October 29, 2007

Sastra: Menggali Nilai Baru Budaya Lokal

-- Oyos Saroso H.N.*

KETIKA Dewan Kenian Lampung (DKL) menggelar lomba cipta puisi tingkat nasional untuk memperebutkan penghargaan Krakatau Award, beberapa waktu lalu, ratusan puisi dari berbagai penjuru Tanah Air berhasil dikumpulkan panitia. Yang menakjubkan adalah, banyak penyair yang menempelkan kata dari "berbau" Lampung dalam puisi-puisinya. Lokalitas tiba-tiba menjadi penting bagi penyair ketika panitia lomba menentukan tema kelokalan dalam lomba penulisan puisi.

"Hujan" idiom lokal disertai keprihatinan mendalam sekaligus kegemasan juga terjadi ketika Dewan Kesenian Lampung menggelar diskusi berseri tentang seni tradisi Lampung. Hal serupa kembali terjadi ketika Lampung Post, Afkar Circle dan DKL menggelar diskusi tentang kearifan lokal dalam sastra. Serangkaian diskusi kemudian seolah-olah menjadi nonsens karena memang selama ini sejuta kepala memiliki sejuta pemahaman yang berbeda tentang pengertian kearifan lokal, seni tradisi, warna lokal, sastra lokal, dsb.

Salah satu penyebab perdebatan tentang lokalitas dalam seni (sastra, rupa, tari), menurut saya, adalah banyak orang salah melakukan kategorisasi istilah, sehingga pembicaraan tidak pernah fokus. Kita tahu, masing-masing istilah memiliki kategori makna berbeda-beda, sehingga masing-masing tidak bisa dipertukarkan pemakaiannnya secara semena-mena. Ketika orang membicarakan tentang sastra lokal, misalnya, tidak bisa sama halnya dengan membicarakan dengan kearifan lokal.

Kesalahan melakukan kategorisasi pula yang menyebabkan ketua DKL Syaiful Irba Tanpaka dan penyair Sugandhi Putra berdebat keras tentang kearifan lokal dalam sastra. Syaiful berangkat dari persepsi sastra sebagai material, sementara Sugandi berangkat dari persepsi sastra sebagai fungsi. Sastra, apa pun bentuknya, jelas tak bisa mengubah keadaan, sehingga amat muskil sastra disamakan dengan khotbah di masjid dan gereja. Penolakan Jimmy Maruli Alfian terhadap kearifan lokal juga disebabkan oleh kesalahan melakukan kategorisasi dan memahami apa arti sastra lokal, warna lokal, kearifan lokal, dan budaya lokal.

Bagi Jimmy, lokalitas, seni tradisi, dan sejenisnya adalah masa lalu. Dia tidak dibesarkan dan tidak berangkat dari tradisi ketika meniti karier sebagai penyair. Hal yang sama sebenarnya juga berlaku bagi banyak sastrawan Lampung karena mereka tidak bisa berbahasa Lampung. Bahkan, banyak yang tidak berasal dari suku asli Lampung. Namun, siapakah yang bisa menolak hipotesis yang nyaris mutlak bahwa tidak ada satu pun penyair di dunia ini yang tidak meniru dari pendahulunya? Dan, sekecil apa pun, para pendahulu hulu itu belajar dari tradisi yang hidup di sekitarnya.

Sutardji Calzoum Bachri tidak "sebesar" sekarang tanpa ada pantun, Chairil tidak pernah bisa menulis puisi hebat tanpa mengikuti perkembangan perpuisian di Negeri Belanda dan Eropa. Sitok Srengenge pun tidak menjadi penyair lirik-romantik sekuat sekarang tanpa pernah belajar tentang puisi-puisi Jawa dan tekun belajar dari Rendra dan Goenawan Mohammad. Begitu juga dengan para penyair mutakhir, yang sekarang sedang gencar-gencarnya mempublikasikan karyanya. Mereka tidak akan pernah menjadi penyair seperti sekarang ini tanpa pernah membaca puisi-puisi karya orang lain.

Jadi, kalau begitu, di mana urgensi kearifan lokal dalam sastra (puisi, cerpen, novel, drama)? Benar kata Jimmy, kearifan lokal bisa jadi hanyalah nonsens dan masa lalu bagi sastrawan masa kini. Semuanya harus ditinggalkan karena kita harus melihat masa depan. Namun, tentu saja, tidak semua sastrawan di daerah akan mengganggap kearifan lokal sebagai nonsens dan masa lalu. Apalagi kenyataannya memang masih ada beberapa penyair dan cerpenis yang berdomisili di Lampung (saya tidak menyebut sebagai sastrawan Lampung) yang mengangkat masalah lokalitas dalam karya-karya mereka.

Dalam membicarakan tentang lokalitas dalam seni, menurut saya harus dibedakan antara warna lokal dengan kearifan lokal. Warna lokal mengacu pada idiom-idiom etnis yang sifatnya khas, sementara kearifan lokal lebih menunjuk pada nilai-nilai filosofi yang menjadi ciri khas masyarakat etnis tertentu. Dengan begitu, penyair atau cerpenis yang tidak bisa berbahasa Lampung bukan berarti dia tidak mengungkapkan warna lokal Lampung dalam karyanya.

Maka lihatlah, misalnya, naskah-naskah teater Iswadi Pratama, beberapa puisi Y. Wibowo, beberapa cerpen dan puisi Isbedy Stiawan ZS, cerpen Budi P. Hatees, beberapa puisi Christian Heru Cahyo Saputra dan Syaiful Irba Tanpaka menyiratkan warna lokal yang lumayan kuat. Soal apakah warna lokal baru sebagai etalase atau pajangan, itu soal lain karena toh mereka terus berproses.

Jadi, untuk mengangkat nilai-nilai tradisi atau nilai-nilai lokal tidak harus menunggu sang kreator fasih berbahasa daerah. Lain soal kalau si penyair atau cerpenis ingin menulis sastra etnis atau sastra daerah seperti Udo Z. Karzi menulis puisi-puisi dengan bahasa Lampung, Darpan Arya Winangun menulis cerpen-cerpen berbahasa Sunda, dan Suripan Sadi Hutomo menulis kentrung dengan bahasa Jawa Banyuwangi. Sebab, sastra etnis atau sastra daerah pengungkapannya sudah tentu memakai bahasa daerah atau bahasa etnis tertentu.

Nilai Baru

Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Kebudayaan daerah tersebut diwarnai oleh budaya suatu suku bangsa tertentu yang dominan di daerah tersebut. Serangkaian temu budaya yang digelar di lebih dari 15 provinsi, dua tahun lalu, menyimpulkan bahwa dalam konteks desentralisasi/otonomi daerah, budaya lokal merupakan kekuasaan dan potensi riil yang dimiliki suatu daerah sebagai aset daerah yang mendorong pengembangan dan pembangunan daerah.

Serangkaian temu budaya itu juga merumuskan agar dalam usaha membangun daerah perlu dilakukan pemberdayaan budaya lokal yang mendukung penyusunan strategi budaya atau rumusan rencana kegiatan budaya di daerah sebagai landasan daerah di bidang budaya. Budaya lokal dan desentralisasi adalah hubungan fungsional yang timbal balik, satu sisi budaya lokal sebagai potensi sosial budaya yang memberikan bahan kepada daerah untuk bisa digarap dan dimanfaatkan dan dari sisi desentralisasi daerah mempunyai kewenangan untuk mengolah potensi sosial budaya.

Selama Orde Baru, pusat menjadi pengendali kebudayaan-kebudayaan daerah. Semua hendak diseragamkanm. Kebudayaan kemudian lebih identik dengan wilayah administrasi dan kekuasaan. Hidup dalam era baru (otonomi daerah) yang memberikan ruang gerak yang relatif luas bagi pemerintah daerah, elite lokal, dan pelaku budaya di tingkat lokal, maka paradigma lama itu harus diubah. Harus ada redifinisi konsep kebudayaan daerah yang selama ini menempatkan budaya lokal sebagai objek.

Beberapa pakar memprediksikan budaya Lampung akan hilang beberapa puluh tahun lagi karena kurangnya daya dukung para pemiliknya. Prediksi ini memang menimbulkan kecemasan, terutama bagi warga Lampung etnis Lampung. Kalau kita bandingkan dengan kepedulian etnis Lampung untuk berbahasa Lampung, prediksi para pakar tersebut agaknya tidak berlebihan. Sebab, kita tahu bahwa bahasa merupakan tulang punggung budaya. Jika suatu bahasa tidak menjadi kebanggan pemakainya bahkan sampai hilang, itu berarti sebuah kehancuran budaya.

Kasus budaya Lampung, tentu berbeda dengan Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak, bahkan Betawi. Nilai-nilai tradisi di beberapa daerah juga diprediksikan akan hancur dalam beberapa dekade lagi. Namun, proses kehancurannya tidak secepat budaya Lampung karena bahasa Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang, dan Betawi masih dipakai dan dikembangkan para pemiliknya.

Meskipun terancam punah, sebenarnya masih ada peluang bagi budaya Lampung untuk ditumbuhkembangkan. Kuncinya hanya satu: ada kemauan politik dan kerja keras dari seluruh elemen masyarakat Lampung. Budaya Lampung harus dapat dimanfaatkan untuk melakukan penataan sosial dengan berdasarkan pada budaya dominan yang menjadi kerangka acuan sebagian besar anggota masyarakat untuk adaptasi dengan lingkungannya.

Strategi perlu dilakukan untuk memanfaatkan potensi yang ada pada budaya lokal sebagai dasar penataan sosial di daerah. Antara lain dengan cara mengidentifikasi sub-sub budaya daerah, memahami sub-sub budaya tersebut, membangun sebuah sistem budaya baru sesuai dengan sub-sub budaya yang ada di daerah, mensosialisasikan sistem budaya baru tersebut; mengembangkan arena- arena baru, ekspresi sub-sub budaya, serta memberikan keadilan untuk kelompok dengan budaya berbeda.

Untuk mengembangkan nilai baru budaya Lampung, saya membayangkan pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun masing-masing kabupaten/kota juga memiliki strategi yang jitu untuk mengembangkan kebudayaan. Kini, bukan saatnya untul menempatkan budaya modern secara berhadap-hadapan dengan budaya tradisi. Apalagi, kenyataannya, meski kaki kanan sudah melangkah di dunia modern, toh kaki kiri masih berpijak di ruang sempit yang masih lokal sifatnya.

Dalam konteks sastra, saya tidak bermimpi para penyair dan cerpenis Lampung tiba-tiba fasih berbahasa Lampung dan menghasilkan karya-karya sastra yang mengandung muatan tradisi Lampung. Tidak. Saya hanya membayangkan suatu saat ada sebuah novel yang ditulis dengan bahasa Indonesia, tetapi fasih berbicara tentang tradisi Lampung. Atau segebung puisi dan cerpen yang ditulis dengan bahasa Indonesia, tetapi memberi nilai baru bagi budaya lokal dengan warna lokal yang kuat. Sebuah mimpi yang sangat sederhana. Jauh lebih sederhana ketimbang mimpi tentang Tugu Siger yang "wah" dan uang miliaran rupiah yang menggelontor ke kantong lembaga kesenian.

* Oyos Sarono H.N, pembaca sastra, pemulung kata-kata.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Juni 2005

October 28, 2007

Horison: Dunia Puisi Dalam LAF 2007

PENYAIR Inggit Putria Marga -- penerima Anugrah Kebudayaan 2005 dari Menteri Pariwisata dan Kebudayaan -- melenggang ke panggung. Sambil membaca secarik kertas di tangannya, kata-kata puitis pun meluncur dari bibirnya:

Beri aku sajakmu
Matahari yang belum pernah
terbit di langit lain
Kicau yang belum pernah
berdesau di pohon lain
Tubuh yang belum pernah
memeram sukma lain
Api yang belum pernah
melelehkan lilin lain
Wahyu yang belum pernah
sampai ke nabi lain

Keheningan yang tak pernah
menyimpan kenangan lain
Harapan yang tak pernah
mengarah ke tujuan lain
Amarah yang tak pernah
pecah oleh sebab lain
Tawa yang tak pernah menggema
karena alasan lain

Selain aku!

