December 31, 2010

Menggagas Kamus Besar Bahasa Lampung

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar


KAMUS merupakan khazanah yang memuat perbendaharaan kata suatu bahasa, yang secara ideal tidak terbatas jumlahnya. Hal ini sesuai dengan arti kata kamus yang diserap dari bahasa Arab qamus (jamak: qawamis), yang berasal dari kata Yunani okeanos yang berarti "lautan". Sejarah kata itu jelas memperlihatkan makna dasar yang terkandung dalam kata kamus, yaitu wadah pengetahuan, khususnya pengetahuan bahasa, yang tidak terhingga dalam dan luasnya.

Setiap kebudayaan besar di dunia bangga akan kamus bahasanya. Dalam kenyataannya kamus itu tidak hanya menjadi lambang kebanggaan suatu (suku) bangsa, tetapi juga mempunyai fungsi dan manfaat praktis. Kamus merupakan khazanah perbendaharaan kata suatu bahasa yang menggambarkan tingkat peradaban (suku) bangsa pemiliknya.

Setakat ini, kita memang sudah memiliki kamus bahasa Lampung. Upaya pertama penyusunan kamus tersebut dilakukan oleh M. Noeh dengan judul Kamus Bahasa Lampung. Kemudian menyusul Hilman Hadikusuma (HH) yang menyusun Kamus Bahasa Lampung (Mandar Maju, Bandung, 1994, 153 halaman); tetapi dalam bentuk diktat fotokopi sudah ada sejak 1984. Selanjutnya Fauzi Fattah (FF) dkk. menerbitkan Kamus Bahasa Lampung (Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 2002, 80 halaman). Terakhir, Admi Syarif (AS) menyusun Kamus Lengkap Indonesia-Lampung, Lampung-Indonesia (Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 2008, 379 halaman).

Dari keempat kamus tadi, tiga kamus disusun oleh perorangan, kecuali yang disusun oleh FF dkk. Kamus susunan HH dan FF dkk. meliputi dialek O dan A, bahkan pada kamus HH dilengkapi juga dengan 9 logat seturut 9 logat pada peta lingkungan bahasa Lampung yang diperkenalkan JW van Royen. Secara demikian, kamus HH adalah kamus umum. Sedangkan susunan AS hanya dialek O, secara demikian bukan kamus umum. Dari segi jumlah entri (lema), yang terbanyak adalah susunan HH karena merupakan kamus Lampung-Indonesia, sementara susunan AS meskipun lebih tebal tetapi jumlah lemanya lebih sedikit karena merupakan kamus Indonesia-Lampung sekaligus Lampung Indonesia. Kelebihan kamus susunan AS adalah karena dilengkapi dengan aksara Lampung (had Lampung). Bahkan AS yang dosen ilmu komputer juga menyusun kamus elektronik yang mampu menerjemah kata-kata atau kalimat dalam bahasa Lampung dialek O menjadi kata-kata atau kalimat bahasa Indonesia, dan sebaliknya.

Namun, saya memergoki kecerobohan. Pada halaman 24, misalnya, terdapat lema "bordil kain (kb), bordil kawai". Mungkin maksudnya "bordir", yang berarti sulaman; tekat; hiasan dari benang yang dijahitkan pada kain. Sedangkan “bordil” memiliki dua arti (1) rumah panjang terbagi oleh sekat-sekat yang membentuk banyak kamar; (2) rumah pelacuran. Juga pada halaman akhir terdapat Akko Lappung (Angka Lampung) yang masih menggunakan angka Arab, yaitu 1, 2, 3 dst. Perlu diingatkan, bahwa Lampung memiliki angka sendiri yang ditemukan oleh Yahya Ganda sebagaimana dimuat pada bagian lampiran (halaman 43) buku yang disusun oleh Yahya Ganda berjudul Aksara Lampung (penerbit CV Satya Dwi Wibawa, Tangerang, 1995).

Keempat kamus di atas adalah kamus dwibahasa, yang disusun dalam bahasa Lampung dan Indonesia. Dari keempat kamus tadi tentu saja tidak ada yang lengkap, meskipun AS mengklaim kamusnya sebagai kamus lengkap. Sejatinya, memang tidak pernah ada kamus lengkap karena kosakata dan istilah bahasa pada dasarnya terus tumbuh dan berkembang. Istilah kamus besar, misalnya, merujuk kepada makna yang bertalian dengan banyaknya informasi yang terkandung di dalamnya. Bahkan untuk mendaftar kosakata yang sudah ada saja, penyusun kamus masih sering luput.

Saya pernah memanfaatkan kamus-kamus tersebut untuk menerjemahkan sebuah reringget (salah satu bentuk puisi Lampung) dalam dialek O, tetapi tidak tuntas karena tidak menemukan kata suno, ngatemei, betatei, papak, senajin, ngerujung, dilekeu. Bagaimanapun juga, ini bukti bahwa kamus memang tidak pernah lengkap. Dalam ilmu perkamusan (leksikografi) tidak dikenal istilah kamus lengkap. Boleh jadi sebutan itu merupakan propaganda alias siasat dagang, seperti juga muncul pada kamus-kamus kecil yang berjudul raksasa semisal kamus satu miliar!

Para penyusun kamus di atas agaknya juga bukan linguis (ahli bahasa) atau pekamus (leksikograf). Hilman Hadikusuma adalah pakar hukum adat. Meskipun beliau menyusun kamus bahasa Lampung atau mengajar sastra Lampung, sejatinya hal itu merupakan kegiatan sampingan saja karena di dalam penjelajahan hukum adat yang ditekuninya beliau menemukan bahan-bahan itu dan pada zamannya memang belum ada pakar yang mengkhususkan diri pada ranah itu. Demikian pun Admi Syarif, beliau adalah seorang doktor engineering (teknik), bukan linguis.

Dengan ini, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa bahasa Lampung melulu menjadi urusan para sarjana bahasa Lampung. Tegasnya, bahasa Lampung bukan hanya diurus sarjana bahasa Lampung, tetapi juga oleh munsyi. Dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita mengenal Abdullah bin Abdulkadir dan Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan munsyi. Sementara J.S. Badudu dan Anton M. Moeliono adalah sarjana bahasa.

Munsyi adalah suatu kata yang lebih tepat dipahami pada komprehensi ganda antara seseorang dan inklanasi kesukacitaan berbahasa Lampung, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seseorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam idealitas kepujangaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “munsyi” sebagai guru bahasa; ahli bahasa; pujangga.

Maka, para penyusun kamus bahasa Lampung tadi dapatlah kita sebut sebagai munsyi. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para penyusun keempat kamus di atas, saya menilai bahwa kamus-kamus tadi belumlah memadai. Bak kata pepatah Lampung "bacak nenakan jak melasa; lebih baik cempedak daripada nangka", maka "daripada tidak lebih baik ada". Lain ungkapan, kamus-kamus tadi disusun—mengutip pepatah kembali—“seraya menunggu tukang tiba".

Tetapi, siapakah para "tukang" itu? Di sini saya ingin menyebut Junariah, dosen Universitas Indonesia asal Lampung. Beliau adalah sarjana bahasa Indonesia yang juga menekuni bahasa Lampung dan pernah menyusun kamus bahasa Lampung. Demikian untuk menyebut sebuah nama. Nama lain yang ingin saya sebut adalah Hermanus Neubronner van der Tuuk (1824-94), yang karena tulisannya memiliki suatu kecemerlangan yang sangat tajam bisa menjadikan dirinya voltaire dari Hindia Belanda.

Van der Tuuk bertugas di Indonesia (Hindia Belanda) sebagai perwakilan dari Bible Society, (Nederlands Bijbelgenootschap), suatu organisasi misionaris yang justru dibencinya. Selama seperempat abad dia bekerja untuk Bible Society. Tugas pertamanya adalah di wilayah Batak Sumatra dan menghasilkan kamus Batak-Belanda, tata bahasa Batak Toba, dan menerjemahkan Injil dalam bahasa Batak. Pada tugasnya yang kedua dia ditugaskan di Bali.

Namun karena di Bali saat itu sedang terjadi epidemi, mustahil dia pergi ke sana. Itu baru terjadi pada April 1870, sampai kematiannya di sana pada 1894 dalam usia 70 tahun. Maka untuk sementara dia tinggal di Jawa. Selama tinggal di Jawa secara terpaksa ini dia menerima suatu tugas pemerintah untuk mempelajari bahasa yang dituturkan di distrik Lampung di Sumatra bagian selatan. Dia melakukan perjalanan menjelajah daerah itu selama hampir satu tahun.

Van der Tuuk menerima tugas itu, tanpa ragu, karena rasa ingin tahu alamiahnya terhadap bahasa-bahasa, tetapi juga karena dia ingin melarikan diri dari masyarakat Eropa. Dia tinggal di Lehan, Tarabanggi (Terbanggi) pada sebuah bangunan terbuka, tepat di seberang sungai Seputik (Seputih), dikelilingi oleh hutan.

Maka pada 24 Maret 1869 dia melakukan perjalanan menjelajahi distrik Lampung. Kemudian dia menerbitkan sejumlah manuskrip Lampung dan menulis banyak artikel tentang aspek-aspek bahasanya. Van der Tuuk memandang bahasa itu penting karena dia percaya bahwa bahasa Lampung mewakili suatu tingkat transisional antara bahasa-bahasa Sumatera dan jawa, dan merasakan bahwa studinya akan meningkatkan pengetahuan akan bahasa Jawa kuno atau Kawi.

Linguis lapangan ini melakukan penelitian bahasa dan sastra Lampung selama satu tahun pada 1869. Van der Tuuk membagi bahasa Lampung dalam dua dialek, yaitu dialek Abung dan dialek Pubian. Pembagian ini hanya melihat pada masyarakat beradat pepadun. Sementara itu, Van Royen membagi bahasa Lampung dalam dialek nyow (O) dan dialek api (A) dan membuat peta bahasa Lampung yang memuat 9 lingkungan bahasa (logat).

Pada akhir abad ke-19, perintis linguistik modern di Nusantara ini, setelah menjalani kajian lapangan di Sumatera Selatan pada 1862, sempat menyusun sebuah kamus bahasa Lampung setebal 600 halaman, yang dengan bantuan penutur lokal ditulisnya dalam aksara Lampung, yakni sejenis tulisan Indik. Ini berarti bahwa HN van der Tuuk adalah Bapak Leksikografi Lampung. Dalam buku suntingan Kees Groenceboer bertajuk Een vorst onder de taalgeleerden. Hermann Neubronner van der Tuuk, taalafgevaardigde voor Indie van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1847-1873 (Leiden: KITLV Uitgeverij) halaman 23, Groenceboer melaporkan bahwa, "Onderweg werkte hij aan een Lampongs woordenboek. Dit woordenboek van circa zeshonderd dichtbeschreven pagina's is echte nooit gepubliceerd, wellicht omdat er geen geschickte Lampongs drukletters beschikbaar waren (Sementara itu, dia menghasilkan sebuah kamus bahasa Lampung. Kamus ini, yang mengandung lebih kurang 600 halaman yang ditulis dengan padat sekali, belum diterbitkan, mungkin karena tiada cara untuk menerbitkan aksara (huruf) Lampung)."

Dalam tulisannya Van der Tuuk as Lexicografer (Archipel 51:113-34) Andreas Teuuw menyebutkan bahwa kamus tersebut dibawanya ke Bali ketika dia bertugas di sana pada 1870-1894. Dia berusaha menyuntingnya tetapi amun rupanya tak punya waktu karena kesibukannya menyusun kamus Kawi-Bali-Belanda, dan karena itu tidak pernah disuntingnya. Kamus Van der Tuuk ini perlu dilacak keberadaannya, semoga saja masih tersimpan di arsip KITLV (Koninklijk Instituut voor de Tall-, Land- en Volkenkunde) Negeri Belanda. Selain Van der Tuuk, peneliti Belanda lain juga melakukan pencatatan bahasa Lampung tetapi bukan dalam bentuk kamus melainkan daftar kata (woorden lijst) semisal O.L. Helfrich dalam bukunya Proeve van eene Lampongsch-Hollandsche woorden lijst bepaaldelijk voor het dialect van Kroe (1891), Daftar kata Lampung-Belanda ini dalam dialek Krui.

Pemerintah Provinsi Lampung perlu menghubungi lembaga tersebut secara resmi dan meminta salinannya. Langkah berikutnya adalah menerjemahkannya ke dalam bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, kamus Van der Tuuk adalah bahan yang amat berharga untuk menyusun kamus besar Bahasa Lampung. Kesulitan menerbitkan kamus tersebut pada zaman Van der Tuuk karena tidak ada cara untuk menerbitkan aksara Lampung kiranya sudah teratasi oleh temuan Admi Syarif yang telah berhasil membuat kamus elektronik bahasa Lampung dan juga membuat aksara Lampung dalam bentuk cetakan. Temuan Admi Syarif ini merupakan jawaban cerdas atas kesulitan yang dihadapi oleh Van der Tuuk.

