April 17, 2008

Opini: Taman Enggal, Taman Kota

-- Jauhari Zailani*

INI malam keempat. Ia bingsal tidak keruan. Jarum jam menunjuk angka dua, tapi mata masih terang, masih nanar. Guling sudah beberapa kali dipeluk dan dibanting. Di tempat tidur salah. Di kursi salah. Ia tidak ingin bed dan kursi menjadi kambing hitam. Sepeda, ia tahu persis ini menyangkut persoalan cinta, boleh jadi menjadi pi'il, harga diri. Jika keliru, ia akan kehilangan gadis idamannya.

Sabar ia menunggu jawaban dari sang buah hati. Tidaklah elok, jika ia menolak pinta Roro Jonggrang, dan ia ingat ketika gadis pujaannya mengajukan syarat: "Kakanda, sebagai gadis sungguh aku tersanjung. Di kawedanaan ini, banyak gadis cantik dan ningrat menanti pinangan Kakanda. Tapi izinkanlah saya gadis yang bodoh ini mengajukan syarat". Tidak sabar menunggu, sang Pangeran menyela. "Jangan ragu Adinda, silakan kemukakan apa syaratnya. Kalau harus menyeberang laut dan melintas gunung, kan suka hati kujalani. Kalau Adinda inginkan gunung atau pulau, pasti kubeli".

Dalam benak sang Pangeran, terpikir. Kian banyak permintaan, sang Putri akan menjeratnya. Tapi, ia ingin memastikan bahwa syarat itu bukan alasan untuk menolaknya. "...tapi, apakah syaratnya itu, Diajeng?"

Setelah menarik napas berkali-kali akhirnya sang Putri berkata "...Kakanda, maafkanlah patik, jika tidak elok pintaku. Kakanda, elok nian jika Lapangan Enggal dapat menjadi taman kota."

Bak disambar guntur di siang bolong, sang Pangeran terdiam mlongo. Pasalnya lapangan itulah yang menjadi modalnya. Jika sukses ruilslag, ia dapat membeli pulau atau pergi ke mana saja, ke mana sang Putri mau. Tapi menolak syarat itu, jelas mustahil. Tapi ingin mengetahui alasannya, "Kenapa taman?"

"Ya Kakanda, lapangan itu menyimpan kenangan bagi komunitas kita. Sejak empat keturunan, Lapangan Enggal menjadi bagian kita. Kita semua tidak bisa dipisahkan dengan lapangan itu. Kakek kita, lahir, tumbuh dan mati di sini. Dan sejak sono-nya memang dirancang sebagai ruang publik. Jika kita mengubah menjadi milik privat, bisnis, saya khawatir para leluhur menyebut kita sebagai pengkhianat. Bukankah kita selalu mengeluhkan macetnya lalu lintas, bukankah mal itu pasar, dan pasar identik dengan kemacetan?"

Sang Pangeran tidak bisa hanya mendengar, "Bukankah zaman telah berubah. Zaman kita dan anak-anak kita, mereka main di mal. Bersama mereka kita dapat main di mal yang akan segera dibangun dengan semua fasilitasnya".

Sang Putri tersenyum sabar mendengar argumen sang Pangeran. Kemudian ia meneruskan, "Iya Kakanda, kita lahir dan besar di kota ini. Sejak tahun delapan puluhan, supermaket muncul yang baru, mematikan yang lama. Supermarket Flora di Radin Intan, ia mati menyusul hadirnya King. Kehadiran Artomoro membunuh King, bahkan Queen. Dan Artomoro mati seiring hadirnya Moka."

Sembari tetap tersenyum, dia melanjutkan, "Kakanda, daya beli kita lemah sekali. Betapa tidak? Kini, kecuali Chandra, semua dimiliki orang Jakarta. Artinya uang kita tersedot ke Jakarta. Lengkap sudah derita rakyat Lampung. Sistem ekonomi kita, uang tersedot ke Jakarta. Orang kaya, pejabat kita kalau belanja ke Jakarta. Orang setengah kaya atau yang sok kaya belanja di supermarket. Linear banget kan, kalau menjamurnya mart itu mematikan pasar tradisional."

Mengubah Enggal menjadi ruang bisnis tidak saja menggerogoti ruang publik, tetapi juga menyakiti perasaan kolektif warga Lampung. GOR Saburai, menjadi tempat alternatif selain mal bagi anak-anak remaja karena di sana menjadi ajang kompetisi olahraga dan pentas seni. Pembangunan tidak berdimensi tunggal, ekonomi saja. Masih ada sisi lain; perspektif lingkungan, humanisme, budaya, sosial, dan memori kolektif orang Lampung. Kecuali kita menuruti nafsu hewani yang yang menggelegak buas pada dada pengusaha dan penguasa kita.

Sang Pangeran kini puyeng, antara cinta dan kekuasaan. Dia sadar sesadar-sadarnya, simbol kekuasaan yang melekat pada dirinya adalah daya tariknya. Sebagai anak demang, ia terlahir gagah nan rupawan. Seluruh fasilitas yang dimiliki eksekutif muda Jakarta ada padanya. Sudah lusinan ia tundukkan dara di kota dan desa hingga mancanegara. Tapi kini ia dibuat tak berkutik oleh gadis Enggal; Roro Jonggrang. Ego telah mendorongnya hingga ke jurang dilema. Dia tidak mungkin surut. Sebagai laki-laki ia pantang kalah. Tapi gimana caranya?

