December 2, 2006

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Oleh Udo Z. Karzi*


TERUS terang, saya berharap banyak mendapatkan "sesuatu" ketika menghadiri peluncuran buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2006) karya H. Rizani Puspawidjaya, S.H. di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, 19 Oktober 2006. Meski telat saya dapat menangkap substansi dari acara ini: tak lebih dari membicarakan masalah lama yang -- menurut saya -- sudah terlalu sering dibahas.

Ah, mungkin saya terlalu berharap banyak pada pertemuan itu. Barangkali juga saya terlalu terobsesi ingin menemukan hal yang terasa menggairahkan dari apa yang saya angan dari "kebudayaan Lampung". Sungguh, terlalu minim untuk berbicara secara lebih komprehensif tentang yang disebut dengan kebudayaan Lampung. Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran terlalu sedikit untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang: Apa, siapa, dan bagaimanakah manusia dan kebudayaan Lampung itu?

Relatif tidak ada yang baru -- minimal interpretasi baru tentang kebudayaan Lampung -- dari isi buku ini. Kalau dirujuk, masalah-masalah yang dibahas tidak jauh dari hasil diskusi/seminar yang melibatkan, antara lain Prof. Hilman Hadikusuma (alm.), Anshori Djausal, A. Effendi Sanusi, Sanusi Husin, Firdaus Augustian, dan Rizani Puspawidjaya sendiri selama ini. Semua pembicaraan itu sebenarnya sudah terangkum dalam buku Adat Istiadat Lampung (diterbitkan Kanwil Depdikbud Lampung, 1979/1980; cetak ulang 1985/1986) yang ditulis Hilman Hadikusuma dkk.

Sebenarnya, tidak ada persoalan kalau tak ada buku-buku: Manusia Indonesia (karya Mochtar Lubis) yang disusul buku-buku tentang manusia/kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis/Makassar, Batak, Minangkabau, dan lain-lain yang ditulis para sejarahwan-sosiolog-antropolog. Dan, baru-baru ini terbit dua buku antropologi dan sejarah terjemahan: Bugis (karya Christian Pelras) dan Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda 1607-1636 (karya Denys Lombard).

Membaca buku-buku textbook itu, saya merasa semakin "cemburu" ketika dihadapkan pada sebuah konsep yang mahakomplek tentang manusia/masyarakat dan kebudayaan Lampung. Referensi yang sudah ada -- menurut saya -- sangat tidak cukup untuk menerangkan konsep itu. Kebanyakan ulun Lampung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, piil pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serbakecil semacam Tugu Siger, perbedaan Pepadun dan Peminggir (menurut textbook bukan Pesisir atau Saibatin!), dan pembagian orang Lampung secara sektarian (orang Abung, orang Menggala, orang Pubian, orang Sungkai, orang Way Kanan, orang Belalau, dll) yang tidak akan mampu menerangkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung secara general.

Kebudayaan Lampung?

Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengutipkan sebuah definisi tentang kebudayaan. Soalnya, konsep ini terlalu sering disempitkan artinya dengan kesenian, adat-istiadat, atau apalah.

Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termasuk di dalamnya bahasa.
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius (Ninuk Mardiana Pambudy, Kompas, Senin, 31 Juli 2006).

Definisi kebudayaan ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya cakupan konsep kebudayaan. Maka, ketika kita disodorkan sebuah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kebudayaan Lampung itu, tidak bisa tidak tercakup di dalamnya dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Pertanyaannya, dimensi ide, material, dan perilaku apakah yang khas yang melekat pada ulun Lampung (masyarakat Lampung secara kolektif)? Saya pikir, tidak mudah menggambarkan masalah ini secara sistematis, komprehensif, dan ilmiah; yang bukan berdasarkan prasangka.

Piil Pesenggiri

Bagian yang kembali menyulut perdebatan adalah konsep piil pesenggiri. Rizani Puspawijaya menuturkan, pada 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan. "Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja (Lampung Post, 20 Oktober 2006).

