January 31, 2008

Penghargaan: Lampung Dapat Hadiah Sastra Rancage 2008

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Hari ini, Kamis (31-1), Yayasan Kebudayaan Rancage mengganjar buku sastra berbahasa Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi, dengan penghargaan Hadiah Sastra Rancage 2008.

"Ini pertama sekali Hadiah Sastra Rancage diberikan untuk karya sastra berbahasa daerah dari luar Pulau Jawa. Sudah sepuluh kali Hadiah Sastra Rancange diberikan kepada karya sastra berbahasa daerah, baru kali ini penghargaan itu diberikan kepada sastra berbahasa Lampung," kata Irfan Anshori, salah seorang Dewan Juri Rancange Award 2008 yang juga anggota Pusat Studi Kebudayaan Sunda, dalam rilis yang disampaikan kepada Lampung Post, Rabu (30-1).

Irfan Anshory mengatakan, ada dua buku sastra berbahasa Lampung yang ditulis Udo Z. Karzi dan diikutsertakan dalam penilaian Hadiah Sastra Rancage. Tapi, penghargaan yang diberikan setiap tahun untuk karya sastra berbahasa daerah itu akhirnya jatuh ke Mak Dawah Mak Dibingi.

"Kami berharap hadiah ini menjadi pemicu bagi pelestarian bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya. Semoga menjadi pemicu penerbitan buku-buku sastra berbahasa Lampung," kata Irfan.

Menurut Irfan, Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi sudah sejak lama mengamati perkembangan karya sastra berbahasa daerah yang ada di luar Pulau Jawa. Tapi, ternyata perkembangan karya sastra berbahasa Lampung lebih semarak dibandingkan daerah lainnya.

"Begitu kami menemukan buku berbahasa daerah Lampung, kami menghubungi penerbitnya. Mereka respek dan mengirimkan buku Udo Z. Karzi serta menyanggupi akan menerbitkan buku berbahasa Lampung secara kontinu," kata Irfan.

Hal senada diakui Direktur Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) Budi Hutasuhut, yang menerbitkan buku Mak Dawah Mak Dibingi. Buku berisi 50 puisi berbahasa Lampung itu diterbitkan MataKata bekerja sama B-Press, pada Desember 2007.

"Buku itu diterbitkan dalam rangka memopulerkan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan masyarakat. Kami berharap pemerintah daerah bisa menjadikan buku ini sebagai bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal," kata Budi.

Menurut Budi, penerbitan buku berbahasa Lampung itu didorong oleh kekhawatiran akan punahnya bahasa Lampung mengingat tidak banyak lagi penduduk Lampung yang menjadikannya bahasa sehari-hari. "Berdasarkan penelitian Yayasan SKL, salah satu penyebab rendahnya minat masyarakat Lampung dalam berbahasa Lampung karena tidak banyak bacaan (literatur) dalam bahasa Lampung yang dapat mengakrabkan bahasa tersebut dengan masarakat pemiliknya," kata dia.

Sebab itu, masyarakat Lampung butuh bahan bacaan dalam bahasa Lampung, sehingga mereka merasa akrab dengan bahasa daerahnya. Setelah akrab, diharapkan masyarakat Lampung mencintai bahasa daerahnya. "Dengan begitu, mereka akan mempergunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sehari-hari," kata dia. n HES/K-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Januari 2008

Sanggar Seni Minim Pengetahuan Manajerial

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Selama ini persoalan yang terlihat paling menonjol dialami sanggar-sanggar seni baik di tingkat sekolah, kampus ataupun umum adalah minimnya pengetahuan manajerial yang dimiliki para pengurus sehingga banyak yang tidak mampu bertahan lama.

Andi Rahman dari Putra Lampung Mandiri (PLM) mengemukakan hal tersebut saat ditemui di Taman Budaya Lampung (TBL), Rabu (30-1). Dia mengatakan hal tersebut yang mendorongnya menggelar kegiatan Pelatihan Manajemen Organisasi dan Manajemen Pertunjukan di TBL sejak 29--31 Januari. "Pelatihan ini digelar untuk menjadi ruang share bagi penggiat sanggar seni yang ada sehingga mereka akan mendapatkan pemahaman manajerial serta kiat-kiatnya untuk survive," kata Andi.

Karena banyak sanggar-sanggar kebingungan mencari link-link jaringan. Maka, ia berharap wacana yang dimiliki para pekerja seni bisa bertambah. "Kemampuan manajerial sangat menentukan terhadap kehidupan sanggar-sanggar seni ke depan," ujar dia.

Kendati Andi mengemukakan belum melakukan penelitian khusus berkaitan dengan kebutuhan sanggar-sanggar, berdasar pada hasil perbincangan dengan para seniman, persoalan manajerial memang menjadi masalah yang utama yang dihadapi sanggar. Sebab, memang banyak pekerja dan penggiat sanggar seni tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik.

Pelatihan ini diharapkan menambah pengetahuan para penggelola sanggar seni sehingga ke depan bisa melahirkan forum komunikasi dan silaturahmi antarsanggar. "Meskipun fungsi tersebut seharusnya dilakukan Dewan Kesenian Lampung (DKL), paling tidak kami membantu DKL dalam mewujudkannya."

Pelatihan ini diikuti 50 peserta dari sanggar-sanggar seni di Bandar Lampung, Metro, Tanggamus, dan Lampung Tengah. Adapun pemateri terdiri dari Harry Djayaningrat, Assalam Nasrudin, dan Supriati. TYO/S-2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Januari 2008

Bandar Lampung Buka Kawasan Wisata Kuliner

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno rencananya akan membuka kawasan wisata kuliner di Jalan Katamso, Tanjungkarang Pusat, usai salat jumat besok.

Tahap awal, kawasan ini terdiri dari 20 pedagang makanan gerobak bantuan dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Perindag). Mereka merupakan hasil seleksi dari 42 pedagang yang mengajukan usulan mendapatkan bantuan gerobak, kursi, meja, tenda, sebagai peralatan dagangan yang akan ditempatkan di kawasan wisata kuliner.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) kota Bandar Lampung Enny Wahyuni mengatakan pusat santap malam yang akan menjadi salah satu kawasan wisata kuliner ini akan menjadi percontohan.

Untuk itu, dia sangat berharap, pedagang yang sudah mendapatkan tempat dan bantuan peralatan ini, dapat memperhatikan rasa, kebersihan, dan keindahan tempat di kawasan wisata kuliner.

"Hari Jumat (1-2), nanti, Wali Kota akan membuka langsung kawasan itu dan masyarakat sudah dapat memulai menikmati hidangan yang bapak-ibu berikan," kata Enny saat pengarahan kepada pedagang di Kantor Diperindag Kota, Rabu (30-1).

Enny mengatakan tujuan dibukanya kawasan wisata kuliner untuk memperkenalkan dan mengembangkan potensi wisata yang ada di Bandar Lampung dan memberi peluang kepada pedagang makanan untuk mengembangkan ekonomi keluarga.

Selain itu, memperkenalkan produk makanan khas Lampung, menjadi salah satu kawasan wisata kuliner, dan mengembangkan potensi dan sumber daya alam guna menarik investasi.

"Untuk tahap awal, bantuan dari pemerintah pusat berupa 20 gerobak makanan, meja kursi dan tenda. Jika dianggap berhasil, pemerintah pusat akan menambah bantuan pengembangan kawasan wisata kuliner yang menjadi percontohan ini," kata dia.

Langkah yang sudah diambil Deperindag, lanjut Enny, pihaknya sudah melakukan seleksi pedagang yang akan menempati 20 gerobak makanan tersebut.

Dari 42 pedagang makanan yang mengajukan usulan, diseleksi menjadi 20 pedagang saja. Sedangkan makanan yang akan disajikan berbagai aneka kuliner. Misalnya, beraneka ragam nasi, sop, mi, soto, steak, jus, dan es.

Sedangkan Ny. Elo, salah seorang pedagang yang mendapatkan bantuan gerobak, mengaku sangat senang dengan adanya bantuan tersebut. Terlebih, selain gerobak, bantuan juga berupa kursi dan meja, serta tenda.

"Tinggal bagaimana pedagang memanfaatkan bantuan itu bagi pengembangan ekonomi keluarga. Kami sebagai pedagang sudah sepakat untuk melaksanakan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Disperindag," kata Ny. Elo. n KIM/K-2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 31 Januari 2008

January 30, 2008

Pergelaran Budaya Lampung Undang Empat Keraton

[CIREBON] Provinsi Lampung mengundang empat keraton di Indonesia untuk menggelar pagelaran budaya yang direncanakan berlangsung pada bulan Februari 2008, kata Ketua Umum Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), A Nurdin Muhayat.

"Sebanyak empat keraton yang diundang itu masing-masing keraton di Cirebon, Bali, Solo, dan Banten," katanya, seperti dilaporkan Antara dari Cirebon, Jawa Barat, baru-baru ini.

Nurdin yang mantan Wali Kota Bandarlampung itu menjelaskan, pergelaran budaya yang diikuti empat keraton tersebut dimaksudkan untuk mengenalkan budaya masing-masing keraton tadi kepada masyarakat Lampung.

Empat keraton tersebut masing-masing memiliki seni budaya yang khas. Keraton Kesultanan Kanoman Cirebon misalnya, memiliki seni tari topeng yang cukup bagus.

Sementara itu, Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, dalam kunjungannya ke Cirebon selam dua hari akhir pekan ini, mengatakan keberadaan keraton di Cirebon harus dipertahankan karena memiliki nilai sejarah yang tinggi.

"Lampung tidak lagi memiliki peninggalan bangunan kerajaan seperti di Cirebon ini. Padahal dahulu Lampung memiliki kerajaan besar Tulangbawang," katanya.

Oleh karena itu, Sjachroedin mengharapkan Cirebon yang masih memiliki sejumlah peninggalan sejarah berupa keraton dapat menjaga dan memeliharanya sehingga tidak punah seperti kerajaan Tulangbawang di Lampung.

Kunjungan gubernur Lampung beserta rombongan MPAL di Keraton Kanoman Cirebon, merupakan untuk yang kedua kalinya. Kunjungan itu berlangsung dalam rangka silaturahmi dengan keluarga besar Keraton Kanoman.

Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, mengatakan, kunjunganya beserta rombongan selain untuk memberikan bantuan sembako dan silaturahmi juga mendoakan kesembuhan penyakit yang diderita Sultan Kanoman XII, Sultan Raja Emirudin. Rombongan dari Lampung juga membawa sejumlah kiyai untuk mendoakan kesembuhan penyakit Sultan. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 30 Januari 2008

Kunjungan Wisata 2009: Pemprov Siapkan 'Event' dan Infrastruktur

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemprov Lampung telah menyiapkan 10 event kabupaten dan kota serta perbaikan infrastruktur dan sarana prasarana wisata guna mewujudkan Tahun Kunjungan Wisata Provinsi Lampung tahun 2009 yang akan datang.

Kasubdin Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Reni Utari, Selasa (29-1), mengatakan saat ini pihaknya sudah melakukan koordinasi dan kerja sama dengan stakeholder terutama pemda kabupaten dan kota guna mempersiapkan segala sesuatunya.

"Secara umum, kesiapan infrastuktur terutama yang mengarah ke daerah wisata unggulan yang ada di Provinsi Lampung, sudah dalam kondisi yang baik. Tinggal perbaikan sarana dan prasana serta fasilitas yang ada di sana," kata Reni.

Sedangkan yang masih dirasa sangat kurang adalah persoalan moda transportasi penunjang ke tempat wisata unggulan.

Selain itu juga belum adanya selter yang memadai dan menunjang yang bisa dikunjungi wisatawan.

Contohnya, kata Reni, saat wisatawan akan menuju ke Taman Nasional Way Kambas, belum ada selter tujuan wisata alternatif yang bisa dijadikan pilihan sebelum memasuki Way Kambas.

"Pusat jajanan masyarakat yang biasa digelar pun hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga saat hari biasa pusat jajanan tidak buka dan jalanan sepi," kata dia.

Sedangkan persoalan moda transportasi yang belum memadai terasa di tempat wisata unggulan Lampung, yakni Gunung Krakatau. Sampai saat ini belum ada dermaga yang memadai. Juga dermaga di Canti yang menyebabkan wisatawan sulit menuju ke sana dari Lampung.

Padahal Gubernur sudah mengupayakan sejak 2000. "Tapi ini kan persoalan tingkat tinggi antardepartemen yang mesti mendapatkan izin Menteri Perhubungan," ujarnya.

Guna mempersiapkan segala penunjangnya, pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terus melakukan koordinasi dengan pihak kabupaten dan kota. "Ini dilakukan agar program yang dikembangkan juga sinkron. Kabupaten dan kota sendiri saat ini sudah merespons, tetapi semuanya masih bergantung pada pembahasan revisi APBD yang masih berlangsung, apakah dihapus atau tidak," kata dia.

Selain itu, untuk mempersiapkan tahun kunjungan wisata Lampung 2009 tersebut, kata Reni, dinas telah menunjuk konsultan guna mendukung penyelenggaraannya.