Mudah-mudahan kamu
yang menyala redup
di bukit, langit, dan lautan,
reda gerimis di dalam selokan,
timbul tenggelam di balik awan,
hilang tampak
di sekeliling bulan,
bangkit jatuh di ujung jalan

Berkenan mengabulkan!

Dan begitulah, seperti biasa, malam itu, satu demi satu penyair tampil di panggung Pasar Seni Enggal, Bandarlampung. Panggung yang temaram, malam yang dingin, penampilan para penyair yang nyaris hanya mengandalkan teks, dan jumlah penonton yang tidak terlalu banyak, membuat pentas Dunia Puisi dalam iven Lampung Arts Festival (LAF) 2007 itu terkesan sepi dan ngelangut, namun justru hidmat. Kata-kata puitis yang bermakna dalam, meresap ke hati penonton, meninggalkan kesan yang nyaris tak terlupakan.

Sekitar 40 penyair dari berbagai penjuru Tanah Air, malam itu (27 Agustus 2007), bertemu di Lampung, membacakan karya-karya andalan mereka, dan mendiskusikan beberapa persoalan terkini perpuisian Indonesia. Baca puisi berlangsung di Pasar Seni Enggal, sedangkan diskusi sastra berlangsung di kantor redaksi Lampung Post pada keesokan harinya.

Meskipun tidak merangkum seluruh potensi kepenyairan di Indonesia, pentas Dunia Puisi LAF 2007 berhasil mepertemukan para penyair nasional dan daerah dari berbagai generasi, sejak generasi 1980-an hingga 2000-an.

''Para penyair yang diundang rata-rata telah berkiprah di dunia puisi sejak 1980 hingga 2000. Masing-masing diundang untuk mewakili generasinya, sehingga dapat memperjelas benang regenerasi perpuisian di Indonesia dan memberi sumbangsih bagi apresian puisi di Lampung,'' kata Panji Utama, sekretaris Panitia Pelaksana LAF 2007.

Penyair nasional dari generasi 1980, antara lain diwakili oleh Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Sugandhi Putra, dan Syaiful Irba Tanpaka (Lampung), Ahmadun Yosi Herfanda, Bambang Widiatmoko, dan Endang Supriadi (Jakarta), Achmad Subbanuddin Alwy (Cirebon), Micky Hidayat dan YS Agus Suseno (Banjarmasin), serta Anwar Putra Bayu (Palembang).

Dari generasi sesudah mereka, antara lain ada I Wayan Sunarta (Denpasar), serta Oyos Suroso HN, Inggit Putria Marga, Budi P Hutasuhut, Y Wibowo, Jimmy Maruli Alfian, Anton Kurniawan, Alex R Nainggolan, Ari Pahala Hutabarat, AJ Erwin, dan Lupita Lukman (Lampung). ''Panitia sebenarnya juga mengundang sejumlah penyair dari Malaysia, Singapura, Thailand, Sri Lanka, dan Brunei Darussalam. Namun, mereka berhalangan datang,'' kata Panji Utama.

Beragam sajak dengan berbagai tema dibacakan oleh para penyair, sejak puisi cinta sampai sajak religius, sejak imaji alam yang lembut sampai kritik sosial yang pedas, seperti sajak yang dibacakan YS Agus Suseno berikut ini:

Katamu
katamu ingin negara ini maju
tapi biaya pendidikan mahal.
Katamu
katamu ingin melihat
negeri ini berkembang
tapi lihatlah
bangunan sekolah dihancurkan
diganti mal dan plaza.
Mau dibawa ke mana anak negeri ini?
Jadi pembantu di negeri orang?

Keesokan harinya, topik-topik sastra terkini dibahas dalam diskusi yang menampilkan Ahmad Syubanuddin Alwy, Wayan Sunarta, dan Ahmadun YH sebagai pembicara. Alwy dan Wayan menyorot kasus Sajak Malaikat karya Saiful Badar yang mengundang kontroversi dan kemarahan sekelompok umat beragama setelah dimuat di Harian Pikiran Rakyat. Sedangkan Ahmadun membahas tentang melemahnya kekuatan teks di tengah menguatnya kecenderungan politik sastra.

Tidak hanya pentas baca puisi dan diskusi sastra yang digelar dalam Festifal Kesenian Lampung atau LAF 2007. Iven tahunan dalam rangka Festival Krakatau 2007 ini juga menggelar berbagai pertunjukan dan diskusi seni, di Grahawangsa, Telukbetung Selatan, Graha Pena Bandar Lampung, dan Pasar Seni Enggal.

''Selain acara sastra, LAF 2007 juga menampilkan pentas musisi kontemporer dan diskusi musik, tari kontemporer, teater, pameran seni rupa, dan pemutaran film,'' kata Ketua Pelaksana LAF 2007, Harry Jayaninggrat, yang juga sekertaris umum (sekum) Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Pertunjukan dan diskusi musik LAF 2007 menghadirkan Ben Pasaribu dengan tema Dua Arus. ''Selain Dunia Puisi, pertunjukan musik Dua Arus ini merupakan pergelaran utama LAF 2007. Pertunjukan ini memadukan musik tradisional, modern, dan kontemporer yang dipadukan secara apik,'' ujar Harry.

Seluruh acara LAF 2007 yang diselenggarakan oleh DKL itu berlangsung sejak 25 hingga 30 Agustus 2007. ''Pelaksanaan LAF ini merupakan ajang strategis pendukung Festival Krakatau dan Lampung Expo 2007,'' tambah Panji Utama.

Selama lima hari itulah para peserta dari Aceh (NAD), Sumut, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Babel, Banten, DKI Jakarta, NTB, Kalsel, Sulsel, Jabar, Yogyakarta, Jateng, dan Bali, mempertunjukkan karya-karya seni andalan mereka.

Selain itu, peserta dari 10 kabupaten/kota di Provinsi Lampung juga ikut mempertunjukkan karya seni budaya daerahnya masing-masing. ''Kami berupaya menyuguhkan kesenian yang berkualitas untuk masyarakat Lampung untuk meningkatkan apresiasi masyarakat,'' kata Panji.

Menurut Ketua DKL, Syafariah Widianti, LAF bertujuan untuk pengembangan kesenian di Lampung. ''LAF selain dapat dijadikan panggung pementasan karya para seniman, juga menjadi ajang dialog kebudayaan sekaligus tempat untuk memperkenalkan kesenian Lampung secara lebih luas lagi,'' katanya. (ayeha/berbagai sumber)

Sumber: Republika, Minggu, 28 Oktober 2007

October 26, 2007

Sajak: Liwa

-- Fina Sato*


Gunung Pesagi (Foto: Smolo)


kupagut dingin bukitbukit
dara yang merona
sejuk wajahmu bagai periperi hutan
tangis hujan merincik
di kotamu
membalut tubuhku dalam pesta sekura
kita menari, perempuanku!
meremang sepanjang tanjungkemala
kau perempuan hijau di punuk pesagi
tidakkah pertemuan kita
adalah sunyi?

ke barat,
kulumat perjalanan menuju krui
pelabuhan yang menjejak pulang dan pergi
kabut kembali meremang waktu
sepanjang bandar merindu
dan ikanikan tak henti bertanya
ke mana arah bidok cinta bermuara

di sini
orangorang pun akan bertanya padamu
danau ranau tempatmu merantau?
menyelami tiyuh kenangan
berkaca pada batubatu legam
pada sawahsawah basah
dan dendang burung di reranting pinang
lalu membasuh hitam rambutmu
di percikan kubuperahu?

kita luluh di kota tua ini
arus angin menggerus waktu
akhir usia di pucuk gunung
diantara uapacaraupacara adat
kita menari, perempuanku!
karena ikanikan terus bersenandung
sepanjang way
di jalanjalan
tepian hutan

bumi singgah, 2006

Keterangan:
bidok: bendungan-bendungan tempat ikan (Lampung)
tiyuh: kampung (Lampung)
way: sungai (Lampung)

________________________________________

* Fina Sato, lahir di Subang 16 Februari 1984. Menulis cerpen, naskah drama, esai, sajak, dan membuat “drawing”. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung. Aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI Bandung, MnemoniC-gank mnuliz-, Komunitas Selasar, Komunitas Babad Bumi, Komunitas Ruang Aksara, dan Komunitas Anak Malam Independen.

Sumber: Homepages Fina Sato, 4 Oktober 2006

October 22, 2007

Lampung literature leads nation, inspires poets

-- Oyos Saroso H.N., The Jakarta Post, Bandarlampung

AN eight-by-ten square meter room in a Lampung University campus complex had been transformed into a performance-ready theater.

Iswadi Pratama, one of Lampung's prolific poets, reads his poems at a Jubisa forum. (JP/Oyos Saroso)

A wall at the back of the stage had been covered by a black tarpaulin. As for seats, well the audience had to put up with mats on the floor.

When the stage lights came on, a young woman who was acting as the master of ceremonies gave a welcome speech. That young woman was Fitriyani, section head of the University Student Activities in the field of arts at Lampung University (UKMBS).

Fitriyani then invited the many people in the audience to listen and enjoy a night of poetry readings.

When each poet finished delivering his or her work time was allocated to discuss the poems. Commentators, who included academics, writers, literary critics and language experts, then discussed aspects of the reading and performance and the poet's approach to the subject.

Members of the audience were then given a chance to make their own criticisms and comments about the poetry.

The event is called the Literature Chamber Meeting (Jubisa) and has now been running for nearly two years. Organized by UKMBS activists, it's held on the third Friday of every month.

It has become a prominent and important literature forum, eagerly anticipated by all lovers of the written word, from young university students through to established literary figures.

The audiences usually consist of arts undergraduates and the literati who enjoy watching the on-stage performances of the Lampung poets currently enlivening the world of Indonesian literature through their works.

The audiences can also savor and appreciate the poems of newcomers who make their debut at the start of each month's proceedings.

For those poets whose work is performed and discussed, the Literature Chamber Meetings are a fine forum for exposing their creativity to the public. While for those university students who are studying poetry, the event is a place to learn together.

"Although tough criticism is often made of some of the works, this event is important to gauge the esthetic achievement of a poet. The activity is also important to help build a new generation of Lampung poets," said Ari Pahala Hutabarat, a poet who is also head of the Arts Council Literary Committee in Lampung.

According to Ari, the poet Wayan Sunarta from Bali, whose work has been published in book form, came to the Jubisa forum.

"Apart from having his writings read by Lampung poets, Sunarta's poems were also criticized by the audience," he said. "But there were others who supported his work."

According to Ari, Lampung has now earned itself an important place on the Indonesian poetry map, along with Bali, West Sumatra and West Java.

Some poets whose works developed during their time on the campus had later gained fame in other parts of Indonesia and overseas.

"Many critics and observers of Indonesian literature have said Lampung is taking an important role because it is helping revive poetry and is doing so with success," Ari said.

"As an example, almost every Sunday a Lampung poet has his or her work featured in the national mass media and in the regional press. These published pieces include the work of poets who started writing back in the 1970s and 1980s, through to the younger and more recent arrivals on the literary scene."

Before the 1980s very few people knew of the work that was being done in Lampung by the literary set. The only Lampung writer whose name was nationally known was Motinggo Busye, though only after the short story writer and stage actor had moved to Jakarta.

The name Lampung started appearing in the literary world after the appearance of poetry and short stories written by Isbedy Stiawan Z.S., Iwan Nurdaya Djafar, Asaroedin Malik Zulqornain, Sugandhi Putra, Naim Emel Prahana, Syaiful Irba Tanpaka, Sutarman Sutar, Ch. Heru Cahyo Saputro, to name a few.

Many had their works published in the Jakarta mass media in the 1980s and thereafter.

The next generation that started writing poetry and short stories in the 1990s is still active and productive.

Among the members are Iswadi Pratama, Panji Utama, Budi P. Hatees, Ahmad Yulden Erwin, Gunawan Pharikesit, Rifian A. Cheppy, Ivan Sumantri Bonang, M. Arman A.Z., Dahta Gautama, Udo Z. Karzi, and Edy Samudra Kertagama.

More recent Lampung writers whose work has appeared this century include Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Dina Oktavani, Dyah Indra Mertawirana, Lupita Lukman, Imas Sobariah, Hendri Rosevelt, Eli Harda, Andriyani, Anton Kurniawan, and Hazwan Iskandar Jaya.

