April 6, 2008

Profil Minggu Ini: Perupa itu Harus Sabar

* Ari Susiwa Manangisi
Perupa Lampung


BERSENI rupa merupakan olah rasa, sebagai jalan mencari kebenaran hakiki. Dan kebenaran itu adalah Tuhan.

"Saya mengenal agama bukan dari pesantren, tetapi lewat melukis," ujar Ari Susiwa Manangisi, pria keturunan Makassar-Jawa dan China-Betawi yang dikenal sebagai perupa Lampung dan lebih banyak melukis, komikus, membuat karya patung serta dekorasi.

Goresan warna membentuk objek adalah perjalanan, yang diakuinya sebagai wujud olah rasa untuk mengagumi segala ciptaan-Nya. Proses menghasilkan karya yang membutuhkan waktu, dari pagi hingga larut malam adalah mengendapkan sifat kesabaran, arif, dan berusaha bijak menghadapi segala masalah dalam kehidupan.

Perjalanannya sebagai perupa mengalami pengalaman suka dan duka. Mulai dari menjual lukisan dari rumah ke rumah dengan harga rendah Rp30 ribu per lukisan, bekerja di percetakan, hingga menggelar puluhan pameran di berbagai daerah, bahkan ke negeri China.

Tahun 2006, pria kelahiran Lubuk Linggau, 10 Oktober 1952, ini berpameran di Hu Bei Art College Wu Han (China) dengan tema The Gate: Pre-Discourse. Sebelumnya, ia harus melalui seleksi di berbagai pameran yaitu Art Expo Sumatranformation Bandar Lampung tahun 2004, pameran berantai Rhe Realistage Juni-September di Goong Galeri Bandung, Semar Galeri Malang, dan Museum Widayat Magelang.

Dari sekian pameran, Ari kerap mengikuti pameran pada Jambore Seni Rupa di Ancol. Saat ini, sudah hampir empat tahun Ari terjalin kontrak dengan House of Grace Gallery and Frame yang beralamat di Telukbetung. Galeri ini memberikan sertifikat hak cipta untuk setiap karyanya dan mempromosikannya untuk berpameran di luar Lampung. Di galeri ini, sudah terjual 25 lukisan. Lukisan-lukisan pertamanya bisa terjual dengan harga Rp1 juta. Dari nilai tersebut, waktu demi waktu nilainya meningkat. Dua tahun terakhir ini, bisa di atas Rp10 juta untuk ukuran 1 x 1,5 meter. Harapannya, dia bersama rekan sesama perupa akan membuat gerai lukisan tahun ini, sebagai agennya perupa, sehingga dapat berpameran sendiri dan memasarkan karya.

Perupa yang sudah empat kali menjuarai penulisan naskah komik tingkat nasional ini berbagi pengalaman kepada wartawan Lampung Post Dwi Wahyu Handayani di kediamannya yang sederhana, Kamis (4-4), seusai gelaran pameran Seni Lukis Kopi di Bandar Lampung. Berikut petikannya.

Bagaimana menurut Anda tentang seni yang ditekuni ini?

Kepekaan hidup sosial di luar diri. Semua cabang seni itu adalah olah rasa, nurani, dan batin. Saya pun sering menumpahkan segala sesuatu dengan syair puisi. Sekarang sudah buku ke empat yang saya buat, dengan 100 lebih puisi. Saya mengenal Tuhan bukan dari pesantren, tetapi lewat seni. Dari berbagai objek yang saya lukis, di situlah proses pencarian kebenaran. Bukankah itu tujuan manusia, dan kebenaran sejati itu adalah Tuhan.

Masyarakat beranggapan perupa itu tidak menjanjikan sebagai mata pencarian. Bagaimana Anda membuktikan itu tidak benar?

Istri kedua, belum tahu bagaimana profesi saya sebagai pelukis, yang sering menghabiskan waktu untuk menyelesaikan sebuah karya, hingga larut malam. Keluarga istri juga tidak begitu yakin, apa profesi saya bisa menghidupi keluarga. Saya ingin membuktikan. Tahun 2004, saya membuat naskah komik untuk lomba yang saya kerjakan hingga malam, dengan hanya diterangi lampu sentir. Istri terus mengingatkan agar tidur. Saat kepanikan itu, air hujan merembes dari atap yang bocor kemudian tertampung di plastik agar tak langsung jatuh, ternyata tumpah. Rumah saya memang sederhana. Akibatnya, satu halaman yang terkena air harus diganti dan membutuhkan waktu seharian untuk mengerjakan. Syukurlah, karya komik itu menang. Tetapi keluarga masih belum tergugah, antara percaya dan tidak. Beruntung saya menang membuat komik hingga empat kali, tetapi masih belum sepenuhnya keluarga mengubah anggapan. Apalagi, hadiah dari empat kali menang hanya berkisar dua hingga empat juta. Tetapi, ketika saya mendapat order 400 lukisan dari pabrik interior funitur senilai 70 juta. sedikit demi sedikit anggapan itu mengikis. Saya pun bisa membangunkan rumah untuk istri di Mesuji dan satu hektare kebun lada.