Diharapkan, penyelenggaraan tahun kunjungan wisata benar-benar bisa dilakukan dengan profesional dan memang bisa menjual Lampung untuk dikunjungi wisatawan mancanegara dan nusantara. n TYO/K-2

Sumber: Lampung Post, Rabu, 30 Januari 2008

Ikon Kota: Tugu Durian Dibangun di Sukadanaham

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wajah Bandar Lampung kembali akan dihiasi tugu sebagai bangunan ikon kota. Bangunan itu berupa taman dengan Tugu Durian yang akan ditempatkan di Kelurahan Sukadanaham, tepatnya di perempatan antara Jalan K.H. Agus Salim, Radin Imba Kesuma, dan menuju ke arah PDAM Way Rilau.

Pihak Kecamatan Tanjungkarang Barat mengaku sedang mempersiapkan pembangunan taman dengan dana hasil swadaya warga setempat. Program ini juga menjadi terobosan dalam menyongsong Adipura, selain terus menggalakkan Ayo Bersih-Bersih.

"Kita harapkan partisipasi warga, khususnya Kecamatan Tanjungkarang Barat dan umumnya Kota Bandar Lampung untuk membantu terwujudnya program ini," kata Sekretaris Camat (Sekcam) Romas Yadi, Selasa (29-1) di ruang kerjanya.

Tak hanya warga, ia pun mengimbau bagi para pengusaha agar juga bersedia mendukung pembangunan taman ini. Diperkirakan pembangunan itu akan menelan biaya Rp90 juta.

Salah satu ciri khas yang akan tampak pada taman ini adalah berdirinya Tugu Durian. Dua bentuk tiruan buah ini akan ditempatkan pada puncak tugu. Seperti diketahui, buah durian merupakan potensi unggulan Kelurahan Sukadanaham.

Bila sedang musimnya, kebanyakan warga setempat juga beralih profesi sebagai pedagang durian musiman. "Mayoritas warganya juga punya kebun durian," kata Romas.

Peletakan batu pertama pembangunan taman rencananya akan dilakukan Wali Kota Eddy Sutrisno awal Februari mendatang.

Warga dan tokoh masyarakat setempat diakui Sekcam Romas cukup antusias menyambut program ini, salah satunya adalah Alfian, warga Kelurahan Segalamider.

Beberapa waktu sebelumnya, pihak kecamatan telah menjalankan program pengadaan pot-pot bunga di kantor-kantor kelurahan, termasuk kecamatan.

Beberapa ornamen-ornamen Lampung dipajang di dinding kantor dalam rangka pelestarian budaya. Selain itu, slogan-slogan ajakan dan imbauan juga dipasang di mulut-mulut gang dan tempat yang strategis.

Beberapa di antaranya berbunyi "Jangan Buang Sampah Sembarangan, Sampah Sumber Penyakit, dan Kebersihan Sebagian dari Iman." n */K-2

Sumber: Lampung Post, Rabu, 30 Januari 2008

January 28, 2008

Suara: Tentang Seni Budaya Lampung

Iswadi Pratama: Perhatikan Seni dan Budaya

PERHATIAN pemerintah di bidang seni dan budaya masih bersifat fisik. Bila bangunan fisiknya sudah berdiri, pembinaan kulturalnya ditinggalkan. Biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan fisik tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan masyarakat. Beberapa kegiatan, Festival Krakatau misalnya, hanya rutinitas belaka.

"Seni dan budaya itu investasi jangka panjang. Tidak akan cukup dalam waktu satu atau dua tahun dengan membangunkan fisiknya saja," ujar Iswadi, Sabtu (26-1), di Taman Budaya Lampung.

Ia mencontohkan Pasar Seni yang secara fisik ada, tapi isinya tidak muncul. Padahal, Lampung juga bertanggung jawab menyokong Indonesia dalam rangka menjalankan keputusan PBB yang menginginkan pembangunan di negara-negara anggotanya harus bermatra kebudayaan. "Pembangunan seni dan budaya seharusnya tidak lagi artefak oriented, tapi lebih kepada cultural oriented," ujarnya.

Iswadi juga menyebut seni masih terpinggirkan dalam pendidikan. Seni masih tergolong pelajaran muatan lokal. Itu pun lebih banyak mempelajari teori, sedangkan prakteknya kurang. "Hasilnya, tidak sedikit para pelajar yang lemah pemahamannya dalam membuat atau mengapresiasi puisi," ujar seniman yang tinggal di Kemiling ini.

Lebih dari itu, minat membaca dan menulis pun dinilai masih rendah. Ke depan, pemimpin daerah ini harus paham indikator keberhasilan pembangunan seni dan budaya. Sosoknya tidak harus bisa menguasai kedua bidang tersebut, tapi minimal memiliki wawasan pembangunan yang menyeluruh.

"Harus jelas. Apakah dilihat dari kuantitas pembangunan gedung-gedungnya, produk-produk keseniannya atau sanggar-sanggar keseniannya." n */U-1


Lupita Lukman: Pembinaan Minim


PERKEMBANGAN puisi dan syair di Lampung cukup baik. Individu-individunya tidak hanya mengandalkan komunitas sebagai media pengembangan diri. Di samping itu, mereka juga aktif berproses secara mandiri dengan membaca dan mempelajari karya-karya luar. Namun, kondisi ini belum didukung dengan perhatian intensif pemerintah.

"Lampung dan Bali dikenal negerinya penyair. Daerah kita termasuk kondusif bagi para penyair untuk mengembangkan diri," papar Santika Lupitasari, Sabtu (26-1) malam.

Meski demikian, pembinaan pemerintah hampir tidak terlihat. "Hubungan dengan pemerintah masih kurang."

Kesenian di Lampung, ujar penyair yang dikenal dengan nama Lupita Lukman itu, tidak menjadi prioritas pembangunan dan hanya menempati urutan ke sekian. "Terutama eksplorasinya yang hampir tidak terlihat," tambah mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung ini.

Ia berharap pemimpin ke depan lebih memperhatikan kekurangan ini. Sumber daya manusia yang cukup potensial harus didukung dengan pembinaan yang baik pula. "Hatinya harus lepas dari ego pribadi dan lebih perhatian terhadap masyarakatnya," ujar warga Bandar Lampung itu n */U-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Januari 2008

Wisata: Arung Jeram Bisa Undang Turis Asing

SUMBERJAYA (Lampost): Lokasi arung jeram Way Besai, Lampung Barat, bisa mendatangan wisatawan mancanegara, kata Budi Yakin, Sekretaris Jenderal Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI), saat pelatihan arung jeram dan pembentukan Pengurus Daerah (Pengda) FAJI Lampung di Sumberjaya, pekan lalu.

Menurut Budi, peluang mendatangkan wisatawan sangat memungkinkan untuk olahraga arung jeram, apalagi Lampung Barat sudah siap untuk jenis olahraga tersebut. "Kalau melihat lokasi dan peralatannya, Lampung Barat sudah siap menerima tamu," kata dia.

Dengan pelatihan, kata Budi, Lampung Barat diharapkan lebih siap dalam menerima tamu dan olahragawan arung jeram juga bisa lebih profesional. "Jika momentum pelatihan ini dimanfaatkan dengan baik, saya yakin dengan sarana prasarana yang memadai dan lokasi arung jeram yang menarik olahraga arung jeram akan semakin berkembang", katanya.

Potensi wisata Lampung Barat, sangat komplet dan punya nilai jual untuk ditawarkan kepada wisatawan sehingga pelatihan arung jeram diharapkan menjadi salah satu motivasi, baik olahraga ataupun sektor pariwisata Lampung Barat.

Data yang dihimpun Lampung Post, pelatihan yang diikuti sejumlah organisasi pencinta alam Lampung dan anggota Marinir tersebut, dilaksanakan empat hari sejak 23--27 Januari, mendatangkan instruktur dari Pengurus Besar (PB) FAJI, Jon Lede, Lodi, Komar, dan Unang.

"Materi pelatihan dasar arung jeram meliputi, teknik mendayung, rescue, dan lain-lain," kata Toni, penggagas lokasi arung jeram Lampung.

Menurut Toni, pelatihan ini sengaja ditempatkan di Lampung Barat, karena pertimbangan di Provinsi Lampung kini, baru Kabupaten Lampung Barat yang memiliki lokasi dan sarana untuk olahraga arung jeram, "Sekarang cuma Lampung Barat yang punya lokasi dan alatnya," kata dia.n HEN/D-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 28 Januari 2008

January 26, 2008

Opini: Ramalan Raffles dan Du Bus

-- Sri-Edi Swasono*

PADA awal abad ke-20 masalah kepadatan penduduk Pulau Jawa bukanlah hal yang baru, yang telah dikaitkan dengan kelaparan dan kemelaratan. Pada tahun 1815 gejala kelebihan penduduk (over population) Pulau Jawa telah disinggung oleh Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles (1781-1826), dalam bukunya yang terkenal The History of Java, Vol I, hal 68-72.

Raffles mulai melihat pulau-pulau lain yang langka penduduknya. Dikatakannya, tanah yang subur sekali, perkawinan usia muda, poligami, usia lanjut, daerah pertanian yang sehat, dan lebih suka damai daripada perang merupakan unsur-unsur pendorong pertumbuhan penduduk Pulau Jawa. Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies pada tahun 1827 (Rapport van de Commisaries-General over het Stelsel van Kolonisatie, 1827, hal 48) telah pula mencemaskan kelebihan penduduk Pulau Jawa. Du Bus memperkirakan bahwa suatu ketika seluruh tanah Jawa akan penuh manusia berimpit-impitan. Pada tahun 1815 penduduk Pulau Jawa sebanyak 4.615.270 orang (Raffles, op. cit., hal 63).

Ide ”kolonisasi” bermula dari keyakinan tentang adanya kelebihan penduduk Pulau Jawa ini, maka pada tahun 1905 mulailah diberangkatkan pertama kalinya 155 kepala keluarga asal Jawa (Kedu) ke Gedong Tataan, Lampung, dalam rangka ”kolonisasi” (sekarang dengan nama ”transmigrasi”). Ada terdengar pula alasan menyiapkan kuli murah untuk Sumatera Utara setelah UU Agraria 1870.

Perkembangan penduduk Pulau Jawa adalah 34,4 juta (1920), 41,7 juta (1930), 48,4 juta (1940) dan 60 juta (1950, dibulatkan). Sekarang penduduk Pulau Jawa sekitar 132 juta atau sebesar 60 persen penduduk Indonesia meskipun luas Pulau Jawa hanya 6,95 persen dari luas areal Indonesia. Kepadatan penduduk Pulau Jawa 1.020 orang per kilometer persegi, berarti hampir 10 kali dari rata-rata kepadatan nasional sebesar 120 orang per kilometer persegi. Kelebihan pendudukkah Pulau Jawa? Jawabannya tegas, ya! (Betapapun batasannya relatif).

Transmigrasi


Sejak awal kemerdekaan dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta (3 Februari 1946), Wakil Presiden RI menegaskan bahwa ”transmigrasi bagi Indonesia merupakan keharusan di dalam pembangunan nasional, transmigrasi merupakan kewajiban kita membangun Indonesia”.

Tentulah menarik sekali menyimak pendapat Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tepat bahwa banjir dan tanah longsor di Jawa Tengah dan Jawa Timur perlu diberi jalan keluar melalui transmigrasi.

Pendapat Wakil Presiden ini dapat kita benarkan mengingat musibah tahunan ini akan terjadi terus-menerus sampai kita bisa mengatasi kerusakan lingkungan yang sangat parah, yaitu hilangnya hutan dan pepohonan di bantaran sungai-sungai, di pegunungan dan gunung-gunung, bendungan yang rawan jebol, tak terkendalinya alih fungsi lereng-lereng pegunungan menjadi pertanian pangan subsistan, disertai perubahan iklim yang memperparah keadaan.

Malapetaka alam yang terjadi sekali-kali dan tidak terduga adalah malapetaka yang harus diatasi bersama oleh pemerintah dan masyarakat berdasar rasa bersama sebagai wujud tanggung jawab sosial, kesetiakawanan, dan ukhuwah nasional kita. Namun, malapetaka yang rutin, sangat me- ngenaskan, yang pasti terjadi setiap tahun, adalah suatu beban yang melelahkan dan membosankan, sekaligus merupakan beban sosial dan beban anggaran negara.

Perbaikan lingkungan yang memakan waktu lama tidak bisa dilakukan selama penduduk masih tetap tinggal di lokasi-lokasi rawan bencana, hidup berimpit-impitan di bantaran sungai, di DAS, di lereng- lereng, bahkan akan tetap merambahi hutan tipis yang tersisa. Kerusakan lingkungan bahkan akan berlanjut karena pertambahan penduduk, bobot over population terus meningkat. Terobosan harus dicari. Maka, relokasi melalui transmigrasi sebagaimana disarankan Wapres menjadi alternatif solusi yang menjanjikan.

Tidak boleh gagal


Transmigrasi Indonesia sudah lama melepaskan paham demografi-sentris, bukan karena over population-nya Raffles dan Du Bus mengandung makna relatif, melainkan karena kenyataan riil bahwa transmigrasi tidak akan bisa mengurangi kepadatan penduduk Pulau Jawa, atau bahkan tidak mampu memindahkan penduduk sejumlah pertambahan penduduknya per tahun antara 2 juta orang. Catatan saya menunjukkan bahwa antara 10 windu transmigrasi (1905-1985) hanya 3,7 juta penduduk dapat dipindahkan, itu pun 2,9 juta berasal dari zaman Orde Baru yang sangat intensif menyelenggarakan program transmigrasi. Sementara itu, makin banyak penduduk dari luar Pulau Jawa masuk ke Pulau Jawa. Bagi Pulau Jawa, pembatasan kelahiran tidak boleh gagal.