Beberapa minggu setelah itu, Firdaus Augustian menulis "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri" (Lampung Post, 11 November 2006) yang menggugat piil pesenggiri. "Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka," kata Firdaus.

Tapi segera saja Fachruddin (Lampung Post, 18 November 2006) menampik dengan mengatakan, piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Masih menurut Fachruddin, berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

"Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir. Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia," tulis Fachruddin.

Begini -- ini menurut saya -- masih dibutuhkan penelitian (reseach) mendalam soal piil pesenggiri. Saya pikir, piil pesenggiri bukan kitab suci yang tidak bisa dipermasalahkan. Misalnya, masih dibutuhkan bukti yang lebih banyak lagi soal betapa orang Lampung tak bisa lepas dari piil pesenggiri-nya. Syukur-syukur ada interpretasi atau tafsir baru piil pesenggiri.

Ada tidak ada, yang jelas dia sudah menjadi wacana publik, menjadi bagian dari konsep adat-istiadat Lampung dan sebagian kecil dari konsep besar bernama kebudayaan Lampung.

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Saya sebenarnya gembira ketika Rizani mengatakan, orang Lampung itu terbuka, demokratis, dan ada konsep kepemimpinan Lampung?

Wah, saya pikir ini kan kajian yang menarik tentang konsep-konsep kekuasaan Lampung (sebagai contoh, konsep kekuasaan Jawa sudah jelas dipaparkan oleh Benedict Anderson, Cliffort Geerth, dll). Sayangnya, tidak ada yang mengelaborasi lebih jauh, tentang bagaimana sikap terbukanya orang Lampung itu, dimana letak demokratis orang Lampung, dan bagaimana contoh kepemimpinan Lampung itu.

Saya hanya memimpikan penelitian dan diskusi sosial dan kebudayaan Lampung marak. Dengan kata lain, Lampung memiliki banyak pemikir dan pemikiran kebudayaan Lampung. Sehingga orang tak lagi berkata, "Kebudayaan Lampung, Api Muneh" (Udo Z. Karzi, Lampung Post, 23 Oktober 2005). Cuma siapakah yang mau memulai? Pemerintah daerah yang lebih berorientasi "proyek" susah diharap. Yang paling mungkin adalah perguruan tinggi, terutama Universitas Lampung (baca: Udo Z. Karzi, "Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung", Lampung Post, 8 April 2006), yang paling kompeten. Atau adakah orang atau lembaga yang lebih tepat?

Pemikiran kebudayaan Lampung hanya akan lahir dari pemahaman konsep kebudayaan yang benar dan dari riset dengan metodologi yang benar oleh peneliti/pemikir kebudayaan yang teliti, tekun, dan konsisten. Tentu saja, gagasan kebudayaan yang muncul tidak berasal dari pemikiran sempit dan sektarian yang membagi-bagi Lampung menjadi bagian yang kecil-kecil: adat Pepadun dan adat Peminggir, bahasa dialek A (api) dan O (nyo), Menggala, Abung, Pepadun, Melinting, Belalau, Way Kanan, Kalianda, dan seterusnya.

Budaya Lampung. Bahasa Lampung. Adat Lampung. Kesenian Lampung. Sastra Lampung.... dst. Lampung!

Saya menulis dalam bahasa Lampung. Tidak saya namai bahasa Lampung Pesisir. Cukup saya katakan: memakai bahasa Lampung?

Bisakah kita -- ulun Lampung -- berbicara dengan bahasa kesatuan: Lampung (!) untuk kemudian secara bersama merumuskan kebudayaan Lampung?

Sungguh, belum ada lagi pengganti pakar hukum adat Lampung almarhum Prof. Hilman Hadikusuma!

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Desember 2006

April 8, 2006

Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung?