Mulailah ia gunakan otaknya hasil besutan Universitas London dan Melbourne. Mulailah ia menganalisis, tanganya mencatat dan memilah; pertama, bisnis saling memakan, rakyat kecil yang terjepit. Jadi, jika dibuat mal benarkah rakyat diuntungkan? Dua, birokrasi dan politisi lebih melayani kepentingan saudagar sehingga tak memihak rakyat kecil dan rakyat banyak. Jelas, Ki Demang, ayahnya, telah bersekongkol dengan pengusaha. Apa pun dalihnya. Tiga, tidak ada pihak yang dirugikan jika Lapangan Enggal dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Kemudian dia teringat, setiap event pameran bunga, selalu rame. Maka, inilah ide yang membuatnya cerah itu; Pameran Bunga.

Pameran Bunga


Setelah panitia dibentuk, iklan dipasang; di koran lokal dan nasional, televisi lokal dan televisi nasional, tidak lupa di internet. Pameran dan bursa bunga terbesar di Lampung. Berlangsung sepanjang 2008. Syarat mengikuti pemeran; harus mengikuti sepanjang tahun, setiap stan membuat taman sebagai pajangan dan contoh kembang yang dijual, setiap stan harus memadukan jenis tanaman keras dan tanaman hias. Ini yang terpenting; setiap stan tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi sedemikian rupa agar pengunjung merasa seperti di taman, bukan di pasar. Usai pameran, pohon dan kembang yang sudah ditanam menjadi milik panitia. Lokasi pameran; Lapangan Enggal, Bandar Lampung, Indonesia.

Pembukaan pameran soal mudah apalagi menjelang pilkada. Pagi itu, tanggal 5 Januari 2008, pameran dibuka ibu demang Lampung. Lapangan Enggal tumpah ruah. Peserta datang dari penjuru negeri. Kembang tidak kepalang elok variasi rupa, jenis, dan harganya. Karena menjelang pikada, pameran adalah ajang kampanye. Psikologi inilah yang dimanfaatkan sang Pangeran.

Pameran dibuka sang Ibunda Nyi Demang. Pas betul karena Ki Demang ingin bertarung dalam pilkada. Dalam sambutanya Nyi Demang menyatakan, "...Pameran ini diadakan anak-anak muda yang peduli dengan keindahan. Ketika mereka menghadap saya, saya sambut dengan sukacita ide yang luar biasa ini. (gayanya kampanye) Karena sesuai dengan program Pak Demang, sebagai pemimpin yang berpihak pada pengusaha kecil, dan peduli pada keindahan kota."

"Melalui pameran ini, kami mendukung ide sang Pangeran, bahwa pameran bunga ini akan berlangsung sepanjang tahun, bahkan saya punya usul, kenapa tidak sepanjang massa? Setelah menggeser kacamatanya yang aduhai, ia menarik napas dan melanjutkan lagi, bahkan saya setuju sekali jika lapangan ini menjadi taman kota."

Maka, gemuruhlah tepuk tangan hadirin, tanpa menyimak apa yang diucapkan Nyi Demang. Pak Demang dan tim suksesnya senyum simpul. Meski mukanya saling pandang penuh tanda tanya.

Peserta dan pengunjung datang dari berbagai negara dan daerah. Pameran berlangsung aman, preman tidak berani bertingkah karena tidak mau berurusan dengan sang Pangeran yang terkenal pemurah dan terlebih lagi sebagai ketua organisasi pemuda. Anggotanya mengamankan stan dengan baju loreng dan aksesorinya, khas paramiliter. Bahkan, aparat keamanan pun dikerahkan.

Hari-hari selanjutnya, sepanjang hari Taman Enggal menjadi tempat pertemuan yang nyaman bagi segala orang dari semua lapisan. Kaya, miskin, tua, muda. Apalagi hari Minggu dan hari libur. Gedung olahraga, di sebelahnya, bukan saja untuk olahraga, melainkan berbagai pertunjukan kesenian berkembang marak dan semarak. Olahraga Lampung pun maju.

Pagi-pagi sekali, pada 21 April 2008, rombongan ibu-ibu berkebaya berkumpul, mereka merayakan Hari Kartini di lapangan eh di Taman Enggal. Setelah kumpul hingga ribuan orang, mereka bergerak menuju gedung PKK ingin menyaksikan perkawinan agung abad XXI, perkawinan Putri Roro Jonggrang dengan Pangeran, Putra Ki Demang. Apa emas kawinnya? Dengan mantap Pangeran menjawab, "Taman Enggal sebagai maharnya."

Sejak itu, Enggal menjadi taman kota. Semua senang, dan bahagia. Selamat menempuh hidup baru.

* Jauhari Zailani, Dosen UBL, Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 April 2008

No comments:

Post a Comment