Oleh karena itu, transmigrasi harus dilakukan secara selektif, antara lain dilakukan dari daerah-daerah pengirim yang memiliki urgensi kritis, seperti daerah- daerah yang rawan bencana alam, tanpa mengabaikan syarat-syarat baku yang dituntut untuk keberhasilan suatu proyek transmigrasi.

Keberhasilan proyek transmigrasi, baik untuk transmigran pendatang maupun rakyat di daerah penerima, memerlukan persiapan matang. Calon transmigran harus disiapkan sebagai agent of development. Melalui transmigrasi direncanakan dan diciptakan keunggulan komparatif baru di daerah-daerah penerima.

Barangkali kita perlu mentransformasi perkataan transmigrasi dari arti suatu proses kegiatan (noun) menjadi kata kerja (verb) yang artikulatif-aktif. Transmigrasi adalah upaya membangun daerah, suatu perantauan untuk berkarya, satu ”rantau bangun”. Jangan sampai transmigrasi menjadi sosok poverty trap. Target transmigrasi bukan lagi sekian KK (kepala keluarga), melainkan sekian hektar kebun sawit, sekian ton ikan tangkapan, sekian hektar tambak, sekian ton karet, dan seterusnya.

Depnakertrans saat ini memiliki program KTM (Kota Terpadu Mandiri) sebagai model penyelenggaraan transmigrasi yang lebih menjamin keberhasilan transmigrasi dan menyejahterakan transmigran dan rakyat sekitar. Kita mengharap KTM bisa memberikan ”nilai-tambah ekonomi” dan ”nilai-tambah sosial-kultural” kepada para transmigran dan rakyat setempat agar meningkatkan harkat martabat mereka. Rakyat dalam kemelaratan dan kesengsaraan berkepanjangan akan merupakan beban (bukan aset) pembangunan.

* Sri-Edi Swasono, Guru Besar Ekonomi UI

Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Januari 2008

January 24, 2008

Lampung: Objek Wisata Bagus, tapi Kok Tertinggal

BANDAR LAMPUNG -- Dunia pariwisata merupakan salah satu aset terbesar untuk kemajuan suatu negara. Belakangan ini Pemerintah Indonesia menggalakkan program yang dikenal dengan Visit Indonesia untuk lebih mempromosikan objek wisata Tanah Air ke mancanegara.

Begitu pula dengan Provinsi Lampung. Dinas Pariwisata Lampung sudah menyiapkan suatu program yang sama dengan Visit Indonesia, yaitu Visit Lampung.

Seperti kita ketahui, Lampung memiliki potensi wisata prospektif untuk dikembangkan dan menjadi salah satu aset wisata di Tanah Air. Namun, mengapa Lampung sampai kini masih tertinggal jauh dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia?

Padahal, Lampung memiliki potensi wisata yang cukup bagus. Misal saja objek wisata Danau Ranau di Lampung Barat atau saat ini lebih dikenal dengan Lumbok. Objek wisata tersebut merupakan danau terbesar kedua di Pulau Sumatera setelah Danau Toba.

Dengan pemandangan Gunung Seminung di tengah-tengahnya, kini juga telah dibuat penginapan berbintang yang dikenal dengan Seminung Lumbok Resort. Lokasinya persis di tepi Danau Ranau sehingga memberikan kemudahan bagi para wisatawan menikmati keindahan Danau Ranau dan panorama di sekitarnya.

Bandar Lampung, sebagai ibu kota Provinsi Lampung, juga tidak kalah menarik. Banyak objek wisata yang bisa dikembangkan, misalnya Taman Wisata Bumi Kedaton, Pantai Puri Gading, wisata alam air terjun Sukadaham serta puncaknya Lampung di daerah Sukadaham. Tetapi, mengapa Lampung belum bisa menjadi salah satu daerah tujuan wisata, padahal begitu banyak potensi wisata alam yang bisa dikembangkan pemerintah untuk menarik perhatian para wisatawan.

Sejauh ini apa yang menjadi kendala Lampung dalam menyejajarkan diri dengan provinsi lain. Menurut dosen Akademi Pariwisata Satu Nusa Subhi, Provinsi Lampung diberikan Tuhan lokasi yang sangat strategis di pintu gerbang Pulau Sumatera. Untuk mempromosikan objek wisata tersebut, pemerintah daerah bisa membagikan selebaran yang berisi informasi tentang objek wisata Lampung di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, kepada penumpang bus atau kapal penyebarangan. Untuk itu, pemerintah harus bekerja sama pihak penyeberangan Pelabuhan Bakauheni. "Mungkin setelah mereka berkunjung melihat objek wisata di Lampung, mereka akan memberitahukan kepada saudara, kerabat ataupun teman-teman," kata Subhi.

Beberapa objek wisata yang cukup menarik adalah Anak Gunung Krakatau dan Way Kambas. "Way Kambas ini kan sudah terkenal di mana-mana sebagai sekolah gajah," kata dia.

Hal yang sama dikatakan Santi, salah satu dosen di Satu Nusa.

Menurut dia, agar wisata Lampung berkembang dengan baik, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mempersiapkan SDM-nya lebih dahulu. "Orang-orang yang mengelola bidang pariwisata ini harus benar ahli dan memiliki basic tentang dunia kepariwisataan," kata Santi.

Selanjutnya, pemerintah bisa membangun infrastruktur kepariwisataan Lampung, mulai transportasi dan sarana-prasarana yang aman dan nyaman di lokasi wisata. "Jaminan keamanan dan kenyamanan sangat penting untuk menarik minat wisatawan, sehingga mereka betah," tuturnya.

Selain hal tersebut, salah satu upaya pemerintah provinsi yang patut didukung adalah Festival Krakatau yang sudah menjadi agenda tahunan. Dengan salah satu kegiatan yang digandrungi pemuda-pemudi adalah ajang pemilihan Duta Wisata Lampung atau yang lebih dikenal dengan Pemilihan Muli-Mekhanai Lampung. Dengan harapan para duta terpilih bisa mempromosikan semua potensi dan aset wisata yang ada di Lampung. Sebagai generasi muda, banyak hal yang dapat dilakukan untuk melestarikan budaya dan aset wisata Lampung, misalnya dengan membiasakan menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari.

n Mia Ariani/Ryan Hidayat/S-2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Januari 2008

Bedah Buku: Melihat dari Dekat Lambar

Judul buku: Daya Tarik Wisata Kabupaten Lampung Barat
Penerbit: Deputi Pengembangan Produk dan Usaha Pariwisata, 2004

BUKU Daya Tarik Wisata Kabupaten Lampung Barat memberikan informasi tentang potensi dan lokasi wisata Kabupaten Lampung Barat (Lambar) yang merupakan salah satu kabupaten terkaya wisatanya di Lampung. Informasi yang disajikan dalam buku ini diharapkan dapat menjadi panduan dan petunjuk berwisata, menambah wawasan dan keinginan wisatawan berkunjung kabupaten ini.

Sebagai kabupaten yang terletak di ujung barat Lampung yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan di bagian utara dan Samudera Hindia di sebelah barat. Lambar memiliki potensi wisata bahari yang menarik.

Seperti Pantai Tanjung Setia yang memiliki pemandangan yang eksotis, dimana para wisatawan dapat melakukan surfing, swimming, cycling, boating, dan lainnya. Juga objek wisata Danau Ranau/Lumbok, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, wisata budaya dan sejarah, dan wisata pendidikan arkeologis, semuanya dijabarkan dalam buku ini.

Selain objek wisata, buku ini juga menyajikan alamat-alamat penting penunjang pariwisata di Kabupaten Lambar, contohnya alamat hotel dan restoran, dan perusahaan transportasi.

Jadi, buat pembaca yang hobi traveling atau menyukai dunia kepariwisataan, buku ini dapat menjadi koleksi. Jikaa sudah berkunjung ke Lambar pasti gak bakal nyesel deh, malahan bakal ketagihan dan pengin stay lama-lama di Lambar.

n Nima Trilopa/S-2

Sumber: Lampung Post, Kamis, 24 Januari 2008

January 23, 2008

Pendidikan: Rendah, Minat Pelajar dalam Menulis

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Budaya tulis-menulis di kalangan pelajar Lampung dinilai masih rendah. Bakat ada, tetapi tidak disertai dengan minat yang cukup besar. Mereka pun umumnya tidak memiliki kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.

Di pihak lain, bukan hanya guru yang bertanggung jawab atas rendahnya budaya ini. Tapi, juga justru kalangan yang aktif bergelut di bidang tulis-menulis, misalnya, insan pers.

"Para pelajar di Lampung kekurangan akses dan media untuk berlatih diri," ujar Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila) Prof. Dr. Sudjarwo, Selasa (22-1).

Hal inilah yang menyebabkan rendahnya minat pelajar untuk bergelut di dunia yang mengandalkan ide ini. "Apalagi, para pelajar yang berada di daerah-daerah kabupaten, terutama di pelosok perdesaan," tambahnya.

Ia menilai tanggung jawab untuk memunculkan generasi muda yang gemar menulis tidak hanya milik guru, tapi juga insan pers. Ilmu yang dipahami seharusnya tidak untuk diri sendiri. "Insan pers melalui lembaganya agar secepatnya menjemput bola ke sekolah-sekolah, terutama yang ada di pelosok. Jangan hanya menunggu di kantor untuk dikunjungi," harapnya.

Ia menguraikan mengembangkan minat dan bakat memang sedapat mungkin dilakukan sejak dini. Sebelum beranjak dewasa, seseorang akan mengalami masa pembelajaran di sekolah mulai dari tingkatan dasar, menengah pertama, hingga menengah atas. Setelah itu pun, minat dan bakat masih tetap bisa berkembang melalui berbagai alternatif pilihan pendidikan lainnya. Seperti kata pepatah, carilah ilmu hingga ke negeri Cina.

Di sekolah, para pelajar diberikan beberapa alternatif pilihan melalui program ekstrakurikuler. "Walaupun tidak diujikan secara formal, program ini menjadi keuntungan lain bagi para pelajar. Apalagi, di tengah-tengah kesibukan melewati kegiatan belajar-mengajar yang sarat akan teori-teori," kata dia.

Ekstrakurikuler yang biasa disebut ekskul ini menjadi wadah pelajar mengembangkan minat dan bakat, di antaranya baris-berbaris, olahraga, keilmuan, kesehatan, keagamaan, maupun seni dan budaya. Belakangan, berkembang juga ekskul jurnalistik sebagai wujud ekspresi tulis-menulis.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMA Negeri 1 Seputih Agung, Lampung Tengah, Candra Puasti, mengatakan hal ini saat memandu 50 siswa-siswinya berkunjung ke Harian Lampung Post, Selasa (22-1).

Kunjungan ini digelar dalam rangka studi banding untuk mempelajari praktek-praktek jurnalistik. Selain Lampung Post, mereka juga mendatangi media elektronik Lampung TV. "Kami bersyukur, walaupun sekolah kami lokasinya agak jauh dari perkotaan, siswa kami tak pernah ketinggalan informasi. Karena mereka rajin membaca surat kabar," kata dia didampingi guru Bahasa Indonesia, Heru Santoso.

Geliat ekstrakurikuler siswa-siswi diakui Candra cukup baik. Tahun lalu, lima pelajarnya, masing-masing Heri, Hamdani, Marta, Oka, dan Septi mewakili Provinsi Lampung mengikuti lomba musikalisasi puisi di Aceh.

Sebelumnya, mereka meraih juara kedua se-Bandar Lampung. Siswa-siswi kelas X dan XI ini antusias mendengarkan pemaparan materi jurnalistik yang dipandu Redaktur Pendidikan Wiwik Hastuti. Berbagai pertanyaan dilontarkan, di antaranya oleh Ayu, Evi, dan beberapa siswa lainnya, mengenai tahap-tahap mencari dan membuat berita hingga syarat-syarat menjadi penulis yang baik. n */S-2

Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 Januari 2008

January 20, 2008

Esai: Pengarusutamaan Teks Mbeling (2007 untuk Peta 2008 dalam Berkarya)

-- Endri Y.*

MENCERMATI kegelisahan, proses mencari kekuatan karakter "kedirian" yang bebas, independen, dan terlepas dari kemelekatan-kemelekatan. Mengingatkan kita pada tuntutan dan "pengadilan puisi"-nya Slamet Kirnanto yang diselenggarakan di Bandung pada 8 September 1984. Hanya sebuah kenyelenehan dan kengawuran, tetapi sayangnya, tidak lucu!

Mengomentari teks tuntutan itu, Sapardi Djoko Damono menulis--harus ditafsirkan sebagai badutan yang segar saja karena kalau tidak begitu kita bisa menyebut penulisnya sinting--(Kesusastraan Indonesia Modern, hlm. 85)

Barangkali sulit, dan belum pernah ada kekuatan teks yang dimuat Lampung Post, yang tidak serius atau setidaknya, yang mbeling dan membawa pencerahan baru sebagaimana maksud Asarpin. Demikian tangkapan saya pada arah tulisan Bingkai, Lampost (6-1). Benarah demikian? Sehingga perlu digagas Segitiga Pengarang--Teks--Pembaca tetapi isinya, mengarah--"pada mulanya bukan mula, bukan pula mahia atau inti yang ingin dikatakan"--demikian sabda Asarpin, yang cukup produktif menulis dan mengaku pembaca sastra.