Selanjutnya, perlu dibentuk tim penyusun kamus besar Bahasa Lampung dengan memanfaatkan kamus-kamus Lampung yang sudah ada khususnya kamus Van der Tuuk. Langkah raksasa ini perlu diambil agar kita memiliki kamus baku (standar). Upaya ini menjadi bernilai strategis mengingat bahasa Lampung diramalkan akan lenyap dalam tempo 75—100 tahun mendatang, seperti diteriakkan oleh pakar sosiolinguistik Asim Gunarwan pada suatu seminar tahun 1999. Kisah punahnya bahasa ini sungguh bukan dongeng pelanduk atau kancil. Saat ini, bahasa Lampung adalah satu di antara 289 bahasa daerah yang masih hidup. Kalau dulu, jumlah bahasa daerah se-Nusantara tidak kurang daripada 350-an, maka berarti sudah ada bahasa daerah yang lebih dulu lenyap. Malahan, dalam esainya bertajuk Para Teroris adalah Kita (Terorists R Us) yang dimuat dalam Adbuster vol. 13 No. 1 Januari/Februari 2004, Ziauddin Sardar menyatakan sepuluh bahasa mati setiap tahun. Ini berarti seluruh kebudayaan, gaya hidup, dan cara-cara hidup yang berbeda dari manusia lenyap dari muka bumi sebagai suatu akibat langsung dari terorisme kebudayaan yang kita hidupkan terus menerus terhadap dunia.

Oleh karena itu, Pemprov Lampung bersama Universitas Lampung perlu mengambil prakarasa untuk penyusunan dan penerbitan kamus besar Bahasa Lampung atau kamus balak Bahasa Lampung (KBBL) tersebut. Kamus besar adalah kamus yang memuat khazanah secara lengkap, termasuk kosakata istilah dari berbagai bidang ilmu yang bersifat umum. Paling tidak, dalam bentuk kamus umum, yaitu kamus yang memuat kata-kata yang digunakan dalam pelbagai ragam bahasa dengan keterangan makna dan penggunaannya, dengan menghindarkan istilah teknis atau kata yang digunakan di lingkungan terbatas.

Jika KBBL itu berhasil diterbitkan, dapatlah kita menyatakan bahwa kamus Lampung merupakan khazanah perbendaharaan kata bahasa Lampung yang menggambarkan tingkat peradaban suku-bangsa Lampung.

Betapa pun, kekayaan bahasa beserta aksara dan angka Lampung mesti diselamatkan, agar "mak lebon Lampung di bumi"; takkan hilang Lampung dari bumi. Upaya itu mesti kita lakukan mulai sekarang juga. Penyusunan kamus merupakan proses yang panjang. Setiap tahap dalam proses itu merupakan kumulasi dari penelitian dan analisis bahasa serta kegunaan praktis hasil proses sebelumnya. Setiap penerbitan kamus diarahkan kepada kecermatan pencatatan bahasa dan kesempurnaan penyusunan yang setinggi-tingginya, walaupun setiap terbitan tidak dapat dilepaskan dari "ideologi bahasa".

Dalam hal yang terakhir ini, fungsi KBBL di atas kiranya bukanlah untuk memelihara kemurnian bahasa, melainkan berusaha mencatat dan menafsirkan pemakaian bahasa secara cermat, tanpa mendikte mana yang betul dan mana yang salah. Penyusunan KBBL itu adalah kerja besar dan perjalanan panjang. Perjalanan panjang selalu diawali dengan langkah pertama, kata Mao Zedong. Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi, Tuan? Ki mak ganta kapan moneh, ki mak gham sapa moneh, pun?

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Jumat, 31 Desemnber 2010

December 30, 2010

Evaluasi 2010: Bukit Digerus, Pantai Dikeruk

-- Yulvianus Harjono

”DHUARR…!” bunyi keras bongkahan batu sebesar becak yang jatuh dari tebing bukit mengagetkan sekelompok pekerja yang berada tidak jauh dari lokasi ledakan. Bunyi ledakan ini sungguh keras, membuat bulu kuduk orang yang melintas di dekatnya bergidik.

Kawasan perbukitan Kunyit di Teluk Betung, Bandar Lampung, terus tergerus akibat penambangan batu dan pasir secara liar. Padahal, aktivitas penambangan di wilayah ini tidak jarang menimbulkan jatuhnya korban jiwa dari para petambang. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Apa jadinya jika batu-batu yang jatuh secara liar itu berbelok arah dan menimpa kita yang ada di bawahnya? Tidak bisa dibayangkan dampaknya. Namun, ternyata, sehari-hari petambang batu di Bukit Kunyit harus menyabung nasib dengan risiko itu.

Dengan alasan perut, lingkungan di Bukit Kunyit terus dirusak. Bukit yang dulunya indah karena terletak di pinggir pantai kini terlihat mengerikan. Terpotong-potong, menyisakan bukit-bukit tandus menjulang ke langit tetapi rapuh, siap runtuh kapan saja. Tak terlihat lagi seperti kunyit-kunyit, lebih mirip wortel-wortel.

Tinggal sepertiga bagian bukit ini masih utuh. Sisanya jadi batu fondasi rumah-rumah mewah di Bandar Lampung dan sekitarnya. Nasib Bukit Kunyit jadi bukti nyata dari terdegradasinya daya dukung lingkungan hidup. Padahal, letaknya tak jauh dari kota Bandar Lampung.

Nurdin (54), salah seorang petambang batu di Bukit Kunyit, mengaku terpaksa menekuni pekerjaan itu karena tidak lagi memiliki pilihan lain. Selama 10 tahun bekerja sebagai petambang batu, banyak peristiwa tragis ia alami. Kawannya pernah tewas terjatuh dari bukit saat hendak memapas batu.

Bahkan, ia sendiri sudah tiga kali tertimpa batu. Yang terakhir membuatnya nyaris cacat. Tubuhnya jadi membungkuk. Tulang-tulang belakangnya bahkan terlihat menonjol, menyisakan jejak yang mengerikan betapa bahayanya pekerjaan itu. Ironisnya, upah yang ia terima per hari hanya Rp 20.000!

”Lebih baik mati ketika bekerja daripada tewas akibat kelaparan,” kata Nurdin. Alasan- alasan klise semacam inilah yang menjadi momok betapa sulitnya menghentikan penambangan liar batu dan pasir di Bukit Kunyit.

Wali Kota Bandar Lampung Herman HN pertengahan tahun 2010 melarang aktivitas tambang ilegal itu. Namun, kurang dari dua minggu penambangan liar ini kembali marak sampai detik ini. Pemerintah tampak tidak punya taring menghentikan aksi ini meskipun disadari itu sangat berbahaya. Perkampungan di dekat lokasi Bukit Kunyit kerap dilanda longsor ketika hujan deras tiba sebab di sekitar kawasan ini tidak lagi ada kawasan hijau untuk penyerap air.

Mangrove dibabat

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung mencatat, tidak hanya Bukit Kunyit, setidaknya ada puluhan lokasi lainnya yang mengalami nasib naas serupa. ”Dari 32 gunung dan bukit yang ada di Bandar Lampung, 23 di antaranya rusak parah dan 9 lainnya hancur,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan. Yang merepotkan, banyak pengusaha yang bermain di belakang perusakan bukit-bukit ini.

Hancurnya bukit-bukit ini mayoritas karena penambangan liar. Tidak sedikit pula akibat pembangunan rumah dan restoran mewah. Di Bukit Camang, misalnya, kini dibangun sebuah resor mewah milik pengusaha Artalyta Suryani. Padahal, bukit ini sebetulnya masuk dalam kawasan hijau yang diperuntukkan bagi resapan air.

Tidak hanya di perbukitan, kawasan pesisir di Lampung pun dirusak oleh ”tangan-tangan” manusia yang tamak, tidak memedulikan kelestarian lingkungan yang kini sangat vital di tengah kondisi ancaman perubahan iklim. Wilayah pesisir di Lampung, khususnya di bagian timur dan selatan, berubah satu per satu menjadi tambak.

LSM Mitra Bentala memperkirakan, dari sekitar 100.000 hektar bakau di Lampung, 80 persen di antaranya kini rusak. Alih fungsi menjadi tambak ditengarai sebagai pemicu utama kerusakan bakau di Lampung.

Ironisnya, pada saat gerakan kesadaran reboisasi digalakkan di seluruh Tanah Air, Lampung pada akhir tahun ini harus kehilangan lagi cadangan hutan bakau yang masih alamiah. Puluhan hektar hutan bakau di Muara Bawang, Kabupaten Pesawaran, dibabat serta disulap menjadi dua areal tambak baru.

Padahal, muara ini merupakan habitat berbagai satwa liar macam bebek rawa, belibis, dan elang laut (Haliaeetus leucogaster). Bahkan, satu-satunya muara alami tersisa di Pesawaran.

Melenyapkan desa

Kontras dengan di Pesawaran, sekelompok masyarakat di Kuala Penet dan Labuhan Maringgai, Lampung Timur, pada saat bersamaan justru gencar menentang upaya pembabatan tanaman bakau di daerahnya. Itu disebabkan warga setempat sudah lama merasakan dampak buruk dari kerusakan bakau.

Muhammad Asep (43), tokoh warga di Kuala Penet, bercerita, abrasi di kawasan Kuala Penet selama ini sudah lebih dari 500 meter. Bahkan, abrasi telah melenyapkan sebuah kawasan dusun dan bekas dermaga nelayan di Desa Margasari. Kawasan perairan kini juga penuh lumpur sehingga sulit untuk dijadikan dermaga nelayan.

Perusakan wilayah pesisir terus berlangsung masif hingga ke Bengkulu. Di Seluma, Bengkulu, penambangan pasir besi oleh perusahaan asal China menimbulkan konflik yang tidak pernah selesai dengan warga sekitar. Terakhir, enam warga ditangkap, sementara fasilitas perusahaan dirusak.

Penambangan pasir besi, berdasarkan kajian Walhi Bengkulu, mengakibatkan abrasi parah. Dalam setiap enam bulan, kegiatan penambangan pasir besi mampu mengakibatkan hilangnya wilayah di pesisir sepanjang 3 kilometer.

Entah sampai kapan persoalan-persoalan lingkungan ini akan selesai. Jika hanya mengikuti nafsu manusia, tentu itu tidak akan ada habisnya. Seperti dikatakan Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahannya.

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Desember 2010

Krakatau, Contoh Hutan Baru

Jakarta, Kompas - Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883 telah melenyapkan segala kehidupan di atasnya. Kini, sebagian pulau di bekas Gunung Krakatau telah ditumbuhi tumbuhan. Kondisi itu menjadikan Kepulauan Krakatau sebagai satu-satunya laboratorium alam pembentukan hutan tropik tanpa campur tangan manusia.

”Krakatau pantas dijadikan sebagai alam warisan dunia (natural world heritage),” kata peneliti Pusat Penelitian (P2) Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tukirin Partomihardjo, saat membacakan orasi pengukuhannya sebagai profesor riset bidang ekologi dan evolusi di Jakarta, Rabu (29/12).

Selama ini pengetahuan tentang suksesi atau pembentukan komunitas hutan alam beserta fungsi ekosistem hutan tropiknya lebih banyak didasarkan pada pengetahuan proses suksesi sekunder. Namun, Krakatau merupakan contoh suksesi primer hutan tropik karena komunitas sebelumnya hancur tanpa menyisakan apa pun dan menjadi daerah steril.

Pendataan terus-menerus Kepulauan Krakatau lebih dari 125 tahun menunjukkan, proses pembentukan ekosistem hutan tropik sangat kompleks, rumit, dan membutuhkan waktu panjang. Pembentukan komunitas hutan baru itu dipengaruhi oleh hubungan timbal balik antara tumbuhan, binatang, dan dinamika lingkungan sekitarnya, seperti kondisi gunung api, perkembangan biota yang ada, serta perubahan iklim mikro.

”Komunitas tumbuhan Krakatau masih terus berkembang dan terjadi pengayaan jenis,” kata Tukirin.

Perkembangan paling matang dan lengkap berlangsung di Pulau Rakata yang hampir tidak terpengaruh oleh letusan Gunung Anak Krakatau sejak pembentukannya. Puncak Rakata dengan tinggi 700 meter banyak ditumbuhi semak belukar. Adapun beberapa meter di bawah puncak hingga tepi pantai didominasi pohon Neonauclea calycina yang sebarannya dibantu oleh angin.

Sedikit terganggu

Perkembangan komunitas tumbuhan di Pulau Sertung dan Pulau Panjang sedikit terganggu. Ketinggian pulau yang rendah membuat pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh letusan Anak Krakatau. Bentang pulau yang relatif datar dan sempit membuat lingkungan kedua pulau juga sangat dipengaruhi oleh kondisi laut.

Adapun Pulau Anak Krakatau, sebagai pulau termuda yang muncul sekitar 1930 dan memiliki kepundan aktif setinggi 400 meter, hanya sebagian kecil daratannya yang tertutup tumbuhan. Berdasarkan data 1992, hanya 17 hektar atau 7 persen luas permukaan pulau yang tertutup tumbuhan. Abu letusan sangat memengaruhi perkembangan tumbuhan di pulau itu karena suhu abu di permukaan bisa mencapai 45 derajat celsius dan 80 derajat celsius pada kedalaman 1 meter.

Profesor riset

Selain Tukirin, pada saat bersamaan juga dikukuhkan peneliti P2 Biologi LIPI, Yohanes Purwanto, sebagai profesor riset bidang etnobotani serta peneliti P2 Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Johanis Haba, sebagai profesor riset bidang antropologi.

Dengan bertambahnya tiga profesor riset, LIPI kini memiliki 84 profesor riset. Secara nasional, dari berbagai lembaga penelitian yang ada, jumlah profesor riset menjadi 329 orang.

Kepala LIPI Lukman Hakim mengingatkan agar gelar profesor riset ini menjadi pemacu bagi peneliti untuk lebih giat melakukan penelitian, bukannya justru berhenti meneliti. Penelitian yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi masyarakat.