Some Lampung poets whose work was born on the Lampung University campus have been active in UKMBS. They include Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin, Panji Utama, Ivan Sumantri Bonang, Rifian A. Cheppy, Gunawan Pharikesit, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Anton Kurniawan, Dina Oktaviani, Dyah Indra Mertawirana, Hendri Rosevelt, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, and Elly Harda.

Iswadi Pratama, a poet and leader of Teater Satu, said the campus art community played a very important role in helping create new generations of poets and short story writers in Lampung.

"In Bali, the poet Umbu Landu Paranggi has helped many Balinese poets develop their skills so they can become master craftsmen," he said.

"All Lampung young poets have had their work enriched through discussions with senior poets and we have learned together," said the poet who is now developing a poetry school that is attended by dozens of senior high school students.

According to Iswadi, the revival of poetry isn't just occurring in Bandarlampung city, but in other communities around Lampung. For example in Metro, a small town in Lampung, the work of many new generation poets was being recognized.

These groups generally consisted of activists from other campuses, and who were studying art. This has led many observers of the literary scene to comment that Lampung is actually "poet country".

"Apart from Bali, there's no other area in Indonesia that can equal the number of poets that we have here in Lampung," said Iswadi.

Sumber: The Jakarta Post, October 22, 2007

Monolog: Teater Satu Pentas di Malaysia

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Teater Satu Lampung sukses mementaskan monolog Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi. Naskah ini dipentaskan dengan sutradara Imas Sobariah di Malaysia, Jumat (19-10).

Manajer Teater Satu Lampung yang juga sutradara, Imas Sobariah mengemukakan hal tersebut saat dihubungi Lampung Post, Minggu (21-10). Dia mengatakan bahwa pada pementasan kali ini, Teater Satu hanya membawa tiga kru. Yakni, Imas sendiri sebagai sutradara, Hamidah sebagai pemain, dan Ahmad Jusmar selaku bagian artistik. "Memang penampilan di Kuala Lumpur ini bisa dikatakan sebagai pemanasan sebelum dilakukannya pementasan Teater Satu selengkapnya di Malaysia pada Desember yang akan datang," kata Imas.

Dia mengatakan bahwa keberangkatan Teater Satu ke Malaysia kali ini didukung sepenuhnya oleh sutradara sekaligus jurnalis asal Malaysia, Ann Lee. "Karena Ann Lee sendiri beberapa waktu lalu menjadi juri dalam liga teater pelajar SLTA di Taman Budaya Lampung. Jadi, memang sudah terjalin komunikasi yang intens."

Namun memang terpilihnya Teater Satu, kata Imas, tidak langsung begitu saja. "Akan tetapi tetap dilakukan seleksi. Kami dari Teater Satu membawa beberapa video pementasan yang pernah dilakukan. Ternyata Ann Lee sangat tertarik mengangkat naskah Perempuan di Titik Nol ini dalam kegiatan kemarin ini," ujarnya.

Selain itu juga, dalam waktu dekat ini, Teater Satu juga akan mengadakan pementasan "Nostalgia Sebuah Kota" di daerah Sumatera. "Insya Allah akan dilakukan pementasan lagi atas naskah tersebut di kota di Sumatera. Tentu saja sebelumnya dilakukan perubahan yang disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini."

Bahkan belum lama ini, Ruth Marini dari Teater Satu juga turut ambil bagian dalam Festival Melayu di Riau dengan menampilkan monolog. Selain juga pada 2--3 Agustus lalu Grup Teater Satu Lampung tampil di Festival Kentut-Roedjito di Surakarta dengan mengusung lakon "Aruk Gugat" karya Iswadi Pratama. n TYO/S-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Oktober 2007

October 20, 2007

Tradisi Lisan Lampung yang Terlupakan

-- Udo Z. Karzi

jak ipa niku kuya
jak pedom lungkop-lungkop
badan mak rasa buya
ngena kebayan sikop

dari mana kau kuya (nama binatang air)
dari tidur berbalik-balik
badan tiada letih
dapat pengantin cantik

GELINJANG kata sastra (lisan) Lampung ternyata tak hanya hidup di pekon-pekon (kampung), tetapi masih terasa di Kota Bandar Lampung. Tanpa banyak bicara, diam-diam Radio Republik Indonesia (RRI) Bandar Lampung terus berupaya mengalirkan puisi-puisi dan prosa-prosa (sastra lisan) Lampung lewat gelombang 98 MHz.

Sudah dua tahun lebih, RRI menggelar acara "Ragom Budaya Lampung" (RBL) setiap Sabtu malam. Kalaulah acara serba tradisi Lampung ini tidak mendapat atensi dan apresiasi dari masyarakat, mungkin dia sudah lama tenggelam dalam modernitas, terlibas budaya pop yang terus menggelontor. Syukurlah, penutur dan pendengar sastra lisan Lampung masih ada, sehingga buat sementara kekhawatiran akan punahnya berbagai jenis sastra lisan Lampung tidak akan terjadi.

Merayakan ulang tahun kedua acara RBL, RRI Bandar Lampung menyelenggarakan Pesta Canggot Budaya, Sabtu, 7 Juni lalu. Puluhan marga adat dan 300-an pencinta seni tradisi Lampung terlibat dalam kegiatan ini. Aneka seni tradisi Lampung pun mengalir ke pendengaran para hadirin dan pemirsa radia.

Halijah Rai Sai Indah dan A. Roni Ratu Angguan pun ber-pattun setimbalan (berbalas-pantun): Tabik pai kidah numpang bubalah/Kimbang nyeluga dikuti dija/Adik Hadijah Ghatu Sai Indah/Api pai mula kuti ghamik ga//Tengisko kuti dipa jengan ni//Pubian ghik Abung siaran langsung/Ulah RRI debingi siji/Ulang tahun Ragom Budaya Lampung (Tabik, kami numpa bertanya/Maaf seandainya kalian bertanya-tanya di sini/Adik Hadijah Ratu yang Indah/Apa sebab ramai di sini//Kalian dengar mana tikarnya/Pubian dan Abung siaran langsung/Karena RRI malam ini/Ulang tahun Ragom Budaya Lampung).

Sesuai namanya, pengalan pattun yang dilantunkan Halijah dan Roni itu bersanjak ab ab. Bentuk lain yang acap disebut syair berima aa aa. Inilah ciri khas puisi lama yang kental dalam tradisi (lisan) hampir semua daerah di tanah air, tak terkecuali sastra (lisan) Lampung. Selain pattun, dalam khasanah perpuisian Lampung juga dikenal wayak seperti penggalan di awal tulisan ini, pepatcur, pisaan, adi-adi, segata, sesikun, memmang, wawancan, hahiwang, dan lain-lain.

Dalam catatan koordinator acara RBL RRI, Sutan Purnama, sejak diudarakan 1 Juni 2001, tak kurang 60 komunitas seni tradisi dari berbagai pekon (tiuh, desa) mengisi acara ini. Berbagai tokoh adat dari berbagai marga hadir dan ikut menyumbang kreativitas dalam olah seni tradisi Lampung.

Canggot Budaya Lampung yang diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun kedua RBL RRI pekan lalu menampilkan, antara lain diker baru yang dilantunkan perwakilan Way Semah dan Negerikaton, acara mengantar muli yang dibawakan Sutan Kaca dari Negerikaton, Marga Way Semah, ngelapah atau Pegeh yang dipimpin Paksi Pak Marga Way Semah.

Lalu, acara pun bergulir menampilkan kecakapan berolah kata Purandi Sutan Perdana dan Sutan Pangeran Pardasuka diiringi musik kulintang. Ada juga ngigol dari Marga Abung, Selagai Lingga, Bukujadi, Marga Way Semah, Nuban, Anak Tuho, dan Nunyai.

Ringget malam itu dibawakan seniman Bumi Nyerupa disambut pattun setimbalan A. Roni Angguan dan Halijah Ratu sai Indah. Berikutnya, beberapa muli meghanai utusan marga Minjak Naghi. Acara RBL yang biasanya dimulai pukul 21.00 WIB., malam itu dimajukan pukul 20.00 WIB dan baru berakhir tengah malam. Bagi yang tak mengerti bahasa Lampung, mungkin acara ini tak berarti apa-apa, tetapi bagi warga adat Lampung, boleh jadi acara seperti ini memiliki kesan mendalam.

Di sela-sela acara Canggot Budaya, Ketua Panitia Pelaksananya, Drs. Hermansyah MURP mengatakan, Ragom Budaya Lampung yang disiarkan RRI setiap Sabtu malam membuktikan orang Lampung memiliki inisiatif menumbuhkembangkan dan melestarikan seni-budaya Lampung.

Dia menyatakan kegembiraan sekaligus keharuannya melihat dua tahun perjalanan RBL di radio pemerintah ini. Melihat antusiasme khalayak setiap acara ini digelar dan diperdengarkan melalui udara ke pelosok-pelosok Lampung, Hermansyah meyakini sastra (lisan) Lampung sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang.

Karena itu, Hermansyah meminta dukungan yang lebih besar lagi dari pemerintah daerah, tokoh-tokoh adat, Dewan Kesenian Lampung, stakeholder, dan masyarakat pecinta seni tradisional untuk pengembangan acara ini.

"Kita berharap sajian seni tradisi Lampung semakin berkualitas dan memasyarakat, sehingga pada gilirannya, budaya Lampung dapat menjadi tuan rumah di daerah sendiri. Ke depan, saya berharap budaya Lampung dapat menjadi komoditas yang bisa dijual seperti di Bali dan dearah lainnya," ujarnya.

Menurut Wali Kota Bandar Lampung Suharto, Canggot Budaya dapat menjadi sarana melestarikan kebudayaan sekaligus memeberdayakan masyarakat dalam memelihara nilai-nilai adat istiadat. "Canggot Budaya dapat meningkatkan kecintaan terhadap budaya dan adat istiadat, menumbuhkembangkan budaya Lampung di era global. Nilai estetika, etika, dan moral dalam karya seni-budaya dapat menjadi pengatur temperatur batin untuk memperkecil sifat-sifat individua dan egois," ujarnya.

RBL RRI Bandar Lampung terus mengudara setiap Sabtu malam. Terakhir, Grup Wawai Hati dari Tiuh Bumiaji kecamatan Padangratu Anak Tuho tampil, Sabtu, 28 Juni 2003. Dalam acara muncul Mismanto, siswa kelas 3 Sekolah Dasar melantunkan diker baru. Setidaknya, inilah generasi baru penerus Ragom Budaya Lampung di tengah gempuran kebudayaan baru dari berbagi penjuru angin.

Kembali ke sastra lisan Lampung, petikan di awal tulisan ini adalah wayak, sebuah puisi lama dari khasanah sastra lisan Lampung dan dikenal di Pesisir Lampung. Wayak Jak Ipa Niku Kuya ini seperti terpatri dalam ingatan seorang anak Lampung karena sering dilafalkan saat mengiringi prosesi perkawinan adat Lampung. Isinya, sebuah sindirin bagi seseorang (diibaratkan kuya) yang pemalas, tetapi (seperti mimpi) tiba-tiba mendapatkan gadis cantik. Sindir-menyindir dalam bahasa yang penuh petatah-petitih, tradisi ini masih kuat dalam masyarakat tradisional Lampung di umbul-umbul (sejenis desa, red.).

Sastra lisan Lampung juga mengenal warahan, semacam kisah rakyat yang dituturkan seorang pewarah (semacam pengisah atau pendongeng) kepada seseorang atau khalayak. Dalam perkembangannya, warahan dapat berbentuk puisi, puisi lirik, atau prosa, tergantung dari kemampuan di pewarah dalam bertutur. Kalau kemudian ada kreativitas yang berupaya memasukkan warahan dalam seni olah peran, teater modern, itu karena memang dalam tradisi warahan, terdapat unsur-unsur olah vokal dan sesekali pewarah menirukan gerak tokoh yang ia ceritakan, meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebuah potensi yang belum tergarap baik sebetulnya. n

Sumber: Akar Edisi 07/Tahun I/9-23 Juli 2003

October 18, 2007

Ugoran Prasad: Seni itu Memberi Ruang Redam

PILIHANNYA bergelut dalam dunia seni tak sia-sia, malah membuahkan hasil gemilang. Muda dan berkarya, begitulah yang ada di benak Ugoran Prasad, pekerja sastra kelahiran Lampung yang memilih menetap di Yogyakarta.