Menulis tanpa inti, tetapi menukik ke kedalaman substansi untuk minimal menyuntik kagetkan kita (baca; masyarakat pencinta sastra) sambil menggumam, "iya juga". Di sini, ranah sensibilitas masyarakat sastra dikejutkan minimal kemampuan dan kemauan dalam berspekulatif. Senantiasa mencari formula, genre, kronologis, komparatif, dan juga memiliki kematangan intuisi dari berbagai teks dengan proses kesejarahan.

Kekuatan Teks


Ketika Ahmadun Yosi Herfanda menulis hasil kontemplasinya untuk mengembalikan sastra ke kekuatan teks, ditemukan problem solver minimal pembangkit nuansa estetis dan mimesis karya-karya sastra, yang sekarang kekuatan teks sastra itu didominasi sastra koran.

Tidak bisa dimungkiri, Lampung Post, sebagai media daerah, dalam ranah stimulus dan pendorong lahirnya sastrawan-sastrawan muda Lampung yang kemudian mampu menggebrak panggung sastra nasional. Perlu diapresiasi. Bahkan dipuji.

Ruang-ruang seni budaya pada setiap hari Minggu, yang memuat apresisasi, cerpen, puisi, dan esai adalah peneguhan identitas sebagai penyuara kekuatan teks sastra. Termasuk inklud juga kritik sastra, seni, dan budaya.

Ketika digagas peran penulis pengagung dan pemuja kedirian, dengan slogan-slogan klise, "aku ingin jadi diri sendiri!" diri yang "aku" imut-imut dan lucu sebenarnya bukan pencerahan yang akan muncul, tetapi narsis, ego sentris, emosi primordial, dan bahkan lebih berbahaya adalah manifesto politik sastra. Mengedepankan strategi pemasyarakatan diri atau kelompok tanpa mempertimbangkan kekuatan karya.

Sebagaimana ditulis Ahmadun, kalaupun ada pertimbangan, lebih pada pertimbangan ideologis, gang, kelompok atau kepentingan-kepentingan lain nonsastra. Akibatnya, orientasi teks tergusur orientasi nonteks alias nonsastra, seperti kepentingan oknum, komunitas, ideologi, aliran sumber dana, dan kekuasaan gang.

Ketika melakukan ziarah ke ruang-ruang lain, jika yang dimaksud Asarpin adalah kemampuan membuat rekayasa sosial untuk, "hidupnya pengarang, intervensi penulis, oktropi teks, dunia semoga tak lagi sunyi senyap di siang bolong". Di sini, pada tulisan penutup penuh asanya ketimbang gagasan, ada harapan pada pengarusutamaan (mainstream) kemampuan bunyi teks dan aktivisme pengarang ke ranah sosio-kultural masyarakat. Dan sebenarnya, di sinilah letak paradoks itu.

Sejarah mencatat kelahiran puisi-puisi mbeling, nakal, tidak tahu aturan, dan keluar dari kelaziman, sekitar tahun 1975, yang dipelopori Remy Syilado, Sanento Juliman, Suriaatmadja, dan sebagainya. Sapardi mengatakan suatu usaha pembebasan. Sedemikian berhasilkah pembebasan itu?

Dengan cara anak-anak muda periode itu yang membuat puisi tak patuh aturan lagi (dengan klaim melawan penyair tua/ mapan), bahkan proses permenungan penciptaannya pun tak rumit lagi. Ini tergambar dalam sajak Dede S. Dukat: sehelai kertas bekas/ ballpoint pinjaman/ tambah bohong/ tambah khayal/ jadi sajak.

Atau juga 'Sebuah Perintah'-nya Hardo Waluyo: serbuuu…/ serbuuu…/kota itu/ dengan batu/ sampai jadi abu/ binasakan/ semua/ kecuali/ mertuaku/ yang dungu/ dan lucu.

Jika memang pencerahan itu dilambangkan dengan karya yang bisa memancing tertawa "pukimak puknemak ha..ha..ha," kata tabu yang dianggap lazim dan sah-sah saja oleh kaum mbeling, mungkin belum ada penanding kekuatan konyol esais Emha Ainun Nadjib, cerpenis Joni Ariadinata, puisi Remy Syilado (namanya juga sering ditulis 23761), kolomnis Suka Harjana, anekdot Gus Dur, humoris Jaya Suprana, kekuatan teks Samuel, dan mungkin nama-nama itu dapat diikuti sederet nama- nama lain. Taruhlah misalnya, Buras-nya BEW, Nuansa-nya Budi Hutasuhut dan Sudarmono, dan terbuka bagi pembaca menambahkan, terserah selera kita, yang subjektif dan personal.

Dan setiap pembaca memiliki insting subjektif, setiap manusia jelas berbeda perspektif dan interpretatifnya. Misal, yang lucu itu tidak bermutu seperti serius pasti bermutu atau serius, tapi tidak bermutu tetapi lucu sebenarnya bermutu. Semuanya relatif pun semaunya, terserah "aku". Wong ternyata ketika Asarpin menulis, "ha..ha..ha." sebagai pelambang tertawa tapi saya malah mengernyitkan dahi!

Sedangkan ketika Sudarmono bersedih dalam rubrik Nuansa, mencuci celana jins anaknya atau Emha dengan "Manusia Markesot" menulis huruf "t"-nya diganti "f" atau misalnya Sanento Juliman dengan kritik sastra, khususnya puisi, saya justru tertawa terbahak-bahak.

Persoalan serius dan main-main dapat menjadi simbiosis mutualisme. Akan tetapi, gagasan menyatukan perbedaan, hanya akan ditemukan jalan buntu, selain mimpi. Sesuatu di luar nalar dan pemaksaan yang dibuai kekosongan "siang bolong".

Pengarang, teks, dan pembaca adalah tiga bangunan atau tiang yang berbeda. Pengarang mencipta teks, teks dibaca pembaca, pembaca membaca pengarang, pengarang membaca pembaca untuk teks, semuanya menjadi trikotomi. Gedung tiga. Bukan segitiga!

Dimensi rumusan segitiga, apa pun bentuknya (sama sisi, siku- siku, sama kaki, dll., terserah pembaca juga) merupakan proses produktif pada intisari tujuannya persamaan persepsi. Satu-satunya unsur persamaan paling logis adalah teks dijadikan objek oleh pembaca dan pengarang. Rumusannya, ketika membuat objek sesuatu yang sama oleh dua subjek berbeda, yang muncul juga bukan segitiga, tetapi paham lain dari interpretasi subjektif.

Pembaruan

Dalam sebuah karya--yang dipetakan F. Rahardi, tahun 2002--pembaruan dapat disebut juga sebagai avant garde (garda depan), yang indikator utamanya, mengejutkan sensibilitas publik. Dimulai dengan lahirnya kenakalan, memecah kebekuan pikir, membuat pencerahan. Dan selalu, pembaruan juga dimulakan pada adanya pembebasan.

Pertanyaannya, sejauh mana pembaruan teks sastra, kajian seni budaya, esei, termasuk apresiasi dan kritik sastra dapat dan mampu dilakukan pojok-pojok ruang kebudayaan koran sepekan sekali itu?

Lahirnya kembali karya-karya avant garde itulah yang dicari Asarpin, kita semua pembaca setia rubrik seni budaya, mungkin juga redakturnya. Hasil pengamatan Asarpin sepanjang tahun 2007, tidak ketemu, sehingga harapan yang muncul adalah, tahun 2008 permulaan peneguhan munculnya karya-karya avant garde. Jika di sini paham itu tertuju, penulis sepakat. Dan sebenarnya itu pun dapat tercapai, jika pertama, sandaran paham segitiga antara pengarang-teks-pembaca, tidak dinobatkan sebagai ikon karena bila perlu digagas segi tak terhingga lebih tepatnya gedung tak terhingga.

Seluruh pembaca-teks-pengarang-komunitas-redaktur-pemerintah dan sebagainya mulai menggelar komitmen untuk kemajuan sastra, seni, dan budaya. Misalnya, dihimpun pemikiran, karya, dan selebaran teks di koran dalam bentuk buku, dipilih karya terbaik yang benar-benar terbaik, melibatkan juri dari pakar yang independen, untuk kemudian diberi penghargaan oleh pemerintah atau institusi seni budaya.

Kedua, pengarusutamaan sebuah karya, tidak melulu bersandar pada yang umum, lazim, apalagi hanya berlabel nama besar dengan tanpa menimbang kualitas karya. Maka, perlu dirumuskan sebuah permulaan kelahiran spekulasi karya, minimal memfasilitasi penampilan bakat-bakat muda. Arus utamanya adalah keberhasilan teks.

Dan ketiga, mendorong terbuangnya ego. Kasus perdebatan, pengutukan pada sastra mazhab selangkangan (SMS) di bawah kepemimpinan Taufik Ismail dan penyuara SMS yang dikomandoi Hudan Hidayat, adalah arena ideal untuk menyulut motivasi, supaya tidak sekadar "mencoret- coret di tembok kakus" (ini bahasa Goenawan Mohamad), tetapi senantiasa menuangkan karya yang bagus. Artinya, debat, polemik, saling mencaci, mengutuk, seperti contoh-contoh di atas, sepanjang sebagai dialog kebudayaan untuk merumuskan esensi teks sastra yang mandiri, menjadi penting dan perlu terus digelontorkan.

Intinya, ya menulis saja. Jadikan tahun 2008 untuk makin teguhnya karya-karya teks anak-anak daerah kita.

* Endri Y., Pencinta sastra, bermukim di Kalianda, Lampung Selatan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Januari 2008

January 19, 2008

Pesona Lambar: Lumbok Layak Jadi Desa Wisata

SUKAU--Hamparan cahaya kuning keemasan membentang menutup sebagian puncak Gunung Seminung yang tegak angkuh, angin sepoi-sepoi menghantar sunset tenggelam di antara perbukitan, sementara nelayan di Danau Ranau mulai sandar perahu jukung mengakhiri aktivitasnya sore itu. Itulah secuplik suasana senja yang bisa dinikmati di Pekon Lumbok, Sukau, Lampung Barat.

Selain menghadirkan pesona keindahannya, Danau Ranau juga memberikan sumber pendapatan yakni potensi ikan air tawar yang memiliki rasa khas, apalagi melewati suasana itu bersama keluarga dan teman-teman.

Selain objek wisata modern yakni Kawasan Wisata Terpadu Seminung Lumbok Resort, daerah yang menjadi wisata andalan Lampung Barat itu juga memiliki potensi untuk menjadi desa wisata.

Ketua Dewan Pembina Yayasan Wisata Alam Lampung (Yawisal) Ahmad Sibli Rais, di salah satu rumah warga Pekon Lombok, pekan lalu, mengatakan Pekon Lumbok akan menjadi salah satu pilot project pengembangan desa wisata di Provinsi Lampung.

Wilayah Lombok memiliki potensi wisata konvensional yakni menjadi desa wisata yang memiliki nilai-nilai eksotis bahkan memiliki karakter sendiri yang punyai nilai jual untuk dikembangkan, kata dia.

Pembangunan desa wisata yang menyajikan aktivitas dan budaya masyarakat setempat, bisa menjadi daya tarik tersendiri selain suasana lingkungan dan keindahan Danau Ranau.

Pekon Lombok sangat komplet jika dikembangkan menjadi desa wisata, kata dia.

Pengembangan desa wisata tersebut, kata anggota DPRD Bandar Lampung itu, dengan melibatkan seluruh stakeholder merupakan program untuk mengurangi angka kemiskinan dengan memberikan pendapatan kepada masyarakat bahkan bisa mendongkrak pendapatan asli daerah.

Untuk pengembangan pariwisata di Lombok, Pemkab Lampung Barat juga bisa menjalin kerja sama dengan Pemkab OKU Selatan, ujarnya.

Ketua Yawisal, Darmawan Lubis, juga bernada sama. Menurut dia, Pekon Lombok bisa digagas menjadi desa wisata di Lampung Barat, masyarakatnya juga lebih terbuka terhadap tamu yang datang.

Desa wisata tidak akan mengubah keasliannya karena itu yang akan menjadi daya tarik bagi wisatawan, katanya.

Sementara Abdul Rosyid, anggota Komisi C DPRD Lampung Barat yang membidangi sektor pariwisata, sangat mendukung pengembangan desa wisata di Pekon Lombok tersebut, apalagi saat ini ada dua momentum yang bisa dimanfaatkan yakni Visit Indonesia Year tahun ini dan Visit Lampung Year tahun 2009. Dalam dua momen tahun kunjungan wisatawan ini, Lampung Barat harus bisa mengambil bagian, katanya. HENDRI ROSADI/D-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Januari 2008

January 18, 2008

Budaya: Tumbuhkan Rasa Bangga Orang Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengembangan budaya Lampung harus dimulai dengan menumbuhkan rasa kebanggaan menjadi orang Lampung. Sebab, rasa bangga akan menggerakkan hati seseorang untuk mengakui dirinya bagian dari dari komunitas, daerah atau bangsa tempatnya beraktivitas. Kegiatan yang dilakukan, di antaranya terus meningkatkan prestasi serta menggali potensi-potensi daerah agar berdaya saing tinggi.

Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan hal itu saat menerima jajaran pimpinan Lampung Post di ruang kerjanya, Kamis (17-1).

