-- Udo Z. Karzi
SEBUTLAH Lampung. Maka, apa yang terbayang dalam benak kita? Gajah? Hutan belantara? Sarang penyamun? Atau? Entahlah. Dulu (dan sampai sekarang?) Lampung terkenal sebagai penghasil kopi, cengkih, dan lada.
Kita lalu berpikir, Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi di ujung selatan Sumatera tentu memiliki daya tarik tersendiri. Bandar Lampung tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan kota-kota lain. Bandar Lampung--sebagai ibu kota Lampung--tentu memiliki masyarakat (society) dan kultur (culture) yang spesifik seperti Jawa Barat dengan Bandung-nya, Banten dengan Serang-nya, Yogyakarta dengan Yogya-nya, Jawa Timur dengan Surabaya-nya, Sumatera Selatan dengan Palembang-nya, Riau dengan Pekanbaru-nya, Suamtera Barat dengan Padang-nya, Sulawesi Selatan dengan Makassar, dan seterusnya.
Tapi, agaknya itu hanya dalam angan sebelum orang menginjakkan kakinya di Bandar Lampung. Dalam khayal, kita akan melihat orang Lampung yang penuh kebanggaan berbicara bahasa Lampung. Dalam keseharian, tentu kental pula berbagai kebiasaan dan kebudayaan Lampung.
Paling tidak, ada gambaran yang jelas tentang apa yang disebut orang dan kebudayaan Lampung. Dalam cerita rekaan yang ada di kepala kita, Bandar Lampung sebagai ibu kota Lampung, tentu lekat dengan atribut ke-Lampung-an; orang, kebiasaan, adat-istiadat, kesenian, dan sebagainya.
Tapi, lihatlah kenyataan. Bandar Lampung tumbuh nyaris tanpa identitas. Ada Supermarket Artomoro, Chandra, Ramayana, Alfa, dan Matahari. Ada Pantai Pasir Putih, Marina, dan sebagainya. Ada Pasar Bambukuning, Pasar Bawah, Pasar Kambing, Pasar Tugu, Pasar Teluk, dan Pasar Panjang. Ada Restoran Begadang, Garuda, Sederhana, dan Bukit Randu.
Ada hotel antara lain Sahid, Marcopolo, Indra Puri, Andalas, Kurnia, dan Nusa Indah. Ada Dewan Kesenian Lampung (DKL), Taman Budaya Lampung (TBL), Pasar Seni, Sekretariat Masyarakat Adat Lampung (MAL), dan sanggar-sanggar seni. Aku sudah jelaskan juga keberadaan berbagai kantor dinas/instansi, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Bandar Lampung sekarang terkesan berkembang maju dan modern seperti kota-kota besar Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Palembang. Aku ingin mengatakan di sini ada supermarket, gedung-gedung, bank-bank, kantor-kantor, toko-toko, perusahaan, dan pabrik sebagai identitas perkotaan.
Aku ingin berkata di kota ini ada kesibukan luar biasa dari penduduknya yang makin padat, ada banyak kendaraan, ada banyak sampah, ada juga banjir, polusi, dan sebagainya sebagai sesuatu yang inhern dengan masalah perkotaan pada umumnya. Kesimpulannya, Bandar Lampung adalah kota kebanggaan orang Lampung.
Benar. Bandar Lampung memang berkembang pesat dengan berbagai ciri perkotaan yang melekat padanya. Tapi sebagai kota, Bandar Lampung tak memiliki arah pertumbuhan jelas. Bandar Lampung tak memiliki image atau citra spesifik sebagai ibu kota Provinsi Lampung. Buktinya, kita begitu kesulitan ketika orang meminta kita sekadar menikmati lagu atau tarian Lampung.
Makanan khas Lampung itu seperti apa, itu juga sulit kita sebutkan meskipun ada beberapa makanan yang dikenal pendatang seperti lapis legit dan seruit. Arsitektur Lampung seperti apa, susah payah juga kita jelaskan.
Kebanyakan bangunan di Bandar Lampung berubah menjadi arsitektur modern, bahkan dari nama-nama justru mengacu nama-nama dari daerah lain seperti pendopo dan gubernuran. Ada memang nama Sang Bumi Ruwa Jurai, tetapi tenggelam di balik singkatan Saburai.
Mantan Rektor Unila Alhusniduki Hamim yang menceritakan pendapat orang tentang Lampung. Setiap bertemu, rekan rektor bertanya, "Bagaimana kabar gajah lampung?" Mula-mula Rektor menganggap itu sebagai guyonan. Tapi, lama-lama Pak Duki menjadi bingung bercampul kesal karena selalu disambut dengan pertanyaan seperti itu.
