August 27, 2012

Gencar Jual Mamak Kenut, AJI Galang Dana

BANDAR LAMPUNG (LampostOnline): Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung sedang menggalang dana untuk biaya sewa kantor. Ketua AJI Bandar Lampung Wakos Reza Gautama siang ini mengatakan AJI butuh Rp20 juta untuk biaya kantor selama dua tahun. Ikhtiar yang dilakukan organisasi profesi pers yang tegas dalam aturan soal suap ini ialah menjual buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z Karzi.

Udo Z Karzi, kata Wakos, adalah anggota AJI yang bekerja sebagai jurnalis di Lampung Post. Buku yang dicetak Indepth Publishing--unit penerbitan AJI--ini berjumlah 500 eksemplar dan menjualnya per buah Rp50 ribu. "Alhamdulillah dalam sehari terjual hampir 200 eksemplar. Kami berharap semua anggota bisa berkontribusi menjualkan," ujar Wakos yang bekerja di Tribun Lampung ini.

Usaha ini, tambah Wakos, juga cerminan kemandirian AJI dalam berusaha. Wakos menegaskan, AJI Bandar Lampung ingin menjadi pelopor untuk kota lain agar mandiri dalam mengupayakan sewa kantor dan seabrek aktivitasnya. "Ini juga wujud independensi kami dari pemberian pihak lain yang bakal mengikat organisasi sehingga berpengaruh pada kemerdekaan jurnalis dalam bekerja." 

Sementara Oki Hajiansyah Wahab, pengurus AJI yang juga Manajer Pemasaran Indepth Publishing, menambahkan buku Mamak Kenut memang dicetak dengan dana AJI dan dijual untuk pembiayaan sewa sekretariat. Buku dicetak sebanyak 500 eksemplar dan dipasarkan kepada khalayak ramai. Hingga kini, ujar aktivis Yabima itu, Indepth telah menerbitkan delapan buku. Oki menjelaskan gebyar penggalangan dana ini juga banyak dibantu para senior organisasi pers yang berdiri pada 7 Agustus 1994 itu.

Sementara itu, anggota Majelis Etik AJI yang juga Direktur Pelaksana PKBI Lampung, Herdi Mansyah, beberapa waktu lalu mengusulkan agar AJI mengusahakan kantor permanen. Sebab, dengan begitu, persoalan sewa kantor saban tahun bisa diselesaikan.

"Memang butuh banyak dana. Tapi saya yakin, dengan integritas AJI dan penggiatnya selama ini, insya Allah banyak yang mau membantu. Ya tidak setahun dua tahun. Mungkin lima sampai sepuluh tahun. Kalau tidak dimulai, memang berat. Tapi kalau sudah dimulakan, akan ringan," ujar Herdi Mansyah. (ASP/L-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 27 Agustus 2012

August 26, 2012

Warga Lampung Barat Antusias Ikuti Pesta Sekura

LIWA -- Warga Kabupaten Lampung Barat (Lambar), Provinsi Lampung, antusias mengikuti "Pesta Budaya Sekura 2001 Wajah" yang diselenggarakan pemerintah setempat untuk merayakan Idul Fitri 1433 Hijriah.
   
PESTA BUDAYA SEKURA. Penari dari Sanggar Seni Setiwang menampilkan tarian sekura betik (baik) karya koreografer Edwarsyah Ma'as, di Liwa, Lampung Barat, Lampung, Minggu (26/8). Pesta budaya sekura ialah ungkapan rasa syukur, sukacita, renungan terhadap sikap dan tingkah laku yang dilakukan massal oleh masyarakat setempat dalam merayakan Idul Fitri. (ANTARA/GATOT ARIFIANTO)

Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri, di Lapangan Merdeka, Liwa yang berada sekitar 278 km sebelah utara Kota Bandarlampung, Minggu, mengatakan Sekura merupakan tradisi khas daerah itu. "Karena itu Sekura harus dipertahankan," kata Bupati  pula.    

Sekura ialah ungkapan secara massal masyarakat Lampung Barat untuk menyambut dan memeriahkan Idul Fitri, dan biasa dilakukan setiap tanggal 1 sampai dengan 7 Syawal dan berlansung dari pekon (desa/kampung) ke pekon di daerah ini.
   
Pada perayaan Sekura, masyarakat akan mengubah penampilan sedemikian rupa untuk menghibur, seperti mengenakan topeng binatang, menjadi kakek-kakek dengan membawa tongkat, namun ada juga yang bermain rebana dan gamolan atau alat musik tradisional daerah itu yang terbuat dari bambu.
   
Kabag Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Lampung Barat Burlianto Eka Putra mengatakan, acara pesta Sekura itu dimulai pukul 09.00 WIB.
   
Namun sejak pukul 08.00 WIB, warga setenpat termasuk sejumlah pelajar dari SMAN 1 Liwa telah berdatangan, dengan memakai topeng, di Lapangan Merdeka Liwa, untuk selanjutnya berjalan menuju areal kantor Pemkab Lambar.
   
"Saya ikut bersekura untuk melestarikan adat istiadat supaya tidak hilang dan terlupakan," kata warga Pekon Way Empulau Ulu, Kecamatan Balikbukit, Yazli Fauzi.
   
Meski tidak mendapatkan upah, Yazli mengaku, tetap senang sehubungan kegiatan itu hakikatnya untuk bersilaturahim antarmasyarakat, baik yang tua, muda maupun anak-anak.
   
Sebelum Bupati Mukhlis Basri melepas kegiatan tersebut, seluruh kelompok Sekura dari berbagai kecamatan di daerah itu diminta beratraksi menari dengan waktu maksimal satu menit untuk dinilai.
   
Panitia selanjutnya akan mengambil 10 kelompok terbaik, untuk mendapatkan hadiah bagi penampil yang baik.
   
Pada kegiatan "Pesta Budaya Sekura 2001 Wajah" itu, sejumlah aparat keamanan dari Polres Lampung Barat, Satpol PP, TNI AD dari Kodim 0422, serta Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi Lampung Barat membantu pengamanan dan penertibannya.
   
Sejumlah ambulans dan tim medis juga diturunkan dalam kegiatan tersebut.
   
"Ambulans dari Dinas Kesehatan disiapkan tiga buah, termasuk tim medis dan obat-obatan, untuk pertolongan pertama jika terjadi hal tidak diinginkan," ujar Kasubag Tata Usaha Puskesmas Liwa, Sumarjo.
   
Acara selanjutnya berlangsung mulai pukul 10.00 WIB, dengan warga yang telah mengenakan topeng atau bersekura, selanjutnya berjalan menuju lapangan kantor Pemkab Lambar dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.

Sumber: Antara, Minggu, 26 Agustus 2012

[Perjalanan] Pesta Sekura 1001 Wajah

PESTA Sekura, pesta topeng khas perayaan Lebaran di Liwa, Lampung Barat, kembali digelar, Minggu (19-8). Kemeriahannya mewarnai perayaan yang menggabungkan Lebaran, HUT ke-67 RI, dan HUT ke-20 Lampung Barat.

Kabut yang akrab di Kota Liwa Lampung Barat belum lerap, Minggu (19-9). Namun, para pelaku pesta sekura, warga yang mengenakan topeng sekura, sudah berduyun-duyun menuju lapangan.

Tradisi sekuraan memang sudah ada di Liwa sejak zaman lama. Kesenian yang dimainkan pemuda saat perayaan Idulfitri ini menjadi sesuatu yang khas, tak ada daerah lain yang punya kebiasaan seperti ini.

Tahun ini, sebagaimana beberapa tahun sebelumnya, Lebaran yang jatuh tak jauh beda waktunya dengan lahirnya Kabupaten Lampung Barat dijadikan momen untuk menggelar Pesta Sekura.

Tak pelak, Pesta Sekura digabung menjadi ajang perayaan Lebaran sekaligus pesta ulang tahun kabupaten ke-20, tahun ini. Juga, pesta kemerdekaan peringatan HUT ke-67 Republik Indonesia. Satu tema diangkat, yakni Pesta Sekura 1001 Wajah.

Sambil menunggu rombongan lainnya, tampak para sekura bercakap-cakap meskipun tidak membuka penutup wajahnya. Sementara panitia menyiapkan dan mengarahkan setiap rombongan sekura yang datang.

Selanjutnya, iring-iringan 1001 sekura berberak dari lapangan Merdeka, Pasar Liwa, menuju pusat perkantoran Pemkab Lampung Barat.

Menyusuri Jalan Protokol Raden Intan II, jarak tempuh sedang jarak sekitar 3 km, mengikuti pawai sekura dengan pakaian berbagai corak warna dan khasnya adalah mengenakan penutup wajah.

Sesuai dengan tema kegiatan, sekitar 1001 masyarakat dari empat Kecamatan di Lampung Barat, yakni Balikbukit, Batubrak, Belalau, dan Batuketulis mengenakan topeng sekura dengan berbagai bentuk sesuai jenisnya atau sebutannya.