Lama bergelut di dunia sastra, banyak karya yang telah ditelurkan dan membuahkan apresiasi, penghargaan untuk karya cerita pendek terbaik untuk Cerpen Pilihan 2005--2006, di salah satu harian nasional ternama tahun 2007, dan karya fiksi peserta Utan Kayu Literary Bienalle 2007, Komunitas Teater Utan Kayu 2007.

Bolak-balik Lampung--Jogja, kerap dilakukan Ugoran. Maklum saja, meskipun memilih Kota Gudeg untuk berkarya, toh keluarga besarnya masih di Tanah Bumi Ruwa Jurai. Bahkan, usai menerima penghargaan dari Kompas, ia mampir ke Kota Tapis untuk sekadar melepas kangen di kota kelahirannya. Ugoran pun berbagi pengalaman dengan wartawan Lampung Post Mustaan seputar seni dan karya sastra.

Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan dunia seni sastra di Indonesia?

Sastra adalah medan kesenian yang paling bisa bertahan dalam keadaan paling darurat. Penyair bisa bekerja dengan pulpen dan selembar kertas tisu. Jadi asumsinya, sastra bisa hidup dalam keadaan apapun. Saya bekerja di kelompok teater yang saya rasa lebih besar tuntutannya.

Sebagai karya, teater berlangsung seketika yang peristiwanya diciptakan bersama penonton. Sastra juga membutuhkan pembaca, tapi tidak di saat yang sama.

Begitu karya sastra selesai, ia menjadi dokumen, milik sejarah, bahkan bagi pengarangnya. Dokumen, selama tersedia, selalu bisa dikunjungi kapan saja. Mpu Prapanca, karyanya baru dibaca 400 tahun setelah kematiannya. Kini, ahli sejarah Asia mana yang belum baca Negarakertagama?

Nah, soal perkembangan, ini lain lagi. Pertanyaan ini memaksa saya balik bertanya: kita mau membicarakan perkembangan yang bagaimana? Atau, apa yang sebenarnya disebut sebagai perkembangan sastra? Parameternya apa? Ini soal yang rumit, saya pikir. Menilik bahwa penyair-penyair terus dilahirkan, penulis muda dapat ruang, pembaca masih berminat membaca, untuk mudahnya, ya baiklah, sastra Indonesia masih menciptakan ruang perkembangan. Ini tidak memuaskan, tapi cukup.

Tentang perkembangannya di Lampung?

Saya melihat sastra di Lampung dari kejauhan. Sejak 1996, saya kuliah di Jogja. Jadi sama sekali tidak sempat kontak langsung dengan pengarang-pengarang Lampung. Saya malah ketemu bang Is (Iswadi Pratama, red) di Jogja, lewat kontak Teater Satu dengan Teater Garasi. Dina Oktaviani juga, ketemu di Jogja. Waktu SMA saya dengar nama-nama penulis atau penyair Lampung, ada Iwan Nurdaya-Djafar atau Isbedy Setiawan Z.S. Tapi saat itu, karya tulis orang dari Lampung yang benar-benar saya baca cuma Bubin Lantang.

Akhir 90-an baru saya dengar perkembangan menarik forum-forum sastra di Lampung. Sekarang ada banyak nama-nama seumuran saya yang cukup perlu untuk dibaca. Ada Ari Pahala, Jimmy Maruli, untuk menyebut beberapa nama.

Perlu tidak karya sastra sebagai wujud berkesenian mulai diajari sejak usia dini. Apa gunya juga berkesenian itu?

Saya pikir sastra, bahkan kesenian secara luas, sangat penting nilainya, terutama sekarang ini. Dunia bekerja sangat cepat, orang cenderung dipaksa beradu cepat, berebut hal-hal penting. Pasar ada di mana-mana, politik, ekonomi, semuanya pasar.

Dan sastra nggak terlalu berguna sebenarnya. Nggak bakal mati kalo nggak ada sastra. Justru di situ pentingnya. Seni memberi ruang redam. Suatu ruang selainnya kenyataan sehari-hari namun sekaligus anak kandung dari kenyataan itu sendiri. Ini paling kelihatan dalam prosesi orang masuk gedung bioskop atau teater. Antre, masuk ke ruang lain, gelap, mengambil tempat duduk, selama dua jam mengonsumsi bukan kenyataan yang terberi oleh kenyataan. Struktur ini sama juga dengan sastra, hanya batas spasialitasnya lebih kabur.

Anda ahli membuat karya cerpen hingga menjadi cerpenis terbaik versi salah satu surat kabar nasional?

Soal ahli-ahlian ini, saya bukan ahli. Ini bukan soal rendah hati atau bukan. Buat saya, tidak penting seorang pengarang itu ahli atau bukan. Saya pikir pengarang yang baik adalah pengarang yang selalu mengenyahkan pikiran tentang "ahli-ahlian" ini. Oya, (penghargaan) itu juga bukan untuk cerpenis terbaik. Cerpenis terbaiknya buat saya jelas. Ada Danarto, Seno Gumira, Adek Alwi, Gus Tf., mereka sungai, saya empang. Cerpen terbaik, ini lain. Karya itu, dari skema ruang dan waktu yang terbatas, dianggap baik mata dua orang juri, dua orang pembaca. Penilaian ini belum tentu disepakati pembaca yang lain. Ruang yang tercipta dari berbagai pandangan dan aras penilaian--suatu diskursus--itulah yang menumbuhkan.

Dari mana asalnya saya bisa bikin cerita, itu bisa saya jawab. Saya belajar membaca dan menulis. Belajar membaca sebagai pembaca dan belajar membaca sebagai penulis. Juga, belajar menulis sebagai pembaca. Pelajaran saya sendiri belum selesai. Jadi, saya nggak bisa sok tahu. Saya bisa bagi metode saya tapi metode itu bisa salah.

Bagaimana posisi sastrawan asal Lampung di kancah sastra di Indonesia, apakah sudah mulai diperhitungkan? Apakah cerpenisnya juga sudah mulai tumbuh di Lampung?

Saya pikir iya. Terakhir saya dengar Iswadi Pratama, bersama penyair dari empat kota lain (Gunawan Maryanto, Nur Zen, Sindu Putra dan S. Yoga), disebut sebagai penyair di bawah usia 40 yang paling pantas diperhitungkan di Indonesia. Kalau tidak salah, judul antologinya Lima Pusaran. Saya pikir komentar Nirwan Dewanto tentang perkembangan penyair-penyair terkini, termasuk di Lampung, lumayan keras. Harusnya bisa jadi perdebatan yang menarik. Siapa tahu Nirwan salah lagi.

Cerpennya memang cuma saya baca beberapa. Tidak sekaya hasil ciptaan puisi, entah kenapa. Mungkin belum.

Menulis cerpen itu bagian dari kerja jurnalistik. Pada kondisi bangsa yang memang masih mencari jatidirinya, apakah sangat layak untuk dibuat karya cerpen atau cerita lainnya?

Dalam kondisi apapun cerita layak dibuat, dituliskan. Dari dulu tukang cerita, para pendongeng, mengikatkan diri pada kondisi, bertolak dari kondisi, untuk bisa memamah kondisi. Sekalipun gak paham-paham, proses memamah ini penting. Bahwa banyak pengarang mengambil inspirasi dari kerja jurnalistik, ini benar. Tapi menyebut kerja penulisan fiksi sebagai bagian dari kerja jurnalis, sepertinya terlalu menekan. Jurnalisme diharuskan bekerja sebagai penyampai kebenaran. Ini ontologi sekaligus sumber soal terbesar jurnalisme, kan? Fiksi lebih ringan hati. Suatu fiksi yang baik, berusaha merekam dan merepresentasikan konteks tertentu dengan logika tertentu pula, artinya ia perlu melengkapi diri dengan data yang baik, mematuhi aturan sebab akibat tertentu. Saya bilang tertentu, sebab realisme dan fantasi, misalnya, ukuran-ukuran intrinsiknya berbeda. Begitupun ukuran itu harus ada. Nah, sepatuh apapun, selengkap apapun, fiksi bukanlah kebenaran. Mungkin ada pretensinya, tapi ia tetap bukan kebenaran. Ia bisa mirip, terasa seperti, tapi bukan. Batasannya jelas.

Seorang cerpenis biasanya identik dengan perayu, ahli diplomasi, ahli pidato dan bahkan ahli dalam dokumentasi. Apakah itu memang karakter seniman pada umumnya?

Saya bisa merayu ibu saya. Merayu teman perempuan saya juga bisa, tapi jarang yang percaya. Diplomasi, saya tidak bagus. Sering berujung pada ribut keras yang nggak produktif. Saya tidak terlalu suka karakter diskusi verbal. Saya sangat jarang bisa mendapatkan kedalaman pembahasan kecuali dalam diskusi kecil yang terbatas, 5--8 orang. Lebih dari itu, pasar. Kadang-kadang pasar bagus juga, kadang bikin capek. Dokumentasi, saya pikir penting. Saya sangat terinspirasi dengan modus-modus dokumentasi pengarang-pengarang dari disiplin angkatan 40 sampai 60-an. Rajin, teliti, mungkin karena zaman itu belum ada TV. Karakter seniman pada umumnya, saya pikir lebih banyak yang mengira dirinya seniman daripada yang benar-benar berkesenian. Begitu seniman mengira dia harus mengutamakan ciri-ciri tertentu agar tampak seperti seniman, sebenarnya dia lebih cocok jadi tentara.

Biasanya seniman termasuk cerpenis atau penyair, dimulai saat orang kuliah. Dengan indekos dia mencari tambahan uang saku, kuliah, makan atau indekos. Pengalaman Anda?

Ya, seperti itulah, biasanya. Saya agak lebih ringan, karena bisa cari duit dengan cara lain. Menerjemahkan buku, menulis liputan, dokumentasi proses, semacam itu. Di waktu awal, saya tidak mau membebani kerja penulisan fiksi saya dengan proses cari duit, jadi bisa lebih rileks. Satu cerpen bisa saya kerjakan berbulan-bulan, satu novel bertahun-tahun. Tapi ada efek lain, saya jadi tidak prolifik. Lagian, sebenarnya tidak harus satuan waktu berbanding lurus dengan pencapaian karya. Tidak harus berlama-lama. Ada yang bisa bikin cerita dari satu peristiwa terantuk batu. Itu saya tidak bisa. n M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2007

Ugoran Prasad: Memilih Berkarier di Jalur Seni

WALAUPUN bukan menjadi rutinitas, menulis merupakan hal yang sangat menyenangkan dan harus menjadi agenda tersendiri baginya. Dengan menulis, memori tersimpan yang membebani otak dapat dituangkan. Sehingga, rongga memori otak dapat terus terisi dengan hal yang baru dan pada akhirnya perjalanan hidup akan dinamis.

Begitu pemahaman Ugo Prasad tentang menulis dan membaca yang memang telah ditradisikan orang tuanya dalam keluarga. Walaupun dalam keluarganya, hanya Ugo yang mengikuti kegemaran ayahnya, almarhum Firdaus Agustian, sebagai seorang penulis dan juga budayawan di Lampung itu. "Kegiatan menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan, mula-mula juga saya lihat dari beliau (ayahnya, red). Sejauh ini, hobinya yang saya ikuti," kata peneliti pada Yayasan Kebudayaan Garasi itu.

Soal karier dalam penulisan, Ugo mempunyai prinsip tersendiri yaitu setiap pekerjaan mempunyai risiko. Sehingga, baik almarhum ayahnya dahulu, juga ibu dan adik-adiknya mengamini saat saya terjun ke dunia seni. Walaupun, kedua orang tuanya awalnya menginginkan dia menjadi sarjana teknik.

"Atau mungkin karena kecuekan saya sehingga orang tua saya jadi bosan menekankan keinginannya kepada saya," kata pria lajang alumnus SMA Negeri 2 Bandar Lampung itu.

Sampai kemudian di dunia seni budayanya itu, Ugo mempunyai karier ilmiah sebagai peneliti di departemen riset dan penelitian Yayasan Teater Garasi. Lagipula, pekerjannya itu sama pentingnya dengan kepenulisan fiksi, terutama karena watak ontologis teater yang menyatukan berbagai disiplin. Suatu pekerjaan yang harus berbasis kolaborasi, bukan saja antarberagam seniman tapi juga dengan publik penontonnya. "Kalau seseorang mau tidak mau harus berdiam di pasar, saya kira teater adalah salah satu bentuk pasar yang ideal, sekalipun bukan pasar yang ekonomis," ujar Ugo.

