra tradisi Lampung maupun sastra modern Lampung," kata Suwandi.

Dia meminta agar keberadaan sastra modern Lampung itu disosialisasikan dalam berbagai kesempatan untuk merangsang kreativitas para sastrawan agar melahirkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. "Kita juga perlu mendorong penerbitan buku sastra Lampung itu dengan program-program yang lebih terencana."

Menurut dia, dalam upaya ke arah itu, semua pihak seperti Dewan Kesenian Lampung (DKL), Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), Dinas Pendidikan, seniman, dan masyarakat harus bekerja sama. ZUL/K-2

Sumber: Lampung Post, Rabu, 17 Juni 2009

Diskusi: Membangun Mesuji dengan Pendekatan Budaya

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Mesuji sejak dulu dicitrakan sebagai daerah "berbahaya" dan dikenal rawan kejahatan menjadikan daerah itu terisolasi. Untuk itu perlu strategi pembangunan dengan pendekatan budaya masyarakat, sehingga citra buruk itu akhirnya hilang.

Budayawan Lampung, Iswadi Pratama mengatakan sebelum membangun Mesuji, mindset atau pemikiran negatif terhadap kampung dan masyarakat Mesuji ini harus diubah. "Bagaimana kita mau membangun di Mesuji, kalau pemikiran kita masih negatif. Takut nanti diracun, dan sebagainya. Kita membangun pikiran yang positif-positif dulu tentang Mesuji, baru membangun Mesuji," kata Iswadi dalam dikusi dengan tema Strategi pengangkatan, pengembangan, dan penguatan kebudayaan Mesuji sebagai identitas daerah di kantor Lampung Post, Selasa (16-6).

Diskusi terbatas ini juga menghadirkan Penjabat Bupati Mesuji Husodo Hadi, Syaiful Irba Tanpaka (Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung), Sudjarwo (akademisi FKIP Unila), Agus Sri Danardana (Kepala Kantor Bahasa Lampung), Ismail Ishak, tokoh pemekaran Mesuji dan tokoh adat serta tokoh pemuda Mesuji.

Menurut Iswadi, pembangunan Mesuji paling tepat dilakukan dengan pendekatan budaya. Sebaiknya, dalam waktu dekat Pemkab bisa mengundang peneliti dan penulis nasional atau lokal melakukan perjalan ke Mesuji dan mengeksposenya. "Orang harus kenal dulu dan memiliki pemikiran yang positif tentang Mesuji," ujarnya.

Pembangunan dengan pendekatan kebudayaan di Kabupaten Mesuji harus dilakukan dengan mempertahankan keaslian dan keabadian. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah melestarikan sosio-kultur yang berkembang di masyarakat Mesuji, seperti bahasa, tradisi, adat-istiadat, dan sebagainya.

"Jika di Mesuji itu ciri khas dan ikonnya sungai, mari kita mulai dari sungai. Adakan festival sungai, menjaga kelestarian sungai dengan mempertahankan rumah yang menghadap ke sungai," ujarnya.

Kemudian Guru Besar FKIP Universitas Lampung, Sudjarwo, mengatakan harus ada peta budaya untuk membuat entitas Mesuji. Pemkab bisa membuat portal internet tentang Mesuji. Dengan begitu masyarakat Mesuji yang tersebar di berbagai daerah bisa memberikan masukan. Selain itu juga dibutuhkan sebuah slogan yang menjadi etos kerja dan semangat semua orang yang ada di Mesuji.

"Tapi jangan sampai slogan ini membuat atas antara orang Mesuji dan pendatang lain. Etos itu untuk membangun semangat kerja bersama-sama demi kesejahteraan Mesuji," kata Dekan FKIP Unila itu.

Sementara itu Penjabat Bupati Mesuji Husodo Hadi mengatakan untuk membangun daerahnya, dalam waktu satu tahun ke depan dia akan membuat srncana pembangunan jangka menengah (RPJM) lima tahunan. Pembangunan Mesuji harus dilakukan dengan pendekatan kebudayaan karena Mesuji memiliki kebudayaan sendiri.