Dalam masyarakat adat Lampung Barat, yakni sekura kamak dan sekura kecah atau helau. Topeng sekura yang dikenakan dari berbagai bentuk ada yang terbuat dari kayu dan banyak juga dari kain dengan tetap menonjolkan nilai-nilai eksotis budaya tersebut.

Perhelatan Pesta Sekura akbar dan pertama kalinya dalam jumlah besar, banyak menarik perhatian warga yang menonton memadati sepanjang jalan protokol.

Bahkan, warga yang berasal dari luar Lampung Barat sengaja datang untuk menyaksikan kegiatan tersebut tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto bersama dengan sekura.

Seolah mengerti apa yang pengunjung inginkan, sekura itu menghampiri dan menghadap setiap jepretan kamera yang mengarah ke mereka.

Suasana ceria siang itu menghampiri setiap wajah pengunjung. Apalagi setelah Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri dan Wakil Bupati Dimyati Amin juga berbaur bersama mereka dan tidak sungkan-sungkan mengenakan topeng sekura.

Berbagai atraksi yang disajikan sekura, seperti pementasan seni bela diri, budaya, dan cara menyapa pengunjung, membuat warga yang menyaksikan kegiatan larut dalam semaraknya kegiatan.

Begitu juga dengan lantunan sastra Lampung, yakni budaya wawayaan, yang dipentaskan sekura di tengah-tengah kerumunan ribuan pengunjung yang ternyata menjadi salah satu wadah menyiarkan agama.

Selain itu, rombongan sekura dengan leluasa memeragakan atraksi budaya leluhur seperti hadrah, pencak silat, dan beberapa kesenian lainnya yang kini mulai tergerus di tengah perkembangan zaman.

Pada akhir kegiatan, yakni sekura cakak buah (mematik buah, pada pohon pinang), sorak-sorai membahana dari setiap sudut lapangan Pemkab Lampung Barat. Sekitar 50 pohon pinang yang disiapkan panitia menjadi pusat kerumunan.

Pengunjung memberi semangat sekura yang tengah berjuang untuk mendapatkan ratusan hadiah yang tergantung di pohon pinang.

Secara bergantian puluhan sekura berkelompok memanjat pohon pinang, sampai akhirnya salah satu dari kelompok berhasil mencapai puncak pohon pinang dan berhak mendapatan hadiah tersebut. (HENRI ROSADI/ARIPSAH/M-1)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 26 Agustus 2012

August 25, 2012

Bupati Segera Canangkan Tahun Wisata Lambar

LIWA -- Bupati Lampung Barat (Lambar), Provinsi Lampung, Mukhlis Basri, Minggu (26/8), akan mencanangkan "Tahun Wisata Kabupaten Lampung Barat" guna memacu perkembangan sektor pariwisata daerah itu mendatang.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, Burlianto Eka Putra, di Liwa, Sabtu menjelaskan, pencanangan tersebut dilakukan menjelang pelaksanaan pesta "cakak buah" atau panjat pinang.

Puluhan pohon pinang dengan beragam hadiah disediakan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat sehubungan kelompok sekura kamak (kotor) akan memanjat untuk mendapatkan hadiah.

Burlianto menjelaskan, setelah peserta karnaval "Pesta Budaya Sekura 2001 Wajah" dilepas Bupati Mukhlis Basri dari lapangan Merdeka, Liwa, para sekura atau masyarakat yang mengenakan topeng akan menuju lapangan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat.

Setelah masyarakat berkumpul bupati akan mencanangkan "Tahun Wisata Kabupaten Lampung Barat".  "Selanjutnya baru kegiatan cakak buah berlangsung," kata dia.

Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka menyambut Hari Jadi ke 21 Kabupaten Lampung Barat sekaligus memeriahkan Idul Fitri 1433 Hijriyah. Termasuk mengenalkan budaya daerah itu kepada masyarakat Indonesia melalui berbagai media.

"Pesta sekura dan cakak buah sebenarnya ialah kegiatan rutin setiap tahun yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat," ujar Burlianto menjelaskan.

Namun agar suasana perayaan kali ini lebih meriah, maka dalam hiburan rakyat atau disebut "Pesta Rakyat" tersebut akan dimeriahkan oleh Band Wali.

"Dengan harapan lebih menyemarakkan acara selain menciptakan suasana kebersamaan antara pemerintah dengan masyarakat," kata Burlianto.

Sumber: Antara, Sabtu, 25 Agustus 2012

August 17, 2012

Lambar Siapkan 120 Pinang Berhadiah Peringati Kemerdekaan

LIWA -- Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (Lambar), Provinsi Lampung, menyiapkan 120 batang pinang untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-67 tahun 2012 ini.
   
"Kegiatan tersebut sekaligus sebagai peringatan hari jadi Kabupaten Lampung Barat ke 21, dan akan berlangsung pada 26 Agustus mendatang," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, Burlianto Eka Putra, di Liwa, Jumat.
   
Guna kelancaran acara tersebut, kata Burlianto, Pemkab Lambar mengajak pihak lain untuk berpartisipasi.
   
"Pemkab Lampung Barat bersinergi dengan PT Chevron Geothermal Suoh Sekincau (CGSS) dalam mengadakan kegiatan tersebut. Tetapi beberapa donatur lain juga ada yang mendukung," kata dia.
   
Kegiatan yang nantinya akan berlangsung di lapangan kompleks Pemkab Lampung Barat tersebut merupakan hiburan rakyat dan multifungsi.
   
"Sekaligus ajang untuk halal bihalal antara pemerintah dengan masyarakat," kata Burlianto menambahkan.
   
Daerah yang dipimpin Bupati Mukhlis Basri dan Wakil Bupati Dimyati Amin tersebut, memiliki pula pesta budaya tradisional yang disebut "Sekura".
   
Pesta budaya itu biasa dilaksanakan setelah Idul Fitri mulai dari 1 Syawal sampai 7 Syawal setiap hari bergantian dari pekon (desa) ke pekon yang lain.
   
Dalam kebudayaan Lampung, "Sekura" berarti menutup wajah dengan topeng.

Dalam tradisi perayaan itu, ribuan masyarakat daerah itu biasa mengenakan topeng secara massal saat kegiatan tersebut tiba, dan kemudian melakukan "cakak buah" atau memanjat batang pinang secara berkelompok.
   
"Sebanyak 120 batang pinang dengan beragam hadiah menarik tersebut sengaja dipersiapkan, mengingat pengalaman tahun lalu ribuan warga yang bersekura atau mengenakan topeng ikut memeriahkan acara tersebut," kata Burlianto lagi.
   
Adapun saat ini, peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-67 diperingati Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompida) setempat dengan melaksanakan upacara bendera, diikuti pejabat, dinas dan instansi serta unsur muspikab.

Sumber: Antara, Jumat, 17 Agustus 2012


August 15, 2012

Indepth Publishing Segera Rilis 'Semuda'

BANDAR LAMPUNG (Lampost.com): Penerbit buku indie, Indepth Publishing, usai Lebaran akan meluncurkan satu buah karya fiksi berupa kumpulan cerpen. Direktur Indepth Publishing Tri Purna Jaya mengatakan kumpulan cerpen berjudul Semuda (Selalu Muda) ini ditulis Fritz Nuzir Ahmad asal Metro ini menarik dibaca. Sebab, ada banyak hikmah yang terkandung dalam setiap senarai di buku ini.

Tri menjelaskan Semuda berisi kompleksitas hidup anak manusia yang sarat pelajaran. Alur hidup yang mengalir begitu saja membuat pembaca bisa mencerna cerita ini dengan baik. Tri menjelaskan buku ini akan diluncurkan usai Lebaran di Kota Metro.

Selain itu, ujar mantan jurnalis Lampost ini, dalam buku ini juga terdapat endorse dari beberapa tokoh, di antaranya Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat dan penyair Lampung Udo Z. Karzi. "Kami berharap buku ketujuh yang kami terbitkan ini bisa menambah kuat kultur literasi di Lampung," kata dia Rabu malam. (ASP/U-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 15 Agustus 2012

Novel Karya Putra Wali Kota Metro Segera Terbit

TRIBUNLAMPUNG.co.id - Geliat kepenulisan di Lampung terus berkembang, Indepth Publishing, salah satu penerbit lokal di Lampung dalam waktu dekat akan segera merilis buku barunnya.

Managing Director Indepth, Tri Purna Jaya menerangkan novel yg akan terbit ini adalah buku ke tujuh yang kami terbitkan selama tiga bulan terakhir. Saat ini buku telah masuk proses cetak dan pasca Lebaran mudah-mudahan sudah siap.

Peluncuran novel ini sendiri akan dilakukan pd minggu pertama September di Metro. Tri menjelaskan  Novel ini ditulis oleh seorang arsitek yang juga akademisi di Universitas Bandar Lampung Fritz  Nuzir Ahmad yang juga putra Wali Kota Metro Lukman Hakim.