Terkait kesejahteraan peneliti yang rendah, Lukman mengatakan, pihaknya masih mengupayakan agar peneliti LIPI dapat memperoleh tunjangan fungsional yang memadai. Tunjangan ini diperlukan agar sumber daya unggul yang dimiliki bangsa Indonesia tidak berpindah ke negara lain serta dapat dimanfaatkan untuk terus meningkatkan daya saing bangsa. (MZW)


Sumber: Kompas/span>, Kamis, 30 Desember 2010

December 29, 2010

Film Karya Pelajar Lampung Raih Jawara

BANDAR LAMPUNG—Dunia perfilman di Lampung berkibar. Film dokumenter Pulau Teri Asin karya siswa SMKN 5 Bandar Lampung meraih juara kedua di ajang Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ) yang digelar di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, 18—19 Desember lalu.

FFPJ merupakan wadah kreativitas pelajar yang berbasis perfilman.

Selain meraih juara kedua, film yang disutradarai Chrisila Wentiasri itu juga menggondol juara favorit. Dalam kompetisi ini, anggota tim SMKN 5 Bandar Lampung yang berjumlah 8 orang mengirimkan dua film, yakni Pulau Teri Asin dan film fiksi Mukenah Untuk Emak karya Tiara Lismana Dewi. Namun, Mukenah Untuk Emak belum berhasil meraih jawara.

Salah satu anggota tim, Chrisila, mengaku bersyukur meraih prestasi tersebut. "Kami senang sekali dengan keberhasilan film kami yang memperoleh juara di tingkat nasional," kata Chrisila kepada Lampung Post, Selasa (28-12).

Chrisila menambahkan kemenangan yang diraih dalam ajang tersebut merupakan kebanggaan bagi seluruh masyarakat, khususnya pelajar di Lampung. Ia juga mengucapkan terima kasih atas dukungan yang telah diberikan dari berbagai pihak, seperti pihak sekolah, dewan guru, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, serta Dewan Kesenian Lampung (DKL).

"Kemenangan ini tidak terlepas dari dukungan orang-orang yang selalu memberikan motivasi bagi kami," ujarnya.

Sedangkan film fiksi Mukenah Untuk Emak meski belum berkesempatan menjadi juara, paling tidak kualitas produksi film siswa SMKN 5 Bandar Lampung tersebut masuk dalam 15 nominasi dari sekitar ratusan peserta yang mengikuti ajang tersebut. "Meski film yang kami buat belum menjadi juara, tapi kami belajar dan mendapatkan pengalaman untuk bisa berbuat lebih baik lagi," kata Tiara.

Sementara itu, dua perwakilan siswa SMKN 5 Bandar Lampung, yang juga berperan besar dalam meraih prestasi di FFPJ, Rahmawati dan M. Ody Saputra, mengatakan merasa senang dan sangat bersyukur dengan raihan prestasi tersebut. Meski awalnya tidak menyangka bisa menjadi juara, mereka mengaku sangat termotivasi untuk dapat memberikan yang terbaik pada ajang tersebut. "Senang banget, karena kami tidak menyangka sebelumya," kata Ody.

Ody menjelaskan pengetahuan perfilman merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang ada di SMKN 5 Bandar Lampung. Meski baru mengenal dunia film sejak satu tahun silam, dia mengaku sudah merasa begitu menikmati bidang tersebut. "Saya baru tahu dunia perfilman ini sejak masuk sekolah ini (SMKN 5, red)," ujar siswa kelas II ini.

Sedangkan Rahmawati menuturkan atas prestasi yang diraih tersebut, banyak pihak yang telah memberikan dukungan baik moril dan materil, seperti Pemprov Lampung, DKL, Dinas Pendidikan serta pihak sekolah SMKN 5 Bandar Lampung. "Ya banyak sih dukungannya. Mereka rata-rata memberikan dana pembinaan. Mudah-mudahan kami bisa terus semakin berprestasi," kata Rahmawati. (MG18/L-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Desember 2010

December 26, 2010

[Perjalanan] Mengarak Pengantin dengan Gajah

PROSESI pernikahan menjadi momen terbaik untuk memelihara adat dan mengekspresikan keinginan. Pasangan Maya dan Arvand memadukan prosesi adat Lampung dengan menampilkan ikon-ikan Lampung pada acara resepsi pernikahan mereka, Senin (6-12) di Taman Bumi Kedaton.

Tetabuhan seredapan (musik tabuh tradisional Lampung) menelusup dan memenuhi udara Taman Rekreasi Bumi Kedaton di bilangan Sukadanaham, Bandar Lampung, Senin (6-12) pagi. Suara yang berpadu dengan teriakan aneka satwa, kicau sejumlah burung, gemericik air mengalir di kali, dan desah daun-daun rimbun bergesek menjadi orkestra etnik nan apik. Suasana kampung menjadi seperti “masa kerajaan Lampung” yang lahir kembali.

Arak-arakan orang dengan pakaian adat Lampung yang didominasi warna hitam-merah bertabur warna emas membuka karnaval pengantin yang akan segera memasuki pelaminan. Atraksi pencak silat dari pendekar-pendekar Lampung menunjukkan kepiawaiannya memainkan berbagai senjata tajam dan jurus-jurus cantiknya. Beberapa penari dengan kostum dekoratif memakai topeng juga ikut mengiringi.

Sepasang gajah Lampung turut menjadi peserta pawai. Di belakangnya, kereta kuda dengan kusir dan “navigator” yang berbaju adat menghela langkah kuda seirama dengan laju rombongan pejalan kaki. Di belakang kusir, dua sejoli Maya dan Arvand, pengantin yang baru saja melaksanakan akad nikah di Masjid Masjid Mush’ ab Bin Umair di kompleks taman itu bertahta. Senyum manis terus mengembang. Sesekali mata mereka saling bertatapan dan dipungkasi dengan senyum kebahagiaan.

Pada urutan berikutnya, kafilah keluarga, ada yang berpakaian adat dan ada yang berkostum pesta, dengan sabar dan takzim mengikuti. Wajah-wajah semringah orang-orang dekat dan kerabat seolah memanjatkan doa, kiranya pasangan pengantin baru ini bahagia selamanya.

Acara arak pengantin ini cukup menyita perhatian tamu undangan dan pengunjung yang hadir di Taman Satwa dan Wisata Bumi Kedaton. Robby Ahmad, wedding organizer perhelatan itu, arak-arakan tersebut sengaja dibuat untuk memberikan kesan yang berbeda baik untuk kedua pengantin maupun tamu undangan yang hadir. ”Mempelai menginginkan tema our wedding is your refreshing. Jadi kami coba untuk memberikan nuansa liburan dalam resepsi ini. Kami memilih Bumi Kedaton sebagai tempat resepsinya dan menggunakan gajah sebagai ikon hiburan di sini yang juga merupakan ikon Lampung,” kata dia di sela acara.

Deddy Setya H., pengelola Bumi Kedaton, mengatakan pihaknya merasa senang dengan konsep resepsi tersebut. Gajah yang merupakan hewan unggulan yang ada di Bumi Kedaton bukan hanya dapat menghibur pengunjung yang hadir, melainkan juga bisa digunakan untuk mengarak pengantin sehingga perayaan acara bertambah semarak.

Selain gajah, hewan-hewan lainnya seperti harimau sumatera, onta, rusa, buaya, beruang, siamang, landak, binturung, cendrawasih, ular dan masih banyak lagi jenis hewan lainnya dapat menjadi pengetahuan dan hiburan bagi pengunjung.

Sejak awal dibukanya Bumi Kedaton Resort memang menyiapkan berbagai macam fasilitas, selain kebun binatang, seperti cottage, ruang pertemuan, restoran, kolam renang, bioskop mini, kolam pemancingan, bumi perkemahan, outbound, kano, water ball, mobil wisata, mandi sungai dan lain lain , sehingga para tamu yang datang akan merasa senang dan puas, menikmati atas kelengkapan fasilitas serta pelayanan yang diberikan karyawan yang ditugaskan. (M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Desember 2010

Menjadikan Sederhana, Bukan Hal Sederhana

Oleh S.W. Teofani


MEMBUAT segala sesuatu menjadi sederhana dan mudah diterima bukanlah pekerjaan yang sederhana. Butuh kejelian dan kematangan menguasai hal-hal yang tidak sederhana. Di zaman serbasulit kesederhanaan menjadi “barang mewah” yang tak mudah mendapatkannya. Sehingga tidak lagi dikatakan langkah sederhana.

Mengungkai kesederhanaan dengan upaya yang tidak sederhana, mungkin itulah yang sedang dilakukan Komunitas Berkat Yakin (Kober). Komunitas yang diasuh Ari Pahala Hutabarat ini, beberapa bulan terakhir (mulai Juni 2010), concern menggarap mikroteater, sebagai terobosan untuk menggairahkan kembali dunia perteateran di Lampung.

Pertunjukan teater yang semula identik dengan banyaknya pemain, lamanya durasi pementasan, dan rumitnya jalan cerita, “disederhanakan” menjadi pementasan yang lebih singkat; durasi antara 5—20 menit, dengan sedikitnya aktor, bahkan dapat dilakukan dengan seorang saja (monolog), tanpa mengurangi pesan cerita, bobot teatrikal, dan estetika pementasan.

Sekali lagi, ini bukan pekerjaan sederhana. Butuh kekuatan dari masing-masing komponen, terutama aktor, untuk membetot perhatian penonton menyimak pesan yang disampaikannya. Seorang aktor yang memainkan lakon dalam mikroteater ditutut untuk seefisien mungkin melakukan gerak, ekspresi, juga improvisasi. Segala hal yang ditampilkan harus mewakili pesan, tidak ada hal-hal “mubazir” dalam mikroteater. Kesalahan kecil saja yang diperbuat aktor dalam mikroteater, akan mencederai pertunjukan. Tapi jika sang aktor bisa mermain all out, akan menjadi `restasi dengan bobot berlipat, karena mampu berbuat maksimal dengan personel yang minim. Butuh kesungguhan dan kemampuan akting mumpuni bagi aktor mikroteater.

Begitu pun aksesori panggung. Setiap yang tertangkap mata wajib benda-benda yang mewakili tujuan mementasan. Tak ada “lemak” pada “tubuh” mikroteater. Inilah kerja menuju sederhana yang tidak sederhana itu. Butuh keseriusan dan konsistensi bagi setiap kru mikroteater.

Ini telah ditunjukan oleh aktor-aktor Kober dalam empat kali pementasan yang dilakukan pada November—Desember 2010, di tempat berbeda. Diawali dari pementasan di “rumah sendiri”, di UKMBS Unila, Kober mementaskan lakon Tua, apresiasi dari cerpen Putu Wijaya, diperankan Eka Yulianti. Lalu Kehendak Menjadi Hening, yang mengapresiasi puisi Aripahala Hutabaratm, diaktori Arya Wunanda; dan Hati yang Meracau, karya Edgar Allan Poem, dengan aktor Yulizar Fadli.

Pada pementasan kedua, di Gedung FKIP Unila, dan ketiga, di Umitra, dipentaskan lakon Tua, dengan pemeran yang sama dengan pementasan pertama, dan Bara di Hamparan Salju, karya Osman Saadi, lakon hasil improvisasi Iswadi Pratama, dipentaskan oleh Kiki Rahmatika.

Sedangkan pada pergelaran di Metro, dipentaskan Tua, Bara di di Hamparan Salju, dan Hati yang Meracau. Untuk pementasan keempat, di UML, pada Kamis (24-11), ditampilkan Kehendak Menjadi Hening, Bara di Hamparan Salju, dan Merdeka, karya Putu Wijaya, yang dimainkan Ahmad Thohamudin. Pementasan akan terus berlangsung di 13 kota/kabupaten hingga Oktober 2011, dengan 50 kali pementasan.

Dari empat kali pementasan ini bisa menjadi ukuran kebeberhasilan awal aktor Kober atas “uji coba” mikroteater di Lampung.

Sebagai contoh Bara di Tengah Salju, dilakonkan Kiki Rahmatika, yang memerankan tokoh Aisyah. Kekuatan akting Kiki, diimbangi aksesori panggung yang mendukung (tetap dengan konsep efisien-efektif), pementasan ini mampu menyedot emosi penonton. Menyimak pertunjukan ini seperti benar-benar menyaksikan Aisyah, gadis Aljazair di masa perang, yang sendirian di tengah hutan pada musim salju. Gadis malang itu menjadi gundah saat suara gemuruh pesawat pengintai tentara Prancis mendekat. Dia sekuat tenaga menghindarinya, terseok-seok di antara tebalnya salju dengan hawa dingin menusuk tulang. Deritanya belum tunai, karena pamannya, Sya’i, akhirnya syahid diberondong tentara Prancis. Gadis itu pun menyelamatkan diri di tempat persembunyiuan, dalam dingin salju dan cekam ketakutan setiap mendengar gemuruh pesawat tentara Prancis yang mengincarnya.

Sepanjang pertunjungan Bara di Hamparan Salju, penonton akan terbawa ke negeri yang jauh, dengan kekejaman tentara Prancis yang diekspresikan dengan tandas oleh Kiki. Meskipun dengan konsep efisian, tatanan panggung mampu menampilkan ganasnya musim salju, suara deru pesawat diimbangi ekspresi ketakuatan Aisyah membawa kita menyelam pada kejahatan perang, khususnya bagi perempuan.

Monolog Aisyah tentang kekejaman tentara Prancis, kehilangannya keluarga, derita trauma perang, lenyanya sang kekasih, membawa kita sampai pada keinsyafan bahwa di negeri lain, di tanah yang jauh itu, kemerdekaan sangat mahal. Seluruh cerita membawa penonton pada cekam kengerian perang yang dipuncaki dengan rebahnya gadis Aisyah hingga terkubur salju, membiarkan air duka kita meleleh. Kiki mampu memerankan Aisyah dengan apik, yang membuat kita ingin menyaksikannya lagi.