Ugo mengaku ada keasyikan tersendiri saat dia menulis. Misalnya salah satu pengalamnnya suatu kali menulis cerita yang tepat ketika selesai ceritanya mirip dengan cerita suatu film yang baru dirilis atau karya tulis yang belum terbaca dia. Sampai akhirnya karya itu tidak dipublikasikannya. Dia berpikir dahulu itu mengesankan tapi sekarang tidak lagi karena banyak penulis ternyata juga mengalaminya. "Pengalaman yang berulang memang bisa berubah-ubah kategori pemaknaannya. Inilah keasyikannya bisa memahami setiap kejadian dalam perjalanan hidup," katanya. n MUSTAAN/M-1


Biodata:

Nama : Ugoran Prasad
Tempat/tanggal Lahir : Tanjungkarang, Lampung, 6 Oktober 1978
Alamat : Jl. Bugisan Selatan 36A. Tegal Kenanga, DI Yogyakarta 55181
E-mail : souperugo@gmail.com

Pendidikan :
- Madrasah Islamiyah, Telukbetung (1984--1989)
- SMPN 2 Tanjungkarang (1989--1992)
- SMAN 2 Tanjungkarang (1992--1995)
- Strata Satu Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta (2003)

Pekerjaan:
- Pengarang (1999--Sekarang)
- Associate Editor, L'Bur Theater Quarterly, Jurnal Teater dan Seni Pertunjukan (2004--Sekarang).
- Peneliti Program Penelitian dan Pengembangan Teater Yayasan Teater Garasi (2005--sekarang)

Penghargaan:
- Karya Cerita Pendek Terbaik untuk Cerpen Kompas Pilihan 2005--2006, Harian Kompas Gramedia, 2007.
- Karya fiksi peserta Utan Kayu Literary Bienalle 2007, Komunitas Teater Utan Kayu, 2007.

Kegiatan seni lainnya:
- Penulis dan penampil lirik untuk kelompok musik MelancholicBitch, Yogyakarta. Kelompok ini telah menghasilkan dua album (Live at nDalem Joyokusuman, 2003, dan Anamnesis, 2005). (1999-Sekarang)
- Terlibat dalam beberapa kerja kuratorial untuk kelompok dan proyek seni new-media, atau beragam seni lintas disiplin, antara lain: Performance Fucktory (kelompok pertunjukan, 1998-2002, kurator internal), Parkinsound#1-3 (festival musik elektronik, 1999-2001, kurator internal dan kolaborator inisiasi), Re:Publik (festival lintas disiplin, 2005, anggota tim kurator).
- Kurator internal dan kolaborator desainer konsep untuk 1hrs 2b Oth3rs, proyek seni rupa new-media atas tubuh penampil dan pengunjung pameran dengan menggunakan benda-benda mekanis, mencoba mengenali algoritma fungsi-fungsi ketubuhan melalui pertukaran indera untuk kemudian melacak dasar-dasar dari relasi-relasi personal (Jompet Kus Widananto, Warsito, Ugoran Prasad, Rita Dharani, Andy Seno Aji) dipresentasikan di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Bangkok, Singapore, dan Berlin (2003-2005).

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2007

Khazanah: Pelestarian Seni Tradisi,Menjaga Kesakralan atau Kreasi?

-- Mustaan

SAKRALNYA seni tradisi daerah menjadi potensi tersendiri dalam mendukung pengembangan. Karena seni bukan hanya sekadar prestise suatu daerah, melainkan ada tradisi-tradisi yang harus dijaga keasliannya. Dari berbagai ragam seni, tentunya dibarengi dengan legenda atau juga ritual tradisi yang harus tetap dijalankan. Walaupun sebagian masyarakat mengartikan lain terhadap ritual tradisi sebagai hal yang bertentangan dengan akidah, ritual tersebut harus tetap dijalankan, untuk sekadar memberi warna lain dalam setiap pertunjukan seni. Seperti membakar dupa untuk menambah kekuatan psikis pemain seni atau puasa untuk memberikan pencerahan pada ruang batinnya.

Seperti juga permainan musik tradisional, ada juga ritual tradisi dalam mempelajarinya. Alat musik tradisional perkusi seperti gamelan dalam bahasa Lampung: gamolan atau talo yang sudah umum digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Alat musik yang satu ini dari beberapa versi diakui berasal dari tanah Jawa, tetapi beberapa daerah juga menggunakan untuk mengiringi tari atau lagunya.

Selain berbahan baku logam seperti umumnya di daerah Pulau Jawa, ada bahan dasar pembuatan alat musik ini. Seperti dari kayu atau yang biasa disebut kolintang yang digunakan di Minahasa, Sulawesi Utara. Juga ada yang berbahan baku bambu seperti yang digunakan di Lampung dan disebut gamolan pering atau cetik. Namun seperti pada umumnya di daerah luar Pulau Jawa, di Lampung tidak ada notasi baku atau laras atau juga partitur pada alat musik ini.

Mulai dari cara membuatnya pun ada ritual adat tradisi yang harus dilakukan "sang empu". Mulai dari memilih bahan baku dari kuningan, kayu atau bambu, menempanya menjadi bilah-bilah sampai menyusunnya dalam kesatuan alat musik. Semua bercampur antara keterampilan, naluri hingga kekuatan metafisik yang didapat dari ritual yang ditradisikan nenek moyang. Belum lagi cara bermain alat itu yang juga harus mencampurkan semua unsur kekuatan tersebut.

Misalnya bermain gamelan pelog-slendro pada seni budaya Jawa. Di mana pada beberapa jenis tabuhan, tidak sembarang orang bisa memainkannya. Apalagi hanya dipelajari dengan pelajaran standar mengikuti irama pelog-slendronya. Tentunya harus didapat dengan ritual mulai dari puasa, mandi kembang, atau lainnya.

Namun untuk permainan musik tradisional di seni budaya Jawa, tetap ada patokan baku di setiap jenis alat musik. Dan partitur atau laras pada alat musik itulah yang dijadikan pedoman orang mempelajari dasar tetabuhan tradisional suku tersebut. Hanya saja untuk lebih menimbulkan aura dalam permainan musiknya, sang pemain lebih dahulu mengawalinya dengan ritual-ritual tradisional. "Ritual-ritual itu tetap ada, namun untuk memudahkan belajar ada dasar-dasar not lagu yang menjadi patokannya," kata salah seorang budayawan asal Kota Metro Sugeng Haryono dalam diskusi komunitas di Dewan Kesenian Metro (DKM) pekan lalu.

Berbeda dengan alat musik daerah lain yang tidak punya laras baku dalam memainkannya. Misalnya alat musik kolintang, alat musik dari kayu dari Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut) dan telah dikenal sejak puluhan tahun silam. Alat musik kolintang terbuat dari kayu lokal yang ringan namun kuat. Untuk menentukan not atau tangga lagunya, kayu dengan bentuk yang pendek akan menghasilkan tangga lagu yang tinggi. Sebaliknya, kayu yang panjang akan menghasilkan tangga lagu (not) yang rendah. Sejauh ini tidak ada laras baku dalam bilah-bilah kolintang dan dalam mempelajarinya harus benar-benar dengan mendengarkan permainan orang.

Hal yang sama juga pada permainan alat musik talo balak atau gamolan Lampung. Menurut Sugeng yang juga salah satu tokoh panginyongan di Metro, dalam permainan alat musik itu notasinya sama seperti permainan di Jawa. Namun sampai sekarang belum ada patokan baku untuk memainkan alat musik tersebut. Mulai dari permainan musik mengiringi lagu atau tari seperti Melinting, Sigeh Pengunten ataupun tari lainnya. "Bagaimana untuk menurunkan ilmu permainan musik itu kalau tidak ada patokannya," kata Sugeng.

Memang belum pernah terliat adanya partitur dalam setiap permainan alat musik talo. Sebab tidak ada dalam grup "karawitan" Lampung yang mengajarkan permainannya dengan sistem membaca notasi. Seperti notasi di suku Jawa yang menggunakan pelog atau slendro untuk mengiringi setiap permainan musik. Padahal halayang paling mudah untuk mempelajari sesuatu jika ada patokan teorinya walaupun itu pun di dapat dari sebuah praktek.

Ada Ritualnya

Sementara salah seorang pelaku seni musik tradisi Anthony mengatakan memang untuk mempelajari permainan alat musik itu dia mendapatnya secara autodidak. Yaitu dari mendengarkan orang bermain, kemudian dengan sedikit petunjuk dia mempraktekkannya. "Selain itu ada ritual tersendiri untuk menghaluskan permainan," kata Anthony yang juga Bendahara DKM itu.

Menurut Anthony, dia sempat menjalankan ritual di daerah asal tari Melinting yaitu Labuhan Maringgai. Saat itu dia mempelajari permainan musik untuk tabuhan Tari Melinting. Dengan petunjuk salah seorang tokoh di sana, dia melakukan ritual dengan berpuasa tiga hari. Setelah itu dia mencoba permainan itu dan hasilnya memang sangat enak terdengar. "Akhirnya, saya berpatokan bahwa permainan musik dalam tari Melinting itu memang harus dijiwai agar 'aura' tabuhannya terdengar penonton," katanya.

Dengan begitu dia mengaku tidak berani membuat partitur atau notasi baku yang menjadi dasar pukulan pada permainan musik Tari Melinting. Karena dia khawatir permainannya akan dilakukan hanya dnegan patokan baku, padahal itu belum sempurna. Jika tidak diiringi dengan ritual seperti yang dijalaninya di daerah asal tabuhan itu, Labuhan Maringgai. "Tentu masyarakat yang merasa memiliki tabuhan itu akan kecewa. Lagi pula jika ada patokan baku berupa partitur, orang tidak mau lagi mempelajarinya secara mendalam," katanya.

Namun seni merupakan hasil sebuah kreasi manusia atas percobaan-percobaan yang dilakukannya. Sehingga seni itu dinamis dan dapat terus dikreasi tanpa harus meninggalkan bentuk asli dan kekhasannya. Dengan adanya kreasi tersebut, seni budaya daerah akan semakin kaya dan berkembang. "Jangan pernah menghambat perkembangan seni budaya, sebab itu akan menjadi dosa terhadap anak cucu," kata Ketua DKM Rifian Al Chepy dalam diskusi itu.

Namun, kata dia, kreasi dalam seni budaya tradisi tanpa harus menghilangkan bentuk aslinya, sekalipun itu ritual yang dinilai kuno. Sebab ritual itu merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah kreasi seni. Lagi pula hanya orang-orang yang lengkap mempelajari sebuah seni tradisi termasuk ritualnya dapat berkarya seni lebih dalam. "Dalam seni dikenal prinsip banyak orang dapat berkarya, namun hanya orang tertentu yang berkarya dengan sempurna," katanya.

Sehingga, kata Sugeng, dalam hal ini berarti memang perlu adanya patokan baku untuk mempelajari setiap permainan seni musik tradisi. Walaupun dalam dalam memainkannya perlu ada ritual yang dijalankan agar permainan sempurna. "Seperti seni wayang. Semua orang mungkin tahu teori dan cerita perwayangan, namun tak semua orang bisa mendalang," katanya.

Dan untuk dapat menjaga kelestarian seni budaya tradisi Nusantara, perlu ada patokan baku yang mudah dipelajari orang. Untuk hal itu, harus dimulai oleh para seniman daerah itu sendiri untuk berkreasi dalam pelestarian seni budayanya. Salah satunya mencoba membuat partitur atau notasi dalam permainan salah satu jenis alat musik misalnya permainan talo atau gamolan. "Jangan sampai karena tidak ada partitur yang menjadi dokumentasi dari pelajaran satu jenis alat musik, maka anak cucu kita tidak dapat mengenal permainan alat musik itu lagi," kata Sugeng.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2007

October 17, 2007

Wisata: Ribuan Warga Padati Seminung Lumbok Resort

LIWA (Lampost): Ribuan warga dari berbagai daerah memanfaatkan libur Idulfitri dengan berwisata di Kawasan Wisata Seminung Lumbok Resort, Lampung Barat.