Oleh Udo Z. Karzi


Judul esai ini sebenarnya sudah mengendap sekian lama setelah berkali-kali berbincang-bincang A. Fauzie Nurdin, staf pengajar Pascasarjana IAIN Raden Intan yang tengah menempuh studi doktoral di bidang filsafat. Dia berkali-kali mengeluhkan minimnya tradisi pemikiran (intelektualitas), terutama di bidang filsafat dan kebudayaan di Negeri Sang Bumi Ruwa Jurai.

Dia berkukuh pemikiran filsafat dan kebudayaan seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun masa depan sebuah bangsa. Tidak terkecuali untuk Provinsi Lampung. Pemikiran-pemikiran besar tentang kehidupan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan banyak lahir dari para filsuf dan budayawan. Kebesaran nama bangsa-bangsa dari dulu hingga kini, sebut saja Yunani, Romawi, Jerman, Prancis, dan Timur Tengah banyak disokong pemikir-pemikir ulung, baik filsafat maupun kebudayaan.

Maka, dia pun melontarkan gagasan tentang pentingnya perguruan tinggi di Lampung membuka fakultas/jurusan filsafat atau budaya. Memang, banyak pihak yang secara sporadis menyatakan concern dengan persoalan-persoalan kebudayaan.

Sebut saja Dewan Kesenian Lampung (DKL), Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL), Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung, Pusat Informasi Budaya Lampung (PIBL), dan berbagai komunitas atau sanggar seni lainnya. Di Unila, terdapat Jurusan Bahasa dan Sastra dan D-3 Bahasa dan Sastra Lampung. Tetapi, itu jelas tidak terlalu memadai untuk membangun pemikiran kebudayaan karena fokusnya lebih pada pendidikan bahasa dan sastra (FKIP).

Tentu saja akan lain kalau Universitas Lampung (Unila) memiliki fakultas budaya atau fakultas filsafat. Pewacanaan kebudayaan akan lebih intens melalui sistem perkuliahan, riset, dan berbagai event budaya yang lebih ilmiah.

***

Pada kesempatan lain, saya membaca dua buku yang terbit awal tahun ini, yaitu Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (Pustaka Pelajar, 2006) yang dieditori S. Abdul Karim Masyad dan Manusia Bugis (Nalar, 2006) karya Christian Pelras dalam edisi Indonesia.

Yang pertama, S. Takdir Alisjahbana (STA). Siapa tidak kenal dengan--pinjam istilah Mochtar Lubis--manusia unggul satu ini. Tokoh Pujangga Baru ini dikenal sebagai penyair, novelis, sastrawan, penulis, pendidik, pemikir, budayawan, dan sebagainya yang bermuara pada pemikiran kebudayaan.

Polemik Kebudayaan pada 1930-an yang melibatkan STA di satu sisi dengan Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan lain-lain masih tercatat sebagai bentuk pergulatan pemikiran kebudayaan tentang bagaimana seharusnya membangun Indonesia. Kini, hampir 70 tahun berlalu polemik kebudayaan itu.

Pemikiran kebudayaan STA mendapat cercaan di sana-sini, tetapi dalam realitasnya, yang mewujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri justru apa yang menjadi pemikiran STA itu.

Kita lebih berorientasi ke barat. Modernisasi dan industrialisasi hendak dicapai, tetapi westernisasi dan "impor" segalanya dari luar negeri. Secara budaya kita dijajah!

Sementara itu, selama hampir 61 tahun Indonesia merdeka, pemerintah negeri ini nyaris mengabaikan kebudayaan. Apalagi hendak merumuskan strategi kebudayaan.

Semasa Orde Lama, politik menjadi panglima. Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai dewa. Sedang pemerintah pascareformasi masih juga belum melihat pentingnya strategi kebudayaan dalam membangun masa depan negara-bangsa Indonesia.

Tentu saja Lampung, provinsi ujung di Pulau Sumatera ini tidak jauh beda. Lampung toh Indonesia mini. Apa yang tak ada di Lampung. Tak terkecuali hal yang buruk-buruk dari sikap, perilaku, dan gaya hidup yang serba-Barat.

