December 18, 2010

Kuliner: Sensasi Sate Ikan Marlin

MAKANAN sate tentunya tidak lagi asing bagi kita, penduduk Indonesia. Berbagai jenis daging, seperti sapi, kambing, kuda, ayam, hingga domba, bisa dibuat sate. Namun, apa jadinya apabila daging yang dijadikan sate adalah ikan? Apalagi jika jenis ikannya pun tidak lazim, yaitu ikan blue marlin?

Heriyanto, pegawai RM Pondok Kuring di Liwa, Lampung Barat, tengah membakar sate ikan blue marlin (tuhuk). Sate dari ikan layaran ini kini menjadi salah satu daya tarik pariwisata di Lambar, khususnya Liwa dan Krui, karena keunikannya. (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Di Lampung Barat, khususnya wilayah Krui dan Liwa, sate blue marlin tidak lagi asing. Di kedua kota ini, sate ikan blue marlin atau yang biasa disebut tuhuk adalah salah satu makanan kegemaran warga.

Kedai-kedai sate tuhuk banyak ditemui di Krui dan Liwa. Salah satu kedai atau warung makan yang khusus menjual sate tuhuk adalah Pondok Kuring. Kami berkesempatan mencicipi sate tuhuk yang dijual RM Pondok Kuring di Liwa, beberapa waktu lalu.

Sate tuhuk ini memiliki rasa yang sangat unik. Saat melewati tenggorokan, rasanya sangat lembut. Tidak seperti lazimnya daging ikan lainnya, rasanya juga tidak terlalu amis. Tekstur daging ikan yang juga biasa disebut ikan layaran ini mirip ikan salmon.

Rasanya gurih dan manis. Namun, berbeda dengan jenis ikan pada umumnya, ketika dibakar, daging mentahnya tidak lengket. Daging ikan ini berwarna kemerah-merahan, mirip daging sapi. Jika belum dibakar, teksturnya liat seperti daging hewan.

Dagingnya pun tebal sehingga saat masih di dalam tusukan, rupanya tidak jauh berbeda dengan sate daging sapi super yang penuh dengan daging, tanpa lemak. ”Rasanya unik sekali. Seperti ayam, tetapi aroma rasanya lebih kuat dan gurih,” ujar Asep (34), seorang pengunjung.

Sate ikan tuhuk dibuat dari daging ikan blue marlin yang segar. Bumbunya tidak jauh berbeda dengan sate pada umumnya. Menurut Heriyanto (21), karyawan RM Pondok Kuring di Liwa, bumbu bakarnya adalah kecap, penyedap rasa dan garam, dicampur sedikit bumbu kacang.

Sate ini tidak perlu dibakar untuk waktu yang lama, cukup 15-18 menit. Jika terlalu lama dibakar, kandungan proteinnya yang sangat tinggi akan berkurang. Sate jenis ini umumnya disajikan dengan bumbu kacang.

Sangat terjangkau

Pengunjung tidak perlu merogoh kocek dalam untuk bisa menikmati sate yang hanya ada di Lampung Barat ini. Harga per porsi, terdiri dari 10 tusuk, hanya Rp 12.000. Namun, tidak setiap saat sate tuhuk ini bisa disajikan di rumah makan yang berada di Jalan Raden Intan No 109 Liwa, Lampung Barat, ini.

Menurut Yanti, pemilik RM Pondok Kuring, pada musim tertentu, misalnya angin barat, daging blue marlin sulit didapat. Sebab, nelayan umumnya takut melaut karena angin kencang. Namun, hampir sepanjang tahun, kecuali saat ombak tinggi, ikan tuhuk sebagai bahan baku masih bisa didapat.

Nelayan-nelayan di Lambar, khususnya Krui, hingga kini masih menjadikan ikan tuhuk sebagai buruan utama. Ikan tuhuk ukurannya bisa mencapai 0,5 ton. Daging segar ikan ini dihargai rata-rata Rp 25.000-Rp 27.000, tidak jauh berbeda dengan harga daging ayam segar.

Uniknya, di RM Pondok Kuring, tidak hanya sate, ikan tuhuk juga dijadikan bahan makanan lainnya, seperti sop, batagor, dan bakso. Pengunjung yang datang ke sini tidak boleh melewatkan seporsi sop ikan tuhuk yang rasanya sangat segar dan unik.

Seporsi sop ikan tuhuk harganya lebih murah, yaitu Rp 10.000, sementara batagor dan bakso Rp 6.000. Rumah makan ini buka pukul 08.00 hingga pukul 22.00. Selain di Liwa, rumah makan ini juga terdapat di Serai, Lampung Barat, dan Krui.

Ikon daerah

Di Kabupaten Lambar, ikan tuhuk telah menjadi maskot daerah. Bahkan, patung ikan tuhuk dapat ditemui di Krui. Ikan blue marlin telah menjadi ikon dan daya tarik pariwisata. Kegiatan memancing ikan dari jenis layaran ini telah menjadi daya tarik para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Kegiatan memancing ini, misalnya, biasa dilakukan di perairan Pantai Labuhan Jukung. Untuk memancing, pengunjung biasa menyewa perahu milik nelayan dengan tarif Rp 400.000-Rp 700.000 per hari.

Di sini, jika tidak ingin memancing sendiri, kita pun dapat melihat para nelayan tradisional menangkap tuhuk dengan alat seadanya. Mereka umumnya menggunakan kawil apung (pancingan) yang dipasang ikan tongkol sebagai umpan.

Kawil apung ini adalah sebuah pancing yang diikatkan pada jeriken sebagai pelampung. Jika jeriken berukuran 5 liter ini bergerak di permukaan air, berarti umpan sudah dimakan tuhuk. Untuk membawa tuhuk ke permukaan tidak mudah.

Nelayan harus menarik senar dengan sekuat tenaga hingga ke permukaan. ”Di sinilah serunya, akan muncul adu kuat perlawanan antara penangkap dan ikan,” ujar Asep yang juga pernah menyaksikan langsung bagaimana para nelayan di Krui menangkap ikan tuhuk.

Jika sudah di permukaan, ikan tuhuk yang memiliki sirip mirip layar dan sebuah tanduk panjang di mulutnya ini langdung digebuk dengan balok. Sebagian menghujamnya dengan tombak agar ikan ini tidak melukai orang. Karena keunikan itu, gambar ikan tuhuk ini juga dibatikkan di dalam seragam yang biasa dipakai para PNS di jajaran Pemkab Lambar.

(Yulvianus Harjono)

Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Desember 2010

No comments:

Post a Comment