January 29, 2012

[Perjalanan] Budaya Lampung di Sukadana Darat

ORANG menyebut daerah itu sebagai Sukadana Darat. Ia adalah satu dari sedikit kantong budaya Lampung yang masih mempunyai kelengkapan instrumen, termasuk para pelakunya.





1
Suasana Jalan Annur, Sukadana Darat. Satu menara masjid tua dan Rumah Informasi Budaya Lampung (belakang masjid) menjadi penanda kampung ini masih teguh memegang budaya.

2
Seorang pengunjung sedang memperhatikan konstruksi rumah tradisional Sukadana di bagian bawah.

3
Benda-benda kuno yang menjadi koleksi Rumah Tradisional Sukadana tertata rapi di beberapa sudut ruang rumah.

4
Uzunuhir, pemilik rumah ini menunjukkan beberapa barang koleksinya.

Melintas di Sukadana, wilayah Kabupaten Lampung Timur melalui jalur lama, satu kampung etnik mesti dilewati. Lokasinya berada di bagian atas sungai, seolah menanjak bukit.

Lokasi ini lazim disebut sebagai Sukadana Darat. Darat yang menjadi kata ikutan itu hanya sebagai penanda karena posisinya yang lebih tinggi. Kebetulan, di desa etnik inilah para tokoh masyarakat adat Sukadana tinggal. Tak pelak, segala bentuk kebijakan dan pengaruh hadir dari sini. Kantor kepala Desa Sukadana juga ada di sini.

Meskipun ada sebutan darat, tidak ada laut atau sungai di sisi lainnya. Yang ada adalah Sukadana Pasar. Lokasinya dipisahkan sungai dan menjadi pusat perniagaan sejak zaman lama. Sayang, saat ini meskipun pemerintah daerah merehabilitasi lokasi dengan membangun pusat perbelanjaan konsep modern, “pasar” yang sesungguhnya justru mati.

Pembangunan pusat pemerintahan Kabupaten Lampung Timur yang “menjauh” dari Sukadana Darat membuat “aslinya” Sukadana ini mati suri. Terlebih sejak jalan lintas pantai timur (Jalinpantim) dibuka dan mulus, Sukadana Darat hanya jalur kepepet. Ditambah lagi, reputasi beberapa wilayah Lampung Timur yang rawan kriminalitas pembegalan, jalan yang dulunya adalah urat nadi itu sebisa mungkin dihindari.

Memasuki Jalan Annur, di desa itu, atmosfer suasana memang menjadi berbeda. Citarasa pemandangan kampung etnik masih terasa, meskipun bangunan-bangunan rumah sudah banyak berubah dengan model modern. Ciri yang menguatkan suasana itu adalah kerapatan hunian dan kedekatan dengan jalan raya.

Di bagian tengah, satu masjid dengan menara model besar dan cukup tinggi menandai ketuaan umurnya. Tak tertulis prasasti tahun pembuatan pada menara masjid itu, tetapi menurut Uzunuhir, salah satu pelaku budaya yang saat ini masih eksis, usia masjid itu setara dengan desa itu.

Di samping masjid, di depan kantor desa, satu bangunan berarsitektur Lampung megah berdiri. Rumah kayu panggung bertiang 70 batang kayu dengan cat hitam natural itu menjadi ikon budaya Lampung di Sukadana. Sejak 1986, rumah milik keluarga Ahmad Basyari gelar Suttan Kencana ini ditetapkan sebagai cagar budaya dengan sebutan “Rumah Tradisional Sukadana”.

Bangunan ini memang sudah tidak asli. Namun, sebagaimana silsilah yang tertuang dalam beberapa bahan publikasi, sebelum dipugar dengan konsep aslinya pada 1986, rumah ini dibangun pada 1940 itu oleh keluarga Muhammad Yusuf Paksi Mergo. Sedangkan Paksi Mergo mendapat warisan ini dari M. Nur Bati Kepala Migo yang membangun rumah yang diadaptasi dari rumah Palembang pada 1820. Versi asli rumah ini dibangun pada abad 17 atau tepatnya pada 1650.

Kini, Ahmad Basyari Suttan Kencana telah wafat. Beruntung, Uzunuhir, istrinya, yang berasal dari Padangratu (Lampung Tengah) amat menguasai tatanan dan tatacara adat budaya Lampung. Juga delapan anaknya yang telah mentas konsisten menjaga warisan leluhur tata adat budaya Lampung ini hingga sekarang.

“Rumah ini sudah dicanangkan sebagai cagar budaya oleh menteri pariwisata. Pemerintah juga sudah memugar sehingga sampai sekarang masih bagus begini. Sejak dua tahun lalu, kami juga dapat subsidi biaya perawatan Rp1,65 juta setiap tiga bulan,” kata perempuan energik mantan kepala SD ini.

Selain masih tampak kokoh dari luar, bagian dalam rumah juga menyimpan benda-benda bersejarah. Kebanyakan berupa perangkat upacara adat Lampung peninggalan ratusan tahun lalu. Selain juga peralatan rumah tangga dan peralatan lainnya.

“Ada banyak macamnya. Kebanyakan buatan abad 17. Ada meja marmer, kitab Alquran, pepadun, peti besi, meriam sundut, kendi-kendi, siger, sepatu kayu, sampai lampu minyak,” kata Uzunuhir.

Tata ruang rumah yang posisinya “terlalu” dekat dengan jalan itu memang tidak spesifik. Juga, karena posisi lahan yang lebih rendah dari jalan membuat unsur rumah panggungnya tidak cukup terlihat. Padahal, rumah itu ditopang 70 tiang setinggi 180 sentimeter.

Ada teras, ruang tamu yang memajang sekaligus menyimpan benda-benda tua itu, ruang keluarga, kamar-kamar, dan balkon di lantai atas.

Selain mengelola rumah tua, Uzunuhir juga mendirikan sanggar Kencana Lepus. Rumah ini menjadi markas sanggar sekaligus tempat latihan dan transfer ilmu pengetahuan tentang budaya Lampung kepada generasi muda.

“Ada 50 lebih muli-mekhanai (bujang gadis) warga sini yang jadi anggota aktif. Mereka bisa dan tahu tata adat Lampung. Kami sering diminta menampilkan upacara adat Lampung secara lengkap sampai tingkat nasional. Peralatan kami lengkap dan pelaku budayanya juga masih banyak,” kata pendiri TK dan diniah gratis di Sukadana ini. (M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Januari 2012

No comments:

Post a Comment