"Novel ini akan diluncurkan setelah Hari Raya Idul Fitri," ujarnya, Rabu (15/8).  Tri berharap menggeliatnya dunia kepenulisan di Lampung akan meningkatkan budaya baca dan budaya menulis di kalangan masyarakat Lampung.

Novel ini rencananya akan dipasarkan dengan harga yg terjangkau oleh anak muda dan remaja yang menjadi segmen utama buku ini. (Leo David)

Editor : soni

Sumber: Tribun Lampung, Rabu, 15 Agustus 2012

August 12, 2012

[Perjalanan] ‘Ngadem’ Sore di Dam Raman

MESKIPUN tak lagi terdengar kerasnya gemericik air, suara burung dan hilir mudik seriti masih kental terlihat di bendungan Dam Raman, Purwoasri, Metro Utara, Kota Metro.


Danau yang masih alami itu kini nyaris tertutup tanaman eceng gondok. Tampaknya aset wisata yang amat berpotensi itu belum termanfaatkan dengan baik.

Padahal air yang terbentang luas berada di atas lahan seluas 26 ha itu mampu menjadi magnet yang mendongkrak wahana keindahan dan berkontribusi pendapatan jika disulap menjadi kawasan wisata di Kota Metro.

Bendungan yang cukup luas dengan pepohonan lebat dan rindang serta potensi pertanian kini yang terlihat terbengkalai. Dam baru dimamfatkan untuk tempat bersantai, memancing, dan menikmati pemandangan karena suasana alamnya yang indah dan sejuk.

Di bulan Ramadan tampak ramai pada sore dan siang hari. Pada siang hari tampak sekelompok warga usia tua duduk sambil menanti umpannya dimakan ikan. Sedangkan kelompok remaja sore hari ngabuburit menunggu waktu berbuka.

"Di sini terasa asyik karena pemandangannya indah di samping ikannya banyak. Kalau ada perahu, akan menambah asyik berkeliling di Danau Dam Raman," ujar Hesti warga Hadimulyo, yang ditemui saat bersantai di sana sambil menunggu berbuka.

Tak beda dengan Hadi dan kawan-kawannya, dengan asyiknya memancing sambil menikmati pemandangan. Di bendungan Dam Raman tampak terlihat belahan dua sungai yang akrab, warga menyebutnya kanal Way Bunut dan Way Raman.

Kedua anak sungai itu mampu menyedot mayoritas para remaja, di Way Bunut warga senang memanfaatkannya untuk ngabuburit sambil memancing karena ada jembatan gantungnya. Sedangkan Way Raman di pinggiran dibuat tempat nongkrong sambil melihat bendungan dari atas.

Dam Raman, danau yang merupakan sumber potensi air terbesar di Metro tersebut, hanya berjarak 8 Km dari pusat Kota Metro dan 55 Km dari Bandar Lampung. Kawasan Dam Raman memiliki total luas 26 Ha terdiri 24 Ha lahan eks Benkok dan 2 Ha hutan sengon.

Di seputaran lahan Dam Raman juga bisa melihat pohon penghijauan jenis Jabon selain akasia yang tertanam rapi di sekitar lahan yang mengitari bantaran sepanjang Dam Raman dan anak sungai Way Bunut yang terlihat ada jembatan gantung.

Wali Kota Metro Lukman Hakim mengakui potensi wisata itu belum bisa dimanfaatkan dengan baik, meskipun bila disulap bisa mendatangkan kontribusi pendapatan daerah. Pemerintah kota Metro saat ini sudah mengemasnya dengan membuat masterplan Dam Raman.

Di danau itu direncanakan akan dijadikan Agro wisata dan wisata air. Di samping itu juga nantinya dibangun tempat-tempat representatif untuk areal memancing. "Kita sudah membuat masterplannya rencana akan dijadikan pusat wisata di sana," ujarnya.

Lukman memberikan kesempatan dengan sejumlah kemudahan bagi yang ingin menanamkan investasinya membangun lokasi wisata di Dam Raman. Dam raman merupakan sebuah danau yang masih alami yang berada diperbatasan tiga wilayah, yakni Kota Metro, Lamteng, dan Lamtim.

Masterplan

Pemerintah Kota Metro akan menjadikan potensi Dam Raman menjadi objek wisata yang berbasis masyarakat dan menyediakan objek wisata yang mampu menjangkau berbagai kalangan sesuai dengan karakter target pasar.

Di antaranya membangun taman agrowisata, taman bermain, botanical garden, area rekreasi, bumi perkemahan, outbond, area makan, wisata air, area penginapan, dan desa wisata.

Di Dam Raman juga akan dibangun wahana museum, waterbooom, amphitheatre, area joging, Cycling, area ATV, kano, dokar, shuttle bus, dan toko suvenir.

Dam Raman juga akan dibangun objek wisata yang di dalamnya bertema nuansa kolonisasi. Nuansa kolonisasi (tempoe doloe) itu diintegrasikan dengan nuansa alam. Di taman wisata koloni itu juga desain SDM-nya pun bergaya kolonisasi.

Lalu mengintegrasikan cerita sejarah dengan wahana wisata, di antaranya memperlihatkan museum hidup, mendesain tata bentuk bangunannya juga tempoe doloe, serta menyediakan museum yang berisi lukisan-lukisan serta foto-foto sejarah di zaman kolonisasi lalu. (AGUS CHANDRA/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012

[Hobi] Ibu-Ibu Jago Menulis

SIAPA saja bisa menjadi penulis, membuat tulisan yang bagus dan menarik hanya butuh ketekunan dan latihan.

Hal ini dibuktikan oleh ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IDN). Tidak tanggung-tanggung, selain mengirimkan tulisan ke media-media lokal dan nasional, tulisan para ibu ini juga diterbitkan dalam bentuk buku. Penghasilannya juga cukup tinggi, dalam satu bulan bisa mendapat penghasilan tetap Rp500 ribu—Rp700 ribu. Jika mendapat orderan membuat buku, bayarannya lebih tinggi sekitar Rp5 juta—Rp6 juta.

IDN Lampung dibentuk pada Mei 2010 bersamaan dengan pembentukan di beberapa daerah di Indonesia. Di luar negeri, seperti Singapura dan Jepang, juga memiliki komunitas ibu-ibu jago menulis ini. Di Lampung sendiri, anggotanya sudah mencapai 41 orang tersebar di Bandar Lampung dan Lampung Selatan.

Menurut Koordinator IDN Lampung Sri Rahayu, komunitas ini baru sekali melakukan kopi darat, yaitu pada 2011. Selanjutnya pertemuan lebih banyak dilakukan secara online melalui facebook. “Anggota IDN menyebar di berbagai daerah, jadi sulit kalau harus kopi darat,” kata dia.  Menurutnya, sebagian besar anggota komunitas ini memang ibu-ibu rumah tangga, tapi ada juga yang remaja putri dan penulis. IDN tidak memungut uang pendaftaran, siapa pun bisa bergabung.

Diskusi dan sharing tentang kepenulisan dilakukan dalam grup facebook. IDN memiliki tema diskusi berbeda setiap harinya, mulai dari penulisan resensi, persoalan penerbitan, pembuatan outline tulisan, dan penulisan biografi. “Biasanya diskusi dilakukan setelah jam 7 malam. Pada jam ini, ibu-ibu sudah santai dan tidak ada lagi pekerjaan rumah,” kata Sri, yang juga guru SD IT Permata Bunda III ini.

Sharing juga bisa dilakukan dengan memosting tulisan di facebook, selanjutnya anggota lain akan memberi masukan dan komentar agar tulisan lebih baik. Para anggota saling mendukung dan memberi semangat kepada teman-teman yang lain supaya terus menulis dan berkarya. Bila ada yang berhasil menulis di media atau membuat buku, anggota yang lain pun memberikan apresiasi dan pujian. “Dari sini bisa tumbuh semangat, kalau yang lain bisa kenapa saya tidak,” ujar ibu dua anak ini.  

Menulis yang Dipahami

Tema yang dipilih untuk menulis sesuai dengan keseharian ibu-ibu rumah tangga. Misalnya tentang bagaimana mengurus anak, pengalaman dalam memelihara binatang, atau pengalaman memasak. Sri menjelaskan yang ditulis ibu-ibu adalah yang sudah mereka pahami dan kuasai sehingga menulis terasa lebih mudah dan menyenangkan. “Dalam komunitas ini hanya mengarahkan supaya tulisannya lebih enak dibaca,” kata dia.

Beberapa ibu-ibu dalam IDN Lampung sudah berhasil membuat buku, baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis keroyokan. Buku yang sudah berhasil dibuat oleh IDN di Lampung, antara lain tentang cerita anak. 

Sri mengungkapkan IDN memiliki agensi yang akan menghubungkan tulisan yang sudah dibuat ibu-ibu dengan penerbit. Jika memang tulisan bagus dan layak, akan ada penerbit yang membeli naskah. Terkadang, ada juga permintaan tulisan dari beberapa penerbit, dan ibu-ibu tinggal mengerjakan saja dengan batasan waktu yang sudah ditentukan.