Pernyataan bupati itu diperkuat tokoh pemekaran Mesuji, Ismail Ishak. Menurut dia, Mesuji berasal dari nama sungai. Tahun 1860, mayarakat dari Sira Pulau Padang di OKI, Sumatera Selatan, membangun permukiman di tepian Sungai Mesuji dan bekerja dengan bercocok tanam serta menangkap ikan. Namun tahun 1918, terjadi sangketa antara suku Palembang dan suku Lampung Tulangbawang memperebutkan Kampung Mesuji. Pemerintah Belanda lalu menetapkan Mesuji sebagai adat dan kebudayaan tersendiri dengan simbol payung putih besar dari kain sutera. n RIN/MG13/K-3

Sumber: Lampung Post, Rabu, 17 Juni 2009

June 16, 2009

Bahasa dan Sastra Lampung Menggelisahkan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Bahasa dan sastra Lampung menggelisahkan. Persoalan-persoalan pun muncul yang pada akhirnya mengalami titik temu yang strategis, yaitu bagaimana membumikan bahasa Lampung di Lampung dan menghidupkan sastra Lampung dalam arti sastra yang menggunakan bahasa Lampung sebagai alat kreasi.

Demikian benang merah yang muncul dari diskusi Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) yang bertemakan Sastra Lampung Hari Ini, Senin (15-6).

Upaya-upaya sebelumnya pernah dilakukan mulai dari membuktikan ke masyarakat nusantara bahwa Bahasa Lampung itu ada; bertolak dari diskusi-diskusi kecil sampai pada membukukan karya sastra berbahasa Lampung.

Tahun lalu, sastra Lampung mendapat kehormatan melalui Hadiah Sastra Rancage 2008. Namun, seperti disinggung Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi--saat penyerahan Hadiah Sastra Rancage di Gedung Erasmus Huis, Jakarta, Rabu (10-6)--tahun 2008 buku sastra berbahasa Lampung justru menghilang.

Pentingnya karya sastra berbahasa Lampung, menurut penyair Udo Z. Karzi, merupakan upaya pelestarian bahasa Lampung yang pada tahap selanjutnya merupakan ajang apresiasi untuk menggali spiritual Lampung dengan mendiskusikan karya sastra berbahasa Lampung tersebut.

Meskipun demikian, muncul kembali persoalan bagaimana mendiskusikannya. Apakah karya sastra berbahasa Lampung selesai dengan tujuan melahirkan diskusi sastra? Menurut Udo Z. Karzi, tidak selesai hanya dengan diskusi sastra.

"Problem utama kita adalah bahasa Lampung tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah termasuk di dalamnya instansi-instansi strategis pemerintah. Bahasa Lampung perlu mendapat tempat strategis," ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Oky Sanjaya mengatakan perlunya pemerintah melakukan pemaksaan terhadap penggunaan bahasa Lampung. Sehingga penggunaan bahasa Lampung di lingkungan pendidikan akan mendapat tempat strategis .

Salah Kaprah

Penyair Y. Wibowo menilai pemerintah salah kaprah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan semakin gencarnya pembelajaran bahasa asing di lingkungan pendidikan, membuat kesadaran melestarikan bahasa sendiri, bahasa Lampung, menjadi hilang.

"Apakah bermutu sistem pendidikan kita bila akhirnya bahasa daerah punah satu per satu?" tanya dia.

Udo mengatakan sikap masyarakat Lampung perlu diingatkan dengan mendorong pemerintah bersimpati terhadap krisis karya sastra berbahasa Lampung. Adanya krisis karya sastra bukan berarti tidak adanya karya sastra berbahasa Lampung, tetapi lebih kepada hal finansial.