Anda terlihat sabar ketika harus membuktikan bisa hidup sebagai perupa?

Kenapa benalu dianggap parasit. Sebenarnya itu gambaran hidup manusia. Tuhan juga menciptakan orang yang tidak sempurna, yang membutuhkan bantuan orang lain untuk menopang hidupnya. Benalu pun hanya menempel pada pohon besar, yang dianggap mampu dan tidak merasa diberatkan.

Lalu, tanah. Apa pun yang tumbuh akan seperti nasib atau takdirnya. Di tanah yang sama, pohon mbacang tumbuh dengan buahnya yang asam, tetapi di sebelahnya tumbuh tebu yang manis, itu tergantung bibitnya. Jadi yang penting sabar tadi. Air berkelok bukan karena tebing, tetapi karena air mengalah. Coba dibendung setinggi apa pun akan melimpah, sekuat apa pun segalanya bisa hancur dengan air, misal batu. Jadi sabar dulu dan mengalah sembari mencari solusi lain.

Ada cerita pahit?

Dulu saya pernah dua tahun tinggal di Palembang sekitar tahun 1978--1979. Dari Lampung saya berniat idealis sebagai pelukis di Palembang. Ternyata menjadi pelukis di kota ini sulit, termasuk untuk menjadikan mata pencarian. Terpaksa, saya ngasong lukisan dari rumah ke rumah. Benar-benar ekonomi saya hancur, tetapi saya tak ingin menjadi peminta. Anak kedua saya jatuh sakit, kurang gizi. Sementara lukisan saya tak laku-laku, saya tak sanggup beli makanan untuk mengganjal perut anak supaya tidak lapar. Apalagi untuk mengobatinya. Saya bertemu dengan seorang penjual kemplang. Dia berniat membantu, tetapi hanya kemplang yang dimiliki. Akhirnya, dia memberikan seplastik kemplang. Saya terima pemberiannya, tetapi saya pun memberikan satu lukisan. Akhirnya kembali ke Lampung, saya tak hanya mengandalkan sebagai pelukis tetapi bekerja di percetakan dan istri bekerja sebagai di RRI.

Bagaimana pencarian ide melukis dan membuat naskah komik?

Saya gali ide lukisan dari kontemplasi pada alam. Saya pencinta alam. Ke mana pergi selalu membawa kamera untuk mengabadikan objek. Foto itu bisa menjadi panduan ketika melukis. Jadi bisa mengetahui karakter objek. Saya juga senang mempelajari karakter orang, juga belajar filosofi. Setiap insiden kecil, baik maupun buruk, terekam dalam memori, lama-lama terjadi pengendapan. Suatu saat hendak dituangkan, rekaman itu timbul kembali. Kemudian rajin membaca berbagai buku. Ide itu tak pernah mati, asal kita sering mengamati ruang di luar diri.

Seperti apa apresiasi masyarakat Lampung terhadap karya lukis?

Dalam berapresiasi, masyarakat kita terbagi ada yang membeli lukisan karena prestise, senang, membeli untuk dijual lagi, atau plesetannya collect dol dan kolektor yang benar-benar penikmat karya lukis. Lampung masih didominasi membeli untuk dijual lagi dan beli karena prestise. Meskipun masih prestise, hanya untuk interior dan kebanggaan, tapi itu sudah bagus. Berbeda dengan sang kolektor, memiliki tetapi tak ingin diekspos. Ada juga yang memang senang karena dirinya memiliki pemahaman karya lukis yang bagus, tetapi tak mampu membeli dengan harga sesuai. Nah, kalau menghadapi ini, kadangkala pelukis pun rela memberikan lukisannya. Mengapa ada yang senang dengan lukisan kok dihalangi hanya karena nilai materi. Bahkan kalau bisa, lukisan itu diberi saja he...he....

Soal perkembangan dunia seni rupa di Lampung?

Cemerlang. Justru kuncinya dari perupa. Sudah melukis kok jadi tidak yakin. Berbuat kan terus berdoa, juga yakin dengan karya itu. Yakinlah bakat ini anugerah yang perlu disyukuri. Kita diberi kepekaan lebih dibanding orang lain dalam mengolah rasa dan karya. Ampas kopi dan apa pun berkat sentuhan seniman bisa menjadi emas.

Jika perupa tetap tidak yakin dengan karyanya dan terus menekuni bakat itu, bisa sepuluh tahun ketinggalan dari Sumatera Barat dan tiga tahun lagi bakal ketinggalan dengan Jambi. Kita tak berkarya, sementara di tempat lain terus berbuat dan berhasil.