Akhirnya, Pak Duki mengundang rekannya ke Bandar Lampung. Komentarnya malah berganti dengan, "Bandar Lampung sudah padat ya." Rupanya, dalam sangkaan orang yang belum pernah ke sini, Bandar Lampung tak lebih dari hamparan hutan belaka dengan berbagai jenis binatang seperti harimau, gajah, ular, dan sebagainya yang bebas berkeliaran di mana-mana. Sekarang, gajah sudah masuk kota dalam bentuk patung gajah di Tugu Adipura di pusat Kota Bandar Lampung.
Pertanyaannya, inikah identitas Kota Bandar Lampung itu? Dengar-dengar pula, ada keinginan Pemerintah Kota menjadikan Bandar Lampung sebagai water front city (WFC).
Untuk mewujudkan impian ini eksekutif dan legislatif kota melakukan studi banding ke berbagai kota di luar negeri yang mengembangkan kota dengan prinsip WFC. Tapi, kita meragukan konsep WFC untuk Kota Bandar Lampung.
Belum apa-apa, Bandar Lampung sempat dihebohkan dengan berbagai kegiatan reklamasi pantai yang justru makin memperparah kondisi pantai yang sebelumnya memang rusak. Jangan berharap menemukan hutan bakau yang asri dan karang yang lestari, terjaga dari jamahan tangan usil warga atau bukan warga Bandar Lampung.
Public space hampir tak ada di Bandar Lampung. Tanah-tanah berubah menjadi hutan beton. Memang, ada beberapa taman seperti Taman Dwipangga, tetapi jangan membayangkan akan mendapatkan suasana nyaman layaknya ketika seseorang berada di taman. Lahannya terlalu sempit untuk bermain dan menikmati udara dari bunga atau pepohanan yang tumbuh.
Beberapa taman--sebenarnya tidak tepat dikatakan taman karena terlalu kecil--justru menjadi tempat nangkring gelandangan dan pengemis. Di beberapa tempat bukit-bukit dikeruk demi kepentingan sesaat bagi mereka yang butuh tanah, batu atau tempat permukiman baru. Bandar Lampung menjadi kota yang tandus. Hutan kota makin sirna.
Sekarang, kalau orang berkunjung ke Bandar Lampung, apakah yang bisa kita banggakan? Adakah sesuatu yang spesial Bandar Lampung yang dapat kita suguhkan kepada pendatang? Masihkah ada kekhasan Bandar Lampung yang tidak dimiliki kota-kota lain? Karakteristik apakah yang melekat pada Bandar Lampung untuk membedakannya dengan kota-kota lain di Indonesia?
Image apa yang membuat orang bisa terkenang-kenang dengan Bandar Lampung? Citra apa yang melekat padanya ketika orang berbicara mengenai Bandar Lampung?
Agaknya, Bandar Lampung tak punya apa-apa. Bandar Lampung berkembang tanpa arah jelas mengikuti maunya masing-masing komponen masyarakat dan pemerintah di dalamnya. Bandar Lampung menjadi kota yang asing dengan provinsinya, Lampung yang mengikuti kata di belakang Bandar.
Sebuah ironi; beginikah bandarnya Lampung? Hampir sama sekali tak ada jati diri ke-Lampung-an yang melekat pada Bandar Lampung. Lampung dan Bandar Lampung seolah dua nama yang berbeda dan sama sekali tak berhubungan satu sama lainnya.
Orang Lampung memiliki prinsip piil pasenggiri, memiliki kebiasaan, adat-istiadat, bahasa, kesenian, kebudayaan sebagai sebuah wilayah geografi yang mempunyai masyarakat (society) dan kebudayaan (culture). Tidak bisa tidak, itu harus diakui. Tak heran jika seorang tamu yang berkunjung ke Lampung ingin menikmati kesenian Lampung dan bukan tari Jawa atau lagu Sunda. Tapi itulah yang terjadi. Lampung dengan segala atribut, apalagi sesuatu yang lebih hakiki dari apa yang disebut Lampung society dan Lampung culture terpinggirkan.
Dan, kita cukup puas dengan mengatakan Lampung adalah Indonesia mini karena di sini kita bisa menemukan berbagai etnis yang berbaur menjadi satu. Barangkali, bukan romantisme belaka kalau ada yang memimpikan Bandar Lampung menjadi pintu gerbang untuk memahami sesuatu yang bernama Lampung. Lampung toh bukan sekadar nama yang tak berarti?
