April 28, 2008

Peduli Lingkungan: Anak-anak Penyelamat Hutan Bakau

-- Helena F Nababan

MINGGU (20/4) jarum jam menunjukkan pukul 15.30. Matahari sore terasa lembut di kulit. Suasana tenang hutan pantai menyambut di Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung. Namun, tak lama kemudian suasana tenang itu berubah sedikit ribut.

Anak-anak SDN Pulau Puhawang sibuk membersihkan lokasi penanaman bibit bakau di bagian hutan yang rusak di pesisir Pulau Puhawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Lampung Selatan, Minggu (20/4). (KOMPAS/HELENA F NABABAN)

Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bernyanyi. Setelah berjalan kaki sekitar 1 kilometer dari dermaga pesisir barat pulau menuju bagian kawasan hutan bakau tampak serombongan murid sekolah dasar sibuk menanam bibit bakau sambil bernyanyi di tanah berlumpur.

Syair lagu Di Sini Senang di Sana Senang yang sudah dikenal anak-anak Pramuka itu terdengar janggal di telinga. Anak-anak itu mengucapkan syair lagu itu menjadi di sini senang/ di sana senang/ di APL aku paling senang.

”APL itu singkatan dari anak peduli lingkungan,” kata Yulianti (29), guru SDN Puhawang, yang sore itu sibuk mengawasi dan berpartisipasi bersama 30 siswa kelas IV dan V menanam bibit bakau.

APL merupakan istilah untuk menyebut kelompok siswa SDN Pulau Puhawang yang dilatih menyukai alam dan melestarikan hutan bakau di kawasan pesisir. Sama seperti mahasiswa pencinta alam yang memiliki nama mapala, anak-anak SDN Pulau Puhawang memilih nama APL untuk memperkuat kegiatan mereka.

Saat didirikan tahun 2007, APL terdiri atas 90-an anak siswa kelas IV, V, dan VI SDN Pulau Puhawang. Anak-anak itu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri atas empat sampai lima anak.

Apri Sanjaya (12), murid kelas VI SDN Pulau Puhawang, menuturkan, ia dan teman-teman satu kelompok mendapat tugas menanam bibit bakau di areal hutan yang rusak. Setiap dua minggu sekali, ia dan teman-teman satu kelompok datang ke lokasi penanaman bibit.

”Setelah menanam bibit, kami mesti mengawasi bibit itu. Kalau hilang terbawa gelombang laut, kami harus menanam kembali bibit bakau di tempat yang sama,” tuturnya.

Selain mengawasi bibit, anak-anak juga diberi tugas mencatat pertumbuhan tanaman bakau. Mereka mesti membuat laporan perkembangan dan pertumbuhan bibit bakau yang mereka tanam. Laporan mengenai perkembangan dan pertumbuhan bibit bakau yang berisi pertambahan lebar daun, tinggi batang, hingga jumlah daun, kemudian dilaporkan kepada Ibu Guru Yulianti yang biasa dipanggil Ibu Iyung.

”Awalnya, saya tidak suka di hutan bakau. Ini kan tempat nyamuk,” kata Jumantara (13), siswa kelas V SDN Pulau Puhawang.

Demi melihat keengganan anak-anak didiknya, Iyung memotivasi dengan penjelasan sederhana. ”Kalau kita tidak menanami kembali bakau-bakau yang rusak, nyamuk akan pindah ke rumah kita. Kita akan sakit karena nyamuk-nyamuk itu. Itu sebabnya kita mesti menanami lagi bakau-bakau yang rusak supaya nyamuk tidak pindah ke rumah kita,” jelas Iyung.

Penjelasan sederhana itu rupanya memotivasi anak-anak SD Pulau Puhawang. Mereka bahkan terlihat menikmati hari minggu yang habis untuk menyelamatkan pesisir. ”Sekarang saya selalu ingin hari Minggu cepat datang supaya saya bisa melihat bibit bakau yang saya tanam,” kata Jumantara.

Mengajak orangtua

Kegiatan anak-anak APL tidak hanya menanam bibit bakau, mengawasi, atau menjaga pertumbuhan bibit. Mereka juga diajak mengumpulkan sampah- sampah plastik yang berserakan di pantai karena dibawa gelombang atau dibuang sembarangan oleh warga desa. Sampah plastik kemudian dikeringkan sebelum dibakar.

Tindakan mengumpulkan sampah plastik itu pun lama kelamaan menjadi kebiasaan. Anak yang melihat sampah berceceran akan mengambil dan membuangnya di tempat sampah.