Lain Kiki, lain pula Eka Yulianti, yang berakting pada lakon Tua, karya Putu Wijaya. Diawali dengan pemandangan sosok nenek sedang duduk di kursi, yang dengan susah payah, karena matanya yang telah rabun, menjahit tangan pakaian. Kesenyapan yang terbangun memelantingkan kita pada sunyi hari tua yang mencemaskan. Dalam hening itu muncul tamu yang tidak dikenalnya, mengahadirkan ketidaknyamanan. Tamu itu mendekat, membuat sang nenek bereaksi menghindar. Tapi dia terus mendekat dan merapat, sekuat tenaga wanita tua itu menghindarinya. Dilemparkannya benda-benda yang bisa diraihnya hingga mengenai tamu asingnya. Tapi tamu itu terus mendekat dan merapat hingga merasuk ke dalam tubuh si nenek. Eka Yulianti memerankan nenek dengan piawai, dan mampu mendalami kecemasan dan ketakutan si nenek pada tamu, tamu ketuaan, yang menderanya. Penonton terbawa pada suguhan kengerian sang nenek pada teror tua yang menderanya. Pementasan ini menjadi warna lain pada perjalanan mikroteater yang tak kalah menarik.

Begitu juga lakon lain, Kehendak Menjadi Hening dan Merdeka, yang dipentaskan dengan durasi singkat, tapi mampu mendedah ruang kosong diri penonton.

Pementasan awal dari rencana panjang ini menjadi gambaran “keberhasilan” terobosan yang mampu dilakukan mikroteater. Dengan jumlah penonton yang selalu memenuhi ruangan, bisa menjadi ukuran bahwa “uji coba” dan kerja-kerja cerdas ini diterima. Dengan banyaknya jam terbang yang akan mereka jalani, pasti akan menghibahkan banyak pelajaran baru juga kematangan bertakting.

Terlalu sayang bagi penyuka teater melewatkan pentas-pentas selanjutnya yang akan mendedah keheningan dunia perteateran Lampung. Langkah berani ini dapat menjadi hadiah indah di ujung tahun bagi dunia perteateran kita. Selamat berkreasi, selamat menyaksikan.

S.W. Teofani
, Cerpenis, tinggal di Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Desember 2010

December 23, 2010

Evaluasi 2010: Warga Pun Diperdayai La Nina

-- Yulvianus Harjono

TAHUN 2010 memiliki salah satu catatan menonjol. Apalagi kalau bukan soal iklim. Cuaca ekstrem yang nyaris terjadi di sepanjang tahun ini telah memberi dampak buruk pada hampir semua sektor dan sendi perekonomian di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di Provinsi Lampung.

Puluhan kapal milik nelayan ditambatkan berjajar di sebuah sungai di Teluk Betung, Lampung, Selasa (21/12). Sebagian besar nelayan kini masih tidak melaut akibat cuaca ekstrem. Anomali iklim La Nina memukul berbagai sektor perekonomian rakyat, termasuk perikanan tangkap. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Curah hujan tinggi yang dipicu fenomena iklim La Nina sepanjang tahun ini berdampak luar biasa. Masyarakat kecil macam nelayan, petani, dan pedagang satu per satu menjerit. Pendapatan mereka berkurang drastis akibat pengaruh cuaca tidak menentu.

Seperti terlihat Selasa (21/12), aktivitas di Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Lempasing, Teluk Betung, Lampung, sangat sepi. Hanya segelintir nelayan dan pedagang yang melakukan aktivitas bongkar-muat ikan hasil tangkapan.

Padahal, seperti diungkapkan Taufik (26), buruh angkut di Lempasing, sebelumnya, aktivitas di PPI terpadat di Bandar Lampung ini nyaris tak pernah berhenti sejak dini hari hingga siang dan sore hari.

”Sekarang memang lagi sepi. Banyak nelayan yang tidak ke laut. Katanya, angin kencang dan gelombang tinggi. Padahal, tahun-tahun lalu masih banyak yang melaut,” ujar Taufik mengungkapkan kondisi aktivitas perikanan tangkap di kawasan Teluk Betung saat ini.

Kata Aliman (42), nelayan bubu rajungan, hampir sepanjang tahun ini sering terjadi cuaca ekstrem. Tak hanya di mu- sim angin barat, seperti bulan- bulan sekarang. ”Angin tambeng (kencang) sering terjadi. Betul- betul beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Cuaca sekarang ini sulit diprediksi,” ujarnya.

Akibatnya, beberapa bulan terakhir ini, diakuinya, hasil tangkapan berkurang drastis. Jika dahulu tiap jaring bisa mendapatkan ikan rajungan 20 kg, kini hanya separuhnya, 10 kg.

Cuaca yang sering tidak bersahabat juga dikeluhkan para perajin di sentra ikan teri di Pulau Pasaran, Bandar Lampung. Ratnasari (26), salah seorang produsen pengolah ikan asin, mengungkapkan, nelayan saat ini tidak lagi mudah mengamati gejala-gejala alam waktu yang tepat menangkap ikan.

”Dulu, kalau saat terang bulan (purnama), kan, sulit cari ikan. Sekarang malah kadang ada. Yang anehnya, wayah (saat)-nya di luar terang bulan, malah sulit dapat,” ujar Ratnasari yang sering memesan ikan-ikan tangkapan para nelayan bagan untuk diolah sebagai ikan asin.

Harga ikan naik

Aktivitas di sentra pengolahan ikan asin dan ikan teri ini beberapa bulan terakhir tampak lesu. Hanya segelintir warga yang melakukan pengolahan dan menjemur ikan asin. Ratusan ayakan untuk menjemur ikan teri dan ikan asin dibiarkan bertumpuk, menganggur.

Kondisi ini disebabkan pasokan ikan dari nelayan bagan berkurang drastis. Ratnasari mengatakan, jika biasanya saat ramai dalam sehari ia bisa mendapat pasokan 3-5 kuintal ikan teri, kini dalam beberapa hari terakhir turun menjadi kurang dari 2 kuintal.

Akibatnya pula, harga jual ikan di sejumlah pasar di Lampung kini melonjak drastis. Di Pasar Tamin, Bandar Lampung, misalnya, harga ikan dan hasil laut hampir semuanya naik rata-rata 15 persen. Ikan bawal, misalnya, kini Rp 50.000 dari sebelumnya Rp 45.000 per kg. Kenaikan harga juga terjadi pada ikan kakap, tenggiri, rajungan, selar, dan udang.

Ketahanan pangan

Cuaca ekstrem terus-menerus juga mengancam ketahanan pangan, atau setidaknya mengakibatkan gangguan ketersediaan beras sebagai bahan pokok. Produksi beras di Lampung turun setidaknya 2 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Kini produksi beras di Lampung hanya 2,62 juta ton. Sementara tahun 2009 sebanyak 2,7 juta ton.

Lebih parah lagi, banjir juga terjadi di berbagai tempat dan menimpa ribuan hektar tanaman padi di sejumlah sentra padi, antara lain di Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Lampung Tengah.

Uniknya, banjir ini pun datang tak kenal waktu. Tak hanya terjadi pada musim hujan, tetapi juga pada musim yang mestinya adalah kemarau, seperti bulan Juni-Juli. Karena curah hujan yang tinggi di sepanjang tahun, gabah-gabah pun semakin sulit dikeringkan menjadi padi yang berkualitas terbaik.

Kondisi ini menjadi peringatan dini terhadap ketahanan pangan di Lampung. Gubernur Lampung Sjachroedin ZP beberapa waktu lalu mengadakan rapat khusus untuk membahas soal ketahanan pangan ini.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung Made Suwetja pun mengusulkan agar masyarakat Lampung mulai mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok. ”Pemprov kini tengah menggencarkan diversifikasi makanan pokok pengganti beras, seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian lain,” ujarnya.

Ternyata, seperti yang dikhawatirkan, beras akhir-akhir ini seolah langka di pasaran. Harganya melonjak hingga menembus batas ketidakwajaran. Per 7 Desember, misalnya, harga beras untuk kualitas asalan di berbagai pasar di Kota Bandar Lampung mencapai 7.500 per kg. Naik hampir 30 persen dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Bahkan, harga beras kualitas super mencapai Rp 11.500 per kg.

Hal-hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya sekalipun saat menjelang Lebaran. ”Baru tahun ini harganya bisa seperti ini. Tahun lalu gak pernah segila ini,” kata Heni, pedagang di Pasar Smep, Bandar Lampung.

Komoditas andalan

Tidak hanya kebutuhan pokok, cuaca ekstrem juga ikut memengaruhi produksi komoditas-komoditas andalan asal Lampung. Produksi karet, kakao, dan kopi anjlok sepanjang tahun ini. Penyakit busuk buah yang dipicu jamur mewabah, menyerang tanaman kakao dan kopi.

Volume ekspor kopi ikutan anjlok, yaitu 36 persen dibandingkan dengan tahun 2009. Dari sebelumnya 237.054 ton kini hanya 151.324 ton per Agustus 2010. Penyakit-penyakit pada tanaman, termasuk busuk buah, muncul karena kelembaban yang tinggi dampak dari hujan terus-menerus.

Sejumlah catatan-catatan khusus yang terjadi sepanjang tahun ini menunjukkan bahwa alam sama sekali tidak bisa pernah ditundukkan manusia. Yang hanya bisa kita lakukan hanyalah mengantisipasi dan beradaptasi, termasuk pada tahun 2011.

Sumber: Kompas, Kamis, 23 Desember 2010

December 22, 2010

Perpustakaan: Masyarakat Lampung Kurang Suka Membaca

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Budaya masyarakat Lampung yang tidak suka membaca ditambah daya beli buku yang rendah menghambat kemajuan sumber daya manusia. Padahal bangsa-bangsa lain sudah ditanamkan budaya membaca sejak kanak-kanak.

"Tidak gemar membaca, budaya beli buku yang rendah, itu berdampak kepada rendahnya sumber daya manusia. Kita juga banyak juara pelajar, itu pasti gemar membaca," kata Kepala Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Daerah Mahyuddin saat menjadi pembicara sosialisasi Undang-Undang Perpustakaan beberapa waktu lalu di Gedung PKK Provinsi Lampung.

Menurut Mahyuddin, UUD 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan kehidupan dan memajukan kebudayaan nasional. Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan juga mengamanatkan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan.

"Pemerintah berkewajiban menjamin penyelenggaraan perpustakaan di daerah dan dikelola sesuai standar nasional perpustakaan. Ini untuk mencapai sasaran perpustakaan nasional dan meningkatkan minat dan budaya gemar membaca. Punya uang sepuluh ribu saja orang lebih memilih beli pulsa ketimbang buku, padahal banyak buku yang murah dan bermafaat," kata Mahyuddin.

Dia menjelaskan Perpustakaan Lampung saat ini memiliki 13.500 buku.

Beberapa kabupaten juga mulai membangun perpustakaan. Di Lampung Tengah terdapat 74 desa yang mendapat bantuan seribu eksemplar buku setiap perpustakaan desa. Untuk itu, dia mengajak seluruh masyarakat Lampung gemar membaca dan membeli buku.

"Bangsa-bangsa yang maju membiasakan anak-anak membaca buku yang tebal dan besar, tapi disesuaikan isinya dengan gambar-gambar dan angka-angka yang huruf baca yang besar. Meningkat pada jenjang pendidikan selanjutnya tetap tebal, tapi huruf bacanya mulai mengecil begitu seterusnya. Lihat anak-anak kita, justru tidak suka dengan buku-buku besar," katanya. n JUN/S-2

Sumber: Lampung Post, Rabu, 22 Desember 2010

Kober Gelar Workshop dan Pentas Mikroteater

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komunitas Berkat Yakin (Kober) bekerja sama dengan Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL) menggelar Workshop dan Pementasan Mikro Teater di Universitas Muhammadyah Lampung (UML), Kamis (23-12).

Dalam rilis yang diterima Lampost (22-12), Iskandar Gb, penggiat Kober mengatakan workshop tersebut bertujuan mengembangkan sastra dan teater di ranah Lampung.

"workshop dan pementasan tersebut adalah program lanjutan untuk memenuhi 50 workshop (pelatihan) dan pementasan mikro di 50 tempat di seluruh Lampung yang sudah dimulai sejak pertengahan 2010 lalu," ujar Iskandar dalam rilisnya.

Iskandar menjelaskan kober mencoba menjadi katalisator bagi para pelajar dan mahasiswa agar kembali kreatif, mampu mengungkapkan ide dan gagasannya melalui teater dan sastra sebagai media ekspresi.

Workshop dan pementasan memungkinkan seluruh siswa dan mahasiswa terlibat pada berbagai aktivitas seni di Lampung, yang gairahnya semakin lama semakin surut, jelas Iskandar.

Dengan adanya pelatihan dan pementasan ini diharapkan mampu menggairahkan "kehidupan" teater di Lampung, ujar Iskandar.

Pertunjukkan teater mikro di pilih Kober untuk mengatasi minimnya pementasan teater di Lampung, dan juga mengatasi keterbatasan bahwa teater juga bisa dipentaskan dengan dukungan dan fasilitas sederhana seperti di aula sekolah atau ruang kelas.

Kober selama ini telah menggelar teater mikro di SMA-SMA, Perguruan Tinggi, dengan tujuan memasyarakatkan teater.