Provinsi yang dipimpinnya juga harus mengangkat budaya setempat untuk menumbuhkan rasa bangga masyarakat terhadap daerah, sehingga tanpa ragu mengenalkan diri sebagai orang Lampung dengan berbagai prestasi.

"Dengan demikian, budaya Lampung terus dikenal melalui masyarakat yang tidak ragu mengakui dirinya orang Lampung," kata Gubernur.

Selain itu, sosialisasi dan publikasi merupakan wadah yang sangat penting dalam mengembangkan budaya Lampung.

Menurut Gubernur, jika prestasi dan potensi daerah terus dipublikasikan, masyarakat makin bangga. Sampai akhirnya budaya khas Lampung juga akan dikenal orang melalui publikasi yang ditampilkan di media massa.

"Budaya daerah Lampung merupakan cerminan seluruh masyarakat yang ada di Lampung," katanya.

Memang media massa memiliki aturan dan etika tersendiri untuk memberi informasi kepada masyarakat. Namun, mendukung pembangunan daerah adalah kewajiban sebagai bagian dari elemen masyarakat daerah.

"Kalau kritik, silakan saja karena itu menjadi masukan dalam perbaikan pribadi dan organisasi dalam membangun Lampung," katanya.

Di tengah padatnya acara pemerintahan, Gubernur Sjachroedin Z.P menyempatkan menerima jajaran pimpinan Lampung Post bersama Asisten I Bidang Pemerintahan Akmal Jahidi, Kepala Biro Humas dan Infokom Muhjadi serta Kepala Bidang di Badan Kesbang Linmas Badri Tamam.

Sedangkan dari Lampung Post terdiri dari Pemimpin Redaksi Djadjat Sudradjat, Pemimpin Perusahaan (PP) M. Effendi, Redaktur Pelaksana Iskak Susanto, Asisten PP Kholid Lubis dan Syarifuddin.

Djadjat Sudradjat mengatakan pers merupakan bagian komunitas masyarakat daerah ataupun bangsa, sehingga sewajarnya memberi informasi kepada masyarakat mengenai pembangunan, prestasi atau potensi daerah.

Di sisi lain, ada undang-undang yang mewajibkan pers sebagai kontrol sosial, termasuk menegur pemeirntah ketika kebijakan sudah mulai "belok" dan meninggalkan kepentingan masyarakat. "Sebagai mitra pemerintah, pers juga mempunyai kewajiban moral dalam menginformasikan pembangunan," kata Djadjat. n AAN/K-2

Sumber: Lampung Post, Jumat, 18 Januari 2008

January 15, 2008

Wisata: Tabek Indah Kemas Aneka Permainan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kampoeng Wisata Tabek Indah, Natar, Lampung Selatan, terus melakukan inovasi program acara. Sepanjang tahun 2008, Tabek menggelar berbagai permainan (games) spontan di setiap akhir pekan dan libur nasional. Tim Event Organizer (EO) Tabek Indah, Yetri Yulia Fitri, Senin (14-1), mengatakan setiap pekannya tim EO Tabek menggelar permainan yang berbeda dalam Tabek Indah Semarak 2008. "Permainan ini digelar spontan pada jam tertentu yang ditujukan untuk kalangan keluarga yang berkunjung ke Tabek," kata Yetri.

Untuk mengikuti games spontan ini, Tabek memberikan gratis uang pendaftaran. Pengunjung cukup membayar tiket masuk dan bisa mengikuti aneka permainan. Dalam satu hari, tim EO menyelenggarakan dua hingga tiga jenis permainan. Untuk pengunjung yang berminat mengikuti permainan bisa mendaftar lebih dahulu.

Manajemen mempersiapkan aneka hadiah menarik. Bahkan setiap tiga bulan, Tabek menggelar event besar yang mengundang pemenang-pemenang setiap pekannya. "Dalam event tiga bulanan ini, Tabek tidak hanya menggelar permainan, tapi juga perlombaan yang lain dari biasanya, seperti lomba menggambar dan mewarnai, top model atau fashion show."

Menurut Yetri, permainan yang digelar merupakan pengembangan dari event akhir tahun yang digelar di kolam renang (water games spontan). Namun, untuk sepanjang tahun 2008, dilakukan perluasan di seluruh arena rekreasi. Seperti outbound keluarga, lomba balap troli, dan play garden adventure untuk anak-anak. "Kalau dahulu, acaranya games spontan ini khusus di kolam renang seperti mencari batu berwana atau mencari koin, kini diperluas hingga arena outbound dan permainan anak. Bahkan, ada juga adu bakat seperti menyanyi."n NOV/E-1 

Sumber: Lampung Post, Selasa, 15 Januari 2008

January 14, 2008

Cagar Budaya: Tangan Jahil Coret-Coret Rumah Adat

BANDAR LAMPUNG (Lampost) : Masyarakat menyayangkan tangan-tangan jahil yang mencoret rumah adat tua Lampung serta benda-benda khas lain di halaman Museum Ruwa Jurai, Bandar Lampung.

Hal tersebut seperti yang dikemukakan Karyati, warga Rajabasa, saat bertandang ke Museum, Sabtu (12-1). Dia mengatakan sangat menyayangkan adanya tangan-tangan nakal yang mencoret-coret benda yang ada di museum, padahal seharusnya benda-benda tersebut dijaga.

"Saya kaget ketika melihat ke rumah Kenali yang terletak di halaman depan museum. Ternyata di tembok kayunya banyak terdapat coretan," kata Karyati.

Bahkan, kata-kata yang ditulis dalam tembok di dekat pintu tersebut sangat tidak sopan. "Kalimatnya sangat kotor, ditambah dengan gambar yang tidak senonoh," ujarnya.

Selain itu, tentunya juga terdapat coretan lain yang sangat mengurangi keindahan rumah adat Lampung yang usianya sudah ratusan tahun itu.

Karyati mengatakan tulisan-tulisan yang dibuat tersebut berbahan spidol serta tip ex. "Selain saya temui di tembok rumah tua itu, tulisan serta coretan juga saya temui di berbagai alat yang berada di kolong rumah itu. Seperti di perahu jukung kayu, penumbuk kopi, hingga alat penumbuk beras. Banyak coretan-coretan tidak pentingnya," ujarnya.

Hal senada dikemukakan Elen, wisatawan asal Yogya yang mampir ke Museum Ruwa Jurai. Dia sangat menyayangkan adanya coretan-coretan tersebut. "Sayang sekali barang yang sangat bagus dan tua itu tidak terjaga dengan baik."

Sebaiknya, menurut dia, pengelola mulai membersihkan coretan-coretan tersebut. "Ya dibersihkan lah dari coretan-coretan sepeti itu. Sebab, rumah tua itu termasuk barang yang dilindungi dan cagar budaya. Apalagi letaknya berada di halaman museum, sehingga sebaiknya mulai dibersihkan," ujar dia.

Terlebih lagi, kata Elen, museum banyak dikunjungi anak-anak pelajar baik tingkat TK maupun SD. "Jadinya ini sangat buruk sekali untuk pembelajaran mereka. Apalagi kalimat yang dituliskan sangat kasar dan itu sudah bentuknya vandalisme." n TYO/K-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Januari 2008

January 12, 2008

Musik: Kangen Band Jadi Bintang FTV

KANGEN Band mengawali tahun 2008 dengan makin memantapkan diri dalam dunia musik. Tak hanya itu, Band asal Bandar Lampung ini, bakal menjajal dunia acting. Hadir di layar kaca RCTI, Sabtu (12-1), pukul 13.00, Kangen band bukan bermain musik, melainkan ber-acting dalam film pendek.

Film pendek FTV yang diproduseri AmaarDyo Pictura ini berjudul kontroversial "Aku Memang Kampungan". Ceritanya, berkisah perjalanan hidup Kangen Band merintis karier di jalur musik sejak di Bandar Lampung hingga meraih sukses di Jakarta.

Awalnya, film ini bercerita tentang latar belakang setiap personel di Bandar Lampung. Ada yang menjadi tukang cendol, kuli bangunan, montir, dan sebagainya.

Cerita film yang seluruh shooting-nya dilakukan di Jakarta, selama sepekan sejak tanggal 7 Desember lalu itu pun dibumbui berbagai konflik. Dari masalah putus cinta hingga berbagai masalah yang mengancam eksistensi Kangen Band. Cerita indah pun hadir dalam film ini, lewat perjalanan cinta vokalis Kangen Band, Andika, dengan seorang model (diperankan Marisa).

Film ini menunjukkan cinta tidak semata melihat tampang, tetapi lebih pada lubuk hati paling dalam. Seorang fans yang juga model, terharu dengan perjalanan karier Kangen Band, yang merintis dari bawah. Ketika naik daun pun, banyak pihak yang menyepelekan kemampuan musiknya. Akan tetapi, band yang terbentuk tanggal 4 Juli 2005 ini, tetap tegar dengan cacian. Itulah yang membuat gadis tersebut jatuh cinta pada salah seorang personel, yaitu Andika.

Akhirnya, cinta mereka berlabuh pada sebuah pernikahan. Seluruh personel Kangen Band terlibat dalam film ini, yaitu Dodhy (gitar), Rustam (gitar), Andika (vokalis), Izzy (keyboard), Novri (bas), dan Halim (drum). Setiap personel, memiliki kisah masing-masing dalam film, sehingga tidak menjemukan pemirsa.

Sosok penyanyi rok kondang di era 1970-an Gito Rollies juga turut bermain dalam film ini. Ia tetap menjadi Gito Rollies, yang sangat dikagumi seluruh personel Kangen Band. Pilihan pada Gito karena penyanyi ini juga merintis karier musiknya dari nol.

Sementara itu, Eren, backing vocal Kangen Band, mengatakan bulan Februari mendatang Kangen Band bakal launching album kedua. "Album kedua berbeda dengan album pertama, dari segi warna musik. Kami juga memasukkan unsur rok dalam album ini," ujarnya via ponsel, Jumat (11-1). Album berisi 10 lagu karya Doddhy ini masih mengusung tema percintaan. Akan tetapi, musik dan materinya lebih ceria dibanding dengan album perdana Tentang Aku, Kau dan Dia, yang lebih dominan dengan materi lagu perselingkuhan. n DWI/M-2

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Januari 2008

Pariwisata: Visit Lampung 2009 Diharapkan Sedot Turis

BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan program Visit Lampung 2009 diharapkan sukses menjaring banyak turis domestik maupun mancanegara.

"Lampung punya beragam festival seni dan budaya serta objek wisata yang tidak kalah dengan Bali," kata Sjachroedin di Bandar Lampung, Rabu (9-1).

Gubernur menyebutkan setiap kabupaten dan kota di Lampung sepanjang tahun memiliki rangkaian festival seni dan budaya dengan menampilkan potensi seni dan budaya serta pariwisata unggulan di daerah masing-masing.

Rangkaian festival itu, di antaranya Festival Teluk Stabas di Kabupaten Lampung Barat, Festival Radin Jambat di Kabupaten Way Kanan, Festival Way Kambas di Lampung Timur, Begawi Bandar Lampung, maupun Festival Krakatau yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Lampung.

Tujuan rangkaian festival itu adalah mengenalkan, mengembangkan, melestarikan sekaligus mempromosikan keunggulan potensi seni dan budaya pada setiap daerah di Lampung untuk menjadi daya tarik wisatawan datang ke daerah itu.

Menurut pengamat seni dan budaya serta pariwisata Lampung Anshori Djausal, M.T., potensi seni dan budaya serta objek wisata di Lampung sebenarnya cukup banyak dan tidak kalah dengan daerah lain.

"Apalagi di Sumatera, sebenarnya Lampung paling siap mendukung program Visit Indonesia 2008 dengan menggelar Visit Lampung 2009," kata Pembantu Rektor IV Universitas Lampung (Unila) itu.

Anshori mengatakan objek wisata dan potensi seni dan budaya Lampung memiliki keunggulan dan kekhasan yang tidak dimiliki daerah lain, termasuk Bali sekalipun.

"Lampung bukan Bali dan tidak mungkin disamakan dengan Bali, tapi Lampung memiliki keunggulan spesifik yang kalau dikelola, dipoles, dan dipromosikan dengan baik tidak akan kalah dengan Bali," kata Anshori.

Sementara itu, untuk menunjang minat wisatawan lokal mengunjungi Museum Lampung, Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru mengatakan akan memprogramkan pameran dan promosi keliling di lebih 140 desa untuk mengenalkan keberadaan dan fungsi museum kepada masyarakat.

Museum Lampung menyimpan ratusan koleksi benda bersejarah dalam bentuk asli hasil temuan tim arkeologi maupun penyerahan dan hibah dari masyarakat. n K-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 12 Januari 2008

January 11, 2008

Cagar Budaya: Museum Lampung Masuk ke 150 Desa

Bandar Lampung, Kompas - Museum Lampung berencana untuk masuk ke 150 desa di tujuh kabupaten di Lampung dan berpameran mulai Februari 2008. Selain untuk memperkenalkan koleksi museum, upaya tersebut juga dilakukan untuk menggali dan melestarikan kekayaan cagar budaya Lampung.

Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, Kamis (10/1), mengatakan, museum masuk ke desa merupakan upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa museum bukan hanya merupakan gudang koleksi benda-benda bersejarah atau benda-benda cagar budaya, tetapi juga tempat untuk memperkenalkan dan mengenal budaya Lampung yang sesungguhnya.

