-- Haryatmoko
DEWASA ini struktur pemaknaan yang dominan di semua segi kehidupan adalah ekonomi. Maka, kampanye capres fokusnya ekonomi dan mengabaikan politik kebudayaan.
Padahal, politik kebudayaan bisa melemahkan aspek eksploitatif hubungan produksi dan menolong menghadapi secara kritis determinisme ekonomi. Masalahnya, persaingan sebagai pendorong efisiensi (logika ekonomi) mengabaikan logika sosial yang peduli keadilan dan solidaritas. Dua hal ini adalah faktor perekat rasa kebangsaan, lahan budaya perkembangan etos.
Rasa kebangsaan tumbuh berkat solidaritas, tetapi institusi-institusi sosial ternyata didikte kapitalisme baru yang mendorong ke individualisme. Kapital tak sabar mengubah semua institusi agar bisa menarik pemodal (R Sennett, 2006). Perbaikan performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan yang rentan konflik. Lalu, masyarakat hanya kenal satu pola hubungan, yaitu persaingan. Akibatnya, stres tinggi, gelisah, kolega dianggap pesaing. Maka, solidaritas masyarakat melemah.
Alasan politik kebudayaan
Dalam persaingan itu, peran negara sebagai penengah hampir tak berfungsi karena tiadanya politik kebudayaan. Warga negara diperlakukan seperti konsumen. Padahal, konsumen cenderung individualis karena konsumerisme melemahkan solidaritas. Konsumen tidak terorganisasi sehingga tidak mampu membangkitkan perlawanan struktural terhadap komersialisasi gaya hidup. Konsumsi menggantikan norma sosial dalam perannya sebagai mesin integrasi dan regularisasi masyarakat (J Baudrillard, 1970). Struktur sosialisasi kehilangan kewenangan.
Melemahnya struktur sosialisasi ini diperparah sifat narsisis masyarakat konsumeris. Hanya peduli pada kebahagiaan sendiri membuat kesejahteraan bersama diabaikan. Narsisisme butuh perantara, yaitu model. Model selebritas diciptakan media massa. Maka, program televisi seperti American Idol dan infotainment mencatat rating tinggi. Budaya sebagai upaya meningkatkan kualitas habitat hidup bersama tidak mendapat tempat. Maka, berat kendala yang harus dihadapi untuk mengembangkan kebudayaan dalam arti ”aspek normatif, kaidah etika, pembinaan nilai, dan perwujudan cita-cita serta mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, etos suatu masyarakat” (JWM Bakker, 1984).
Sedangkan kebijakan publik yang menekankan ekonomi rentan konflik karena memihak yang kuat. Saat hubungan kekuatan menentukan arena sosial, pembelajaran untuk menerima perbedaan tak dipedulikan lagi. Lalu, aneka institusi sosial cenderung menghasilkan diskriminasi. Maka, penting memiliki visi kebudayaan.
Ada empat alasan mengembangkan politik kebudayaan (L Bonet, 2007). Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat.
Pelembagaan diskriminasi
Arah politik multikultural ialah ”pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui” (W Kymlicka, 2000).
Rumusan ini mengandung tiga unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas. Politik multikultural mau memastikan jaminan itu terwujud dalam kebijakan publik dan sistem hukum sehingga cita-cita etika politik terwujud ”semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi- institusi yang adil”.
Institusi adil bila inklusif. Maka, undang-undang/peraturan tidak boleh diskriminatif. Legislasi bisa menjadi alat pelembagaan diskriminasi dalam hubungan sosial, pekerjaan, dan jabatan. Diskriminasi hukum terjadi bila negara terlalu melegalisasi pelarangan norma moral. Masyarakat berhak mencegah anggotanya merugikan pihak lain. Namun, orang bisa mempertanyakan bila pencegahan diartikan menerapkan keseragaman dengan ukuran moral kolektif. UU/peraturan yang diskriminatif memperparah segregasi sosial. Dinamika otonomi daerah membuka peluang pemerintah pusat menemukan perannya melalui politik kebudayaan, yaitu menegaskan arah dan cita-cita bangsa.
Membangun budaya inklusif
Bangsa mengandaikan, pertama, acuan ke budaya inklusif termasuk sistem gagasan, etos, cara bertindak, dan komunikasi; kedua, bangsa akan kuat bila anggota-anggotanya saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status sama (E Gellner, 1983). Kedua syarat ini memungkinkan terciptanya bangunan keyakinan, loyalitas, dan solidaritas anggotanya. UU/peraturan yang diskriminatif berarti tidak mengakui kesamaan hak dan kewajiban warga negara.
Empat sasaran politik multikultural: pertama, membentuk habitus toleransi, keterbukaan, dan solidaritas. Pertaruhannya bukan hanya mengelola warisan budaya, seni, dan bahasa, tetapi juga masalah konservasi, pendidikan, dan kreasi.
Kedua, membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus. Dampaknya, frekuensi perjumpaan berbagai kelompok berbeda tinggi dan kategori masyarakat yang ambil bagian dalam keputusan kolektif diperluas.
Ketiga, untuk mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi. Sistem ini memerhatikan aspirasi budaya, pada gilirannya mengembangkan kapital sosial. Kapital sosial berakar pada jejaring asosiasi dan civisme, yang merupakan tanah subur bagi kesadaran akan makna tanggung jawab kolektif (J Subirats, 2008:61). Kapital sosial, faktor kohesi sosial berkat hubungan kepercayaan, membuat politik lebih peduli solidaritas dan kesejahteraan bersama.
Keempat, penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik. Dari fisik-sosial, perlu dikembangkan bentuk baru permukiman, tata kota, atau perencanaan teritorial agar menghindari segregasi sosial atas dasar etnik atau agama (T Bennett, 2008:23). Dari budaya, pemerintah harus menjamin dimensi multikultural dalam ekspresi di ruang publik, seperti seni, teater, musik, film, sastra, dan olahraga.
Maka, pemerintah wajib mendorong pengelola media massa agar peduli pada dimensi multikultural dengan insentif subsidi atau keringanan pajak. Dari politik, kebijakan publik perlu memasukkan program representasi minoritas dalam politik, pendidikan, dan lapangan kerja.
* Haryatmoko, Dosen Pascasarjana FIB UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Sumber: Kompas, Rabu, 10 Juni 2009
No comments:
Post a Comment