Lampung (yang punya masyarakat, bahasa, sastra, dan budaya) telah tercerabut dari akar budayanya. Tentang hal ini sudah terlalu sering dibahas. Tetapi, kebanyakan orang lebih suka berpikir pragmatis: Untuk apa berkutat pada hal-hal yang tidak konkret semacam pemikiran kebudayaan sementara urusan perut saja tak beres. Ah....

Kedua, tentang manusia Bugis. Kita patut iri dengan Bugis. Dulu, mereka dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung, meskipun sebenarnya mereka juga banyak yang petani tangguh. Ada juga, Syekh Yusuf, ulama asal Makassar yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan. Dan, baru-baru ini orang tersentak karena dari manusia Bugislah, justru ditemukan naskah sastra paling tebal di dunia, La Galigo.

***

Sekarang kita bandingkan dengan kondisi di Lampung. Beberapa tahun lalu pakar sosiolingustik UI Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah 75--100 tahun lagi. Semua gelagapan. Sebagai turunannya, pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi pun berkata, "Sastra lisan Lampung terancam punah."

Ada juga "Raja Cetik" Syafril Yamin yang mengeluhkan seni-budaya tradisi Lampung Barat mulai ditinggalkan. Lalu, satu per satu secara bergiliran--apa pun juluk adoknya, apa pun pangkatnya, apa pun jabatannya--berbicara hal yang relatif sama tentang betapa menyedihnya kondisi bahasa, sastra, seni, budaya Lampung dan mengatakan perlunya melestarikannya.

Tetapi, apa yang dilakukan? Sebatas "cawa-cawa". Ada juga yang konkret dengan menekuni kesenian tari, musik, sastra, dan juga berbagai bentuk tradisi kelisanan belaka.

Lama-lama saya berpikir, jangan-jangan orang Lampung itu "cuma pinter ngomong doang". Mungkin ada yang bilang, tidak kami juga menulis. Tetapi, yang ditulis ya...itu tradisi kelisanan itu (sastra lisan). Semacam menuliskan pattun, segata, wayak, pisaan, dll. bentuk sastra lisan dalam makalah atau mungkin buku.

Waduh, jangan bandingkan dengan STA yang menulis ratusan puisi, roman, serta buku-buku, paper, makalah seminar ilmiah untuk mendukung cita-citanya membangun "kebudayaan baru" Indonesia. Jangan pula bandingkan dengan naskah La Galigo yang tertulis dengan ratusan sastra lisan Lampung yang biasanya anonim dan dihapal secara turun-temurun.

Sungguh tidak gampang memahami sesuatu yang bernama kebudayaan Lampung. Sebab, konsep kebudayaan (Lampung) yang sangat kompleks masih banyak tercecer dalam bentuk lisan (oral) atau dalam bentuk-bentuk kebiasaan saja.

Lampung memang tidak seberuntung Jawa, Sunda, Melayu, Bali, dan beberapa etnik lain di Indonesia yang sejak lama kuat dalam tradisi keberaksaraan. Naskah-naskah kuno semacam Negarakertagama, Babad Tanah Jawi, Hikayat Aceh, Gurindam 12, dan sebagainya tak pernah ditulis dalam bahasa Lampung, meskipun Lampung memiliki aksara Kaganga (yang konon mirip dengan huruf Bugis dan Batak).

***

Dalam kondisi itu, sebenarnya saya lama berkeras menumbuhkan budaya menulis, tradisi berpikir (intelektualitas). Bukankah sejarah terbentuk dari tulisan? Dalam konteks kebudayaan Lampung, usaha-usaha yang selama ini dilakukan banyak pihak untuk "melestarikan" bahasa, sastra, seni, dan budaya, jauh dari cukup.

Sekarang saja, terlampau sedikit literatur atau panduan tertulis, apa lagi yang berbentuk pemikiran kebudayaan tentang Lampung atau di Lampung.