Kawasan wisata yang terletak di Pekon Lombok, Sukau, yang baru dibuka tahun ini, langsung mendapat respons warga, baik yang dari Lampung Barat ataupun dari OKU Selatan, Sumatera Selatan bahkan tidak sedikit yang datang berlibur dan bermalam di Hotel KWT Seminug Lumbok Resort karena penasaran dengan kawasan wisata andalan Pemkab Lampung Barat tersebut.

Pemantauan Lampung Post, ribuan warga yang datang ke KWT Seminung Lumbok Resort, sebagian besar menggunakan sepeda motor, truk, dan mikrolet, ada juga yang datang bersama keluaga dengan mobil mewah.

Di kawasan wisata tersebut, warga menikmati keindahan Danau Ranau dan Gunung Seminung, permainan anak-anak bianglala dan keranjang putar serta kapal motor pesiar berkeliling danau bahkan mereka juga tidak meluangkan kesempatan untuk foto-foto dengan latar belakang panorama Danau Ranau.

Sebagian besar warga yang datang ke kawasan tersebut berasal dari warga menengah ke bawah, terlihat dari kendaraan yang mereka bawa, selain menggunakan sepeda motor dan mikrolet juga puluhan truk.

Tragisnya, di tanjakan Talang Pawokh dan Teba Heni, warga yang baru saja pulang dari kawasan tersebut terpaksa harus berjalan kaki sekitar sekitar dua kilometer karena kendaraan yang mereka tumpangi tidak kuat menaklukkan tanjakan panjang dan curam tersebut.

Andi (29), warga OKU Selatan, yang datang ke tempat itu, mengaku penasaran dengan kawasan wisata tersebut.

"Namanya sudah tidak asing tetapi belum ada kesempatan untuk datang dan menyaksikannya, saya penasaran, Lumbok bagus dan baru sekarang bisa melihatnya," kata dia.

Pemuda yang datang bersama rekan-rekannya itu mengakui keindahan tempat wisata baru tersebut, tetapi permainan dan tempat beristirahatnya masih sangat minim.

"Saya lihat lokasi bagus tapi tempat istirahatnya sedikit, cuma di bawah pohon-pohon saja, itu pun sudah dipadati warga," kata dia.

Aris (21), warga lainnya, juga senang di tempat itu, tetapi karena lokasi dan sarana permainannya sedikit, dia hanya sebentar di tempat tersebut.

"Lokasinya cuma itu-itu aja, jadi kalau kami jalan lima kali saja sudah bosan," kata dia.

Aris juga melihat kawasan wisata tersebut terkesan tidak terurus dan kumuh, terutama di sekitar dua cottage.

Tempatnya bagus tapi kayak tidak terurus, masak taman sekitar dua gubuk itu tidak kelihatan lantaran rumputnya lebih tinggi, katanya. n HEN/D-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 17 Oktober 2007

October 16, 2007

Fokus: Bandar Lampung, Kota yang Kehilangan Identitas

-- Udo Z. Karzi

SEBUTLAH Lampung. Maka, apa yang terbayang dalam benak kita? Gajah? Hutan belantara? Sarang penyamun? Atau? Entahlah. Dulu (dan sampai sekarang?) Lampung terkenal sebagai penghasil kopi, cengkih, dan lada.

Kita lalu berpikir, Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi di ujung selatan Sumatera tentu memiliki daya tarik tersendiri. Bandar Lampung tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan kota-kota lain. Bandar Lampung--sebagai ibu kota Lampung--tentu memiliki masyarakat (society) dan kultur (culture) yang spesifik seperti Jawa Barat dengan Bandung-nya, Banten dengan Serang-nya, Yogyakarta dengan Yogya-nya, Jawa Timur dengan Surabaya-nya, Sumatera Selatan dengan Palembang-nya, Riau dengan Pekanbaru-nya, Suamtera Barat dengan Padang-nya, Sulawesi Selatan dengan Makassar, dan seterusnya.

Tapi, agaknya itu hanya dalam angan sebelum orang menginjakkan kakinya di Bandar Lampung. Dalam khayal, kita akan melihat orang Lampung yang penuh kebanggaan berbicara bahasa Lampung. Dalam keseharian, tentu kental pula berbagai kebiasaan dan kebudayaan Lampung.

Paling tidak, ada gambaran yang jelas tentang apa yang disebut orang dan kebudayaan Lampung. Dalam cerita rekaan yang ada di kepala kita, Bandar Lampung sebagai ibu kota Lampung, tentu lekat dengan atribut ke-Lampung-an; orang, kebiasaan, adat-istiadat, kesenian, dan sebagainya.

Tapi, lihatlah kenyataan. Bandar Lampung tumbuh nyaris tanpa identitas. Ada Supermarket Artomoro, Chandra, Ramayana, Alfa, dan Matahari. Ada Pantai Pasir Putih, Marina, dan sebagainya. Ada Pasar Bambukuning, Pasar Bawah, Pasar Kambing, Pasar Tugu, Pasar Teluk, dan Pasar Panjang. Ada Restoran Begadang, Garuda, Sederhana, dan Bukit Randu.

Ada hotel antara lain Sahid, Marcopolo, Indra Puri, Andalas, Kurnia, dan Nusa Indah. Ada Dewan Kesenian Lampung (DKL), Taman Budaya Lampung (TBL), Pasar Seni, Sekretariat Masyarakat Adat Lampung (MAL), dan sanggar-sanggar seni. Aku sudah jelaskan juga keberadaan berbagai kantor dinas/instansi, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Bandar Lampung sekarang terkesan berkembang maju dan modern seperti kota-kota besar Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Palembang. Aku ingin mengatakan di sini ada supermarket, gedung-gedung, bank-bank, kantor-kantor, toko-toko, perusahaan, dan pabrik sebagai identitas perkotaan.

Aku ingin berkata di kota ini ada kesibukan luar biasa dari penduduknya yang makin padat, ada banyak kendaraan, ada banyak sampah, ada juga banjir, polusi, dan sebagainya sebagai sesuatu yang inhern dengan masalah perkotaan pada umumnya. Kesimpulannya, Bandar Lampung adalah kota kebanggaan orang Lampung.

Benar. Bandar Lampung memang berkembang pesat dengan berbagai ciri perkotaan yang melekat padanya. Tapi sebagai kota, Bandar Lampung tak memiliki arah pertumbuhan jelas. Bandar Lampung tak memiliki image atau citra spesifik sebagai ibu kota Provinsi Lampung. Buktinya, kita begitu kesulitan ketika orang meminta kita sekadar menikmati lagu atau tarian Lampung.

Makanan khas Lampung itu seperti apa, itu juga sulit kita sebutkan meskipun ada beberapa makanan yang dikenal pendatang seperti lapis legit dan seruit. Arsitektur Lampung seperti apa, susah payah juga kita jelaskan.

Kebanyakan bangunan di Bandar Lampung berubah menjadi arsitektur modern, bahkan dari nama-nama justru mengacu nama-nama dari daerah lain seperti pendopo dan gubernuran. Ada memang nama Sang Bumi Ruwa Jurai, tetapi tenggelam di balik singkatan Saburai.

Mantan Rektor Unila Alhusniduki Hamim yang menceritakan pendapat orang tentang Lampung. Setiap bertemu, rekan rektor bertanya, "Bagaimana kabar gajah lampung?" Mula-mula Rektor menganggap itu sebagai guyonan. Tapi, lama-lama Pak Duki menjadi bingung bercampul kesal karena selalu disambut dengan pertanyaan seperti itu.

Akhirnya, Pak Duki mengundang rekannya ke Bandar Lampung. Komentarnya malah berganti dengan, "Bandar Lampung sudah padat ya." Rupanya, dalam sangkaan orang yang belum pernah ke sini, Bandar Lampung tak lebih dari hamparan hutan belaka dengan berbagai jenis binatang seperti harimau, gajah, ular, dan sebagainya yang bebas berkeliaran di mana-mana. Sekarang, gajah sudah masuk kota dalam bentuk patung gajah di Tugu Adipura di pusat Kota Bandar Lampung.

Pertanyaannya, inikah identitas Kota Bandar Lampung itu? Dengar-dengar pula, ada keinginan Pemerintah Kota menjadikan Bandar Lampung sebagai water front city (WFC).

Untuk mewujudkan impian ini eksekutif dan legislatif kota melakukan studi banding ke berbagai kota di luar negeri yang mengembangkan kota dengan prinsip WFC. Tapi, kita meragukan konsep WFC untuk Kota Bandar Lampung.

Belum apa-apa, Bandar Lampung sempat dihebohkan dengan berbagai kegiatan reklamasi pantai yang justru makin memperparah kondisi pantai yang sebelumnya memang rusak. Jangan berharap menemukan hutan bakau yang asri dan karang yang lestari, terjaga dari jamahan tangan usil warga atau bukan warga Bandar Lampung.

Public space hampir tak ada di Bandar Lampung. Tanah-tanah berubah menjadi hutan beton. Memang, ada beberapa taman seperti Taman Dwipangga, tetapi jangan membayangkan akan mendapatkan suasana nyaman layaknya ketika seseorang berada di taman. Lahannya terlalu sempit untuk bermain dan menikmati udara dari bunga atau pepohanan yang tumbuh.

Beberapa taman--sebenarnya tidak tepat dikatakan taman karena terlalu kecil--justru menjadi tempat nangkring gelandangan dan pengemis. Di beberapa tempat bukit-bukit dikeruk demi kepentingan sesaat bagi mereka yang butuh tanah, batu atau tempat permukiman baru. Bandar Lampung menjadi kota yang tandus. Hutan kota makin sirna.

Sekarang, kalau orang berkunjung ke Bandar Lampung, apakah yang bisa kita banggakan? Adakah sesuatu yang spesial Bandar Lampung yang dapat kita suguhkan kepada pendatang? Masihkah ada kekhasan Bandar Lampung yang tidak dimiliki kota-kota lain? Karakteristik apakah yang melekat pada Bandar Lampung untuk membedakannya dengan kota-kota lain di Indonesia?

Image apa yang membuat orang bisa terkenang-kenang dengan Bandar Lampung? Citra apa yang melekat padanya ketika orang berbicara mengenai Bandar Lampung?

Agaknya, Bandar Lampung tak punya apa-apa. Bandar Lampung berkembang tanpa arah jelas mengikuti maunya masing-masing komponen masyarakat dan pemerintah di dalamnya. Bandar Lampung menjadi kota yang asing dengan provinsinya, Lampung yang mengikuti kata di belakang Bandar.

Sebuah ironi; beginikah bandarnya Lampung? Hampir sama sekali tak ada jati diri ke-Lampung-an yang melekat pada Bandar Lampung. Lampung dan Bandar Lampung seolah dua nama yang berbeda dan sama sekali tak berhubungan satu sama lainnya.

Orang Lampung memiliki prinsip piil pasenggiri, memiliki kebiasaan, adat-istiadat, bahasa, kesenian, kebudayaan sebagai sebuah wilayah geografi yang mempunyai masyarakat (society) dan kebudayaan (culture). Tidak bisa tidak, itu harus diakui. Tak heran jika seorang tamu yang berkunjung ke Lampung ingin menikmati kesenian Lampung dan bukan tari Jawa atau lagu Sunda. Tapi itulah yang terjadi. Lampung dengan segala atribut, apalagi sesuatu yang lebih hakiki dari apa yang disebut Lampung society dan Lampung culture terpinggirkan.

Dan, kita cukup puas dengan mengatakan Lampung adalah Indonesia mini karena di sini kita bisa menemukan berbagai etnis yang berbaur menjadi satu. Barangkali, bukan romantisme belaka kalau ada yang memimpikan Bandar Lampung menjadi pintu gerbang untuk memahami sesuatu yang bernama Lampung. Lampung toh bukan sekadar nama yang tak berarti?

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2005

Fokus: Jika Kopi tak Lagi Menjanjikan

-- Udo Z. Karzi dan Budi Hutasuhut

KOPI lampung! Ini sudah jadi merek (ikon) Lampung yang mengglobal. Tapi, dari hari ke hari petani kopi di Lampung tak beranjak nasibnya. Harga yang tak pernah menggembirakan membuat sebagian petani berkata, "Putus hubungan dengan kopi!"