Lulusan sarjana kehutanan ini memiliki 30 buku antalogi yang dia buat bersama ibu-ibu yang lain. Tidak lama lagi akan terbit buku Sri yang ditulis secara solo. Dia pun beberapa kali mendapat permintaan menulis buku dari penerbit. “Pernah nulis buku berdua dan saya dapat jatah 40 halaman. Semua bisa dikerjakan dalam lima hari. Asalkan mau, bisa kok menulis buku hanya dalam hitungan hari,” katanya.

Menulis bisa menjadi profesi yang sangat menjanjikan, ibu-ibu rumah tangga yang produktif menulis bisa menghasilkan tambahan penghasilan yang jumlahnya jutaan rupiah tiap bulan. “Kalau sudah bisa menulis, tidak perlu lagi minta tambahan uang dari suami. Untuk beli keperluan anak pun bisa ditutupi dari honor menulis,” kata Sri, yang juga merupakan ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung ini.

Peluang mendapatkan honor juga bisa dari media cetak, seperti majalah dan koran. Banyak sekali majalah khusus keluarga yang bisa menerima artikel yang dibuat ibu-ibu rumah tangga. Menulis di media cetak ini bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp450 ribu. Bila rutin menulis di beberapa media cetak, akan mendapat penghasilan yang teratur.

Menurut Naqiyyah Syam, nama pena Sri, makin banyak berkarya, maka penghasilan yang didapat makin besar. Jika sudah sering menulis buku dan menulis di media, nama penulis makin terkenal dan honor yang diterima makin tinggi. Dia mencontohkan untuk penulis pemula honor yang diterima dari buku yang diterbitkan hanya Rp3 juta—Rp4 juta. “Kalau sudah banyak buku yang ditulis, honornya bisa sampai Rp6 juta/buku,” kata dia.

Sri menceritakan ada ibu pekerja yang keluar dari pekerjaannya dan menekuni dunia menulis saja karena sudah mendapatkan penghasilan yang lebih dari karya yang dibuat. Ada juga ibu rumah tangga yang bisa menyelesaikan S-2 hanya dengan honor menulis. Menulis menjadi pengisi waktu luang yang menjanjikan bagi ibu-ibu. Piawai menulis tidak hanya menyenangkan, tapi juga menguntungkan! (PADLI RAMDAN/M-2)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Agustus 2012

August 11, 2012

Masjid Al Anwar Bandar Lampung Berdiri Pertengahan Abad 19

SALAH satu masjid tertua di Provinsi Lampung yaitu Masjid Jami Al Anwar yang berada di Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung Selatan, Bandarlampung, dibangun pada pertengahan abad ke-19 atau tahun 1839 Masehi.

Pengurus masjid tersebut, Tjek Mat Zain, di Bandarlampung, Sabtu, mengatakan bangunan awal masjid itu merupakan masjid kecil atau musala yang dibangun tahun 1839 Masehi dan bernama Musala Angke.

Ia menjelaskan, surau tersebut pembangunannya dimotori seorang ulama keturunan Kesultanan Bone, Sulawesi Selatan bernama Muhammad Saleh bin Karaeng.

"Rombongan Muhammad Saleh diperkirakan orang Bugis pertama yang bermigrasi ke Lampung. Keturunan mereka kini terus berkembang dan umumnya mendiami wilayah Telukbetung atau pesisir di sini," kata Tjek Mat pula.

Surau tersebut, lanjut dia, menjadi pusat peribadatan dan pembinaan agama Islam bagi nelayan, pedagang, serta masyarakat setempat.

Ketika Gunung Krakatau meletus tahun 1883, surau itu pun rusak parah tertimpa kayu besar dengan panjang lebih dari 20 meter, seperti kebanyakan bangunan di Lampung ketika itu yang rusak binasa.

Kemudian tahun 1888, lanjut dia, tokoh Bugis lainnya, Daeng Sawijaya, mengajak sejumlah saudagar dari Banten, Bugis, Palembang, dan tokoh Lampung membangun kembali dan menjadikan bekas musala itu sebagai masjid.

Bangunan baru itu pun dinamai Masjid Jami Al Anwar yang berdiri dan terus digunakan sampai sekarang.

"Saya sempat melihat pemugaran tahun 1962 dan terus berkembang hingga kini. Namun, ciri khas berupa tiang penyangga sebanyak enam buah, dan masing-masing setinggi delapan meter masih tetap utuh dipertahankan," kata pengurus masjid itu.

Dia menjelaskan, enam tiang yang dibangun tanpa semen tersebut sebagai bentuk simbol Rukun Islam yang enam.

Namun ia tidak bisa menjelaskan siapa orang yang merancang model bangunan tersebut, mengingat tidak ada catatan yang bercerita soal itu.

Boleh jadi, kata dia, bentuk masjid dirancang bersama-sama ketika pembangunan sedang berlangsung.

Selain memiliki nilai sejarah tinggi, ia menambahkan, masjid itu juga memiliki berbagai peninggalan keramat, yakni Alquran kuno dan meriam peninggalan zaman kolonial Belanda.

"Di sini ada sekitar 480 kitab kuno, dan meriam peninggalan zaman penjajahan Belanda yang terletak di halaman depan masjid ini," kata dia menambahkan.

Kini masjid ini telah berkembang dan berada di kawasan permukiman serta pertokoan dan kantor di sekitarnya.

Namun fungsinya sebagai pusat ibadah umat Islam di sekitarnya masih terus berjalan, terutama setiap kali Salat Jumat, dan juga saat Ramadan seperti sekarang ini selalu ramai didatangi umat Islam untuk menjalankan ibadah mereka.

Sumber: Antara, Sabtu, 11 Agustus 2012

August 9, 2012

HUT KE-38: Lampost Harus Pertahankan Kepercayaan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Segenap awak redaksi Lampung Post harus mempertahankan faktor kepercayaan (trust) dalam setiap kebijakan pemberitaan. Faktor kepercayaan tersebut merupakan unsur utama untuk survive di tengah persaingan bisnis era globalisasi.

"Lampung Post harus menjaga kepercayaan agar tetap berada pada jalur yang benar sesuai dengan tugas fungsinya sebagai pers," kata guru besar Universitas Lampung Sudjarwo dalam diskusi di kantor redaksi harian ini, Rabu (8-8).

Diskusi menyambut peringatan ulang tahun ke-38 Lampung Post itu juga menghadirkan pembicara dosen FISIP Unila Syarief Makhya, Pembantu Dekan I FKIP Unila Toha B. Sampurnajaya, dan dosen Fakultas Pertanian Unila Bustomi Rosadi. Pembicara lain, Yuria Putra Tubarat (Kadin Lampung), Yusuf Kohar (Apindo Lampung), dan Agus Nompitu (KAHMI Lampung).

Sudjarwo juga melihat banyak "lulusan" Lampung Post yang kini bekerja di tempat lain masih memiliki gaya tulisan yang khas. "Saya bersahabat dengan Lampung Post sejak 1970-an. Jadi saya hafal betul gaya tulisan wartawan Lampung Post dan itu tidak dimiliki media massa lainnya," ujarnya.

Agus Nompitu mengingatkan jajaran Lampung Post agar pada usia ke-38 tahun mewaspadai kecenderungan penurunan performa yang mengikuti pola diminishing return. Dalam situasi inilah, Lampung Post membutuhkan peranan divisi penelitian dan pengembangan (litbang) yang kuat.

"Litbang memegang peranan penting untuk menjaga kinerja Lampung Post," ujarnya.

Dari aspek bisnis, Yusuf Kohar melihat Lampung Post berhasil menjaga eksistensi sebagai harian tepercaya bagi kalangan pengusaha. Penyajiannya juga cukup lengkap dari berbagai sisi, seperti politik, hukum, dan pendidikan.

"Pengusaha yang baik tidak hanya melulu membaca berita ekonomi dan bisnis, tetapi mengikuti juga perkembangan berita lain karena semua aspek saling terkait dengan situasi bisnis," kata Yusuf.

Sumber: Lampung Post, Kamis, 9 Agustus 2012

August 8, 2012

Sarjana Hukum

Oleh Sudarmono


SAYA kenal dia lebih lima belas tahun lalu. Namanya Heri Wardoyo. Tapi, baru tahu kalau dia punya gelar sarjana hukum sejak beberapa pekan lalu, saat melihat baliho Pemilukada Tulangbawang. Saat ini, dia sedang berikhtiar menjadi wakil bupati Tulangbawang berpasangan dengan Hanan A. Razak.

Saya mengenal dia sebagai guru jurnalistik, redaktur, teman diskusi, dan muara terakhir saat buntu. Soal intelektual, siapa yang meragukan. Ketika menjadi penengah diskusi (moderator) ia bahkan kerap terlihat lebih brilian dari narasumber. Saat diminta komentar tentang—hampir semua hal—, ia menjelaskan dengan perinci, detail, dan rasional.