"Kita minta pemerintah serius dan menganggarkan dana untuk pelestarian bahasa Lampung sehingga buku-buku sastra berbahasa Lampung cepat terwujud. Dengan demikian Rancage tahun 2009 tidak lepas lagi seperti di tahun 2008 yang alasannya adalah masalah teknis," ujarnya. n MG-14/K-1

Sumber: Lampung Post, Selasa, 16 Juni 2009

June 14, 2009

Perjalanan: Menatap Gunung Seminung dari Pekon Sukabanjar

DANAU Ranau, Gunung Seminung, dan adat budaya Lampung di seputarnya adalah perpaduan spektakuler yang dapat dirasakan, bukan sekadar dipandang.

Di pucuk perahu motor yang berayun tambat di dermaga kecil Pekon (Desa) Sukabanjar, Sukau, Lampung Barat. Matahari naik 45 derajat pada Rabu (10-6). Angin semilir dalam kesunyian perkampungan etnik Lampung. Suara siamang mengisi udara dengan gema yang bersahut-sahutan. Ramai memang, tetapi justru menghadirkan atmosfer sunyi yang sesungguhnya.

Dari "pantai" Danau Ranau yang jernih dan jembar, sang surya pukul 10.00 itu seolah menjadi senter yang menegaskan lekuk-liku Gunung Seminung yang tegar berdiri di seberangnya. Tingginya yang dalam banyak literatur mencatat 1.888 meter terlihat menjulang menonjol di antara gugusan Bukit Barisan.

Pekon Sukabanjar memang arah yang amat strategis untuk menatap wajah gunung yang berada di wilayah Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan, itu. Maka, tak berlebihan jika untuk mendapatkan view terbaik itu, perjalanan tambahan dari kawasan Lombok Resort masih cukup jauh. Yakni, sekitar enam kilometer dengan jalan onderlaag selebar satu badan minibus.

Dari pekon dengan sekitar 225 kepala keluarga dan berpenduduk sekitar 1.700 jiwa ini, memandang Gunung Seminung sudah cukup sempurna. Namun, untuk menggenapi rasa penasaran hati, satu perahu motor disewa menyusuri pinggir danau.

Pagar danau di bagian barat yang terjal, yakni gugusan Bukit Barisan Selatan, menambah spektakuler pemandangan. Di Bukit Barisan Selatan yang masih merimba dan lestari, adalah "rumah" bagi ribuan satwa yang setiap saat melengkingkan suara-suara kesunyian.

Berada di atas kap perahu motor, berkeliling Danau Ranau adalah pengalaman luar biasa. Menatap sisi tepi, ada aktivitas warga mengurus tanaman kopi yang berada di lereng-lereng terjal bukit. Juga tetumbuhan hutan dan satwa liar yang segera menelusup ke semak-semak saat perahu mendekat. Di sisi barat danau ini memang tidak terlihat adanya permukiman warga.

Ke arah tengah danau, kilau air tenang membiru diterpa sinar matahari yang membias, seperti lautan nan teduh. Beberapa nelayan pancing dengan sabarnya menunggu kail dimakan ikan.

Kembali menepi ke Pekon Sukabanjar, seperti pulang ke kampung halaman. Warga yang 99 persen suku Lampung, dengan ramah dan terbukanya menyambut setiap tamu. Rasa ingin tahu penduduk terhadap tamu yang datang menghadirkan tegur sapa saling melempar senyum. Bahkan, pertanyaan haga dipa (mau ke mana) yang dilontarkan setiap dari mereka, berkonotasi ingin memberi tahu dan mengantar ke tempat yang kemudian disebut.

Rumah-rumah berarsitektur Lampung, berpanggung setinggi tiga meter, berdinding dan berlantai papan, dan beratas seng adalah aura kampung etnik. Mungkin, karena masih banyaknya kayu, ada rumah yang panggungnya disangga oleh susunan kayu bulat (log) seperti susunan rumah jangkerik.

Meski belum ada listrik PLN, peralatan elektronik sudah hampir semua rumah menggunakan. Itu terlihat dari banyaknya "jamur" parabola yang mangap di sebilang tempat. Sinyal telepon seluler juga sangat baik. Warga menggunakan generator sebagai energi listriknya.