Menurut Pulung, petugas museum akan menggelar beberapa koleksi museum sehingga masyarakat tidak saja mengenal benda- benda cagar budaya Lampung, tetapi juga tergerak untuk mengeluarkan koleksi-koleksi benda-benda cagar budaya milik desa adat yang selama ini disimpan secara pribadi.

"Saat masuk ke desa dan berpameran, kami juga ingin menggali potensi benda cagar budaya yang belum terekspos," kata Pulung. Pihak museum berharap bisa mendata dan mendapat izin untuk menyimpan atau membuat replika benda-benda cagar budaya untuk pelestarian.

Dari catatan Museum Lampung, saat ini terdapat lebih dari 5.000 koleksi benda-benda cagar budaya Lampung. Koleksi itu berupa benda-benda keramik; naskah-naskah kuno dari daun lontar; benda-benda tekstil; alat-alat rumah tangga; senjata seperti keris, tombak, dan samurai; hingga benda-benda arkeologi.

Selain koleksi tersebut, diperkirakan sampai saat ini banyak benda cagar budaya yang masih disimpan masyarakat di pedesaan berpenduduk suku Lampung asli. (hln)

Sumber: Kompas, Jumat, 11 Januari 2008

Cagar Budaya: Museum Lampung Promosi Keliling ke 140 Desa

BANDAR LAMPUNG (Lampost/Ant): Museum Negeri Ruwa Jurai Lampung pada bulan Februari mendatang memrogramkan pameran dan promosi keliling di lebih 140 desa untuk mengenalkan keberadaan dan fungsi museum kepada masyarakat.

Kepala Museum Lampung, Pulung Swandaru, di Bandar Lampung, Rabu (9-1), mengatakan Program Museum Masuk Desa (MMD) itu ditargetkan selesai dalam satu bulan. "Setiap desa kami tugaskan empat personel dari Museum Lampung dengan membawa peralatan yang diperlukan untuk dipamerkan," kata Pulung.

Menurut dia, selain berpameran di desa sasaran itu, Museum Lampung juga mengadakan sosialisasi dan penyuluhan permuseuman serta tata cara penyimpanan dan pemeliharaan benda bersejarah yang dimiliki masyarakat luas.

"Kami pilih desa-desa yang warganya berpotensi memiliki dan menyimpan benda bersejarah, sehingga mereka dapat merawatnya dengan baik atau pada akhirnya bersedia menghibahkan atau menyerahkan kepada Museum Lampung," kata Pulung.

Program itu diharapkan dapat lebih mengenalkan keberadaan Museum Lampung serta koleksi benda-benda peninggalan sejarah yang tersimpan di dalamnya.

Pulung mengatakan upaya itu juga dapat mendongkrak kunjungan pelajar dan mahasiswa maupun masyarakat umum ke Museum Lampung yang kendati dalam beberapa tahun ini meningkat, tapi belum seperti diharapkan.

Museum Lampung menyimpan ratusan koleksi benda bersejarah dalam bentuk asli hasil temuan tim arkeologi maupun penyerahan dan hibah dari masyarakat.

Di antara koleksi itu terdapat sejumlah kain tapis kuno asli Lampung yang diperkirakan berusia ratusan tahun dan bernilai sangat tinggi.

Museum Lampung juga menyimpan koleksi replika prasasti penting yang ditemukan di sejumlah wilayah Lampung, menandai masa prasejarah dan era purbakala di daerah tersebut.

Sementara itu, dalam dialog interaktif bersama RRI Bandar Lampung di Mahan Agung (rumah dinas Gubernur) Bandar Lampung, Selasa (8-1) malam, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P berjanji segera membangun gedung kesenian yang pantas sebagai tempat seniman menampilkan karya agar bisa diapresiasi penonton dengan nikmat.

Menurut dia, komitmen itu ditunjukkan dengan dukungan anggaran kesenian, termasuk membangun gedung kesenian yang sejak lama didambakan para seniman dan pencinta seni di daerahnya.

"Mudah-mudahan gedung kesenian yang segera dibangun itu dapat diwujudkan dan bisa digunakan para seniman di sini serta menjadi sarana apresiasi maupun daya tarik pariwisata unggulan di Lampung," kata Sjachoedin. n K-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 11 Januari 2008

Dialog Budaya: Menara Siger Ikon Budaya

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Menara Siger sebagai ikon kebudayaan Lampung harus didukung dengan optimalisasi seni dan budaya, serta pariwisata. Tujuannya, mendukung keberhasilan Visit Lampung 2009.

Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. mengatakan hal itu pada gelar budaya dan dialog interaktif sebagai perekat budaya bangsa di Mahan Agung, Selasa (8-1), pukul 20.00. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama Pemerintah Provinsi Lampung, RRI, dan TVRI Lampung, dimoderatori Parni Hadi, Direktur RRI. Selain Sjachroedin, narasumber lain, yaitu Satono (Bupati Lampung Timur), Meisary Berti Mu'min, perwakilan budayawan, dan Anshori Djausal sebagai pengamat budaya.

Pendengar RRI di mana pun saat itu dapat mendengarkan secara langsung acara ini. Selain itu, pendengar dapat melayangkan pertanyaan melalui pesan singkat. Pada acara yang juga disiarkan TVRI Lampung, Sjachroedin menjelaskan Menara Siger adalah kebanggaan masyarakat Lampung, yang menyiratkan nilai-nilai budaya Lampung, yaitu harga diri, suka bergaul, menjunjung rasa malu, dan sebagainya. Nilai-nilai itulah yang mempererat masyarakat Lampung, meskipun dalam keberagaman.

Dalam rangka itu, anggaran pengembangan budaya dan seni, menurut Sjacroedin telah ditingkatkan. "Tetapi, anggaran itu tersebar di berbagai satuan kerja bisa menjadi bagian kerja dari Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, dan sebagainya."

Anshori Djausal mengatakan dinamika kebudayaan Lampung cukup mengalami perkembangan. "Sebelum tahun 1980-an belum ada tari siger penguten, demikian juga sebelum tahun 2005 belum ada Menara Siger," ujarnya yang diikuti tepuk tangan para undangan.

Menurut dia, pengembangan seni dan budaya serta potensi pariwisata harus memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan daerah lainnya. "Meskipun Lampung juga memiliki kawasan wisata bahari yang indah, jangan diarahkan sama dengan Bali."

Meisary Berti lebih menyoroti masalah bahasa daerah. Dia mengaku prihatin dengan minimnya penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. "Tampaknya sekarang, masyarakat pendatang masih enggan menggunakan bahasa tersebut. Jadi siapa pun yang berpijak di bumi Lampung harus dapat berbahasa daerah." n DWI/K-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 11 Januari 2008

Pemerintah Buka Tempat Wisata 'Kuliner' Baru

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sebentar lagi, warga Bandar Lampung dapat menikmati tempat wisata kuliner di Jalan Katamso. Lokasi ini dibangun Departemen Koperasi Perindustrian dan Perdagangan.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Bandar Lampung Enny Wahyuni mengatakan pusat santap malam di jalan itu berawal dari proposal yang diajukan Dinas Perindag seluruh Indonesia. Setelah diseleksi, Bandar Lampung menjadi salah satu percontohan dari lima kota yang ditetapkan pemerintah pusat.

Tujuannya, memperkenalkan dan mengembangkan potensi wisata yang ada di daerah dan memberi peluang kepada pedagang makanan untuk mengembangkan ekonomi keluarga. Selain itu, memperkenalkan produk makanan khas Lampung dan mengembangkan potensi dan sumber daya alam guna menarik investasi.

"Untuk tahap awal, pemerintah pusat membantu 20 gerobak makanan, meja kursi, dan tenda. Jika dianggap berhasil, pemerintah pusat akan menambah bantuan pengembangan kawasan wisata kuliner yang menjadi percontohan ini," kata Enny, dalam rapat pembahasan lokasi yang akan dijadikan kawasan wisata kuliner tersebut, Rabu (9-1).

Langkah yang sudah diambil Deperindag, yaitu menyeleksi pedagang yang akan menempati 20 gerobak makanan tersebut. Dari 42 pedagang makanan yang mengajukan usulan, diseleksi menjadi 20 pedagang. Sedangkan makanan yang akan disajikan berbagai aneka kuliner. Misalnya, beraneka ragam nasi, sop, mi, soto, steak, jus, dan es.

"Pada tanggal 21 Desember 2007 lalu, kami sudah menyeleksi jenis makanan yang akan disajikan di kawasan wisata kuliner tersebut. Baik terkait cita rasa, cara penyajian, sampai mengenai harga. Gerobak bantuan tersebut kini sudah ada di dinas dan tinggal dibagikan saja," kata mantan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Bandar Lampung itu.

Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani yang memimpin rapat penentuan tempat kawasan wisata kuliner mengatakan, sebenarnya, lokasi yang diajukan Dinas Perindag adalah Jalan Pangkal Pinang. Sedangkan untuk menjadi suatu kawasan wisata kuliner, banyak lokasi yang cukup strategis untuk dibuka sebagai kawasan.

"Jangan sampai, pengembangan kawasan wisata kuliner menjadi mandek, seperti di Jalan Kartini yang kini dinilai kurang representatif lagi dan sepi pengunjung," kata dia.

Dalam rapat itu dihadiri Kepala Dinas Kebersihan dan Keindahan (DKK) Kota Bandar Lampung Syaiful Anwar, Kadis Perhubungan Eddy D. Saleh, Kadis Bina Marga dan Permukiman (BMP) Syauki Shobir, Kadis Tata Kota Somad Raku, dan sejumlah pejabat lainnya,

Banyak usulan soal lokasi yang akan digunakan sebagai kawasan wisata kuliner. Mulai Lapangan Merah Enggal yang dianggap paling strategis, sampai kawasan GOR Sumpah Pemuda Way Halim.

"Kalau saya mengusulkan lokasi wisata kuliner di Jalan Katamso (Simpur Centre). Kawasan itu bisa dikembangkan ke Jalan Jenderal Suprapto dan dapat diperbanyak dengan memindahkan pedagang makanan malam yang ada di Jalan Kartini," kata Kepala DKK Kota Bandar Lampung Syaiful Anwar.

Setelah menerima berbagai usulan dengan memperhitungkan posisi lokasi, saluran pembuangan, dan analisis lalu lintas, akhirnya disepakati pengembangan kawasan wisata kuliner di Jalan Katamso.

"Kami tinggal merapatkan sekali lagi terkait teknis pelaksanaan di lapangan. Misalnya, jam buka kawasan wisata kuliner, perjanjian dengan pedagang, dan masalah keamanan, penerangan, serta kenyamanan pengunjung," kata Kherlani. n KIM/K-1

Sumber: Lampung Post, Jumat, 11 Januari 2008

January 10, 2008

Esai: Fenomena Kebangkrutan Seni Budaya Lampung

-- Ubayendri

PADA 3 Desember 2007, pagi yang cerah di Balai Keratun, sekelompok seniman dan budayawan yang terkristalisasi dalam Lembaga Seni Budaya Lampung ( LSBL) dan Dewan Kesenian Lampung (DKL), membuat ikrar; “Seniman Lampung Dukung Oedin”. Wujud dukungan para seniman dan budayawan Lampung kepada calon incumbent, Sjachroedin ZP memang tidak konkrit. Sebab, hanya berdasarkan asumsi subyektif karena dalam kepemimpinan Kyai Oedin, panggilan akrab Gubernur Lampung ini, seni budaya dinilai maju pesat, sehingga dia layak diajukan dan didukung kembali untuk menjadi gubernur pada Pilkada yang akan dilaksanakan pada September 2008.

Tulisan di bawah ini adalah sebuah kajian dengan teori fenomenologi-nya Maurice Merleau-Ponty (1908- 1961), seorang filosof Perancis dan juga menggunakan alat kaji urai “Membaca Kebudayaan”-nya Mudji Sutrisno.

***

Kompleksitas seni budaya Lampung, perlu interpretasi dengan pelibatan subyek, obyek, dan predikat- keterangan sekaligus. Sebelum sampai pada interpretasi, setidaknya dalam ilmu kebudayaan di Indonesia ada dua cara untuk kontemplasi. Dalam ranah iqro, mentadaburi kebudayaan yakni, pertama, dengan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat seni budaya. Kedua, bergumul dengan seni budaya sebagai keseharian yang diberi makna secara sederhana dan efektif agar eksistensi estetis berlangsung terus- menerus atau dengan kata lain, seni budaya dibahasakan dengan komunikasi intuitif penghayatan, pembaharuan, dan perayaan.

Dari kedua pencerdasan itu, penghayatan, pembaharuan, dan perayaan adalah domain tata cara kebanyakan kita melakukan interpretasi seni budaya. Sehingga kesan artifisial, sekedar seremoni, membaca berkacamata kepentingan pragmatis, sampai prosesi penodaan seni budaya dengan perspektif pemihakan politis seolah kewajaran. Padahal logika seni budaya, masuk di dalamnya unsur pelestarian dan inventarisir sangat beda konteks dengan politik seseorang, meski pengambil kebijakan dalam pemerintah sekalipun.

Anomali dan menggilanya kultur politik, semakin terjebaknya kebanyakan kita, sebagai orang tanpa jabatan politis-birokratis untuk turut berebut “kue” kekuasaan entah alasan ideologis atau sekedar pengganjal perut. Dukung mendukung, jelang Pilgub di Lampung, bukan hanya dilakukan orang- orang pengatasnama paguyuban, ormas, OKP, dan semacamnya yang sebenarnya berperan guna penguatan basis partisipasi yang mencerahkan masyarakat, tetapi memasuki ranah paling irasional dari yang tidak masuk akal, yaitu depolitisasi seni budaya.