Keadaan tersebut masih ditambah dengan terlalu banyaknya kesalahan persepsi orang-orang Lampung tentang apa yang disebut kebudayaan Lampung. Bukankah kebudayaan Lampung itu tidak dibangun sendiri seseorang atau segelintir orang? Bukankah kebudayaan Lampung bukan sesuatu yang statis yang tidak mungkin berubah atau bergeser, bahkan mungkin punah?

Sebab itu, revitalisasi kebudayaan Lampung, reinventing kebudayaan Lampung atau apa pun istilah yang tepat mendinamisasi kebudayaan Lampung menjadi sesuatu yang penting. Wacana kritis (sekali lagi: Ditulis!) sangat dibutuhkan bagi pengembangan kebudayaan Lampung.

Sebuah tradisi dikritik ya wajar dan sudah seharusnya. Dengan demikian, akan lahir pemikiran (kebudayaan) baru atau bahkan mungkin, tradisi baru yang dinilai kontekstual dengan kekinian. Jadi, bukan mengawetkan (konservasi?) kebudayaan Lampung.

Pertanyaanya, siapakah yang harus memulai? Lembaga apakah yang paling tepat untuk menjalankan peran itu?

***

Jumat, 7 April 2006, saya seperti segera menemukan jawabannya. Di Kompas hari itu, Ketua Majelis Wali Amanah Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Dr. H.S. Dillon mengemukakan pendapat bahwa perguruan tinggi (PT) harus bisa menjadi pusat kebudayaan. Kutipannya: "Kebijakan pengembangan sains dan teknologi harus didorong berdasarkan kebutuhan dan kemampuan rakyat. Namun, seluruh urusan pendidikan, pelatihan, dan pengembangannya harus dikembalikan kepada perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan bangsa dalam stategi sains, teknologi, dan kultur."

Tidak terlalu kelop dengan pemikiran A. Fauzie Nurdin. Tetapi, benang merahnya ada pada kata "perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan". Kebetulan saja, saya alumnus FISIP Unila. Selama kuliah, saya merasa Unila menganaktirikan jurusan-jurusan sosial (semoga ini tidak benar!).

Ilmu humaniora? Barangkali, ada sedikit di FISIP, program studi sejarah dan jurusan bahasa dan sastra di FKIP. Artinya, relatif tidak ada fakultas/jurusan yang secara khusus mengelola disiplin ilmu ini.

Kalau dibandingkan dengan universitas lain yang tradisi intelektual-- terutama pemikiran kebudayaannya--relatif berjalan, Unila cenderung mengabaikan hal ini. Maka, agak membingungkan juga bagaimana Unila dapat menelurkan pemikiran-pemikiran kebudayaan (dan filosofis?), bahkan melahirkan budayawan.

Agak paradoks juga jika melihat bagaimana Lampung kini, misalnya, menjelma menjadi provinsi penyair. Penyair, sastrawan atau yang mencoba-mencoba menggeluti pemikiran kebudayaan (dan karena itu belum bisa disebut budayawan!) justru besar di jalanan atau tidaknya bukan dari/oleh Unila.

Gugatan ini dimaksudkan agar Unila menyegerakan pembentukan fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya yang sesungguhnya lama digagas. Konon, Prsgram Studi Bahasa dan sastra Lampung menjadi embrio bagi kelahiran fakultas dimaksud. Tabik jama Pak Rektor Unila!

Udo Z. Karzi, Ulun Lampung, bergiat di Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 April 2006

March 6, 2006

Udo Z. Karzi dalam Peta Puisi (Berbahasa) Lampung

Oleh Kuswinarto

PARUH akhir 2002, khazanah sastra daerah Lampung diperkaya dengan hadirnya sebuah antologi berjudul Momentum, memuat puisi-puisi karya Udo Z. Karzi—penyair yang juga alumnus Fisip Universitas Lampung (Unila). Dieditori Anshori Djausal dan Iswadi Pratama, antologi ini diterbitkan Dinas Pendidikan Lampung melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung.