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Juni 2005
Udo Karzi yth,
ReplyDeleteBeberapa minggu lalu seorang teman lama dari Bandarlampung mengirim saya pesan singkat (SMS) yang mengatakan bahwa tidak lama lagi water front city akan dibangun di garis pantai kota Bandarlampung, meliputi wilayah dari Gunung Kunyit (Sukaraja) sampai Gudang Lelang. Saat ini sedang ditenderkan Detailed Engineering Design (DED) –nya. Nantinya akan memakai dana sebagian kecil APBD pemkot, sebagian kecil lagi APBD pemprov, dan sebagian besar APBN. Konon water front city tersebut sebagai bagian dari strategi pembangunan kota yang meliputi pengembangan pariwisata, penataan pasar, penataan transportasi, ruang terbuka hijau dan taman kota, serta pengendalian banjir.
Tentunya rencana ini sudah cukup melewati fase-fase studi yang yang komprehensif oleh para ahli pembangunan, baik di tatanan daerah maupun pusat. Saya belum mendapatkan informasi bagaimana rencana detailnya. Saya hanya menulis semacam komentar pendahuluan di blog ini. Saya tidak ingin mengatakan setuju atau tidak setuju, dan tidak pula bersikap skeptis. Sebagai orang yang berasal dari Bandarlampung, saya justru akan bangga kalau kelak kota ini memiliki suatu water front city yang indah dan dapat menjadi landmark bagi warga Lampung.
FOKUS PEMBANGUNAN
Saya hanya sekedar mengingatkan, negara kita yang 76 jt (jumlah KK penerima BLT dilakikan 4) warganya hidup dalam kemiskinan tentunya strategi pembangunannya tdak boleh disamakan dengan negar akapitalis yang sudah maju. Apapun yang namanya pembangunan daerah itu, orientasinya mestilah berbasiskan pada tiga hal pokok berikut:
(1) mencerdaskan rakyat,
(2) menyehatkan rakyat, dan
(3) ekonomi kerakyatan.
Mencerdaskan rakyat disini jelas fokus pada pendidikan sebagai sarana untuk membangun manusia seutuhnya. Lewat pendidikan inilah budaya ‘iptek’ dan ‘imtak’ dapat ditanamkan ke dalam jiwa manusia sebagai nilai-nilai yang inherent. Inti peradaban adalah kebudayaan, ini kebudayaan adalah iptek, dan inti iptek adalah pendidikan. Semua negara maju mempunyai catatan sejarah bahwa para pemimpin mereka sangat memprioritaskan pembangunan pendidikan untuk rakyatnya. Kita lihat saja negara tetangga kita Malaysia. Di awal tahun 70-an sampai pertengahan 80-an mereka banyak mengimpor guru-guru dari Indonesia. Nyatanya kemajuan mereka sekarang melesat jauh dibandingkan gurunya Indonesia. Berdasarkan data dari Laporan Bank Dunia 2007, Indeks Pembangunan Manusia negara Malaysia pada tahun 2006 adalah 0,805 (urutan 61), sedangkan Indonesia 0,711 (urutan 108). Apakah karena orang-orang Malaysia memang lebih cerdas dari Indonesia? Tidak. Mereka hanya mempunyai komitmen yang sungguh-sungguh dengan pendidikannya. Kalau tidak salah anggaran pendidikan mereka mencapai 30% dari anggaran negara.
Kesehatan disini meliputi antara lain akses pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat serta keterjaminan untuk memperoleh penghasilan yang rutin dan cukup untuk - paling tidak - memenuhi kebutuhan primer rumah tangganya. Sedangkan ekonomi kerakyatan adalah kebijakan yang memihak pada pemberdayaan masyarakat kecil sehingga mereka mampu mandiri secara ekonomi.
Kalau pertumbuhan GRDP (Gross Regional Domestic Product) dapat dikatakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah, saya ambilkan beberapa perbandingan berdasarkan data GRDP dai Badan Pusat Statistik untuk tahun 2000-2005.