Kehidupan khas masyarakat kampung etnis masih sangat kental. H. Romzi, tetua kampung, masih amat paham dengan budaya dan asal muasal kisah-kisah mitos yang ada dan tetap menjadi kearifan warganya. "Masyarakat Sukabanjar tidak makan daging kijang. Itu ada sejarahnya. Maka, kijang di desa kami lestari. Kalau sore atau pagi, kijang masuk kampung sini biasa saja, seperti kambing," kata dia.

Soal kelestarian budaya, St. Nasrudin menyampaikan hal serupa. Warga desanya masih memegang teguh ikatan adat dan petuah tetua kampung dan penyimbang adat. "Tidak ada yang berani makan daging kijang. Kalau dilanggar, pasti kena penyakit kurap dan tidak ada obatnya. Warga juga sangat percaya pemimpin adat," kata lelaku setengah baya bergelar Sutan itu.

Aktivitas warga Pekon Sukabanjar juga ramah lingkungan. Sadar dengan posisi desanya yang berada di bawah bukit dengan kemiringan 45 derajat, mereka konsisten menjaga hutan. "Kalau ada yang nebang kayu untuk dijual, kami tangkap dan denda Rp5 juta. Tapi kalau untuk rumah sendiri, boleh menebang, tetapi harus izin Sutan," kata Hermiza, tokoh pemuda setempat.

Masuk ke Pekon Sukabanjar memang bukan leisure atau tamasya gembira layaknya pesta. Namun, membaca kearifan lokal, menikmati lestarinya alam, berkecipak beningnya air Danau Ranau, dan menatap spektakulernya Gunung Seminung, tidak akan terlupakan sepanjang hidup. Masih cukup natural untuk ukuran Lampung. n

Bersambung pekan depan..

Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Juni 2009

June 13, 2009

Standardisasi Bahasa Lampung

Oleh Asarpin*


IMELDA, peneliti di LIPI yang kebetulan berasal dari Lampung, merasa prihatin dengan debat soal bahasa Lampung selama ini. Dalam tulisan Standardisasi Bahasa Lampung, Polemik Pemerintah, Adat, dan Akademisi (Lampung Post, 24 Mei 2009) Imelda merespons Seminar Standardisasi Bahasa Lampung yang diselenggarakan Unila beberapa waktu lalu yang dianggap tak memuaskan. Debat tentang keinginan melakukan standardisasi bahasa Lampung itu terasa ada yang tak rasional. Dalam pengamatan Imelda dari jauh, ada sebagian orang Lampung mementingkan subetnis dan ego. Bahkan, Imelda mencatat egoisme subetnis Lampung masih cukup kental.

Kalau saja tudingan Imelda itu benar, kita memang layak prihatin. Tapi bukan itu yang ingin saya sorot di sini karena ada beberapa tema yang diangkat Imelda cukup menarik didiskusikan.

Pertama, Imelda meletakkan masyarakat Lampung sebagai titik-tolak membuat standardisasi bahasa Lampung, terutama generasi muda. Apa pun dialek yang akan disepakati, tak jadi soal asalkan menjawab kebutuhan masyarakat Lampung. Tapi jika tidak, untuk apa semua itu dikerjakan? Hanya untuk menghambur-hamburkan biaya yang besar?

Kedua, membuat bahasa Lampung yang standar tak begitu bermanfaat ketika masyarakat Lampung sendiri tidak menerima dialek yang dikembangkan. "Jerih payah akademis yang disalut dengan obsesi pribadi hanya akan menjadi pemborosan karena respons masyarakat yang kurang atau malah tidak ada."

Apa yang jadi kegelisahan Imelda sebenarnya sudah berkali-kali disorot Udo Z. Karzi, terutama tentang persoalan tata penulisan bahasa Lampung yang mesti kita sepakati bersama. Namun, kelebihan Udo Z. Karzi adalah karena itu telah maju selangkah mengenai soal ini.

Sementara itu, kita masih berkutat soal pertanyaan seperti apa dialek yang mau digunakan, bahasa yang bagaimana yang mau distandarkan, dsb.