Sebanyak 25 puisi karya Udo Z. Karzi mengisi antologi setebal 50 halaman ini. Semuanya ditulis dalam bahasa Lampung dialek Pesisir (dialek Api). Namun, bukan pembaca (etnis/nonetnis Lampung) yang dapat berbahasa Lampung saja yang dapat menikmati, pembaca yang sama sekali tak paham bahasa Lampung pun bisa menikmati antologi ini. Semua puisi berbahasa Lampung dalam antologi ini diberikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Kehadiran antologi Momentum dalam khazanah sastra Lampung ini saya kira layak dicatat. Ada beberapa alasan mengapa antologi ini layak dicatat. Pertama, hadirnya antologi ini membuktikan bahwa sastrawan Lampung—dalam arti sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung—masih ada. Udo Z. Karzi malah bukan saja sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung, penyair ini memang beretnis Lampung, kelahiran Liwa, Lampung Barat, 12 Juni 1970. Ketika saya mempertanyakan keberadaan sastrawan Lampung—dalam arti tersebut—dalam sebuah esai saya di media massa, Udo Z. Karzi segera menanggapi esai saya itu dengan mengemukakan bahwa sastrawan Lampung benar-benar ada. Dan hadirnya antologi inilah salah satu buktinya.

Kedua, hadirnya antologi ini memperlihatkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak di Propinsi Lampung untuk memajukan sastra daerah Lampung. Di tengah ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Lampung terhadap (bahasa dan) sastra Lampung, kerjasama mengangkat sastra Lampung seperti ini sangat perlu dihargai. Selain nama dan lembaga yang telah disebut, ada beberapa nama yang terlibat sehingga muncullah antologi Momentum ini. Nama-nama itu, antara lain, Oemarsono—(mantan) gubernur Lampung—, Isbedy Stiawan ZS, Oyos Saroso HN, Heri Wardoyo, Hardi Hamzah, Sudarmono, Iwan Nurdaya Djafar, Panji Utama, Christian Heru, Wahyuning Yantini, Syafaruddin, dan Khaidir Asmuni. Jika kerjasama antarelemen masyarakat Lampung seperti ini dipertahankan dan dikembangkan, kecemasan akan punahnya sastra daerah Lampung agaknya akan terkikis.

Ketiga, antologi Momentum ini sangat penting dalam kerangka perjalanan sastra (berbahasa) Lampung yang hidup segan mati tak mau. Kita simak salah satu puisi Udo Z. Karzi yang juga wartawan Lampung Post ini.

Bibas

1
sai waktu, ruangan tiba-tiba
jadi melunik pepelegohan
tambah mepelik, aga ngejepit
nyak meliyot, minjak cungak mit langik
ngembangko rua culuk
tawakkal!

tembok-tembok perda nyusul
jak sunyi ni rang, tambah redik rik pelik
mak ngedok jiwa kucuba nyepok
renglaya luar
kidang sunyin ni radu tekebok,
mak ngedok lagi
renglaya aga lucuk
ikhtiar terakhir sai-sai ni yaddo de mekik

2
tekejut nyak!
kuliak luwot nyakku repa sai wat ni
cecok di luwar tembok jama bibas
sedang keterkurungan radu saka lebon
seradu ni injuk ampai miyah tiba-tiba
ngembang kemegahan dunia di
hadapanku


rik sunyin ni kehalokan sai muhelau
ngajukon gairah kehirik’an sai mubalak
nangkpkon rasa betah hurik saka
ngerasakon tor, helau, rik riyang
kehaga jadi mekar delom badanku

1990


Bagian 1 sajak di hlm. 4 antologi Momentum ini mengeskpresikan puncak kesumpekan hati si ‘aku lirik’ di dalam ruang (hidupnya) yang dirasakannya kian menyempit dan menjepit. Dalam keadaan demikian, hasrat untuk bebas tak tertahankan lagi karena dalam kesumpekan, kebebasan menjadi kebutuhan. Sayang, jalan untuk bebas semua tertutup. Tapi, ‘aku lirik’ tetap mencoba, sampai pada usaha satu-satunya yang masih bisa dilakukan: mekik!