Mengapa ketinggalan itu?

Anak-anak Sumbar yang kuliah di ISI Yogyakarta kemudian membentuk Kelompok Jendela. Mereka produktif berpameran, ada yang berhasil tembus di Balai Lelang. Terus di provinsi ini ada Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR). Pemerintah sangat solid mendukung senimannya, apalagi perupa yang kebetulan juga PNS giat sekali. Kalau Jambi, semula Pameran Lukisan dan Dialog Perupa Se-Sumatera (PLDPS) itu diadakan secara bergiliran di setiap daerah. Tetapi beberapa provinsi merasa keberatan menjadi tuan rumah karena anggaran. Jambi sejak 2007, menyanggupi event itu masuk dalam APBD-nya, sehingga setiap tahun rencananya akan digelar di sini. Anggaran yang dialokasikan pasti besar karena event ini juga kompetisi dengan juri yang kompeten dan tentunya dibarengi dengan pagelaran seni lainnya.

Bagaimana harusnya pemerintah mendukung perupa?

Saya diajari kehidupan untuk mandiri tidak atas bantuan siapa-siapa. Perupa harusnya tertantang berbuat, jangan melulu bermimpi mengandalkan dukungan.

Apa yang Anda lakukan untuk pemberdayaan pemula ataupun memunculkan bibit baru?

Saya dan teman-teman setelah pameran lukisan ampas kopi sudah sepakat untuk menyusun buku panduan melukis dengan ampas kopi. Kemudian, buku itu akan kami tawarkan sebagai referensi bagi ekskul di sekolah. Ini salah satu upaya jemput bola demi kaderisasi itu. Kami pun punya mimpi, suatu saat menggelar pameran lukisan ampas kopi dengan melibatkan pelukis-pelukis muda, bisa pelajar dan siapa pun. Tujuannya, agar Lampung juga dikenal sebagai asal lukisan ampas kopi. Karena Lampung pun dikenal sebagai penghasil kopi terbanyak. Jadi, kalau orang mencari lukisan kopi, ya di Lampung tempatnya. Dengan demikian, dari pameran itu kami berharap dapat menembus rekor MURI.

Selama ini banyak ajang perlombaan menggambar, apakah ini sesuatu yang positif bagi pemberdayaan itu?

Perlu dihargai kegiatan itu. Tetapi, kompetisi yang benar, juri juga yang memang kompeten. Kegiatan itu jangan sekadar mengumpulkan massa, untuk memeriahkan acara inti...yang dalam rangka ini dan itu. Tujuan kompetisi harus benar-benar menghasilkan jawara yang bagus. n M-1

***

Talenta Turun dari Sang Ayah


IBARAT pepatah bilang, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Talenta Ari Susiwa Manangisi ini pun berasal dari sang ayah yang pandai menggambar. Ayahnya pegawai PJKA pada waktu zaman Belanda. Atasan sang ayah yang banyak orang Belanda, kerap memesan lukisan wayang dan pemandangan. Di antara 9 bersaudara, hanya Ari yang menuruni talenta itu. Sejak SD, Ari kerap memenangkan lomba menggambar di sekolah.

"Waktu ada tugas menggambar, banyak teman yang menggambar gunung dan hamparan sawah. Saya menggambar sebuah perahu kandas di pinggir laut. Jika saya ingat gambar itu, saya sadari bahwa saat itu nalar saya sudah nyambung," kisahnya.

Ketika remaja, sering bertukar buku nyanyian dengan teman. "Saya tak hanya mengisinya dengan nyanyian, tetapi ada gambar dan kotak dialog seperti komik."

Kelima anak Ari pun menuruni talentanya, sebagai perupa. Ari, dan kedua anaknya, Qodri dan Wira, sering mendapat order pengerjaan taman di beberapa tempat, misal Balai Benih Sumberjaya dan Bumi Kedaton. Juga mengerjakan dekorasi panggung, membuat mobil hias dan patung. "Semua anak saya bisa melukis, tetapi yang serius menekuni baru Lila, anak ketiga. Dia sudah beberapa kali pameran, di antaranya juga bareng saya," ujarnya bangga.

Ari mengaku tidak pernah menekankan anaknya menjadi pelukis. Kelimanya sudah akrab dengan sarana lukisan sejak kecil, kanvas dan cat air. Lila, pun baru mulai menekuni sebagai pelukis saat kelas III STM. Ceritanya, 2 hari 2 malam Lila mengurung diri dalam kamar, usai dimarah ayah dan ibunya. Ternyata selama itu, Lila menumpahkan segala emosi berupa coretan gambar.