Banyak mahasiswa, aktivis, bahkan demonstran berguru kepada dia. Urusannya juga macam-macam. Dari konsultasi skripsi, minta akses ke tokoh-tokoh, hingga minta tombokan sangu.

Soal akses, teman satu ini memang paling menggurita. Ilmu saat ia menjadi wartawan Tempo tampaknya menjadi jimatnya. Inti ilmu itu adalah; "Bertemu siapa saja, baik jenderal maupun pemulung, catat namanya dan minta nomor kontaknya. Setelah itu, sapalah minimal setahun sekali. Suatu saat, kita akan butuh dia."

Sebenarnya, saya bukan mau cerita soal kehebatannya. Saya hanya merasa abai, mengapa tidak tahu apa gelar kesarjanaannya, jebolan universitas mana, dan berapa IP-nya.

Ini penting supaya ketika menjadi pemandu suatu acara tidak ada yang merasa cedera karena tidak disebut gelarnya. Sebab, sebagian orang begitu merasa gundah jika semua atribut akademik dan keagamaannya tidak disebut. "Biaya kuliah itu mahal, woi!"

Tapi, saya tidak merasa berdosa. Tradisi di tempat saya bekerja memang tidak melihat siapa lulusan apa dan apa gelarnya. Saya tidak tahu alasannya. Jangan-jangan, karena konon pimpinan tertinggi kami cuma lulus SMA?

Yang pasti, di kantor, saya bersahabat dengan orang-orang cerdas, berwawasan, intelek, dan punya visi yang kuat. Analisisnya luar biasa, argumentasinya ilmiah dan cukup komprehensif.

Supaya tidak kultus tidak terkesan menjelang Lebaran, saya harus menyebut nama-nama beken lain. Ada Bambang Eka Wijaya, penjaga Buras. Ada Djadjat Sudrajat yang tulisan refleksinya begitu mencengangkan. Ada Udo Z. Karzi, pemenang hadiah sastra Rancage. Ada Dominikus Widodo, dalang yang memainkan watak serdadu kompi berandal yang rekonstruksinya sangat detail. Dan masih banyak lagi, kalau ada teman yang tidak disebutkan namanya jangan marah. Semua adalah teman saya. Keteledorannya, saya tidak tahu gelar akademik kawan-kawan.

Ah, betapa beratnya kawan-kawan saya yang lain dengan gelar doktor, MM, MH, MT, dan lainnya. Tapi, saya masih ingat dan percaya dengan apa yang diucapkan Heri suatu saat: "Ini Lampung, Lik Dar. Low profile, enggak laku!"


Sumber: Lampung Post, Rabu, 8 Agustus 2012

August 5, 2012

[Perjalanan] Memeluk Sepi di Danau Ranau

ANGIN Danau Ranau menerpa nyiur yang tak seberapa. Riaknya pun lembut bergumul dengan sepi tiada akhir.


Di bulan Ramadan, danau ini benar-benar hening. Hanya satu dua pengunjung meramaikan danau yang terletak di perbatasan Lampung Barat dan Sumatera Selatan ini. Hanya beberapa penduduk tampak asik dengan aktivitas harian mereka. Anak-anak pulang sekolah, dan nelayan yang menarik jaring ikan. Entah karena saat ini bulan puasa, atau memang beginilah potret Danau Ranau sehari-harinya.

“Sepi memang di sini, kalau cuma memancing dan bakar-bakar ikan, kayaknya jauh amat mau ke sini,” kata salah satu pengunjung yang ikut bersama tim Lampung Post. Padahal, dia sendiri adalah orang Lampung Barat yang tinggal di Liwa.

Penasaran dengan curhat-nya, perbincangan berlanjut tentang harapan pengelolaan Danau Ranau ini. “Coba di sini dibuat waterboom, tempat main anak-anak, ada banana boat, ya apalah yang bisa buat rekreasi keluarga. Apa danau ini tidak cukup aman kali ya,” ujarnya menyangsikan sendiri keinginannya itu.

Setelah melewati papan bertulis “Selamat Datang di Pekon Lumbok”, kami bertemu dengan beberapa rumah penduduk yang menyediakan pendopo dan tempat pemancingan. Akhirnya, kami pun mampir di salah satu pemancingan yang dikelola oleh pemerintah daerah bersama penduduk setempat.

Ada tiga kolam besar yang dibuat dengan cara disekat jaring-jaring besar. Dua pendopo di bagian depan, dan tempat berteduh untuk pemancingan dibangun sepanjang pinggiran kolam. Kembali, yang kami temukan hanya hening. Bahkan, ikan pun seperti enggan memakan umpan di hari itu. Hanya satu ikan yang berhasil ditangkap. Seekor ikan emas kecil yang mengalami sakit di matanya. Karena kasihan, ikan itu pun dilepaskan lagi.

FOTO-FOTO: LAMPUNG POST/HENDRIVAN GUMAY

Tidak tampak nelayan memancing di tengah danau, hanya ada dua nelayan yang menjaring ikan di pinggiran saja. “Apa danau ini tidak aman kali ya. Sepertinya tidak ada yang berani mencari ikan ke tengah-tengah,” kata penduduk asli Liwa yang ikut bersama kami itu.

Menurut dia, memang pernah ada rumor yang beredar tentang keangkeran Danau Ranau yang menyebabkan hilangnya pengunjung yang bermain ke tengah danau. Makanya, lanjut dia, di Danau Ranau itu tidak ada orang yang berani mandi dan berenang. “Mungkin hal ini yang menyulitkan pemerintah mengembangkan potensi-potensi di danau ini ya,” katanya masih terus memikirkan pariwisata danau itu.

Dia juga menawarkan solusi untuk itu. “Sebaiknya pemda menyurvei dulu kondisi danau ini, baru kemudian dikembangkan wahana-wahana untuk keluarga itu ya,” ujarnya seolah-olah meminta persetujuan dari kami.

Begitulah kondisi Danau Ranau saat itu. Bisa saja nasib kami yang lagi sial, berkunjung di waktu yang tidak tepat sehingga kami hanya bisa menikmati keindahan alam, riak air, bagan nelayan, dan semilir angin danau yang melelapkan.

Huahhh, bulan puasa tamasya ke Danau Ranau, bikin ngantuk, tidak bisa memancing, tidak bisa bakar-bakar ikan. Ini barangkali yang membuat danau ini terasa sepi. Bisa saja, di hari-hari lain, danau ini ramai dikunjungi wisatawan. Sebab, potensi pemandangan alam yang amat menyegarkan itu adalah komoditas amat berharga jika dikelola dengan serius. Semoga! (RINDA MULYANI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012

[Inspirasi] Hak Paten Ageng Sadnowo

DOSEN Teknik Elektro Universitas Lampung ini membuat alat bantu salat dan menciptakan permainan untuk mendidik anak-anak agar mau berzakat.

Semua inovasi buatannya banyak diminati, khususnya oleh umat muslim. Dia merasa ada semacam ilham untuk membuat alat-alat tersebut.

Dia adalah Ageng Sadnowo Repelianto. Sosoknya sederhana dan masih terlihat sangat muda. Sebagai dosen muda, dia sudah memiliki hak paten, hak cipta, dan hak merek atau teknologi dan inovasi ciptaannya.

Alat bantu salat diciptakan saat masih menyelesaikan pendidikan S-2 Teknik Elektro di UGM. Alat ini membantu orang yang salat untuk mengingat berapa jumlah rakaat. Alat sederhana yang ditempatkan di sajadah ini bisa membantu orang yang sedang sakit, orang pelupa, dan orang yang sudah pikun untuk mengingat jumlah rakaat salat.

Alat sejenis headpad ditempatkan di sajadah dan kemudian dihubungkan dengan layar kecil untuk melihat jumlah rakaat. Ageng menciptakan alat ini saat mengalami cobaan yang cukup berat. Istri dan orang tuanya sakit, dirawat di rumah sakit. Pada saat bersamaan dia pun dituntun untuk menyelesaikan tesis.

Saat kondisi penuh tekanan ini, dia kerap salah dalam mengerjakan salat. Ageng yang kerap jadi imam di masjid ini selalu lupa jumlah rakaat salat dan selalu ditegur oleh makmum di belakang.

Dia pun tidak berani ke masjid dan memilih untuk salat di rumah. Pria kelahiran Malang, 43 tahun lalu ini pun akhirnya mencari alat di toko-toko elektronik di Yogyakarta yang bisa mengingatkan rakaat salat. Setelah berkeliling, tapi tidak juga menemukan alat itu. “Saya pikir kenapa enggak buat alat sendiri saja,” kata Ageng.

Akhirnya dibuatlah model alat bantu salat. Hanya satu jam Ageng membuat model alat tersebut. Namun, pembuatan alatnya membutuhkan waktu sampai tiga minggu. Setelah alat tercipta, justru dia tidak lagi lupa akan rakaat salat. “Orang lain menyebut bahwa saya memang ditugaskan untuk membuat alat bantu salat. Allah mengamanatkan lewat saya untuk membuat alat ini,” kata dia.