Anomali inilah, mungkin, fenomena baru kebangkrutan seni budaya kita di tengah gencarnya kelahiran teori atau ilmu alat kaji urai yakni, cultural studies dan atau analisa- analisa budaya, sebagai reaksi tahapan penyempurna epistemologis.

Perspektif Penodaan

Dengan berjuta-juta potensi unik dan autentik dari warisan seni budaya Lampung, bukan hanya sekedar penambah kemajemukan atau konsekwensi logis keragaman bangsa, tetapi juga pengindah peradaban serta memberikan manfaat. Baik warisan budaya yang tampak nyata (tangible), seperti artefak seni budaya atau benda-benda bersejarah, maupun yang tidak tampak (intangible), seperti lagu daerah, dan lain sebagainya. Ini kemudian berkalindan dan menstimulan kelahiran lembaga- lembaga, kreasi masyarakat, atau wujud perhatian dengan mendirikan organisasi berbasiskan seni budaya.

Politik pencitraan dan pengidentifikasian warisan budaya sebagai kepemilikan bersama seyogyanya dimaksudkan untuk mengembalikan warisan seni budaya sebagai citra kolektif, entah melalui sosialisasi ataupun pendidikan dalam pengertian yang luas guna menghasilkan kesadaran. Dan para pelaku seni budaya, yaitu, pencipta atau pelestari, harus tegas memberikan batasan, indikator, dan output sebelum mengatakan seni budaya itu maju, mundur, punah, atau bahkan stagnan. Kelancangan kata, mengatakan tanpa fakta, menerobos laku seni budaya dalam hegemonik, belum lagi oportunis tanpa nilai adalah tingkah pengkhianatan substansi dari tujuan seni budaya itu sendiri.

Dan maju tidaknya seni budaya, sebenarnya adalah tanggungjawab pelaku kebudayaan. Pemerintah, lembaga, institusi, paguyuban, atau apa pun ketika berniat memajukan seni budaya harus melibatkan diri dalam teaterikal, bergumul untuk berperan sebagai pencipta atau pelestari. Rumusannya, untuk mencipta dan melestarikan, tidak dapat ditinggalkan dua cara membaca kebudayaan rumusan di atas. Dengan penelitian untuk sampai pada pencetusan teori dalam sistematisasi rasional dan filsafat seni budaya atau berjibaku dengan seni budaya dalam keseharian, utamanya penghayatan dan perayaan. Bukan sekedar mengatakan, apalagi tendensius karena mengungkit pendistribusian dana, yang sebenarnya sekedar stimulus untuk sampai pada tahapan pelaku. Ketika jatuh antara politik kebudayaan, apa lagi mempolitisasi kebudayaan persoalan menjadi aneh sekaligus bermasalah. Inilah penghancur seni budaya oleh para seniman sendiri, lebih sporadis dan membahayakan ketimbang imprealisme kebudayaan.

Bangsa kita merekam jejak bahwa kebudayaan pernah menjadi alat politik. Sejarah mencatat, perseteruan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan Manifes Kebudayaan (Manikebu) adalah salah satu fakta kebangkrutan seni budaya. Dalam konteks Lampung, wajah lokal yang masih perlu polesan untuk melengkapi struktur kreasi seni budaya belum- belum, oleh orang yang tidak bertanggungjawab, dijadikan alat untuk dukung- mendukung.

Sedemikian efektif dan pentingkah dukungan yang mengatasnamakan seni budaya? Seberapa berpengaruh seni budaya yang terlembagakan itu mampu memberikan kekuatan politis? Selain sekedar mencoreng wajah seni dan budaya itu sendiri.

Pertaubatan Budaya

Kecelakaan dan publikasi memalukan adalah ketika entitas pelaku seni budaya larut dalam aksi politik murahan, mendukung atau menolak seseorang untuk “menjadi” atau menduduki jabatan politis. Luar biasanya pengaruh pragmatisme politik, hingga menyeret institusi pengembang estetika ke ranah perebutan kekuasaan, apa lagi yang hanya sekedar “mendukung”.

Dari sini mengemuka sebuah cerminan makro budaya seseorang yang pasti dipengaruhi oleh paradigmanya mengenai realitas. Misalnya seseorang yang matrealistis, maka berkecenderungan ke ranah konsumeris, hingga langkah praktis dan permenungan intensitasnya tertuju pada terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan matrialnya. Maka, penting sekali membuat pelurusan paradigma dalam berkebudayaan. Pelurusan orientasi dalam pelembagaan seni dan budaya. Terutama setelah melanggar dan menodai seni budaya itu sendiri.

Konteks pelibatan antara pembauran kebutuhan nurani dan reorientasi untuk konstruk manifestasi berkesenian dan berkebudayaan jika telah melanggar apalagi menodai, maka konsekwensi logisnya adalah menggelar pertaubatan budaya.

Ironis, sekedar merasa terbantu dan atau hanya baru sebatas membuat tatal seni, kemudian melembagakan seni budaya. Dapat dikatakan belum memberikan kontribusi estetis tiba- tiba “mendukung” atau masuk ranah politik praktis. Inilah sejarah dukungan politik paling menyedihkan plus memalukan yang pernah ada dalam dunia berkesenian dan berkebudayaan dan anomali ini hanya ada pada Pilkada Lampung.

***

Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkesenian dan berkebudayaan berbasis kultural perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas (September, 2007) Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030, khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) seni budaya untuk tahun 2008, sebagai fase awal dimulainya tahapan menaiki tangga spiritual. Langkah utama yang diperlukan adalah rekonsiliasi dengan masa lalu.

Di sini barangkali persoalan kebijakan perlu diupayakan oleh Pemda untuk minimal menggelontorkan motivasi berkreasi, karena rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Kiranya, jika dukungan kelompok seniman dan budayawan kepada gubernur sekarang dalam rangka rekonsiliasi bisa dibenarkan. Sebab, selama ini di Lampung seolah insan pelaku seni dan budayanya seperti lara lapa kabur kanginan (tidak termanaj dengan baik karena yatim piatu). Berjuang hidup mati sendirian dalam kreasinya, tanpa peran serta Pemda.

Barulah pada kepeimpinan Sjachroedin ZP, Pemda mulai andil dalam menstimulan tumbuh kembangnya seni dan budaya daerah. Perspektif ini meski masih embrional atau terkesan apologi, setidaknya kritik dan catatan budaya untuk siapa pun nanti yang jadi gubernur Lampung.

Menariknya, dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu. Sebengis dan sekejam apa pun. Contoh, dalam membangun Afrika Selatan, presiden Frederick W de Klerk dalam pidatonya di parlemen pada tahun 1991 mensosialisasikan perlunya dihapuskan tiga undang- undang dalam upayanya menghapus politik perbedaan warna kulit (apartheid). Penghapusan undang- undang apartheid, gagasan presiden De Klerk itulah yang dinilai sebagai faktor terbesar pendorong mampu berkuasanya Nelson Mandela sebagai presiden Afrika Selatan, meskipun berkulit hitam. Dan itu, tidak digunakan oleh Nelson Mandela untuk balas dendam dengan berganti mendiskriminasikan orang kulit putih.

Belakangan, politik identitas teluran dari budaya, misalnya Asli- Pendatang untuk menyebut pelabelan Lampung- Jawa menjadi kajian tersendiri, menarik, dan jadi komoditas politik. Hemat penulis, kalau kebablasan juga justru menjelma apartheid baru. Padahal di dunia seni budaya, yang memiliki asketisisme dan alienasi- alienasi kedirian, dapat memilih “jalan” menyatu atau pun terpisah dengan kekuasaan. Tetapi hal ini mensyaratkan jika Pemda, dengan sebelumnya sudah dikelola secara benar, adanya persebaran distribusi kekuasaan (dispersion of power), dan tentu rekonstruksi struktural tentang tata kelola seni budaya.

Menggagas Perlindungan Folklor

Folklor daerah Lampung sebagai ekspresi budaya tradisional telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat adat. Hukum adat memandang folklor sebagai common heritage of mankind (warisan milik bersama), ini kemudian dalam relevansi kebangsaan menjadikan orang asing, akibat pandangan seperti itu, dengan mudah memanfaatkan, diakui, dan diklaim menjadi miliknya. Pertanyaan lanjutan yang bisa dijadikan alasan, apakah dukungan kepada calon gubernur dimaksudkan untuk menggagas perlindungan folklor Lampung?

Penting bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting -- perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa -- sebab, “lupa” bagi para pecinta (seni budaya) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural, tetapi sekedar “biasa saja” dalam bahasa politik. Masuk ke ranah komitmen inilah, para pelaku seni dan budaya yang (terwakili, diwakili, dan mewakili) oleh berbagai tokoh yang menghadap gubernur di Balai Keratun mengucap ikrar. Dan sebuah pertanyaan mendasar, dengan begitu berarti mereka meniadakan peran kepemimpinan Pemda masa lalu. Kedua, membuat komitmen untuk melupakan, dan ketiga, bermaksud menyusun strategi untuk lupa.

Yang dikhawatirkan adalah, jika kelak, dengan mengabaikan perjuangan kemanusiaan dalam berkesenian dan berkebudayaan hanya karena dukung- mendukung perebutan kepala daerah yang seharusnya disikapi dengan biasa- biasa saja, justru para seniman dan budayawan itu dilupakan.

Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh para seniman. Karena seni dan budaya tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan “kehadiran” sebagai zeitgeist zaman.

Jika sampai pada tahapan “dilupakan” maka seniman dan budayawan yang tujuan serta maksudnya baik, menggagas perlindungan folklor, tetapi dilakukan dengan cara yang salah menyebabkan terjadinya “bukan perlindungan”, tetapi peniadaan dan pelupaan folklor itu sendiri.

Sangat penting pijakan dan arah tuju seni budaya bergerak sesuai mainstream sebagai pengawal dan pencerah sisi terdalam kemanusiaan. Karena estetika adalah salah satu kebutuhan manusia yang penting dan harus dipenuhi. Akan tetapi prosesi masuknya seni budaya ke ranah ini (baca; politik Pilkada) dapat dimaknai sebagai kegelisahan kolektif untuk kemajuan bersama, pun harus dicerdasi sebagai proses kebudayaan sebagaimana proses belajar yang tidak akan pernah selesai, terus menerus. Sehingga munculnya kesempurnaan mutlak yaitu, esensi seni budaya itu sendiri.

Persepsi Tubuh Kebudayaan Kita

Adalah Maurice Merleau-Ponty (1908- 1961) seorang filosof besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Kajian ini tertuang dalam buku Filsafat Barat Kontemporer, K. Bertens, (Jakarta, 2006). Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa bagi Merleau-Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.

Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubyektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan seni budaya. Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung seni budaya. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan budayawan.

Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana tubuh itu menggerakkan. Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai- nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda- tanda, sampai pada penyuguhan hiburan adalah muatan kebajikan seni budaya. Keluhungan itu, dimana politik menjadi subkultur dari subsistem seni budaya, seyogyanya digerakan ke tempat yang semestinya. Bukan dibalik- balik dengan meletakkan subkultur ke kultur, subsistem ke esensi dan lain sebagainya.

Persoalan muncul jika politik kebudayaan kita adalah tubuh dan persepsi (?) Maka dari sini terbuka ruang dialektika, untuk memilih; jalur seni budaya atawa jalur agama. Kiranya hanya ideologi agama yang dapat menyaingi atau bahkan mengalahkan seni budaya, walau pun terkadang agama juga kalah oleh tradisi seni budaya. Sangat tidak layak dan sebanding menempatkan subkultur dari subsistem (unsur) seni budaya yaitu politik untuk kemudian menundukkan seni budaya, atau pun seni budaya mereposisi di bawah jambangan politik. Kecuali memang ada anomali dan atau depolitisasi seni budaya. Buah dari dekonsruksi metagila.

Sumber: Ubay's Site, 10 Januari 2008

Wisata: Libatkan ‘Blogger’ dalam Promosi Pariwisata

BANDAR LAMPUNG(Lampost): Pemerintah daerah (pemda) harus melibatkan komunitas blogger yang ada di Lampung untuk mempromosikan potensi-potensi pariwisata ke luar daerah maupun ke luar negeri. Para anggota komunitas ini paling banyak bersentuhan dengan masyarakat luas lewat kemajuan teknologi jaringan cybernetic.

“Pemda di mana-mana melibatkan komunitas blogger di daerahnya untuk mempromosikan daerahnya seperti Palembang, Yogyakarta, Bali, Palu dan beberapa daerah lainnya. Di Lampung, hal itu tidak dilakukan pemerintah,”kata Gery, blogger yang mengelola portal www.seruit.com, dalam pertemuan Komunitas Blogger Lampung di BBS Universitas Lampung, Minggu (6/1).

Hal serupa diungkap Erick, Dede, Yudi, Budi dan beberapa anggota komuntas blogger Lampung dalam rangka persiapan lounching portal www.seruit.com sekaligus memperkenalkan keberadaan blog sebagai media komunikasi dan promosi pembangunan kepada masyarakat Lampung.