Kober memilih teater mikro Karena dengan pertimbangan durasi pertunjukkan kurang lebih hanya 5-20 menit. Waktu tersebut memungkinkan setiap pelaku teater bisa mempersiapkan pementasannya dengan lebih baik dan lebih sederhana daripada harus menggarap drama dengan waktu yang panjang.

"Meski pertunjukan pendek tetap saja harus presisif, terukur, dan keren ," ujar Iskandar. (MG-17/K-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 22 Desember 2010

December 19, 2010

Sastra Lampung Bukan Sastra Lisan

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

TAJUK tulisan di atas ingin menafikan pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan (oral literature). Dari jurusan sebaliknya, tajuk tadi sekaligus ingin menandaskan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Pandangan yang mengatakan bahwa sastra Lampung klasik adalah sastra lisan mencerminkan sikap bias, ketidakjelian sekaligus kerancuan di dalam mengklasifikasikan sastra Lampung klasik karena telah mengacaukannya dengan bentuk metode penyebaran yang terpakai oleh sastra Lampung klasik, yaitu berupa deklamasi dan/atau baca puisi (poetry reading) serta mendongeng. Sambil lalu, perlu dibedakan bahwa di dalam deklamasi, sang pewarah (juru cerita) wajib menghafal karya sastra yang akan dituturkan, sementara di dalam baca puisi sang pewarah cukup membacakannya tanpa perlu menghafalnya. Di dalam mendongeng, sang pendongeng biasanya juga telah menghafal isi warahan atau dongengannnya.

Demikianlah, pada dirinya sendiri sastra Lampung klasik adalah sastra tulis. Artinya, karya sastra itu dituliskan terlebih dulu, baru kemudian dideklamasikan (jika bentuknya puisi) dan/atau didongengkan (jika bentuknya prosa). Dalam hal ini, deklamasi atau pendongengan itu merupakan metode penyebarannya. Karya sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis itu adalah satu hal, dan deklamasi atau pendongengan adalah hal yang lain lagi. Keduanya mesti dibedakan. Yang pertama merupakan jenis sastra, sedangkan yang kedua merupakan metode penyebaran.

Baik jenis sastra maupun metode penyebaran itu masing-masing merupakan seni yang mandiri (otonom). Sebagai sastra tulis, sastra Lampung klasik memiliki aturan tersendiri, dan sastra tulis Lampung yang baik tentu akan memiliki kekuatannya sendiri. Sebutlah, kekuatan teks. Teks bisa dibaca dan dikaji oleh orang di tempat yang jauh dari penulisnya, tanpa menonton secara langsung seni pertunjukannya. Penelitian Petrus Voorheove atas tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tiba pada simpulan bahwa sebagai suatu karya seni tetimbai Si Dayang Rindu terbilang unggul untuk tradisi rakyat akhir abad ke-19. Itulah bukti kekuatan teks.

Demikian pula deklamasi atau pendongengan sastra Lampung adalah seni yang mandiri, memiliki aturan tersendiri, dan penuturan yang bagus tentu akan memiliki kekuatan tersendiri pula. Deklamasi atau pendongengan adalah suatu seni pertunjukan (performing art). Sebuah seni pertunjukan yang bagus dari sang pewarah tentu akan membawa hanyut para penontonnya dan mengundang decak kagum disebabkan kepiawaian bertutur sang pewarah. Sang pewarah yang piawai bukan saja telah memahami karya sastra yang akan dituturkannya, melainkan juga memiliki keterampilan teknis di dalam penuturannya baik dalam segi vokal maupun interaksinya dengan penonton. Masnuna sang maestro dadi, misalnya, perlu berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara membenamkan wajahnya ke dalam air sembari melafal doa. Olahrasa dan olahraga itu membuatnya mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian nafas panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

Sungguh pun demikian, keduanya—jenis dan metode penyebaran—taklah terpisahkan. Di samping kekuatan teks, kekuatan sastra tradisional Lampung juga terletak pada aspek penuturannya. Tidak mengherankan apabila sastra tradisional sering identik dengan seni pertunjukan tradisional.

Penelitian Andreas Teeuw juga memperlihatkan bahwa sastra Lampung adalah sastra tulis. Menurut Andreas Teeuw, dalam bukunya Khazanah Sastra Indonesia (1983), dalam garis besarnya sastra se-Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu sastra lisan, sastra tulis, dan sastra modern. Mengenai sastra lisan, dalam kebanyakan masyarakat Indonesia pada masa pramodern tidak ada bahasa tulis—atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu biasanya tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan Arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasanya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa dalam bahasa semacam itu tidak ada sastra. Sastra Dayak sebelum perang, misalnya, menurut kiraan seorang ahli sastra Dayak sebelum perang, Hans Scharer, luasnya sastra lisan yang bersifat mitos untuk suku Dayak yang ditelitinya dapat diperkirakan mengisi 40 ribu halaman cetak seandainya diterbitkan. Jadi mengisi dua ratus jilid, masing-masing dengan rerata 200 halaman pula. Dan ini hanya untuk satu suku ataupun subsuku bangsa saja.

Mengenai sastra tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relatif terbatas, dapat dibagi dalam beberapa golongan. Pertama, sastra Jawa Kuno, yang menggunakan huruf Jawa dengan abjad hanacaraka. Sastra Jawa Kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia mempunyai peranan yang khas, bukan hanya karena tuanya—mulai dari Ramayana yang diciptakan pada abad ke-9—tetapi juga oleh karena sastra itu memengaruhi sastra-sastra daerah yang kemudian secara cukup dalam dan luas. Kedua, turunan langsung atau tak langsung sastra Jawa Kuno adalah Jawa klasik, modern, atau apalah namanya, yang luar biasa kayanya. Berbagai sastra daerah lain menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan tradisi sastra Jawa Kuno–Jawa, walaupun masing-masing juga menunjukkan ciri khasnya, dalam hal ini sastra Sunda, Madura, Bali, dan Sasak, yang semuanya memakai tradisi huruf yang sama dengan sastra Jawa. Dapat ditambahkan, sastra Lampung pun agaknya terpengaruh sastra Jawa dalam hal wawancan dan gegurit (gagokhet) karena dalam sastra Jawa terdapat bentuk wawacan dan geguritan.

Ketiga, tradisi tulisan lain yang relatif independen, walau berasal dari abjad India yang sama adalah tradisi Sulawesi Selatan, dengan wakil utama sastra Bugis dan Makasar, yang juga baru sebagian kecilnya saja tersedia dalam suntingan ilmiah atau saduran populer. Misalnya, I La Galigo, sastra Bugis dalam huruf lontara gundul, yang panjangnya tidak kurang daripada enam ribu halaman, dan karenanya hingga saat ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia! Sepengetahuan penulis, I La Galigo baru diterbitkan sebanyak dua jilid dengan tebal masing-masing sekitar 500 halaman. Jilid pertama terjemahan Mohamad Salim diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin, Makasar, dan jilid kedua diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, Jakarta.

Keempat, di Sumatra tradisi tulisan pra-Islam terutama diwakili oleh masyarakat Batak, Rejang, dan Lampung, yang masing-masing menunjukkan ciri khas dalam sastranya. Batak memiliki hurufnya sendiri, Rejang memiliki aksara rencong, dan Lampung memiliki huruf ka ga nga (had Lappung). Juga Kerinci memiliki aksara incung. Dapat ditambahkan, berdasarkan Sensus tahun 1930, Lampung menduduki peringkat tertinggi dalam hal pemakaian abjad pribumi, yang tak lain adalah had Lappung itu. Ini membuktikan bahwa orang Lampung memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal tradisi tulis-menulis termasuk dalam ranah sastranya.

Kelima, datangnya tradisi tulisan huruf Arab, yang masuk Indonesia bersama dengan agama Islam, dan yang antara lain diwakili oleh sastra Melayu, Aceh, dan Minangkabau, juga di lingkungan budaya Jawa seringkali memakai tulisan Arab itu untuk sastra keagamaan dan juga untuk sastra bukan agama. Dalam masyarakat lain tulisan Arab juga dipakai bukan hanya untuk buku agama dalam bahasa Arab, tetapi pula untuk tulisan yang bermacam-macam sifatnya dalam bahasa setempat, misalnya sastra dalam bahasa Wolio, Pulau Buton, sastra dalam bahasa Ternate dan Sumbawa.

Mengenai sastra modern, sejak awal abad ke-20—atau sedikit sebelumnya—di Indonesia mulai diciptakan sastra yang biasanya disebut modern, yaitu lain dari tradisional. Namun sastra modern pun tidak lepas sama sekali, tidak putus hubungannya dengan sastra tradisi; dari berbagai segi kesinambungan dipertahankan; setidak-tidaknya dapat dikemukakan empat aspek kesinambungan itu: (1) banyak hasil sastra modern merupakan transformasi teks lama, dalam bentuk saduran, penciptaan kembali cerita lama, dan lain-lainnya, (2) penggunaan motif dan tema tradisional seringkali sangat menonjol dalam sastra modern: Sangkuriang, Malin Deman, Puti Bungsu, atau misalnya motif wayang dalam puisi Subagio Sastrowardoyo dan seterusnya; (3) dalam cerita modern seringkali terungkap dasar kebudayaan tradisional atau konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern, misalnya dalam novelet Sri Sumarah karya Umar Kayam, dalam cerita bersifat kebatinan dari Danarto, dalam puisi Darmanto Jatman, dalam Pengakuan Pariyem karya Lunis Suryadi, dan seterusnya; (4) kesinambungan jelas pula dalam gejala yang sangat populer di Indonesia, yaitu poetry reading (pembacaan puisi), di mana puisi modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai performing art (seni pertunjukan).

Dari uraian A. Teuuw di atas, sastra Lampung, termasuk ke dalam sastra tulis. Sastra Lampung ditulis dalam aksara Lampung, yang di daerah Tulangbawang disebut had Lappung. Dalam perkembangannya kemudian sastra Lampung juga dituliskan dalam aksara Latin. Manuskrip tetimbai Si Dayang Rindu, misalnya, tertulis dalam aksara Lampung. Namun, manuskrip Warahan Radin Jambat tertulis dalam aksara Latin.

Jika dibandingkan dengan aksara Jawa, Makasar, Batak dan Rejang Bengkulu, maka aksara Lampung lebih mirip dengan aksara Rejang yang disebut juga aksara Rencong. Aksara Lampung ini sebenarnya adalah aksara yang dipakai oleh masyarakat di seluruh daerah Sumatera bagian selatan sebelum masuknya pengaruh aksara Arab-Melayu dan Latin. Orang tua-tua di daerah Sumatera Selatan kadangkala menyebut aksara ini surat ulu atau ada juga yang menyebutnya surat Ugan. Besar kemungkinan aksara ini sebagaimana dicatat oleh Walker berasal dari aksara India dari zaman Sriwijaya, yaitu aksara devanagari. Lengkapnya disebut dewdatt deva nagari, yaitu aksara India yang dianggap suci.

Had Lappung yang dimaksud adalah aksara Lampung yang masih dipakai oleh orang Lampung sampai sekarang, yang merupakan perkembangan dari aksara Lampung yang lama yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Had Lappung baru telah dibakukan oleh Musyawarah Pemuka Adat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985 di Bandarlampung. Had Lappung ini dikatakan wat siwow belas kelebai surat, yang artinya terdiri dari 19 ibu huruf. Di lingkungan masyarakat berdialek O sebagaimana berlaku di daerah Tulangbawang, had Lappung itu ada 20 kelabai, karena ditambah dengan satu huruf lagi yaitu berbunyi gha. Adapun abjad aksara Lampung sebanyak 20 huruf itu berbunyi ka ga nga pa ba ma ta dan na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha.

Bagaimana dengan dugaan atau pendapat yang mengatakan bahwa sastra Lampung adalah sastra lisan, bukan sastra tulis, mengingat selalu ditampilkan dalam bentuk poetry reading (pembacaan puisi) atau sastra/teater tutur? Mengikuti uraian A. Teeuw di atas, pada dasarnya sastra Lampung adalah sastra tulis. Mengenai gejala poetry reading atau sastra/teater tutur, itu merupakan tampilan sastra Lampung sebagai seni pertunjukan. Artinya, sastra Lampung bukan sastra lisan, melainkan dituliskan terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan poetry reading. Poetry reading atau sastra/teater tutur ini agaknya merupakan suatu metode penyebaran sastra kepada masyarakat luas dan merupakan seni yang mandiri (otonom) di dalam sastra tradisional. Penyair tradisional (Lampung) bukan hanya menuangkan karya sastranya dalam wujud sastra tulis, tetapi juga menampilkannya dalam wujud seni pertunjukan (performing art).

Dalam makalahnya "Identifikasi Kesenian Daerah Lampung" yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Lampung dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-22 dan Wisuda Sarjana Universitas Lampung pada 3 Oktober 1987, Dailami Zain dan Razi Arifin menulis, "Orang Lampung mengenal teater tutur yang tersebar di seluruh Lampung dengan namanya masing-masing. Teater tutur ialah bentuk teater tradisional yang menyampaikan atau memaparkan sastra lisan kepada penonton/pendengarnya. Cara penyampaiannya diungkapkan dengan nyanyian atau dituturkan lewat bahasa berirama (basi jobang, dang deria, warahan, macopat, sendirilik, lamut, pantun sunda). Teater tutur ini umumnya bersifat hiburan dan edukatif." (Vademikum Direktorat Kesenian, Jakarta, 1984).