Ayah tiga anak ini berharap agar alat bantu salat ini bisa dibuat dengan desain yang lebih kecil dan menarik. Kini dia sedang mengembangkan agar alat bantu salat ini bisa menjadi program dalam handphone supaya lebih praktis. Hak paten alat salat pun langsung didaftarkan lewat Kanwilkumham. Hampir selama enam tahun patennya baru selesai.

Permainan untuk membangun kesadaran berzakat anak-anak juga diilhami saat Ageng menjadi pengurus lembaga zakat di Masjid Alwasii. Meskipun sudah mengajak banyak orang berzakat, sedikit sekali orang yang mau berzakat ke masjid. Dia berpikir bahwa keinginan berzakat perlu dibiasakan dari kecil. Penanaman hal itu bisa dilakukan lewat permainan.

Zakati adalah permainan yang dia ciptakan untuk menanamkan kesadaran berzakat pada anak-anak. Permainan seperti monopoli ini pun sudah mendapat hak cipta dan hak merek. Perlu waktu sekitar 2 tahun untuk mendapatkan sertifikat hak cipta dan merek tersebut.

Kemampuannya dalam bidang elektronika didedikasikan untuk membantu menyelesaikan masalah keseharian yang dihadapi umat Islam. “Lewat ilmu elektro inilah saya bisa berkontribusi. Tapi kalau untuk memasarkan produk yang sudah saya ciptakan, saya tidak bisa,” kata dia.

Zakati pernah ditawar oleh salah satu penerbit besar di Jakarta untuk diproduksi dan diperjualbelikan secara massal. Namun, Ageng menolak karena bila dibuat oleh penerbit besar harga jual permainan zakati mencapai Rp200 ribu. Padahal dia ingin agar semua anak bisa memainkannya. “Kalau harganya mahal, hanya anak orang kaya saja yang bisa membeli,” kata dia.

Zakati pun diproduksi oleh mahasiswanya dan dijual dengan harga Rp75 ribu. Mahasiswa mengerjakan zakati sekaligus sebagai lahan mereka untuk berwirausaha dan menghasilkan pendapatan. Permainan ini pun sedang  dikembangkan menjadi game online.

Ageng menjadi satu-satunya dosen yang sudah memiliki sertifikat hak paten, hak merek, dan hak cipta. Banyak dosen-dosen hebat dan sudah menghasilkan banyak karya, tapi belum tentu memiliki hak paten dan hak cipta. “Saya hanya ingin jadi yang pertama memiliki hak paten dan hak cipta. Kalau jadi yang pertama yang lain kan mengikuti. Kalau jadi yang terbaik selalu ada saingan dan tandingannya. Saya hanya bisa jadi yang pertama untuk mengawali,” kata dia.

Suami dari Ana Andriani ini pun terus berkarya dan menciptakan inovasi baru. Dia sudah membuat program pendeteksi penyakit di tubuh. Dengan program ini, orang bisa memeriksa kesehatan sendiri di rumah melalui komputer atau laptop dan tidak perlu cek ke rumah sakit. Namun, penelitian yang sudah dikerjakan hilang bersama laptop milik Ageng. “Saya harus mulai lagi dari awal,” kata dia. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 5 Agustus 2012

"Terasing di Negeri Sendiri" Gugatan Warga Moromoro

-- Budisantoso Budiman

Bandarlampung - Indonesia sebagai negara hukum dan memiliki konstitusi, semestinya berkewajiban melindungi hak-hak konstitusional seluruh warga negaranya, termasuk warga Moromoro yang bermukim di kawasan hutan Register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung.

Oki Hajiansyah Wahab, penulis buku Terasing di Negeri Sendiri, saat pembahasan bukunya di Moromoro, Mesuji, Lampung (FOTO: ANTARA LAMPUNG/Dok. Indepth Publishing)

Namun, menurut Oki Hajiansyah Wahab, penulis buku "Terasing di Negeri Sendiri", justru warga Moromoro itu merupakan potret fakta selama belasan tahun telah kehilangan hak-hak konstitusional mereka.

Pemda setempat tidak pernah mengakui keberadaan sebagai penduduk yang sah, hanya karena mereka berdiam di dalam kawasan hutan yang kini pengelolaannya di tangan pihak swasta itu.

"Akibatnya, hak yang seharusnya dinikmati dan dirasakan sebagai warga negara, tidak dapat dirasakan warga Moromoro ini," ujar Oki, penulis yang sedang melanjutkan studi doktor di Universitas Diponegoro Semarang itu pula.

Padahal, kata dia, hak-hak konstitusional merupakan hak setiap warga negara yang seharusnya dijamin penuh oleh konstitusi di negeri ini.

Aktivis yang juga aktif di Yayasan Bimbingan Mandiri (Yabima) dan juga pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung itu pun, terinspirasi untuk menuliskan kisah kepahitan yang dialami masyarakat Moromoro dalam sebuah buku yang kemudian diterbitkan pula dalam edisi bahasa Inggris, "Alienated in Their Own Homeland".

Dia pun mengutip pendapat Prof Wertheim, Indonesianis, dalam bukunya "Elite dan Massa", untuk menggambarkan secara sistematis perlakuan para elite terhadap massa rakyat.

Sadar atau tidak, para elite seringkali mengabaikan dan menyingkirkan keberadaan massa rakyat.

Para elite, baik pejabat maupun ilmuwan, seringkali menganggap rakyat dan kaum yang paling miskin sebagai "orang biasa yang tak perlu dianggap penting dan massa rakyat yang bodoh dan tak tahu apa-apa," kata Oki, mengutip buku tersebut.

Mereka menutup mata terhadap apa yang terjadi maupun dirasakan rakyatnya.

Para elite itu pun cenderung mengabaikan, membiarkan, dan meminggirkan atau bahkan menindas rakyatnya sendiri.

Oki mengakui, penulisan buku "Terasing di Negeri Sendiri" itu, terinspirasi dari kenyataan sosial dan juga pengalamannya selama membantu mendampingi masyarakat Moromoro dalam memperjuangkan hak mereka, menghadapi konflik yang boleh jadi terpanjang di Provinsi Lampung, berlangsung belasan tahun dan sudah melahirkan banyak korban, serta terdedah luas diekspose media massa nasional dan dunia.

Namun permasalahan yang dihadapi warga Moromoro itu, hingga kini belum juga dapat diselesaikan dengan baik.

   
                                       Perlindungan Warga Negara
Saat membahas buku "Terasing di Negeri Sendiri" yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Umitra, di Bandarlampung, belum lama ini, terungkap benang merah bahasan bahwa konstitusi itu tidak begitu saja identik dengan konstitusionalisme.

Menurut Rudi, doktor ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, lulusan Kobe University di Jepang, semangat perlindungan seluruh warga negara Indonesia yang ada dalam konstitusi tidak serta-merta berarti otomatis jaminan itu tersedia.

Kondisi perlindungan warga negara yang belum berjalan dengan baik itulah yang dialami warga Moromoro di Mesuji, Lampung, kata dia.

Rudi menggambarkan bahwa negara demokrasi modern, seperti Amerika Serikat, juga membutuhkan waktu untuk mewujudkan apa yang disebut dengan konstitusionalisme itu.

Selaku pembahas buku itu, dia menilai pengabaian hak-hak warga negara seperti yang terjadi di Moromoro adalah potret belum terinternalisasinya semangat konstitusionalisme di kalangan para penyelenggara negara.

Sedangkan Andi Surya, politikus yang juga pimpinan Perguruan Tinggi Umitra Lampung menyatakan keprihatinannya atas apa yang dialami oleh masyarakat Moromoro selama belasan tahun itu.

Dia berharap akan adanya perubahan kebijakan dialami warga Moromoro itu di bawah kepemimpinan Bupati Mesuji yang baru, Khamamik.

"Saya juga akan mencoba menanyakan kepada Pak Khamamik yang kebetulan dulu rekan saya di DPRD Lampung agar kiranya segera ada solusi yang memadai bagi masyarakat Moromoro itu," ujar politikus Partai Hanura Lampung itu pula.

Khamamik, Bupati Mesuji yang sebelumnya adalah anggota DPRD Lampung, diharapkan dapat mengambil kebijakan yang tidak lagi diskriminatif dan terus saja mengabaikan hak-hak warga Moromoro itu.

Oki Hajiansyah, selaku penulis buku itu, mengungkapkan bahwa penulisannya merupakan bagian dari upaya advokasi dan kampanye terhadap apa yang terjadi dan dialami warga Moromoro, di samping juga merupakan bagian dari rencana penelitian disertasinya. 

Ia berharap buku itu kelak akan menjadi "general knowledge" bagi masyarakat Moromoro yang berjuang untuk pemenuhan hak-haknya.

Dr Tisnanta SH MHum, pakar hukum Unila mengungkapkan, perlu adanya hati nurani dalam menjalankan negara hukum.