Menurut Gery, pelaku blog di Lampung mencapai 500 orang dan masing-masing memiliki blog pribadi yang di-hit (diunduh) paling sedikit 500 blogger yang ada di ada di seluruh wilayah Nusantara. Sesama blogger saling mengomunikasikan situasi di daerah masing-masing sebagai sharing pengetahuan dan pengalaman.

“Ada juga blog-blog khusus yang dibuat untuk mempromosikan potensi-potensi yang ada di Lampung, terutama potensi pariwisata. Blog seperti ini banyak diunduh para calon wisatawan domestik maupun mancanegara,”kata Gery.

Hal senada diakui Budi Hutasuhut, pengelola portal kebudayaan Lampung, www.akademika-lampung.wordpress.com. Sebagian besar blog yang dibuat blogger Lampung memiliki content yang bertujuan mempromosikan Provinsi Lampung ke dunia luar. [hes]

Sumber: Lampung Post, Senin, 7 Januari 2007

January 8, 2008

Perpustakaan: Umitra Galakkan Minat Baca

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dan minat baca mahasiswa terhadap buku-buku pelajaran, banyak hal yang dapat ditempuh. Salah satunya mengunjungi dan memanfaatkan perpustakaan yang ada di perguruan tinggi. Selain itu menambah pengetahuan dan mencari referensi, kegiatan mengunjungi perpustakaan juga untuk mengurangi aktivitas mahasiswa yang kurang bermanfaat.

Untuk meningkatkan minat baca tersebut, Universitas Mitra (Umitra) Bandar Lampung telah melakukan berbagai upaya seperti penambahan bahan pustaka sesuai dengan program pendidikan yang ada, baik buku-buku komputer, ekonomi maupun kesehatan.

Emiyati, Kepala Perpustakaan Umitra Lampung, kemarin (7-1) mengungkapkan selain dengan menambah buku referensi yang dibutuhkan mahasiswa Umitra juga merancang sebuah program sebuah program, yaitu kartu kunjungan yang digunakan sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti ujian semester. Program ini mengharuskan mahasiswa untuk memenuhi jumlah kunjungan minimal yaitu 10 kali dalam satu semester.

Beberapa bulan terakhir program ini sudah memperlihatkan hasil yang mengagumkan, yaitu adanya kenaikan pengunjung perpustakaan yang signifikan. Sekitar 110 mahasiswa mengunjungi perpustakaan setiap hari. Dengan adanya program ini, mahasiswa diharapkan tidak hanya mengunjungi perpustakaan hanya untuk memenuhi syarat mengikuti ujian akhir semester, tetapi juga meningkatkan minat baca mahasiswa.

Udin, salah satu mahasiswa STIE Mitra, mengaku mengunjungi perpustakaan 4--5 kali dalam sepekan. "Selain memenuhi kartu kunjungan yang digunakan sebagai prasyarat mengikuti ujian, juga bermanfaat memperoleh bahan referensi tugas-tugas dalam kuliah," ujarnya.

Udin juga mengungkapkan buku-buku yang ada di Perpustakaan Umitra cukup lengkap, sehingga mempermudah mahasiswa saat mencari buku yang diperlukan. RLS/S-2

Sumber: Lampung Post, Selasa, 8 Januari 2008

January 7, 2008

Lingkungan: Pesisir Teluk Lampung Ditata

Bandar Lampung, Kompas - Pemerintah Kota Bandar Lampung akan menata kawasan pesisir Teluk Lampung sepanjang 27 kilometer mulai Juni 2008. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari upaya memperbaiki degradasi lingkungan pesisir, menanggulangi kemiskinan struktural masyarakat pesisir, dan reklamasi pantai skala besar.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bandar Lampung Maryono, Minggu (6/1), mengatakan, degradasi lingkungan pesisir terlihat dari tercemarnya perairan Teluk Lampung. Perairan Teluk Lampung sudah tercemar limbah dari pabrik dan rumah tangga serta sampah.

Pencemaran limbah itu berasal dari buangan 25 sungai dan outlet kota. Sampah berasal dari sampah-sampah yang dibuang di sepanjang pesisir Teluk Lampung.

Dampaknya, terumbu karang kini sudah tidak bisa lagi dijumpai di dasar Teluk Lampung, sementara hutan bakau yang tersisa tinggal dua hektar. Banjir setinggi 10 sentimeter di wilayah pesisir selalu terjadi saat musim hujan dan pasang naik.

Selain itu, kondisi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan mudah ditemui di wilayah tersebut. Bahkan, wilayah pesisir lebih didominasi pekerja pabrik berpenghasilan minim daripada nelayan.

Tercatat, jumlah keluarga miskin terus membesar. Sampai Desember 2007, dari 321.902 jiwa yang mendiami wilayah pesisir, sekitar 18.962 keluarga atau sebanyak 75.848 jiwa merupakan keluarga miskin.

Sementara itu, kawasan kumuh semakin meluas karena jumlah bangunan warga miskin semakin banyak. Dinas Kelautan dan Perikanan Bandar Lampung mencatat, setidaknya kawasan kumuh pesisir saat ini dipenuhi 10.103 rumah berkualitas rendah. (hln)

Sumber: Kompas, Senin, 07 Januari 2008

January 3, 2008

Pumpunan: Bandar Lampung Jadi Kota Seni dan Budaya Tahun 2012

-- Budisantoso Budiman

KOTA Bandarlampung yang telah berusia 325 tahun, dinilai berkembang tanpa "karakter" dan identitas yang jelas. Ciri khas kota berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa hilang tanpa bekas, akibat tergerus arus modernisasi.

Seniman kondang Lampung Isbedy Stiawan ZS menyebutkan, kendati pembangunan terus berlangsung dan terjadi kemajuan dialami warga Kota Bandarlampung, disayangkan pertumbuhan dan pembangunan kota itu nyaris tanpa dibarengi dengan karakter yang jelas untuk menjadi wajah dan rupanya.

"Justru banyak peninggalan sejarah dan gedung-gedung bernilai artistik dan historis serta budaya bernilai tinggi sudah digusur dan digantikan gedung-gedung mal, pusat belanja, maupun perkantoran modern di sini," kata penyair yang berjuluk Paus Sastra Lampung itu pula.

Padahal menurut Walikota Eddy Sutrisno dan Wakilnya, Kherlani, Pemda Kota setempat berupaya pada tahun 2012 dapat mewujudkan kota itu sebagai "Kota Seni dan Budaya". Tekad itu telah pula mendapatkan dukungan dari kalangan seniman dan budayawan, di antaranya yang tergabung dalam Dewan Kesenian Kota Bandarlampung (DKKBL).

"Potensi seni dan budaya yang dimiliki Bandarlampung sebagai kota tua cukup dan memungkinkan untuk menuju Kota Seni dan Budaya itu," ujar Kherlani yang juga Ketua Umum DKKBL.

Tapi sejumlah pemerhati pembangunan, seperti Ilham Malik, menilai perkembangan Kota Bandarlampung itu berlangsung seperti tanpa arah, bergantung pada kebutuhan jangka pendek yang lebih banyak bersifat ekonomis dan komersial, dibandingkan mengikuti kemajuan dengan menampung segenap dinamika masyarakatnya secara terencana, terarah.

"Mau kemana arah pembangunan kota ini, sampai sekarang masih tidak jelas," kata dosen Universitas Bandarlampung (UBL) itu pula.

Dia menyebutkan salah satu kelemahan mendasar yang mengakibatkan wajah Kota Bandarlampung nyaris tak berbentuk itu, adalah akibat perencanaan yang keliru dan "setengah-setengah".

"Seharusnya sejak awal pembangunan kota ini direncanakan secara matang, dengan melibatkan seluruh para pemangku kepentingan untuk bersama-sama merumuskan wujud kota ini ke depannya," kata dia pula.

Pengamat seni budaya di Bandarlampung, Oyos Saroso HN menilai, kendati terlambat tidak ada salahnya jajaran birokrasi Pemda Kota Bandarlampung segera mengoreksi kesalahan dalam penataan kotanya, untuk kemudian bergegas berbenah diri menjadikan kota ini seperti dicanangkan sebagai Kota Seni dan Budaya.

"Harus ada langkah-langkah nyata yang terprogram, terarah dan berkesinambungan untuk mengoreksi kesalahan sebelumnya, sehingga Bandarlampung dapat menjadi kota yang asri, nyaman, indah serta berkarakter jelas," demikian Oyos.

Kota Bandarlampung memiliki semboyan "TAPIS BERSERI" (Tertib, Aman, Patuh, Iman Sejahtera, Bersih, Sehat, Rapih, dan Indah).

Walikota Eddy Sutrisno yang bersama Wakilnya, Kherlani memimpin kota itu memasuki tahun ketiga, juga telah mencanangkan beberapa program andalan mewujudkan slogan itu, di antaranya dengan "Ayo Bersih-Bersih" (ABB) dan Gerakan Bandarlampung Kembali Bersih (Gerbang Kasih).

Namun target kedua program unggulan itu, cenderung dikaitkan dengan raihan penghargaan sebagai kota terbersih (Adipura), seperti pernah diperoleh Bandarlampung beberapa tahun lalu. Namun belakangan gelar itu lepas, dan justru Bandarlampung pernah menjadi kota berkategori "terkotor" di Indonesia.

Predikat itu berangsur lenyap, namun Adipura pun belum dapat diraih kembali.

Kota Penuh Ruko

Pembangunan kota terus berjalan tanpa henti, antara lain dengan gencar membangun kawasan permukiman baru, perkantoran, maupun gedung-gedung rumah toko (ruko) hampir di seluruh penjuru Bandarlampung yang memiliki 98 kelurahan dan 13 kecamatan itu.

Akibatnya, Bandarlampung pun dijuluki sebagai "kota penuh ruko", karena hampir tidak ada sudut kota--termasuk di pinggiran--yang terbebas dari bangunan ruko itu.

Padahal banyak ruko itu yang tidak terpakai, antara lain karen harganya kelewat mahal sehingga tidak terbeli kebanyakan pedagang.

"Susah di Bandarlampun sekarang, sudah seperti Jakarta saja, macet dan ruwet di mana-mana," kata Suhadi, warga pendatang yang kini tinggal di Bandarlampung pula.

Kendati akhir-akhir ini Pemda Kota Bandarlampung berupaya menata kawasan pasar tradisional dan pusat perdagangan yang terkenal ruwet dan semrawut itu--di antaranya kawasan sekitar Pasar Bambu Kuning dan SMEP yang merupakan salah satu pasar tertua dan legendaris di Bandarlampung--sejumlah pedagang kaki lima (PKL) maupun berbagai pihak justru menentang kebijakan yang dinilai bertujuan "menggusur" warga yang mencari usaha dengan berdagang di pusat kota itu pula.

Namun hingga memasuki tahun 2008, target raihan Adipura belum tergapai walaupun predikat kota ini sebagai yang "terkotor" telah lepas.

Kalangan aktivis lingkungan di Bandarlampung justru "geram" melihat aktivitas penggerusan bukit dan penimbunan pantai (reklamasi) yang tanpa kendali akan berakibat buruk bagi lingkungan dan masyarakat Bandarlampung itu.

Sejumlah kawasan perbukitan yang menjadi salah satu kelebihan panorama alam Bandarlampung yang juga memiliki kawasan pantai dan dataran landai itu, ditengarai telah nyaris habis bahkan "tidak ada lagi" karena materialnya terus digali dan diambili.

Pelayanan publik dalam berbagai urusan perizinan dan dokumen penting untuk warga Kota Bandarlampung juga masih bertele-tele pengurusannya tanpa standar prosedur dan pelayanan yang optimal, dengan tarif yang "semaunya".

Padahal, banyak warga kota ini berharap sebagai ibukota provinsi, Bandarlampung dapat melangkah lebih maju dan lebih dulu menerapkan standar pelayanan minimal serta layanan satu atap bagi kepentingan publik di kota itu.

Setiap hari, secara langsung maupun melalui media massa dan sarana lain, sejumlah warga kota itu berkeluh kesah atas layanan yang diterima mereka dari jajaran birokrasi dan pelayan publik di Bandarlampung.

Keluh-kesah serupa terungkap dalam kaitan dengan urusan proyek-proyek pembangunan yang berhubungan dengan birokrasi Pemda Kota Bandarlampung yang nyaris selalu penuh keruwetan dan cenderung bermasalah.

Lantas, bisakah Bandarlampung mewujudkan Kota Seni dan Budaya pada 2012, tidak saja menjadi kota besar, tetapi juga memiliki karakter yang jelas sesuai dengan identitas daerah, mengatasi problem sosial seperti kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan kawasan pusat perdagangan sekaligus menjamin layanan publik lebih baik?

Hingga saat ini belum nampak gencar upaya untuk bersama-sama mendorong wujud Kota Seni dan Budaya yang didambakan tersebut.

Padahal Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, telah mencanangkan pengembangan "kota baru" di kawasan Natar, Lampung Selatan, untuk menjadi pusat pemerintahan dan perkantoran baru Provinsi Lampung menggantikan Kota Bandarlampung yang dinilai terlalu "sumpek" dan tidak lagi dapat menampung dinamika warga dan laju pembangunan yang makin cepat di masa depan.

Kalau ide itu terwujud, dimungkinkan, Kota Bandarlampung yang tidak tuntas dibenahi, akan menjadi "kota tua" yang terpinggirkan.

Sumber: Antara, 3 Januari 2008