Bagian 2 sajak tersebut mengisahkan ‘aku lirik’ pada akhirnya berhasil mendapatkan kebebasan itu. Ia telah berada di luar tembok yang semula mengungkungnya. Dan ia berhadapan dengan realitas baru: kemegahan alam dengan segala kemungkinan manisnya yang menyodorkan gairah hidup yang lebih besar. Sehingga ‘aku lirik’ merasa dihinggapi perasaan betah hidup lebih lama. Harapannya menjadi mekar.

Ada sesuatu yang telah menjadi biasa yang didobrak Udo Z. Karzi. Sesuatu itu, antara lain, tradisi. Dalam hal ini tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung. Puisi “Bibas” tersebut tidak saja membawa pesan hasrat (dan akhirnya bisa) bebas, tetapi dari segi bentuk, puisi tersebut memang telah membebaskan diri dari tradisi puisi (tradisional) Lampung. Berikut penggalan sebuah puisi tradisional Lampung:

Dang bangik ga cawa
Kantu mak di lom hati
Tilik tindai pai juga
Tangan mak nyesol natti


Penggalan tersebut diambil dari salah satu bentuk puisi tradisional Lampung, yakni segata/adi-adi. Dalam puisi Lampung dikenal berbagai jenis puisi tradisional. Selain segata/adi-adi, masih ada paradinei, pepatcur, bubandung, pattun, ringget, talibun, hahiwang/wayak, dan sebagainya. Sebagaimana puisi-puisi tradisional pada bahasa lain, puisi tradisional berbahasa Lampung sangat ketat dalam hal bentuk: bait, larik, dan rima. Bahkan, untuk puisi seperti pattun dan talibun, keketatan itu juga dalam hal pesan: ada bagian sampiran, ada pula bagian isi. Dan ke-25 puisi Udo Z. Karzi dalam antologi Momentum ini—sebagaimana tampak pada puisi “Bibas”—berbeda sama sekali dengan puisi Lampung yang umum dikenal itu.

Bagi banyak “jelma” Lampung sendiri, barangkali antologi Momentum ini tidak penting. Akan tetapi, sastra Lampung tentu akan berterima kasih kepada Udo Z. Karzi dan semua pihak yang memungkinkan hadirnya antologi ini. Sebagaimana sastra daerah lain seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan Bali; sastra Lampung kini telah memiliki sastra (puisi) modern (berbahasa) Lampung.

Dan menjadi benarlah kini apa yang pernah dikemukakan Udo Z. Karzi dalam esai balasannya atas esai saya, bahwa sastra modern Lampung bukan sekadar wacana. Kini, memang, ia benar-benar ada. Udo Z. Karzi telah memulainya.

Cuma, akankah sastra Lampung berjaya? Akankah terjadi hujan sastrawan Lampung di Bumi Rua Jurai? Agaknya, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi kita. Menurut catatan SIL International Indonesia Branch dalam buku Languages of Indonesia (2001), ada sekitar 3 juta penutur asli bahasa Lampung. Jumlah itu memang sudah kedaluwarsa, karena data diambil dari D. Walker (1976), Wurn & Hatton (1981), dan GEKISUS (1985). Namun, dari sini pun kita bisa mengatakan bahwa sastra (berbahasa) Lampung sebetulnya potensial berjaya. Hanya saja, banyak-sedikitnya penutur bahasa Lampung memang bukan jaminan untuk berjayanya (bahasa dan) sastra Lampung.

Tapi, apa pun dan bagaimanapun, selamat datang sastra modern Lampung. Selamat dan salut buat sahabat Udo Z. Karzi. “Inji ampai muwak ni,” tulis Udo Z. Karzi dalam “Cawa Cutik”-nya di antologinya itu. Berarti akan ada yang bukan permulaan.

Sukun, 12 Mei 2003

Kuswinarto, pengamat sastra

Sumber: Cybersastra.net, 28 Mei 2003 dan puitika.net, 6 Maret 2006