Growth Rate of Gross Regional Domestic Product at Constant 2000 Prices by Province, 2001-2005, in % (data diambil dari www.bps.go.id):
Provinces 2001 2002 2003 2004*) 2005**)
Nanggroe Aceh Darussalam -10.73 20.07 5.52 -9.63 -13.45
North Sumatera 3.98 4.56 4.81 5.74 5.48
West Sumatera 3.66 4.69 5.26 5.47 5.73
Riau -0.46 2.64 3.08 2.93 5.41
Jambi 6.65 5.86 5.00 5.38 5.57
South Sumatera 2.47 3.08 3.68 4.63 4.84
Bengkulu 4.15 4.73 5.37 5.38 5.82
Lampung 3.59 5.62 5.76 5.07 3.76
Bangka Belitung Islands 5.86 6.85 11.80 3.20 3.25
Riau Islands - - - 6.47 6.57
Sumatera 0.63 5.71 4.51 2.93 3.16
Total all Province 3.39 4.37 4.58 4.30 5.25
**) : first preliminary figures
*) : second preliminary figures
Kita lihat bahwa posisi pertumbuhan GRDP Provinsi Lampung pada tahun 2005 berada pada urutan ke-9 dari 10 provinsi yang ada di Sumatera. Ini berarti pertumbuhan ekonomi dalam skala Pulau Sumatera pun masih belum menggembirakan.
Pertanyaannya adalah: ketika Pemkot Bandarlampung memutuskan untuk membangun water front city tersebut, apakah pendidikan dan kesejahteraan sudah menjadi prioritas utama pembangunan di Bandarlampung? Seperti sudah umum terjadi di Indonesia, para pimpinan atau mantan pimpinan daerah biasanya merasa bangga menonjolkan hasil pembangunan fisik belaka. Jarang sekali seorang pimpinan yang mengatakan “masyarakat di daerah saya cerdas karena pimpinan saya” atau “masyarakat di daerah saya sejahtera karena manajemen saya”.
JANGAN ADA PENGGUSURAN, TETAPI PEREMAJAAN DAN PEMBERDAYAAN
Dimana ada rencana penataan ruang, biasanya selalu ada kelompok pemilik modal (kapitalis) di belakangnya. Mereka mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan kelompok masyarakat bawah yang tidak mempunyai informasi, tidak mempunyai akses ke pusat-pusat kekuasaaan, tidak mempunyai payung organisasi yang kuat akan termarjinalkan dan bahkan sering tereksploitasi oleh pengambil keputusan.
Harapan saya adalah semoga tidak ada penggusuran bagi masyarakat yang telah lama bermukim di daerah yang akan dijadikan water front city. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di garis pantai tersebut adalah nelayan. Mereka secara ekonomi telah mandiri turun temurun. Penggusuran termasuk proses pemiskinan masyarakat, walaupun mereka diiming-imingi memperoleh ganti rugi yang setimpal. Betapa beratnya beban psikologis orang-orang yang terusir. Betapa beratnya mereka harus memulai kehidupan dan penghidupan baru di suatu tempat yang masih asing bagi mereka. Apalagi mereka sudah berkali-kali selama puluhan tahun juga ikut menanggung beban mismanagement pemerintahan di negeri ini - antara lain mismanagement dalam sektor energi.
Jika nantinya proyek ini sudah berjalan, maka yang perlu dilakukan terhadap penduduk setempat adalah:
(1) Jangan ada ‘pengusiran’. Sediakan perumahan yang sehat dan layak bagi mereka. Lokasi perumahan tersebut harus berada di dalam area yang sekarang mereka sedang tempati. Bila nilai rumah tersebut lebih kecil dari nilai aset mereka, maka berikan selisihnya sebagai ganti rugi. Bila nilai aset mereka ternyata lebih kecil, ya tetap harus diberikan perumahan gratis karena yang berkehendak membangun proyek itu adalah pemerintah, bukan mereka. Jika proyek dikerjakan bertahap, maka anggaran awal harus digunakan untuk peremajaan pemukiman ini.
(2)Para nelayan tetap mempunyai akses bebas untuk melaut tanpa dipungut bayaran.
(3)Sektor UKM harus diintensifkan kelak agar masyarakat dapat mandiri penuh dan memiliki jiwa wira usaha yang tangguh.
(4)Jangan didirikan mall. Pendirian mall juga merupakan salah satu proses pemiskinan secara sistemik.
(5)Pasar tempat pelelangan ikan yang ade sekarang harus tetap ada dan diremajakan.
(6)Masyarakat diberi penyuluhan akan pentingnya pendidikan, kebersihan, dan pelestarian ligkungan.
(7)Infra struktur pendidian dan pelayanan kesehatan murah harus disediakan untuk masyarakat setempat.
(8)Jika nanti water front city tersebut menciptakan lapangan kerja baru, maka sistem perekrutan – terutama yang bersifat non teknis – harus mengutamakan tenaga kerja dari masyarakat setempat.
Sekian dulu komentar pendahuluan ini. Jika saya memperoleh update lagi, Insya Allah saya dapat memberikan komentar lebih lanjut atau dapat berdiskusi dengan rekan-rekan di Bandarlampung.
Salam,
Gamil Abdullah
http://www.gamil-opinion.blogspot.com