Definisi teater tutur di atas tidak sepenuhnya tepat bila dikaitkan dengan sastra Lampung. Meskipun dalam metode penyebarannya sastra Lampung dituturkan, sastra Lampung bukanlah sastra lisan, melainkan sastra tulis. Baru kemudian sastra tulis itu dituturkan. Bahwa terdapat juga penyair Lampung yang tidak pernah menuliskan karyanya melainkan menghafalnya dan kemudian menuturkannya seperti terjadi pada Masnuna, hal tersebut bersifat kasuistis; bukan jenis umum dari sastra Lampung klasik yang berupa sastra tulis. Tradisi tulis yang dilakukan oleh para sastrawan Lampung klasik pada zaman dulu, sehingga membuahkan sastra tulis, adalah sesuatu yang sudah tepat pada jalurnya (on the track). Ke depan, tradisi tulis dalam sastra Lampung klasik mesti tetap dipertahankan karena akan sangat membantu dalam penyelamatan (konservasi) sastra Lampung klasik. Bagaimanapun juga, sastra tulis lebih praktis dan lebih awet.

Nama teater tutur orang Lampung antara lain ringget, ngadio, pisaan, wawancan, kitapun, warahan, bandung, tangis, dan mardinei. Sejak sebelum memasuki pertengahan abad ke-17, masyarakat Lampung kuno telah mengenal seni pertunjukan sastra. Misalnya dalam acara jaga damar, yaitu acara muda-mudi di suatu perhelatan perkawinan. Muda-muda saling menawarkan antara yang satu dan yang lainnya untuk menerka teka-teki lewat pantun-pantun, di samping untuk tujuan-tujuan tertentu. Juga dalam musyawarah para pemuka masyarakat adat yang kerap menggunakan kata sindiran dengan pepatah yang diungkap dengan kata-kata indah dan mengandung arti yang mendalam. Konon pula, seni pertunjukan Warahan Radin Jambat bisa memakan waktu bermalam-malam disebabkan begitu panjangnya cerita yang dituturkan.

Gejala yang sama juga terjadi pada sastra modern, di mana sastra modern berlaku dalam rangka tradisional yakni sastra sebagai seni pertunjukan (performing art).

Iwan Nurdaya-Djafar
, budayawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Desember 2010

[Perjalanan] Atmosfer Bahari Festival Teluk Semaka

PADA 23 November 2010, masyarakat Tanggamus Bumi Begawi Jejama menggelar pesta rakyat bertajuk Festival Teluk Semaka (FTS) ke-III. Kemeriahan dalam atmosfer bahari nan eksotis menjadi warna utama.

Event pariwisata ini diawali upacara adat pemberian gelar adat (adok) Masyarakat Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Kabupaten Tanggamus. Bupati Bambang Kurniawan mendapat gelar Suntan Pangeran Mangku Negara (Pemangku Tanggamus I) dan istrinya, Dewi Handjani, mendapat adok Khatu Permaisuri Mangku Negara.

Berbagai perlombaan dan pertunjukkan kesenian digelar dan ditampilkan pada FTS III ini. Seperti lomba cipta lagu pop daerah, lomba tari kreasi, lomba lagu klasik Lampung, festival musik band, lintas alam, lomba cipta piusi, menanam bibit pohon, gitar klasik, lomba mewarnai, pawai budaya dan upacara adat ruwatan laut (ngumbay lawok) Teluk Semaka. Seluruh kecamatan ikut serta.

Dari sekian banyak rangkaian kegiatan FTS III ini, lagi-lagi kegiatan ngumbay lawok paling banyak menyedot masyarakat untuk menyaksikannya.

Agenda budaya masyarakat Tanggamus itu bukan sekadar menjual kemeriahan. Daya dukung potensi bahari Tanggamus memang luar biasa.

Jika sore menjelang, sinar matahari berwarna kuning memerah keemasan mulai terlihat di ufuk barat menampilkan kilauan gilang cemerlang di pesir pantai Teluk Semaka di Kecamatan Kotaagung. Angin mulai berbelok arah dari darat untuk bersiap mengantarkan para nelayan yang sebentar lagi siap melepas tali dan mengarungi laut yang penuh harapan.

Di sebelah timur, tampak gundukan Pulau Tabuan dan tampak pula samar-samar deretan Tanjung Cina di Sebelah Barat, di mana terbentang hutan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan. Di selatan, Gunung Tanggamus terlihat kokoh dan angkuh menyongsong sang bagaskara kembali ke peraduannya. Puncak Tanggamus tampak berkilau keperak-perakan dengan selimut mega putih menyelimutinya. Kicauan burung camara terdengar riuh-rendah di antara tiang-tiang tinggi kapal nelayan dan kapal supertanker di perairan Teluk Semaka.

Hanya saja, menit-menit tenggelamnya matahari ini tidak bisa dinikmati secara langsung dan utuh karena terhalang gundukan perbukitan Bukit Barisan selatan di sebelah barat. Hanya pesona pancaran yang semburat memerah dan siluet yang tercipta saja yang dapat dinikmati. Terutama di bagian utara, cakrawala laut dan langit mulai semburat memerah jingga.

Menyusuri tepian Teluk Semaka, tersimpan sejuta makna kehidupan tentang kejujuran alam. Seperti matahari yang tidak akan pernah lupa kembali keperaduannya di Barat. Di kejauhan, tampak hiruk-pikuk aktivitas pelabuhan Kotaagung. Beberapa kapal supertanker dan kapal tandu serta kapal-kapal nelayan mulai berkelap-kelip menyalakan lampu. Mirip ribuan kunang-kunang di hamparan padang nan mahaluas.

Pukul 17.30, angin berembus tidak terlalu kencang. Matahari pun masih tampak bulat sempurna di barat. Sinarnya tak terlalu menyengat. Anak-anak pun masih asyik bermain-main di tepian teluk ini. Ada yang bermain-main di atas perahu jukung yang diparkir para nelayan, ada yang berenang-renang ke sana-kemari dan bermain-main dengan percikan air laut

Teluk Semaka, sebuah pesona hamparan perairan yang menyimpan berjuta potensi hayati di dalamnya, salah satunya adalah terumbu karang. Terumbu karang dengan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya diidentifikasikan sebagai sumber daya yang memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, dan menyediakan cadangan sumber plasma nutfah. Sayangnya, kegiatan illegal fishing berupa pengeboman dan penggunaan potassium, membuat terumbu karang rusak parah dan sejumlah ikan mulai langka.

Kaki pun terus melangkah, menenggelamkan segala kelam dalam malam di tepian Teluk Semaka nan memesona. (SAYUTI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Desember 2010

Buku: Karya Peserta Kemah Sastra Diterbitkan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Harian umum Lampung Post akan menerbitkan berbagai karya sastra yang ditulis peserta Kemah Bahasa dan Sastra (KBS) pelajar SMA se-Provinsi Lampung.

Dalam evaluasi kegiatan KBS pertama yang juga sekaligus peluncuran laman www.kemahsastra.com yang digelar di Kafe The Coffee, Sabtu (18-12), terungkap banyak peserta yang telah menghasilkan karya sastra. Beberapa karya sastra itu di antaranya cerpen Bakso Ajaib karya Rahmad, pelajar SMA Negeri 1 Gadingrejo, Pringsewu; Jaket Beludru, Aku dan Topi Jerami serta Cerita Seorang Psikopat karya Prisca Charity Worotikan, siswa SMA Xaverius Tanjungkarang. Cerpen Makan Singkong yang ditulis Bincar Rakutta Bangun dari SMA Negeri 9 Bandar Lampung. Kemudian puisi Isi Hati, Cerita Kita, serta Hal Tersulit karya Aizers Shyam dari SMA Negeri 1 Sukadana, Lampung Timur.

Seluruh karya sastra itu akan dikompilasikan menjadi sebuah buku dan akan diterbitkan pada Januari 2011. Beberapa karya peserta itu telah diunggah di laman www.kemahsastra.com serta grup di jejaring sosial Facebook.

Evaluasi sekaligus peluncuran laman dihadiri Pemimpin Redaksi Lampung Post Sabam Sinaga, Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fajar S. Roekminto, Wakil Kepala SMA Negeri 1 Gadingrejo Handriyo, dan Ketua Panitia Pelaksana KBS I Sumarno. Rencananya KBS kembali digelar pada 2011.

Dalam evaluasi itu, Fajar S. Roekminto mengatakan KBS yang paling utama adalah hasil karya dari peserta. "Tanpa ada hasil karya dari peserta, kegiatan Kemah Bahasa dan Sastra tidak ada artinya," kata Fajar.

Sabam Sinaga mengatakan Lampung Post sebagai koran yang peduli dengan pendidikan siap menerbitkan karya-karya sastra itu. "Kemah Bahasa dan Sastra hanyalah kompor. Hasilnya itulah yang paling utama. Kami siap memublikasikan karya-karya sastra ini," kata Sabam. (KIS/K-2)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Desember 2010

December 18, 2010

Kuliner: Sensasi Sate Ikan Marlin

MAKANAN sate tentunya tidak lagi asing bagi kita, penduduk Indonesia. Berbagai jenis daging, seperti sapi, kambing, kuda, ayam, hingga domba, bisa dibuat sate. Namun, apa jadinya apabila daging yang dijadikan sate adalah ikan? Apalagi jika jenis ikannya pun tidak lazim, yaitu ikan blue marlin?

Heriyanto, pegawai RM Pondok Kuring di Liwa, Lampung Barat, tengah membakar sate ikan blue marlin (tuhuk). Sate dari ikan layaran ini kini menjadi salah satu daya tarik pariwisata di Lambar, khususnya Liwa dan Krui, karena keunikannya. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Di Lampung Barat, khususnya wilayah Krui dan Liwa, sate blue marlin tidak lagi asing. Di kedua kota ini, sate ikan blue marlin atau yang biasa disebut tuhuk adalah salah satu makanan kegemaran warga.

Kedai-kedai sate tuhuk banyak ditemui di Krui dan Liwa. Salah satu kedai atau warung makan yang khusus menjual sate tuhuk adalah Pondok Kuring. Kami berkesempatan mencicipi sate tuhuk yang dijual RM Pondok Kuring di Liwa, beberapa waktu lalu.

Sate tuhuk ini memiliki rasa yang sangat unik. Saat melewati tenggorokan, rasanya sangat lembut. Tidak seperti lazimnya daging ikan lainnya, rasanya juga tidak terlalu amis. Tekstur daging ikan yang juga biasa disebut ikan layaran ini mirip ikan salmon.

Rasanya gurih dan manis. Namun, berbeda dengan jenis ikan pada umumnya, ketika dibakar, daging mentahnya tidak lengket. Daging ikan ini berwarna kemerah-merahan, mirip daging sapi. Jika belum dibakar, teksturnya liat seperti daging hewan.

Dagingnya pun tebal sehingga saat masih di dalam tusukan, rupanya tidak jauh berbeda dengan sate daging sapi super yang penuh dengan daging, tanpa lemak. ”Rasanya unik sekali. Seperti ayam, tetapi aroma rasanya lebih kuat dan gurih,” ujar Asep (34), seorang pengunjung.

Sate ikan tuhuk dibuat dari daging ikan blue marlin yang segar. Bumbunya tidak jauh berbeda dengan sate pada umumnya. Menurut Heriyanto (21), karyawan RM Pondok Kuring di Liwa, bumbu bakarnya adalah kecap, penyedap rasa dan garam, dicampur sedikit bumbu kacang.

Sate ini tidak perlu dibakar untuk waktu yang lama, cukup 15-18 menit. Jika terlalu lama dibakar, kandungan proteinnya yang sangat tinggi akan berkurang. Sate jenis ini umumnya disajikan dengan bumbu kacang.

Sangat terjangkau

Pengunjung tidak perlu merogoh kocek dalam untuk bisa menikmati sate yang hanya ada di Lampung Barat ini. Harga per porsi, terdiri dari 10 tusuk, hanya Rp 12.000. Namun, tidak setiap saat sate tuhuk ini bisa disajikan di rumah makan yang berada di Jalan Raden Intan No 109 Liwa, Lampung Barat, ini.

Menurut Yanti, pemilik RM Pondok Kuring, pada musim tertentu, misalnya angin barat, daging blue marlin sulit didapat. Sebab, nelayan umumnya takut melaut karena angin kencang. Namun, hampir sepanjang tahun, kecuali saat ombak tinggi, ikan tuhuk sebagai bahan baku masih bisa didapat.

Nelayan-nelayan di Lambar, khususnya Krui, hingga kini masih menjadikan ikan tuhuk sebagai buruan utama. Ikan tuhuk ukurannya bisa mencapai 0,5 ton. Daging segar ikan ini dihargai rata-rata Rp 25.000-Rp 27.000, tidak jauh berbeda dengan harga daging ayam segar.

Uniknya, di RM Pondok Kuring, tidak hanya sate, ikan tuhuk juga dijadikan bahan makanan lainnya, seperti sop, batagor, dan bakso. Pengunjung yang datang ke sini tidak boleh melewatkan seporsi sop ikan tuhuk yang rasanya sangat segar dan unik.

Seporsi sop ikan tuhuk harganya lebih murah, yaitu Rp 10.000, sementara batagor dan bakso Rp 6.000. Rumah makan ini buka pukul 08.00 hingga pukul 22.00. Selain di Liwa, rumah makan ini juga terdapat di Serai, Lampung Barat, dan Krui.