Maka sayang sekali sebetulnya. Pernah sekitar April 2002, saat tanaman kopi marak berbunga, sebagian petani di Lampung yang menjadi sentra utama kopi nasional malah beramai-ramai membongkar kebunnya. Lahannya dialihkan untuk ditanami sayur-mayur atau tanaman hortikultura lainnya.

Aksi petani itu di sejumlah kecamatan penghasil kopi Lampung, seperti di Kecamatan Sumberjaya, Fajarbulan, Way Tenong, Belalau, Batubrak, dan Liwa (Lampung Barat), Pulau Panggung dan Talangpadang (Tanggamus), Banjit (Way Kanan). Mereka kecewa karena harga kopi bukannya naik malah turun. "Kini kopi kurang menjanjikan untuk memperbaiki hidup," kata seorang petani waktu itu.

Ya, bagaimana tidak harga kopi di petani waktu itu hanya dalam kisaran Rp2.500--Rp3.500 per kilogram (kg). Kopi biji dengan kadar air 15 persen dihargai Rp3.500 per kg, sedang pada eksportir Rp4.400 per kg.

Rendahnya harga kopi membuat petani tidak bergairah mengurus kebun kopinya. Selain menelantarkan, sebagian besar petani malah sampai tahap pembongkaran tanaman kopi di kebunnya untuk digantikan tanaman jenis lain, terutama sayur-mayur.

Petani membongkar kebun kopi mulai dengan memangkas ranting dan cabangnya, lalu mencongkel pohonnya hingga akar-akarnya tercabut. Daun dan rantingnya dibakar, batangnya dijadikan kayu bakar.

Tindakan itu merupakan puncak kekecewaan atas rendahnya harga kopi biji tadi. Sebetulnya protes dimulai petani pada 2001, tetapi saat itu mereka hanya sebatas menebang pohon.

"Sekarang kami bongkar saja. Habis mau diapain lagi. Harga kopi di sini Rp2.500 per kg, tidak cukup untuk membeli sekilogram gula Rp3.200," kata Sakat, petani di Fajarbulan, Lampung Barat, waktu itu.

Beberapa petani membongkar kebunnya untuk ditanami sayur-mayur seperti tomat, cabai, sawi, kol, dan bayam.

Ekonomis Sayuran

Dalam kalkulasi petani saat itu, ketika harga kopi anjlok seperti kini, adalah lebih ekonomis jika menanam sayur-mayur. Kalau kopi dipanen hanya sekali setahun, sayur-mayur bisa dua sampai tiga kali panen. Misalnya sawi, tomat, kol, dan daun sop.

"Saya membongkar tiga rante (setara 1.200 meter persegi) untuk ditanami sayuran. Jika dibandingkan lahan kopi 1,5 hektare, hasil penjualan sayur lebih besar dibandingkan kopi," kata Siran, petani di Way Tenong.

Hasil kopi di sentra-sentra kopi Lampung Barat rata-rata 600 kg--700 kg per hektare. Jika dijual dengan harga Rp3.500 per kg (harga tertinggi kini di petani), hasilnya Rp2,5 juta per hektare atau Rp300.000 per bulan.

"Perolehan itu sungguh tidak mencukupi. Kalau dihitung dengan biaya produksi, pasti minus. Tahun lalu saya merugi Rp650.000 per hektare," kata Sujarwo Yusuf (30), petani kopi yang juga pengurus salah satu partai politik di Lampung Barat.

Sementara kalau petani menanam sayur, seperti tomat bisa tiga atau empat kali panen dalam setahun (demikian juga kol, sawi, dan daun untuk sop) keuntungan bisa Rp3 juta untuk satu jenis sayur. "Hasil tiga rante tanaman sayur bisa ngalahin hasil 1,5 hektare kopi," kata Siran.

Hampir 90 persen daerah Lampung Barat dan Tanggamus terdiri dari wilayah perbukitan dan dataran tinggi. Selain cocok untuk tanaman keras seperti kopi dan juga kakao, juga cocok untuk tanaman hortikultura seperti sawi, labu, kol, tomat, dan sayuran lainnya.

Wakil Kepala Dinas Perkebunan Lampung Tri Haryanto saat itu mengatakan kondisi pasar kopi kini membuat petani bingung. Tapi, ia tetap mengimbau petani tidak membongkar tanaman kopinya.

Harga kopi jatuh dalam empat tahun berturut-turut. Turunnya produksi dan harga kopi tidak lepas dari tiga faktor. Pertama, petani tidak serius mengurus kebun kopinya; kedua, tingginya biaya operasional perawatan seperti biaya pembelian pupuk; dan ketiga, kondisi alam yang tidak menentu.

Selain itu, kebun kopi sudah banyak alih fungsi, sedangkan pohon-pohon kopi condong dibiarkan begitu saja terbengkalai. Seharusnya, kata dia, meskipun dilakukan diversifikasi dengan tanaman lain, tanaman kopi sebagai tanaman pokok harus tetap dirawat, sehingga penghasilan petani tidak turun drastis.

Kondisi seperti ini membuat petani terkesan putus asa. Sebetulnya, kendala-kendala yang dihadapi petani kopi kini masih bisa ditanggulangi jika saja mereka mampu mengelola kebun kopinya dengan baik.

Caranya, pada masa belum panen, petani sebaiknya memanfaatkan kebunnya dengan diversifikasi tanaman, tapi kopi selaku tanaman pokok juga harus dipertahankan dan dirawat dengan baik.

Ada kesan pemerintah daerah agak menganaktirikan petani tanaman keras dibandingkan tanaman pangan. Untuk tanaman pangan, Pemda banyak membangun irigasi, bantuan bibit, dan penyuluhan-penyuluhan lainnya. Namun bagi petani tanaman keras, seperti kopi dan lada, Pemda lepas tangan.

Padahal, dalam kondisi harga kopi merosot, petani sebetulnya membutuhkan bimbingan, terutama dalam hal mengubah budi daya monokultur kopi yang dijalani turun-temurun melalui program diversifikasi. Hingga kini petani belum terbiasa melakukan tumpang sari di sela-sela tanaman kopi. Yang banyak dilakukan petani sebagai upaya mengatasi kejatuhan harga kopi adalah menanam tanaman palawija dan padi di lahan lainnya.

Ibarat lingkaran setan, itulah yang terjadi pada komoditas kopi. Masalah harga, produksi, dan kemampuan petani saling bertautan, tetapi tidak pernah mampu diselesaikan. n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2005

October 8, 2007

Pustaka: Buku Dongeng Kenalkan Kalianda

KALIANDA (Lampost): Penerbit Matakata yang menerbitkan buku Kumpulan Dongeng dari Kalianda yang ditulis Rudi Suhaimi, Kepala Biro Lampung Post Lampung Selatan, diharapkan mampu menambah khazanah seni dan sastra tanah air.

Menurut Direktur Matakata Y. Wibowo, bahan penerbitan buku itu diperoleh dari hasil karya penulis yang sebelumnya telah dimuat di sejumlah media cetak di Provinsi Lampung.

"Karya itu layak terbit karena sudah pernah dimuat di sejumlah media cetak. Selain itu, isinya juga memuat kearifan lokal (local wisdom)," kata Y. Wibowo.

Sementara pengarang buku serial pendidikan budaya daerah kumpulan dongeng dari Kalianda, Rudi Suhaimi, mengatakan selama ini Kabupaten Lamsel dengan ibu kota Kalianda hanya dikenal dalam peta saja.

Namun, secara detail masih banyak yang belum tahu khazanah seni dan sastra yang terpendam di kabupaten ini sangat luar bisa.

"Saya terobsesi, bagaimana lebih mengenalkan Kalianda kepada dunia luar melalui karya karya tulisan itu. Saya berharap Kalianda menjadi objek kunjungan wisata, tidak hanya dikenal di Lamsel, tapi juga di dunia luar," kata pria kelahiran 24 Maret 1970 tersebut.

Rudi mengatakan kumpulan dongeng dari Kalianda yang ia goreskan itu merupakan hasil imajinasi.

"Kendati dari hasil imajinasi, serial pendidikan budaya daerah itu mempunyai pesan-pesan moral yang baik," ujar putra pasangan H. Suhaimi dan Mas Intan.

Wakil Bupati Lamsel Wendy Melfa mengatakan, dongeng yang dikarang Rudi Suhaimi diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita-cerita tersebut dapat menjadi suri teladan.

"Ceritanya mengandung sifat-sifat kepahlawanan, pendidikan, keagamaan, dan budi pekerti. Untuk itu, bagi adik-adik yang membacanya diharapkan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari," kata Wendy.

Sejak beredarnya buku kumpulan dongeng dari Kalianda itu, Kantor Biro Lampung Post Lamsel kerap dikunjungi anak-anak yang ingin membaca karangan Kepala Biro Lampung Post Lamsel tersebut.

Gusti Ayu Widya Lestari Yanti, salah satu pembaca buku kumpulan dongeng dari Kalianda itu, menilai buku karya Rudi Suhaimi tersebut mempunyai makna yang sangat bagus untuk memperkenalkan tempat-tempat wisata di Kalianda.

Dongeng dalam buku itu bagus banget. Apalagi penulisnya begitu peduli memperkenalkan tempat-tempat wisata dalam cerita tersebut, kata Yanti, sapaan akrabnya yang mengaku membaca buku kumpulan dongeng karangan Rudi Suhaimi sejak pekan lalu.

Dengan adanya buku kumpulan dongeng dari Kalianda itu, Yanti mengharapkan tempat-tempat wisata di sekitar Kalianda dapat dikenal banyak orang.

"Kalau bisa buku itu sebagai ikonnya Kota Kalianda. Saya tunggu seri keduanya ya. Cari dan gali lagi tempat-tempat yang bagus di Kota Kalianda untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas," ujar mahasiswa semester VII STIH Muhamadiyah, Kalianda, tersebut, seraya mengharapkan Kepala Biro Lampung Post Lamsel itu lebih aktif lagi menulis seputar wisata di Lamsel. AL/D-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 22 September 2007

Lihat juga: Pustaka: Kisah Penuh Teladan

Budaya Politik: Debat tentang 'Mahan Agung'

-- Nanang Trenggono*

MENJELANG pemilihan gubernur, muncul gagasan kritis yang dilontarkan oleh calon gubernur M. Alzier Dianis Thabranie (Alzier), ketua Partai Golkar Provinsi Lampung mengenai fungsi dan penggunaan fasilitas rumah dinas gubernur. Ide yang dikemukakan, bila ia dipercaya rakyat menjadi gubernur Lampung mendatang, maka rumah dinas gubernur tidak semata-mata digunakan secara pribadi, tetapi diperuntukkan secara terbuka bagi rakyat Lampung.

Gagasan ini dipopulerkan dengan konsep "rumah rakyat". Pernyataan terbuka ini menimbulkan reaksi Gubernur Sjachroedin Z.P. secara pribadi. Selanjutnya, debat mengerucut secara diametral (dialogis) antara Alzier versus Sjachroedin. Bagaimana mengkaji debat ini? Apakah dari debat dua calon gubernur ini mengandung nilai positif?

***

Sedikit banyak sekarang ini, kita sedang berada dalam ruang kompetisi demokratis yakni dalam momen pemilihan gubernur secara langsung. Oleh karena itu, ada dua dasar pemikiran yang penting untuk memahami perdebatan dua calon gubernur tersebut.

Pertama, baik dari pengalaman yang ada di berbagai negara dunia maupun praktek politik di negeri ini, debat telah menjadi instrumen yang paling memuaskan dalam ruang publik ketika rakyat suatu daerah sedang dihadapkan pada momentum pemilihan pemimpinnya. Debat, dialog dan diskusi di hadapan publik harus ditempatkan sebagai metode untuk memenangkan pemahaman, kesadaran dan pilihan rakyat.

Debat tidak cepat-cepat dipahami apalagi disederhanakan menjadi perseteruan atau pertentangan yang akan mengurangi nilai-nilai kerukunan sosial atau harmoni kolektif. Bahkan Homi Bhabha (1994) menegaskan, bahwa "politik hanya bisa memenuhi kepentingan secara representatif bila dilakukan melalui debat publik yang benar".

Kedua, dalam pemilihan kali ini perlu dibangun sikap positif dalam kesadaran kolektif terhadap siapa saja yang mencalonkan diri menjadi gubernur Lampung ke depan. Bahkan jika perlu, didorong bagi semua tokoh yang memiliki kapasitas cukup dalam penilaian umum, untuk berpartisipasi mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur langsung.