Hukum hendaknya membahagiakan bagi rakyat, ujar doktor lulusan Universitas Diponegoro ini pula.

Dalam pengantar buku ini, Tisnanta mengutip jaminan konstitusi (Pembukaan UUD 1945) bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...dan seterusnya sebagai rumusan pesan dari para pendiri bangsa Indonesia yang diletakkan dalam kerangka Negara Hukum Pancasila.

"Namun, ketika atas nama hukum, pedang keadilan dihujamkan ke jantung hati anak negeri, maka menjadi kewajiban bagi semua orang untuk menggugat tindakan itu," kata dia pula.

Menurut dia, buku karya Oki ini adalah sebagian kecil gugatan penulisnya atas kehilangan hurani negara di Register 45 Mesuji, Lampung.

Dia menegaskan bahwa hidup di atas tanah sengketa itu, bukan berarti hak-hak yang dijamin konstitusi menjadi hilang atau bahkan dikriminalisasikan.

"Moral Negara Hukum Pancasila harus tetap meletakkan martabat warga negaranya dalam nurani atau kepedulian," ujar dia.

Menurut Tisnanta, bila para petinggi negara ini memahami konsep "a state with conscience and compassion", maka warga negara yang "terasing" di negerinya sendiri ini tak akan ada.

Namun sekalipun tidak menikmati jasa negara (terutama dalam bentuk pemenuhan hak politik dan pelayanan publik), warga Moromoro tetap melakukan kewajiban sebagai warga untuk mematuhi hukum, kata dia pula.

Buku ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya warga Moromoro tidak merasa bahagia dengan menjadi warga negara Indonesia.

Tapi, mereka menyadari dan memahami bahwa negara bukan satu-satunya faktor yang memberi manfaat bagi warga negara, tertib sosial sebagai kerangka terciptanya keadilan sosial, mereka bangun melalui pelaksanaan kewajiban natural bagi sesama.

Tisnanta berharap buku yang merupakan sebuah bentuk tanggung jawab akademis dari penulisnya atas proses advokasi yang telah dilakukan, dapat membuat para petinggi negeri ini dapat belajat bagaimana mengelola negeri dan sekaligus belajar apa yang akan terjadi bila mereka gagal.

Doktor yang juga memberikan kata pengantar dalam buku itu, mengungkapkan bahwa sudah sepatutnya masyarakat Moromoro mendapatkan hak-hak konstitusionalnya, mengingat mereka juga warga negara Indonesia.
  
                                       Kehilangan Hak
Selama belasan tahun masyarakat Moromoro kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, akibat berdomisili di kawasan hutan Register 45 yang dikuasai oleh PT Sylva Inhutanni Lampung.

Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji, juga menyatakan bahwa terjadi pengabaian hak-hak konstitusional selama belasan tahun di Moromoro.

Akibatnya, tidak seperti warga negara lainnya, warga Moromoro kehilangan hak-hak dasarnya.

Semua fasilitas sosial dan umum di sini dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ujar Syahrul Sidin, Sekjen Persatuan Petani Moromoro Way Serdang (PPMWS).

Oki Hajiansyah menjelaskan bahwa penjualan buku itu, termasuk di luar negeri ini, untuk mendukung keberadaan Pos Kesehatan Masyarakat Moromoro sebagai bentuk kontribusi bagi mereka.

Sebulan setelah peluncuran buku "Terasing di Negeri Sendiri", penerbit Indepth Publishing Bandarlampung meluncurkan edisi Inggris buku tersebut dengan judul "Alienated in Their Own Homeland", kemudian mendistribusikannya ke beberapa negara.

Manager Indepth Publishing, Tri Purna Jaya, menjelaskan bahwa pihaknya kini mencoba peruntungan dengan mendistribusikan buku-buku terbitannya itu ke luar negeri.

"Khusus untuk buku 'Alienated in Their Own Homeland' karya Oki Hajiansyah Wahab, jejaring kami di Hong Kong, Macau, Taiwan, dan Belanda, sudah menyatakan kesediaannya untuk mendistribusikan buku tersebut," kata dia.

Tri menjelaskan bahwa beberapa negara, seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, masih dalam tahap penjajakan mengingat semua masih terkendala dengan mekanisme pengiriman buku.

Khusus negara-negara yang sudah tidak ada masalah lagi, pihaknya memanfaatkan jaringan organisasi swadaya masyarakat dan juga mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Belanda dan kebetulan pulang mudik pada Lebaran kali ini, ujar dia pula.

Menurut dia, buku edisi Inggris itu sedikit berbeda dengan edisi bahasa Indonesia sebelumnya.

Dalam buku itu, kata dia, pihaknya melengkapi dengan peta Kabupaten Mesuji, Register 45, posisi masyarakat Moromoro dan foto-foto dokumentasi masyarakat Moromoro.

"Kami mencetak 1.000 eksemplar edisi bahasa Inggris," ujar Tri.

Menurut dia, di Hong Kong, buku itu akan dipasarkan dengan harga 100 dolar Hong Kong (Rp118 ribu), dan di Eropa akan dijual 10 Euro (Rp120 ribu).

Penulis buku tersebut, Oki Hajiansyah Wahab, menjelaskan bahwa penerbitan buku edisi bahasa Inggris itu adalah upaya untuk menggalang dukungan bagi keberlanjutan Pos Kesehatan Masyarakat Moromoro yang dananya diperoleh dari hasil penjualan buku tersebut.

Selain itu, dia berharap buku sederhana itu akan menjadi pengantar untuk memahami apa yang terjadi di Moromoro di Register 45 Mesuji, Lampung.

Rudi, doktor di Fakultas Hukum Unila, lulusan Kobe University Jepang yang beberapa kali menjadi pembahas buku ini berharap, isi buku tersebut akan terus dikembangkan sehingga menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Rudi berharap pula, akan semakin banyak lagi penulis yang berani mempublikasikan karyanya di luar negeri.

Buku ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak, dan segera pula mendorong negara dan pemerintah untuk mengoreksi kebijakan diskriminatif terhadap warga Moromoro, agar tidak menjadi terus berkepanjangan tanpa akhir seperti sekarang ini. n

Sumber: Antara, Minggu, 5 Agustus 2012

August 4, 2012

Warga Bandarlampung Antusias Menyambut Malam Kunutan

Bandarlampung, 4/8 (ANTARA) - Warga Bandarlampung antusias menyambut malam kunutan atau biasa dikenal malam pertengahan bulan Ramadhan dengan membuat jajanan dan makanan yang akan disajikan di masjid-masjid usai pelaksanaan salah tarawih.

Halimah (70) warga Kaliskawat, Enggal, Bandarlampung, Sabtu, mengatakan, ia beserta keluarga membuat menu istimewa yang akan disajikan untuk jemaah masjid terdekat rumahnya.

"Saya membuat rendang dan opor ayam, nanti setelah salat tarawih akan disajikan kemudian dibagikan kepada warga sekitar," kata Halimah.

Aktivitas yang sama dilakukan oleh Iyah (50) warga Jagabaya II, dia juga membuat makanan yang telah dibagi menjadi lima besek untuk diserahkan ke masjid terdekat rumahnya.

Kunutan, menurut tradisi turun-temurun umat muslim Indonesia, tradisi itu sebagai ungkapan rasa syukur karena telah menjalankan setengah bulan ibadah puasa.

Biasanya, imam masjid membaca doa kunut pada witir rakaat terakhir saat salat tarawih, namun demikian, tidak semua umat muslim menjalankan tradisi pertengahan bulan puasa itu.

Meskipun kunutan menjadi tradisi di Indonesia, namun, ada juga sebagian umat muslim yang memaknai pertengahan bulan puasa dengan meningkatkan amal ibadah di bulan Ramadhan. Pertengahan bulan Ramadhan, dijadikan sebagai peringatan, bahwa Ramadhan akan berakhir dan harus dimanfaatkan dengan peningkatan amal ibadah yang lebih banyak lagi untuk meraih pahala.

Sementara itu, tokoh agama di Lampung Arief Mahya mengimbau  masyarakat untuk menjadikan malam pertengahan Ramadhan sebagai ajang introspeksi.

"Kita tidak pernah tahu, apakah tahun depan masih berjumpa dengan Ramadhan. Maka dari itu perlu kita melakukan muhasabah diri, jangan sampai kita tidak merasakan adanya perbedaan antara bulan Ramadhan dengan bulan lainnya, " katanya menambahkan.

Sumber: Antara, Sabtu, 4 Agustus 2012

August 3, 2012

'Terasing di Negeri Sendiri' Edisi Inggris Terbit

Bandarlampung, 3/8 (ANTARA) - Sebulan setelah peluncuran buku "Terasing di Negeri Sendiri", penerbit Indepth Publishing Bandarlampung meluncurkan edisi Inggris buku tersebut dengan judul "Alienated in Their Own Homeland", kemudian mendistribusikannya ke beberapa negara.