Ikon daerah

Di Kabupaten Lambar, ikan tuhuk telah menjadi maskot daerah. Bahkan, patung ikan tuhuk dapat ditemui di Krui. Ikan blue marlin telah menjadi ikon dan daya tarik pariwisata. Kegiatan memancing ikan dari jenis layaran ini telah menjadi daya tarik para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Kegiatan memancing ini, misalnya, biasa dilakukan di perairan Pantai Labuhan Jukung. Untuk memancing, pengunjung biasa menyewa perahu milik nelayan dengan tarif Rp 400.000-Rp 700.000 per hari.

Di sini, jika tidak ingin memancing sendiri, kita pun dapat melihat para nelayan tradisional menangkap tuhuk dengan alat seadanya. Mereka umumnya menggunakan kawil apung (pancingan) yang dipasang ikan tongkol sebagai umpan.

Kawil apung ini adalah sebuah pancing yang diikatkan pada jeriken sebagai pelampung. Jika jeriken berukuran 5 liter ini bergerak di permukaan air, berarti umpan sudah dimakan tuhuk. Untuk membawa tuhuk ke permukaan tidak mudah.

Nelayan harus menarik senar dengan sekuat tenaga hingga ke permukaan. ”Di sinilah serunya, akan muncul adu kuat perlawanan antara penangkap dan ikan,” ujar Asep yang juga pernah menyaksikan langsung bagaimana para nelayan di Krui menangkap ikan tuhuk.

Jika sudah di permukaan, ikan tuhuk yang memiliki sirip mirip layar dan sebuah tanduk panjang di mulutnya ini langdung digebuk dengan balok. Sebagian menghujamnya dengan tombak agar ikan ini tidak melukai orang. Karena keunikan itu, gambar ikan tuhuk ini juga dibatikkan di dalam seragam yang biasa dipakai para PNS di jajaran Pemkab Lambar.

(Yulvianus Harjono)

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Desember 2010

[Tanah Air] Dulu Dianggap Hama, Kini Jadi Maskot

Oleh Yulvianus Harjono

BERKAT luwak, nama kota Liwa mendunia. Hewan sejenis musang itu pun kemudian dijadikan maskot daerah. Gambarnya bertaburan di pakaian batik berwarna merah yang wajib dikenakan para pegawai negeri sipil di Lampung Barat setiap Jumat.

Kemasan kopi luwak rumahan yang dihasilkan Sukardi dengan merek Kupi Musong Liwa di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Lampung, Jumat (10/12). Perajin kopi luwak di Way Mengaku umumnya menyatakan masih kesulitan mendapatkan paten. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Tak disangka-sangka, keberadaan luwak secara alamiah itu akhirnya menjadi begitu berarti. Padahal, selama ini masyarakat Lampung Barat dan petani kopi di Liwa khususnya menganggap binatang tersebut sebagai hama.

Selain sering memakan kopi di kebun, luwak-luwak liar kerap masuk ke perkampungan dan mencuri ayam milik warga. Kebun-kebun pisang, pepaya, dan kakao pun tak luput dari hewan omnivora, pemangsa berbagai macam makanan—baik daging maupun buah-buahan—itu.

”Dulu, luwak banyak dibunuh. Biasanya pakai Timex, racun babi,” cerita Gunawan Supriadi (41), pengusaha kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, yang dihubungi pada pekan lalu.

Empat tahun terakhir, seiring menggeliatnya industri kopi luwak rumah tangga di Liwa, hewan penghasil kopi enak itu pun mendadak jadi populer dan diburu. Seekor luwak jenis musang bulan kini bisa dihargai Rp 500.000. Untuk jenis yang mulai langka, yaitu luwak binturung atau sering disebut musang pandan, harganya mencapai Rp 1 juta per ekor.

Itulah sebabnya sekarang luwak liar semakin jarang ditemui di Lampung Barat. ”Saya juga sudah jarang menemui kotoran luwak di kebun-kebun,” ujar Burzan Barnau (45), petani kopi di Lombok Seminung, Lampung Barat. Padahal, tambahnya, pada masa-masa kecilnya dulu, luwak dan kotorannya sering dijumpai di kebun-kebun kopi.

Wartawan

Berkembangnya kopi luwak Liwa berawal dari kedatangan sejumlah wartawan televisi asing dari Hongkong tiga tahun lalu. ”Mereka datang ke sini untuk mencari kopi luwak hutan. Dari situ, lalu saya tahu bahwa (kopi luwak) ternyata dicari dan harganya mahal,” ujar Sukardi, ketua kelompok perajin kopi luwak Pesagi Mandiri.

Sejak itu pula Sukardi mengaku mulai menekuni bisnis kopi luwak. Ia pun kemudian mencari hewan tersebut untuk dipelihara. Kini sudah ratusan luwak yang dimilikinya di Way Mengaku, Liwa.

Di Way Mengaku, industri kopi luwak tidak didominasi perusahaan nasional atau pemilik modal kuat. Mulai dari hulu ke hilir, industri tersebut digerakkan warga setempat dalam skala rumah tangga.

Gang Pekonan di Way Mengaku, misalnya, merupakan salah satu ”perkampungan” kopi luwak. Di kawasan ini terdapat sedikitnya sepuluh perajin. Beberapa di antaranya bahkan sudah memiliki merek dagang dan memasarkan produksinya masing-masing.

Saat ini, di Way Mengaku sedikitnya tercatat empat merek dagang kopi luwak, yaitu Kupi Musong Liwa, Raja Luwak, Ratu Luwak, dan Duta Luwak.

Beralih profesi

Begitu menariknya kopi luwak, berapa warga yang dulunya petani belakangan ini beralih profesi menjadi pebisnis kopi luwak. Sapri (39), misalnya, mengaku meninggalkan pekerjaan bertani sayuran sejak dua tahun lalu. Pekarangan rumahnya kini dihiasi 25 kandang luwak.

Meskipun usahanya masih terkendala pemasaran yang belum stabil, melalui usaha barunya tersebut Sapri sudah memiliki satu mobil Daihatsu Luxio terbaru untuk operasional bisnisnya.

Menurut Gunawan Supriadi, keterbatasan modal hingga kini masih merupakan kendala utama perajin kopi luwak di Way Mengaku. ”Biaya operasionalnya (termasuk pemeliharaan luwak) tinggi sekali, mencapai Rp 1,6 juta per bulan per ekor. Sementara permintaan belum rutin. Tidak sedikit perajin yang gulung tikar karena tidak mampu memutar modal,” katanya.

Masalah lainnya, tambah Sukardi, kopi luwak palsu juga banyak beredar di Indonesia. Di Kota Bandung, Jawa Barat, misalnya, ada sejumlah produsen yang menghasilkan kopi ”mirip” kopi luwak. ”Aromanya juga tajam (seperti kopi luwak), tapi didapatkan dari proses non-alamiah. Itu menggunakan esens, dari bahan kimia. Rasanya sekilas mirip,” ujarnya.

Persoalan tak hanya berhenti di situ. Perajin juga pernah terganjal isu fatwa haram terkait produksi kopi luwak mereka meski akhirnya fatwa itu ditarik. Selain itu, pengajuan hak paten juga dirasakan sangat mahal, mencapai belasan juta rupiah.

Dikendalikan

Harga jual kopi luwak saat ini cukup beragam. Jika dari Liwa para broker atau perantara, termasuk eksportir, bisa membelinya paling mahal Rp 600.000 per kg (bubuk), di kota-kota besar mereka bisa menjualnya hingga Rp 1,5 juta per kg.

Karena itu, tak perlu heran jika di Jakarta, misalnya, secangkir kopi luwak dijual hingga Rp 100.000. Berbeda dengan di Liwa, yang umumnya hanya Rp 15.000 per cangkir.

Di Liwa, tak sedikit perajin yang menjual produksinya secara eceran demi bertahan memutar modal. Kopi luwak mereka kemas dalam sachet-sachet berukuran 10 gram, lalu dijual dengan harga Rp 10.000.

Di daerah itu penyajian kopi luwak (dalam bentuk es) juga kadang dicampur dengan susu atau duren. Kopi ”modifikasi” ini, menurut produksi kopi luwak Ny Sapri, biasanya dipasarkan pada bulan Ramadhan. ”Secangkir kopi luwak aneka rasa dijual Rp 20.000-Rp 30.000,” paparnya.

Bisa dibilang, industri rumah tangga kopi luwak tidak hanya membawa rezeki bagi produsennya, tetapi juga menjadi roda penggerak baru ekonomi di Way Mengaku. Tak sedikit tenaga kerja yang terserap di sektor ini.

Di tengah kondisi terus merosotnya harga kopi di Tanah Air akibat gempuran kopi asal Vietnam dan Brasil, petani kopi di Liwa sepatutnya terus bergairah dan optimistis terhadap kopi luwak. Sebab, buah itu tidak hanya memberi nilai tambah, tetapi juga mampu mengharumkan nama daerah, bahkan negeri ini, di dunia internasional berkat kekhasannya.

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Desember 2010

[Tanah Air] Kopi Luwak, dari Era Tanam Paksa ke "Oprah Winfrey Show"

Oleh Yulvianus Harjono

KEHADIRAN kopi luwak di Tanah Air adalah sebuah ironi. Di era cultuurstelsel atau tanam paksa, kopi luwak merupakan ”obat” pelipur lara bagi para petani yang terjajah Belanda. Namun, kini menjelma menjadi komoditas papan atas, yang harga jualnya di pasar internasional bisa mencapai Rp 32 juta per kilogram.

Musang atau dikenal juga dengan sebutan luwak di kebun kopi di kawasan Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, Jumat (17/12). (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Tak perlu heran jika presenter ternama yang juga pengusaha, Oprah Winfrey, mengulas kenikmatan kopi yang satu ini dalam acaranya, Oprah Winfrey Show, yang ditayangkan salah satu televisi Amerika Serikat. ”Cita rasanya unik dan lezat,” demikian komentarnya, meski ia nyaris tersedak saat mengetahui cara pembuatannya.

Awal abad ke-19, sejumlah petani di Tanah Air, khususnya di Lampung, dipaksa menanam kopi sebagai komoditas andalan. Mereka lalu diwajibkan menyetorkan semua hasil panen kepada pemerintah kolonial Belanda. Suatu ketika, mereka menemukan sebuah cara untuk menikmati kopi hasil panen tersebut.

”Caranya dengan ngelahang (mengumpulkan) kopi yang jatuh di tanah, termasuk yang berupa kotoran luwak,” kata Sukardi (34), perajin kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, menceritakan sejarah panjang kemunculan kopi luwak di daerahnya.

Ratusan tahun berjalan hingga kini, kebiasaan ngelahang kopi luwak itu dilakukan segelintir petani kopi di Lampung Barat dan Sumatera Selatan. Bagi Minariah (39), petani kopi di Liwa, menikmati kopi luwak hasil ngelahang adalah sebuah kenikmatan tersendiri.

”Brangkalan (biji-biji kopi yang masih tercampur kotoran luwak) biasanya banyak ditemukan saat musim panen (kopi). Bisa di dahan, batang, atau tanah. Saya kumpulkan, digiling, lalu diminum sendiri karena memang jumlahnya tidak banyak,” papar Minariah.

Kopi luwak hutan. Demikian warga Liwa menyebut kopi luwak yang diperoleh dari alam itu. Komoditas yang satu ini memiliki rasa yang sangat unik. Aromanya sangat tajam, gurih, dan tidak terlalu asam.

Di pasaran, kopi luwak hutan dijajakan dengan rasa yang beragam, bahkan ada yang ditambah aroma tanah yang eksotis.

Kekhasan kopi luwak, antara lain, karena di dalam organ pencernaan hewan tersebut kopi mengalami fermentasi secara alamiah oleh enzim-enzim yang dihasilkan bakteri. Enzim terkait ternyata mengurangi kadar keasaman biji-biji kopi.

”Proses itu juga menurunkan kadar kafein secara tajam pada kopi. Jadi, orang yang minum kopi luwak sehari 10 gelas pun tidak masalah. Tidak merusak tubuh,” kata Sukardi setengah mempromosikan kopi luwak.

Di daerah tertentu, lanjutnya, kopi sengaja disimpan hingga tujuh tahun semata-mata untuk menurunkan kadar kafein dan keasamannya.

Pernyataan senada dikemukakan Massimo Marcone, peneliti kopi dari Universitas Guelph, Kanada, sebagaimana dipublikasikan jurnal Food Research International. ”Pencernaan luwak otomatis menurunkan kadar protein sehingga menghasilkan rasa kopi yang unik dan kaya. Kopi ini karakteristiknya lembut, terkadang berasa cokelat atau karamel. Satu dari kopi terbaik di dunia,” paparnya. Marcone memfokuskan riset kopi luwaknya di Indonesia.

Dipelihara

Seiring ketenarannya, kopi luwak yang beredar di pasaran kini tidak lagi hanya merupakan hasil pencarian di alam terbuka, seperti di kebun kopi atau hutan. Sebagian besar bahkan dihasilkan dari tempat-tempat pemeliharaan luwak.

Di Way Mengaku, Liwa, misalnya, luwak yang terkenal liar dan buas dipelihara di dalam kandang di pekarangan rumah warga. Akan tetapi, yang dipelihara itu hanya yang jenis Paradoxurus dan Arctictis.

Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) tercatat sebagai salah satu hewan yang biasa memakan buah kopi dan menghasilkan kopi terbaik. Hewan ini banyak ditemukan di perkebunan kopi dan hutan di Sumatera dan Jawa.

Luwak binturung (Arctictis binturong) menghasilkan kotoran yang lebih besar. Namun, saat ini musang ”beruang” termasuk hewan yang dilindungi.