Kita tekan dalam-dalam sikap apriori dan kecenderungan menjelek-jelekkan terhadap tokoh-tokoh yang ingin menjadi gubernur. Dengan demikian, perdebatan Alzier versus Sjachroedin dalam isu utama rumah dinas gubernur tidak disederhanakan sebagai perseteruan pribadi, tetapi sebaliknya ditempatkan menjadi wacana publik (public discourse) yang bisa diambil nilai positifnya. Lalu, apa hikmah dari debat publik tersebut?

***

Yang tidak luput dari perhatian publik, jika melewati rumah dinas gubernur Lampung yang saat ini didiami oleh Sjachroedin, maka dapat dibaca papan nama bertuliskan "mahan agung". Dalam bahasa Lampung berarti "rumah besar atau agung", yang dalam sejarah merupakan sebutan khusus terhadap rumah yang dihuni oleh pangeran.

Untuk bersikap konsisten terhadap pendekatan tulisan ini, maka tidak perlu dibahas lebih dalam suatu pertanyaan penting, "mengapa demikian?" Sebab, seperti halnya rumah-rumah dinas pejabat negara di negeri ini, banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa, dengan sebutan "pendopo" atau "pendopo agung". Lalu, telinga kita merasa familiar dengan sebutan-sebutan pendopo gubernur atau pendopo gubernuran, pendopo bupati atau pendopo kabupaten, pendopo kecamatan atau pendopo kepala desa.

Bila teks "mahan agung" disejajarkan dengan kata "pendopo" maka hampir tidak ada bedanya, semata-mata suatu istilah yang menunjukkan rumah yang dihuni oleh pejabat negara (rumah pejabat). Boleh jadi ada sedikit perbedaan, kalau istilah "mahan agung" belum sepopuler kata "pendopo", selain kesan publik terhadap sebutan "mahan agung" bisa bervariasi.

Tapi ada yang luput dari perhatian publik karena tidak pernah diungkap oleh media massa, yakni suatu gagasan yang dimunculkan oleh seorang tokoh sekelas Alzier mengenai rumah dinas gubernur memiliki dasar pemikiran. Berdasarkan pengalaman, kiprah dan perjalanan hidupnya, dapat diduga bahwa perspektif sejarah (historical approach) tentang fungsi dan nilai rumah dinas pejabat (gubernur) menjadi landasan untuk dikemukakan menjadi wacana publik.

Satu periode yang lalu, pada zaman pemerintahan daerah dijabat Gubernur Oemarsono, sebutan terhadap rumah dinas gubernur masih konservatif yakni "pendopo gubernur". Tapi pada saat itu, fungsi rumah dinas gubernur, selain menjadi tempat tinggal pribadi Oemarsono dan keluarganya, juga menjadi rumah terbuka bagi masyarakat Lampung yang ingin menggunakan pendopo gubernur untuk keperluan hajatan keluarga, diskusi mahasiswa, seminar daerah dan nasional atau acara-acara publik lainnya.

Bahkan, di awal jabatannya sebagai gubernur, Oemarsono telah beberapa kali menggelar ekspose program utama yang menjadi andalannya dalam memimpin daerah, yaitu program pembangunan desa dan pembangunan singkong rakyat yang populer dengan sebutan program DMSS (Desaku Maju Sakai Sambayan) dan Ittara (Industri Tepung Tapioka Rakyat).

Nilai yang dapat diambil dari fungsi rumah dinas gubernur pada masa pemerintahan Oemarsono adalah menjadi semacam "rumah aspirasi". Dari kacamata komunikasi, maka rumah dinas gubernur dibentuk menjadi medium komunikasi politik. Dengan demikian, gubernur secara langsung bisa merasakan, mendengar atau melihat rakyatnya dari jarak dekat.

Pada zaman Orde Baru bahkan mungkin masih dipertahankan sampai sekarang, sudah menjadi kesadaran publik bahwa walaupun tidak tepat analogi azas kekluargaan dalam politik pemerintahan, tetapi gubernur sebagai pemimpin daerah dimaknai secara simbolis sederhana sebagai bapak dan rakyat kebanyakan sebagai anak.

Rumah dinas gubernur disimbolkan sebagai rumah keluarga besar Lampung. Hal ini menjadi semacam rumah muumbi yang dalam suku asli Kenya menjadi pusat legitimasi bagi penyelesaian persoalan-persoalan sosial dan kehidupan rakyat.

Sekarang ini, pada masa kepemimpinan Gubernur Sjachroedin, rumah dinas gubernur yang diberi nama "mahan agung" memiliki kecenderungan tertutup bagi acara-acara publik. Walaupun karakter sederhana, sejuk dan nuansa elegan dari rumah gubernur ini masih tetap terjaga. Tampaknya, kemarakan rumah dinas gubernur sebagai simbol rumah aspirasi tidak terasakan lagi.

Boleh jadi, kondisi yang tenang, diam dan sepi memang menjadi karakter yang ingin dicitrakan dalam kepemimpinan Gubernur Sjachroedin. Tidak menutup kemungkinan juga, pola komunikasi politik dan penyerapan aspirasi publik diserahkan secara fungsional pada jajaran birokrasi pemerintahan daerah.

Pada sisi berbeda, pemikiran-pemikiran Alzier tentang rumah aspirasi tercerminkan dalam praktek kehidupan sosial dan politik baik sebagai sosok pribadi, tokoh masyarakat maupun ketua partai politik. Rumah merupakan tempat tinggal keluarga yang harus memberikan rasa nyaman, betah dan aman. Namun, rumah juga bisa berfungsi sebagai kantor dalam mengelola dan memimpin jabatan-jabatan publik, terbuka bagi kawan-kawan dan tamu siapa saja baik siang maupun malam.

Rumah pun merupakan medium komunikasi politik masyarakat sekitar dan publik pada umumnya, dan menjadi sumber aspirasi dalam menentukan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan penting. Asumsi dasar tentang rumah melekat dalam perspektifnya mengenai waktu dan ruang. Rumah harus memiliki ruang yang lapang dan leluasa untuk berinteraksi banyak orang dan lingkungan yang asri, kondusif untuk bertukar pikiran, serta terbuka dua puluh empat jam untuk komunikasi politik.

Selain itu, pada saat ini, seseorang bisa menjadi pemimpin karena ditentukan oleh pilihan dan putusan rakyat. Oleh karena itu, aspek-aspek kehidupan internal dan kondisi eksternal dalam pemilihan gubernur langsung melandasi perspektifnya tentang rumah rakyat, yaitu rumah dinas gubernur akan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat baik secara nyata maupun simbolis.

Dapat disimpulkan, dari debat publik tentang rumah dinas gubernur dalam konteks pemilihan gubernur langsung yang baru pertama kali terjadi ini telah memberi hikmah, yakni munculnya wacana publik tentang pola-pola komunikasi politik antara pemimpin dan rakyat.

* Nanang Trenggono, Dosen Universitas Lampung

Sumber: Lampung Post, Senin, 8 Oktober 2007

Sinematografi: Ranah Perfilman Lampung Menggeliat

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ranah perfilman Lampung sedang menanjak. Banyak komunitas yang digawangi anak-anak muda menggarap film indie. Apalagi di Lampung kini hadir media televisi swasta yang memberi ruang kreatif bagi kreator film pendek.

Geliat sineas muda dalam menghasilkan karya film ini ditandai maraknya festival film pendek yang digelar di Lampung, kata sastrawan Lampung, Syaiful Irba Tanpaka, beberapa hari lalu. Bahkan, sineas muda Lampung Ibrahim Wadin dengan karya "Kasih yang Hilang" pernah masuk 20 besar festival film indie di salah satu stasiun TV terkemuka.

Menurut Syaiful, untuk lebih menggairahkan semangat dunia perfilman di Lampung, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. "Seiring dengan majunya perkembangan dunia film di Lampung, memang kualitas SDM perfilman harus ditingkatkan."

Untuk itu, sebagai penggiat perfilman di Lampung, Syaiful Irba Tanpaka menggalang kerja sama antarlembaga perfilman. Seperti kerja sama pelatihan, diskusi, dan workshop tentang perfilman.

Menurut dia, tiga faktor penting yang memengaruhi perkembangan dunia film membutuhkan kerja sama antara kreator film, pemodal (produser), dan stasiun TV (broadcast). Apabila ketiga komponen itu bekerja sama dengan baik dan berkesinambungan, akan meningkatkan dunia perfilman di Lampung. "Bila kerja sama itu terwujud beberapa tahun ke depan, Lampung bisa menjadi salah satu daerah yang diperhitungkan dalam ranah perfilman," kata dia. RLS/S-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 8 Oktober 2007

October 6, 2007

Pustaka: Kisah Penuh Teladan

Judul buku: Kumpulan Dongeng dari Kalianda
Penulis : Rudi Suhaimi Kalianda
Penerbit : Matakata dan BE Press, Bandar Lampung
Terbit : September 2007
Tebal : vii + 60 hlm


LAMPUNG sebagai sebuah masyarakat dan kebudayaan sesungguhnya menyimpan banyak khazanah seni-budaya. Salah satu sastra (tradisi) lisan yang kita kenal adalah warahan. Karena sifatnya yang lisan, cerita-cerita rakyat Lampung yang dituturkan dalam warahan itu, diwariskan turun-temurun melalui budaya oral.

Manakala tradisi warahan mulai ditinggalkan -- karena terpaan modernisasi dan globalisasi; maka generasi muda, anak-anak utamanya, semakin tidak mengenal cerita rakyat (warahan) itu. Padahal, inilah kekayaan seni-budaya yang kita miliki.

Di tengah langkanya cerita rakyat Lampung yang dibukukan, kita patut mengapresiasi Rudi Suhaimi Kalianda yang secara tekun mengumpulkan dan kemudian merangkumnya menjadi kisah-kisah yang menarik. Sekaligus, memulai sebuah upaya membangun tradisi keberaksaraan di tengah masyarakat Lampung yang masih asyik-musyuk dengan kelisanan. Ya, dari kelisanan menuju keberaksaraan.

Buku Dongeng dari Kalianda (Lampung Selatan) ini memuat lima cerita rakyat yang dari dulu hingga sekarang masih hidup di Kalianda, yaitu Putri Lijung, Asal Muasal Pulau Setiga, Ratu Kahai, Raden Pesona, serta Ikan Lumba-lumba dan Minak Katimbang.

Dongeng bukanlah sekadar dongeng. Beberapa dongeng mengandung nilai-nilai, bahkan filosofis dan juga sejarah. Nilai-nilai semacam kepahlawanan, pendidikan, keagamaan dan budi pekerti, nasihat untuk selalu rendah hati, kisah jenaka, adat-istiadat, dan percintaan adalah kisah yang baik untuk menjadi acuan bagi anak-anak.


Biodata Penulis

Rudi Suhaimi, lahir di kota kecil Kalianda, Lampung Selatan, 24 Maret 1970. Dia menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Kalianda (1982), Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Kalianda (1985), dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kalianda (1988). Tahun 1988 melanjutkan jenjang pendidikan tinggi pada Fakultas Hukum Universitas Janabadra (selesai 1992).

Proses kreatif dalam mdunia tulis-menulis telah dimulai sejak di bangku SMA di Kalianda. Hal ini terus berlanjut di Jogja. Bahkan, hobinya kemudian berkembang tidak sebatas menulis dan mengarang, tetapi juga aktif bermain teater di kampusnya dan lewat Forum Komunikasi Pengembangan Teater Kampus, bakatnya dalam berteater dan pentas di beberapa kampus di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novelet, dan naskah drama. Untuk puisi dan cerpennya tersebar di media cetak, antara lain Kedaulatan Rakyat, Bernas, Mingguan Minggu Pagi, Suara Merdeka, Lampung Post, dan Lampung Ekspres. Profesi yang dicintainya hingga kini, sebagai wartawan, juga berkat hobinya di dunia tulis-menulis. Saat ini menjabat Kepala Biro Harian Umum Lampung Post Kabupaten Lampung Selatan.

"Menjalani hidup harus dengan keseimbangan", begitu moto hidup yang ia jalani dengan penuh kebahagiaan bersama istri Evalina dan kedua putranya, Muhammad Ifkar Bilhaq Ramadhon dan Zikri Bilhaq Rajabi.