Tetapi langkah Udo Z. Karzi bukan tanpa keberatan. Ketika saya menggunakan dialek yang tak sesuai dengan dialek yang digunakan masyarakat, respons masyarakat Lampung negatif. Saya dituduh merusak dialek, bahkan dianggap "Lampung cadang": Sebuah cap yang tak sedap didengar.

Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam seminar di Unila itu, kata Imelda, berakar pada ketidaktahuan akan aksi yang seharusnya diambil ketika identitas kelampungan ingin diangkat dalam tataran yang lebih luas, dunia, khususnya dalam hal kebahasaan. Selain itu, belum ada kerja yang harmonis antara pemerintah, adat, dan akademisi.

Sampai sekarang saya belum tahu akan ke mana arah penulisan bahasa Lampung yang baku di kemudian hari. Haruskah kita ramai-ramai ikut tata penulisan "Lampung cadang" dengan mengganti kh/gh dengan r atau menetapkan dialek A sebagai bahasa standar? Langkah ini tentu tak mudah dan sudah bisa dipastikan banyak yang keberatan.

Jika model penulisan kata digunakan Udo Z. Karzi yang semestinya kita jadikan tata penulisan kosakata Lampung selanjutnya, apalagi distandardisasi, seperti harapan sejumlah orang agar buku Mak Dawah Mak Dibingi dijadikan buku pelajaran sekolah di Lampung, banyak hal yang mesti diperdebatkan secara kritis.

Jika sistem dialek dan tata penulisan bahasa Lampung cuma ikut-ikutan saja, lalu diterapkan di sekolah-sekolah, sama sekali tidak mendidik siswa-siswa untuk fasih bertutur Lampung, tapi malah akan jadi tertawaan teman-temannya yang suku Lampung karena bahasa khacukan yang bukan slank atau mbeling yang dipakai, tapi bahasa "Lampung cadang".

Kalau saya ditanya khadu pikha bingi dija (sudah berapa hari di sini) dan saya menjawab radu telu bingi, jelas bakal dicemooh karena khadu terdengar radu: radu pira minok pekonni ulun bang cak radu kaluk cawa Lampung rano. Bila ada yang menuturkan kata gunjukh menjadi gonjor dan kata puakhi jadi puari, hal ini menunjukkan tata penutur dan penulisan bahasa Lampung sedang guncang.

Antara penulisan kata dan penuturan memang tidak harus sama, seperti kata Anshori dan Karzi. Bisa saja sebuah kata ditulis rabu untuk kata khabu (perut), tapi apa ini tidak keruh? Dalam penggunaan bahasa Indonesia sendiri, Harimurti Kridalaksana dan beberapa ahli bahasa Indonesia justru mulai menganjurkan agar kita menggunakan bahasa lisan sesuai dengan bahasa yang dituliskan.

Misalnya sebuah kata ditulis pasca, maka diucapkan juga pasca, bila ditulis permukiman, dibaca juga permukiman, dst. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa tata nilai bahasa penutur sedang guncang akibat penuturnya telah kehilangan kemampuan menentukan mana yang betul mana yang salah dalam berbahasa.

Eko Endarmoko mungkin akan menyebut gejala itu sebagai bahasa yang sedang sakit parah yang diakibatkan teknologi komunikasi, pergaulan antarbangsa dan suku-suku lain. Nah, kalau kata rabu atau ram yang dipakai dalam penulisan untuk mengganti kata khabu dan kham (kita) sekaligus sama ketika dilafalkan dalam keseharian, betapa tidak akan guncang, bingung, sengkarut, dan ragu-ragu para penutur bahasa Lampung kita?

Apa yang dikerjakan Udo Z. Karzi selama ini sudah semestinya bisa jadi bahan pertimbangan, kalau keinginan membuat standaridsasi bahasa Lampung memang urgen dan mendesak. Tapi saya curiga: Keinginan membuat standardisasi bahasa Lampung itu muncul dari minoritas elite yang keranjingan menampilkan warna lokal daerahnya. Masyarakat Lampung sendiri tampaknya tak terlalu tergiur membuat standardisasi bahasa segala. n

* Asarpin, Pembaca sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Juni 2009