Tindakan sederhana semacam itu rupanya mendorong anak- anak itu untuk memberi tahu orangtua mereka. Anak-anak yang sudah belajar menjaga kebersihan lingkungan itu dengan spontan memberi tahu kedua orangtuanya untuk tidak asal membuang sampah di laut. Anak-anak juga spontan memberi tahu orangtua mereka untuk tidak merusak hutan bakau.

”Meski perubahannya lambat, tindakan-tindakan itu spontan membuat saya bergembira. Berbeda dengan saat saya datang tahun 1998, lingkungan pantai sekarang agak terjaga, sementara kerusakan hutan bakau oleh warga desa jauh berkurang,” kata Iyung.

Bertutur tentang Pulau Puhawang dan APL membuat Iyung kembali ke tahun 1998. Tahun 1998 merupakan tahun saat ia pertama kali tiba di pulau yang memiliki luas 1.020 hektar dan terletak di Teluk Lampung yang termasuk Kabupaten Pesawaran atau pemekaran Lampung Selatan itu.

Saat ia datang, pulau yang sejatinya memiliki keindahan alami berupa pantai pasir putih yang cukup panjang dan potensi kerapu yang luar biasa itu sangat kotor. Masyarakat desa seenaknya membuang sampah di laut dan berperilaku hidup tidak sehat. Perilaku hidup tidak sehat itu masih terlihat dari 1998 hingga sekarang.

Mereka banyak yang membuang hajat sembarangan di pantai. ”WC di Puhawang panjang sekali sehingga pantai sangat kotor dan tidak sehat,” katanya.

Saat itu, untuk mengubah perilaku orangtua yang konservatif adalah hal yang mustahil. Satu-satunya jalan adalah melalui pendidikan yang benar kepada anak-anak pulau. Dengan cara demikian, Iyung memiliki harapan, anak-anak itu ke depan akan memiliki cara hidup yang benar dan perilaku sehat yang tepat. ”Tidak seperti orangtua mereka yang susah sekali diajak berubah,” katanya.

Upaya Iyung mendapat sambutan baik. Lembaga pendampingan masyarakat (LSM) Mitra Bentala membantu upaya tersebut. Bersama Iyung, program APL disusun secara serius. Aneka kegiatan yang diperkirakan menjadi aneka pembelajaran secara santai namun mendidik digarap.

Supriyanto, aktivis Mitra Bentala, mengatakan bahwa APL awalnya hanya merupakan kegiatan sampingan bagi anak-anak SDN Pulau Puhawang sejak 2003. Setelah Mitra Bentala terlibat lebih jauh, kegiatan peduli lingkungan berupa penyelamatan bakau dan pesisir menjadi kegiatan ekstra kurikuler sekolah sejak 2007.

Maka, menanam bibit bakau yang dilanjutkan dengan mengawasi dan memelihara bibit bakau merupakan kegiatan mendidik anak-anak bertanggung jawab. Penyusunan laporan secara deskripsi merupakan upaya mendidik anak-anak untuk disiplin. Demikian juga kegiatan mengumpulkan sampah di pantai merupakan upaya mendidik anak-anak menghargai miliknya. ”Mereka dididik untuk merasa memiliki sehingga menghargai tempat mereka tinggal,” kata Iyung.

Tidak mengherankan apabila dalam acara peluncuran Coastal, peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pantai melalui konservasi pantai terpadu anak-anak APL tergerak mendedikasikan gerakan mereka. Anak-anak itu berjanji untuk terus menjaga lingkungan mereka.

”Kami berjanji akan selalu bersahabat dengan alam. Berjanji tidak akan merusak alam tempat kami bermain. Berjanji untuk selalu menjaga alam hingga kami dewasa nanti,” ucap Apri Sanjaya, mewakili teman-temannya di hadapan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP dan tamu- tamu undangan yang menghadiri peluncuran Coastal, Senin (21/4). Lebih jauh Senior Program Manager for Field Heifer International Indonesia Budi Rahardjo mengatakan, kegiatan APL secara langsung akan berdampak panjang. Keterlibatan anak-anak itu secara langsung merupakan tindakan mengajak anak-anak menyelamatkan tanah dan pulau yang akan mereka warisi.

Selain itu, tanpa disadari anak-anak itu, upaya peduli lingkungan merupakan upaya menyiapkan masa depan mereka sendiri. ”Upaya penyelamatan pulau sejak dini demikian akan memberi keuntungan bagi mereka di masa mendatang,” kata Budi.

Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008

No comments:

Post a Comment