Wahyu Anggoro (25), perajin kopi luwak di Way Mengaku, mengatakan, tak mudah memelihara hewan penghasil kopi terbaik itu. ”Tidak jarang luwak kabur setelah berhasil menggigiti penutup kandang yang terbuat dari kayu dan kawat. Berkaca dari pengalaman, kini tutup kandang umumnya dibuat dari bahan besi berdiameter 10 milimeter,” katanya.

Luwak juga tergolong hewan kanibal karena bisa saling membunuh jika ditaruh di dalam satu kandang. Karena itu, umumnya binatang tersebut ditempatkan dalam kandang berukuran sekitar 1 meter x 1,5 meter secara terpisah.

Biaya tinggi

Menurut Gunawan S (41), ketua kelompok perajin kopi luwak Raja Luwak di Pekonan, Way Mengaku, biaya operasional pemeliharaan luwak sangat tinggi, mencapai Rp 55.000 per ekor per hari. ”Seekor luwak tiap hari diberi makan buah kopi segar (yang dinilai terbaik) 5 kg, pisang minimal satu tandan, serta suplemen atau vitamin. Harga kopinya saja sudah Rp 6.000 per kg,” ujarnya.

Tidak semua buah kopi yang disajikan dimakannya. Luwak hanya memakan yang benar-benar matang dan segar.

Berbagai proses inilah yang membuat harga kopi luwak sangat mahal. Dewi Ana (33), eksportir kopi dan pemilik merek Dewi Luwak, mengatakan, harga kopi luwak di pasar internasional berkisar Rp 7 juta-Rp 32 juta per kg. ”Kopi ini tetap ada yang mencari karena langka dan prestisenya,” ujar pengusaha yang mengekspor kopi luwak asal Liwa ke Jepang, Korea, Hongkong, dan Kanada. Sebagai perbandingan, biji kopi Hacienda dari Panama dan kopi St Helena Afrika yang masuk di dalam jajaran kopi papan atas harganya masing-masing Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta per kg.

Jadi, pantas saja jika majalah Forbes menyebut kopi luwak asal Indonesia sebagai kopi termahal di dunia. Di New York, AS, seperti yang terekam dalam sebuah tayangan berita di CNN, secangkir kopi luwak dihargai 100 dollar AS atau hampir Rp 1 juta. Wow...!

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Desember 2010

Respons Aparat dan Kemandirian Seniman

Oleh Nadia Raissofi H.

MUDENG beteng poso bisu (memutari Keraton sambil berpuasa bisu) yang dilakukan oleh para Abdi Dalem setiap satu Sura adalah kesusasteraan yang hidup. Poso bisu, yaitu tidak berbicara dengan suatu keyakinan penyucian, inilah yang dilakukan Nabi Zakaria as. untuk memohon lahirnya Nabi Yahya dari rahim istrinya yang mandul. Mudeng beteng yang bermakna mengitari Keraton dengan spiritualitas yang terpadu dalam denyut kesusasteraan kultural.

Mengapa penulis selalu mengkaitkannya dengan kesusasteraan, karena apa yang diimplementasi dari ritualisme ini adalah bagian dari serat di era Amangkurat dan Mocopat Sinom dalam Serat Kalitida.

Betapa pun, tebersit teologis dalam kesusasteraan atau kesusasteran yang tersempal dalam semangat spiritual. Apa pun latarnya, setidaknya nuansa teologi dalam kesusasteraan Jawa Kuno, kenyataannya tidak lagi bernilai dalam kalkulasi angka pragmatis, dalam arti apa yang mereka lakukan hanya sebagai peristiwa ritual tanpa mengundang komoditas.

Karena bukan komoditias itulah yang kemudian berbuntut panjang sampai sekarang. Bayangkan, bila Anda seorang seniman, pastilah akan kecewa. Mulai dari perupa, teaterawan, sastrawan, dan penulis buku. Terbit kabar kabar buku berbahasa Raden Intan II karya Rudi Suhaimi Kalianda versi bahasa Lampung dan beberapa karya puisi bahasa Lampung misalnya, tidak bisa terbit karena tidak ada respons dari instansi terkait.

Begitu pula bila diadakan pagelaran teater atau pameran lukisan, dari buku tamu yang ada, aparat paling hanya membuka acara lalu ngeloyor pergi, tidak mau tahu kreativitas generasi penuh semangat itu. Padahal, bila dibayangkan, semangat yang berkelebihan akan materi dewasa ini, terutama yang diusung kaum tua, sesungguhnya merupakan semangat hedonis yang terbawa arus tanpa nilai kultural edukatif sama sekali. Dalam konteks inilah, agaknya perlu diketuk hati kaum elite kita, apakah eksekutif, legislatif ataupun yudikatif. Bahwa, kesenian, apa pun bentuknya lebih membawa ke arah kemanusiaan, kepedulian sosial yang kini semakin langka.

Kerap para kaum elite yang terhormat itu merampok kesenian dengan dalih menggalakkan budaya dan pariwisata, seniman yang dibawa seniman exhausted (kehabisan tenaga) hanya sebagai serimoni belaka, toh acara ini mengandung proyek, proyek berarti identik dengan uang, ini pulalah yang menyebabkan kebocoran finansial disetiap birokrasi, ini bila dilihat dari aspek institusi, tetapi bila dilihat dari diplomasi kebudayaan, ya, lumayanlah.

Kita memang akhir akhir ini cukup beruntung mempunyai Gubernur yang tanggap terhadap kebudayaan daerah sehingga apa-apa yang dilakukan Bang Oedin diikuti pula oleh daerah lain, hanya sayangnya (mudah-mudahan ini lumrah), berbagai pertunjukan atau gebyar kebudayaan hanya bersifat seremonial tanpa arah dan esensi untuk perspektif generasi muda, kendati kita tentu saja masih cukup bersyukur.

Kalau paparan di atas menunjuk pada aparatur, maka barangkali sebagai seniman, kita juga patut muhasabah, patut instrospeksi, apakah sebagai seniman, meski bebas nilai, kita telah melakukan yang terbaik untuk memperkenalkan provinsi ini di mata luar. Apakah dalam berkesenian kita juga telah melakukan mutual simbiosis dengan institusi dan instansi terkait, pertanyaan-pertanyaan ini tentu kita patut jawab bersama.

Nadia Raissofi H., HMI Komisariat Hukum Unila

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Desember 2010

Gelombang Pendidikan Sastra

Oleh Aan Frimadona Roza

MENELAAH puisi-puisi dan catatan dewan juri Batu Bedil Award yang dimuat Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010, dalam rangkaian Festival Teluk Semaka 2010, saya benar-benar seperti diajak mengarungi keluasan samudera yang tak berbatas. Setidaknya bagi saya yang tengah menjadi penumpang sekaligus nakhoda dalam bahtera sistem pendidikan membuat saya bertambah yakin betapa lomba cipta puisi seperti ini tidak hanya memberi dampak positif bagi promosi pariwisata dan budaya daerah bersangkutan, tetapi juga bersinggungan dengan tujuan mulia lain, yaitu meningkatkan derajat pendidikan khususnya bidang kesusasteraan.

Meningkatkan derajat pendidikan yang saya maksud dalam konteks ini adalah betapa pendidik seperti saya bersama-sama para siswa akan lebih aktif untuk belajar langsung melalui impresi-impresi, pengalaman visual, pengalaman auditif maupun pengalaman kinetik yang kesemuanya kerap disebut sebagai "pengalaman puitik". Di sisi lain, guru pun akan lebih aktif menambah kapasitas dirinya sebagai pendidik, khususnya guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang kadung dianggap masyarakat telah mengetahui segala ihwal kesusasteraan.

Ketika pendidik dan siswa dapat bersama-sama memaknai sebuah karya sastra yang berangkat dari lingkungan alamnya, keesaan Tuhan, perilaku manusia, keindahan alam dan sebagainya serta-merta saya teringat tujuan pendidikan yang diungkapkan bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Tujuan pendidikan yang semestinya adalah memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai perikemanusiaan, serta membangun budi pekerti.

Tidak hanya pada tataran siswa saja konteks pencapaian kesusasteraan, tetapi pada guru khususnya bagi guru bahasa dan sastra juga guru seni budaya akan memberikan suatu sistem pengajaran yang dinamis. Selama ini siswa melulu dijejali dengan teori-teori pengajaran kesusasteraan saja, akan tetapi sedikit banyak ada semacam praktek langsung kepada peserta didik untuk mengejewantahkan dari teori yang didapat selama ini. Hal ini akan menambah daya kreativitas guru akan membangun suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) yang selama ini didengung-dengungkan.

Membaca ulasan dewan juri yang menyebutkan bahwa ada 103 puisi yang dinilai, saya berharap-harap cemas apakah karya-karya puisi itu didominasi oleh peserta pelajar khususnya dari Provinsi Lampung? Kalau jawabannya "ya" tentulah hal ini menjadi kabar sukacita bagi keberlangsungan regenerasi kesusasteraan di provinsi ini, tetapi bila jawabannya "tidak" tentulah ada pertanyaan besar ikutan selanjutnya: Ke mana para siswa dan para pendidik khususnya guru bahasa dan sastra atau guru seni budaya yang begitu meyakini bahwa suasana pembelajaran yang mereka lakukan telah aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan?

Apakah ada yang salah di dunia pendidikan sastra kita? Kurikulum yang kurang menyentuhkah? Pendidik yang tidak berkapasitas mumpunikah? Atau jangan-jangan? Ah, saya mungkin terlalu banyak bermimpi: Membayangkan para siswa dan guru saling membaca puisi mereka di bawah pohon nan rindang atau di selasar sebuah ruang kelas dengan duduk bersila dengan suasana hangat saat jam istirahat tiba.

Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap apa yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus dalam menyelenggarakan Lomba Cipta Puisi Nasional Batu Bedil Award 2010 dalam rangkaian Festival Teluk Semaka tahun ini. Hal ini merupakan terobosan-terobosan dalam mengairahkan perkembangan sastra khususnya di Provinsi Lampung yang kita cintai ini setelah dimulai pertama kali oleh Dewan Kesenian Lampung pada 2002 dengan Lomba Penulisan Puisi bertajuk Krakatau Award.

Momen Batu Bedil Award 2010 ini bisa jadi titik tolak untuk dapat ditiru oleh kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Lampung, dengan tidak hanya melibatkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata saja, tetapi juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dengan berperan mengompori guru dan siswa di sekolah untuk menyukai dan mengikuti kegiatan kesusasteraan.

Inilah yang saya maksudkan sebagai gelombang pendidikan sastra, apabila ada kegiatan serupa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus ini juga dilakukan di Kabupaten Way Kanan yang memiliki agenda tahunan Festival Radin Jambat, di Kota Bandar Lampung dengan Festival Kesenian Bandar Lampung, di Kabupaten Lampung Timur dengan Festival Way Kambas, di Kabupaten Lampung Barat dengan Festival Teluk Stabas, di Kabupaten Lampung Utara dengan Festival Kesenian Akhir Tahun, di Metro dengan Festival Kesenian Kota Metro ataupun di kabupaten lain yang menggagas di mana di situ ada semacam rangkaian dalam anugrah karya sastra entah itu puisi atau cerpen. Hal ini akan menjadi “darah segar” untuk denyut sebuah kegiatan yang kerap terjebak pada rutinitas seremonial belaka.

Saya membayangkan ribuan siswa dan ratusan guru bahasa dan sastra juga seni budaya seprovinsi ini akan bersama-sama menafsir tentang Lampung dan segala ihwal sejarah yang pernah, sedang dan akan terjadi lalu dituangkan dalam sebuah karya? Bukankah ini menjadi “data empirik” yang luar biasa bobotnya ketika harus dihadapkan dengan data-data statistik ketika masyarakat dan pemerintah sudah semakin pragmatik?

Meskipun demikian, saya teramat menyadari, akan ada banyak kendala ketika guru–guru bahasa dan sastra ataupun guru-guru kesenian yang minim pengalaman membuat karya sastra, jarang terlibat forum-forum diskusi, pelatihan-pelatihan pembuatan karya sastra semacam workshop, seminar dan sebagainya sehingga menimbulkan efek domino: Guru menjadi tidak percaya diri dalam "menguasai medan sastra" apatah lagi para siswanya?

Meskipun saya rasakan catatan dewan juri Batu Bedil Award 2010 itu kurang menguliti lebih dalam dan perinci tentang karya-karya yang layak menjadi pemenang sehingga dapat menjadi sumber pustaka bagi pengayaaan guru dan murid, tetapi saya tetap meyakini bahwa setiap momen kesenian di daerah dapat menjadi riak-riak kecil yang terus menggumpal yang akan menjadi gelombang dahsyat bagi perkembangan pendidikan sastra di daerah.

Semoga saja hasil kegiatan lomba penulisan puisi nasional ini benar akan diterbitkan dalam buku seperti janji dewan juri, karena dengan demikian bertambah kaya lagi literatur kesusasteraan asal provinsi ini yang kemudian akan dikancah, dianalisis, diperdebatkan secara akademis dengan pengharapan munculnya gagasan-gagasan dan teori-teori baru.

Akhirnya, ucapan selamat kepada para peraih Batu Bedil Award 2010 juga tahniah kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus yang berani dan kreatif untuk lebih dahulu memulai membuat “momentum budaya baru” di tingkat kabupaten di provinsi ini maka sebagai orang yang berdomisili di Kabupaten Way Kanan tentunya saya tidak berlebihan apabila kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus ini dapat juga dilakukan di bumi ramik ragom karena saya tetap meyakini hidup ini singkat tapi seni tetap abadi. Ars longa, vita brevis... n

Aan Frimadona Roza, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMPN 4 Baradatu Way Kanan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Desember 2010