Ari juga terbiasa mengajak anaknya berdiskusi. "Saya mengajak diskusi tentang apa saja seolah dengan teman. Kalau tentang lukisan seolah berdiskusi antarpelukis," kata dia, yang telah puluhan kali mengikuti pameran sejak 1999. Lewat diskusi, Ari ingin membentuk karakter percaya diri, mandiri, membangun kreativitas, kebebasan berpendapat, dan menerapkan demokrasi pada mereka. "Berontak dari tradisi lama, jadi tidak dominan Bapak," ujar kakek 8 cucu ini.

Seringkali, Ari mengajak anak-anaknya pergi memancing dan mendaki gunung. Selain menjalin kebersamaan, Ari ingin anaknya paham, kedekatan dengan alam salah satu proses pencarian ide. "Ketika saya pameran, meskipun tinggal di tempat sempit, mereka sering ikut, agar tahu begini perjuangan ayahnya sebagai perupa."

Ia melimpahkan ide di atas kanvas, dalam sebuah studio kecil, di lantai 2 rumah sangat sederhananya di Pasir Gintung. Ari membiarkan kondisi studio berantakan. "Kalau berantakan seperti ini, saya justru terpacu melukis. Seolah pekerjaan belum selesai dan harus cepat selesai." Kala melukis, tangan lincah menggoreskan cat minyak membentuk objek, kadangkala sinergis dengan musik yang diperdengarkan. Lagu-lagu tempo dulu, Koes Plus dan Franky senantiasa menemaninya melukis. n DWI/M-1

Biodata

Nama : Ari Susiwa Manangisi

Tempat/tanggal lahir : Lubuk Linggau, 10 Oktober 1952

Alamat : Jalan Pisang, Gang Garuda III No. 25, Pasir Gintung, Tanjungkarang, Bandar Lampung

Istri

1. Sari Bulan (alm.)

2. Syamsiar

Anak

1. Muhammad Qodri (wiraswasta sablon dan reklame)

2. Wira Alamanda (wiraswasta sablon dan reklame)

3. Lila Ayu Arini (perupa)

4. Swari Imanda (swasta)

5. Sisi Adelia Amanda (siswi SMPN 23 Bandar Lampung)

Penghargaan

1. Juara II Komik Nasional Cerita Remaja, Departemen Pendidikan Nasional RI, 2000.

2. Juara III Komik Berwarna Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, 2001.

3. Juara Harapan I Ilustrasi Berwarna Buku Anak Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2001.

4. Juara III Komik Fiksi Ilmiah Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2002.

Pameran

1. Tahun 1999, Jambore Ancol (Jakarta), Bursa (Novotel, Jambi)

2. Tahun 2000, Gelar Lukisan Lampung, Pameran Lukisan dan Dialog Perupa se-Sumatera (PLDPS) VIII Jambi, Jambore Ancol (Jakarta).

3. Tahun 2001, bersama Ipe Maaruf (Kelompok Pelangi Nusantara Jakarta), Jambore Ancol (Jakarta), Realisme Lampung, Ulang tahun Pasar Seni Ancol.

4. Tahun 2002, Gelar Nusantara II Galeri Nasional Jakarta, Rupa-rupa Ekspresi di Lampung, Jambore Ancol (Jakarta).

5. Tahun 2003, bersama A. Rahino Sudjojono Gedung Graha BPPT (Jakarta), Penandaan Kelompok Lima (Sanggar Wisesa Lampung), Garis dan Warna Spirit Lima (Taman Budaya Lampung), Pertikaian Estetika Silaturahmi Nurani (Galeri Nasional Jakarta), Karya Pilihan Lampung, PPSS Jambi, LAF Lampung dan Jambore Ancol (Jakarta).

6. Tahun 2004, Demokrasi (Konjen Amerika, Medan) dan Art Expo Sumatranformation Bandar Lampung.

7. Tahun 2005, Peduli Aceh (Bentara Budaya, Jakarta), pameran berantai Rhe Realistage Juni-September (di Goong Galeri Bandung, Semar Galeri Malang dan Museum Widayat Magelang), Lampung Expo (Graha Wangsa, Bandar Lampung), Beinale Sastra dan Keterampilan Rupa (Taman Budaya Lampung) dan Kecil Tak Kecil (Taman Budaya Lampung).

8. Tahun 2006, The Gate: Pre-Discourse Soft Opening Semar Galeri (Malang), The Gate: Pre-Discourse Hu Bei Art College Wu Han (China)

9. Tahun 2007, Tebar Pesona (Kalianda Resort), Peduli Seni dengan Aksi Senayan City (Jakarta) dan PLDPS X Jambi.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 April 2008

1 comment:

  1. LAMPUNG
    perupa cilik dalam event2" fun, comercial/promosi, real art" tampaknya talented.

    atmosfirnya belum pas barang kali ya.
    AYO KITA CIPTAKAN ATMOSFIR TUMBUHNYA PERUPA LAMPUNG.
    SALAM SUKSES!

    ReplyDelete