Manager Indepth Publishing, Tri Purna Jaya, di Bandarlampung, Jumat, menjelaskan bahwa pihaknya kini mencoba peruntungan dengan mendistribusikan buku-buku terbitannya itu ke luar negeri.

"Khusus untuk buku 'Alienated in Their Own Homeland' karya Oki Hajiansyah Wahab, jejaring kami di Hong Kong, Macau, Taiwan, dan Belanda, sudah menyatakan kesediaannya untuk mendistribusikan buku tersebut," kata dia.

Tri menjelaskan bahwa beberapa negara, seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, masih dalam tahap penjajakan mengingat semua masih terkendala dengan mekanisme pengiriman buku.

Khusus negara-negara yang sudah tidak ada masalah lagi, pihaknya memanfaatkan jaringan organisasi swadaya masyarakat dan juga mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Belanda dan kebetulan pulang mudik pada Lebaran kali ini, ujar dia pula.

Menurut dia, buku edisi Inggris itu sedikit berbeda dengan edisi bahasa Indonesia sebelumnya.

Dalam buku itu, kata dia, pihaknya melengkapi dengan peta Kabupaten Mesuji, Register 45, posisi masyarakat Moro Moro dan foto-foto dokumentasi masyarakat Moro Moro. "Kami mencetak 1.000 eksemplar edisi bahasa Inggris," ujar Tri.

Menurut dia, di Hong Kong, buku itu akan dipasarkan dengan harga 100 dolar Hong Kong (Rp118 ribu), dan di Eropa akan dijual 10 Euro (Rp120 ribu).

Penulis buku tersebut, Oki Hajiansyah Wahab, menjelaskan bahwa penerbitan buku edisi bahasa Inggris itu adalah upaya untuk menggalang dukungan bagi keberlanjutan Pos Kesehatan Masyarakat Moro Moro yang dananya diperoleh dari hasil penjualan buku tersebut.

Selain itu, dia berharap buku sederhana itu akan menjadi pengantar untuk memahami apa yang terjadi di Moro Moro di Register 45 Mesuji, Lampung.

Sambutan atas penerbitan buku edisi Inggris disampaikan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Dr. Tisnanta, S.H., M.H. yang menyambut baik penerbitannya.

Doktor yang juga memberikan kata pengantar dalam buku itu  mengungkapkan bahwa sudah sepatutnya masyarakat Moro Moro mendapatkan hak-hak konstitusionalnya mengingat mereka juga warga negara Indonesia.

Rudi, doktor di Fakultas Hukum Unila, lulusan Kobe University Jepang yang beberapa kali menjadi pembahas buku ini berharap isi buku tersebut akan terus dikembangkan sehingga menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Rudi berharap akan semakin banyak lagi penulis yang berani mempublikasikan karyanya di luar negeri.

Lindungi Warga Negara 

Sebelumnya, saat membahas buku "Terasing di Negeri Sendiri" yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Umitra, di Bandarlampung, Rabu (1/8), terungkap benang merah bahasan bahwa konstitusi tidak begitu saja identik dengan konstitusionalisme.

Menurut Rudi, semangat perlindungan seluruh warga negara Indonesia yang ada dalam konstitusi tidak serta-merta berarti otomatis jaminan itu tersedia. Kondisi perlindungan warga negara yang belum berjalan dengan baik itulah yang dialami warga Moro Moro di Mesuji, Lampung, kata dia.

Rudi menggambarkan bahwa negara demokrasi modern, seperti Amerika Serikat, juga membutuhkan waktu untuk mewujudkan apa yang disebut dengan konstitusionalisme itu.

Selaku pembahas buku itu, dia menilai pengabaian hak-hak warga negara seperti yang terjadi di Moro Moro adalah potret belum terinternalisasinya semangat konstitusionalisme di kalangan para penyelenggara negara.

Sementara itu, Andi Surya, politikus yang juga pimpinan Perguruan Tinggi Umitra Lampung menyatakan keprihatinannya atas apa yang dialami oleh masyarakat Moro Moro selama belasan tahun itu.

Dia berharap akan adanya perubahan kebijakan dialami warga Moro Moro itu di bawah kepemimpinan Bupati Mesuji yang baru, Khamamik.

"Saya juga akan mencoba menanyakan kepada Pak Khamamik yang kebetulan dulu rekan saya di DPRD Lampung agar kiranya segera ada solusi yang memadai bagi masyarakat Moro Moro itu," ujar politikus Partai Hanura Lampung itu pula.

Oki Hajiansyah, penulis buku itu, mengungkapkan bahwa penulisannya merupakan bagian dari upaya advokasi dan kampanye terhadap apa yang terjadi dan dialami warga Moro Moro, di samping juga merupakan bagian dari rencana penelitian disertasinya.

Ia berharap buku itu kelak akan menjadi "general knowledge" bagi masyarakat Moro Moro yang berjuang untuk pemenuhan hak-haknya.

Tisnanta, pakar hukum Unila yang hadir dalam acara tersebut mengungkapkan perlu adanya hati nurani dalam menjalankan negara hukum.

Hukum hendaknya membahagiakan bagi rakyat, ujar doktor lulusan Universitas Diponegoro ini pula.

Acara bedah buku yang dimoderatori Adolf Ayatullah Indrajaya, Pemimpin Redaksi Harian Umum Lampung Ekspres Plus ini diikuti oleh kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, organisasi-organisasi mahasiswa yang ada di Bandarlampung, jurnalis, dan berbagai kalangan lainnya.

Menurut Tri Purna Jaya, selaku pihak penerbit, buku "Terasing di Negeri Sendiri" karya mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Diponegoro-Unila ini, selain menerbitkan edisi Inggris berupa buku "Alienated in Their Own Homeland", pihaknya juga merencanakan akan mencetak edisi kedua buku ini yang hampir habis.

Sumber: Antara, 3 Agustus 2012

August 1, 2012

Udo Z Karzi Penyelamat Tradisi Berbahasa Lampung

SOSOK Udo Z Karzi (42), yang terlihat biasa-biasa saja, tidaklah kita menyangka bila penyair yang juga jurnalis ini memiliki sejumlah karya yang mengagumkan banyak orang dan telah dihargai sejumlah lembaga.

Udo Z Karzi (FOTO: ANTARA LAMPUNG/DOK UDO Z KARZI)

"Udo Zul memiliki sesuatu kemampuan yang berakar pada tradisi Lampung, untuk dikembangkan dan tetap dilestarikan," ujar Drs Iqbal Hilal MPd, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila), saat menjadi pembahas buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh karya Udo Z Karzi itu, di Kampus Unila, beberapa hari lalu.

Bedah buku Zul digelar Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Unila, sekaligus acara buka bersama dihadiri Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unila, Prof Dr Sunarto DM SH MH dan sejumlah peserta undangan lainnya, sekitar 70-an orang.

Menurut Iqbal, dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan kolom "Nuansa" karya Zul yang telah dimuat Harian Umum Lampung Post dalam kurun waktu beberapa tahun sebelumnya (2002, 2003, 2004), menunjukkan gambaran siapa penulisnya yang sebenarnya.

Udo Zul adalah sosok yang tajam daya analitisnya, kritis, dan mampu belajar dari berbagai hal yang berkembang di tengah masyarakat, semuanya mampu dituliskannya dengan baik, ujar Iqbal pula.

Kendati tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam tulisan di buku itu merupakan rekaan, menurut Zul yang nama lengkapnya Zulkarnain Zubairi, sebenarnya menggambarkan keberadaan tokoh aktual yang berada di tengah-tengah masyarakat saat ini.

Dia berupaya merekam fakta sosial di sekelilingnya dan permasalahan yang membelit bangsa dan negeri serta daerahnya, untuk dituangkan dalam tulisan, agar menjadi perhatian banyak orang.

"Saya juga mengagumi sejumlah penulis Indonesia yang mampu bersikap kritis dan tajam dalam tulisannya, tapi menyajikannya dengan bahasa dan gaya yang memikat," kata dia.

Zul menegaskan, dalam semua tulisan itu, sebanyak 101 buah tulisan berbagai tema, semuanya menyajikan kondisi faktual fenomena di lingkungan masyarakat baik di Lampung, nasional maupun global.

"Di dalamnya saya selalu bicara tentang nilai-nilai, tentang mana yang baik dan buruk, mana yang jahat dan baik, serta mana yang pantas ditiru atau tidak," ujar bapak dari dua putra itu pula.

Ia juga mengaku tak bisa menjelaskan pada bagian mana dalam karya bukunya itu dinilai banyak kalangan sebagai mengandung kearifan lokal (local wisdom) dan tradisi Lampung.

"Yang jelas, saya menuliskan apa adanya, mengalir saja, dengan penjelmaan digambarkan melalui tokoh-tokoh rekaan itu, ada Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur," ujar dia lagi.

Penerima hadiah sastra "Rancage" dari karya buku kumpulan sajaknya, "Mak Dawah Mak Dibingi" (2008) ini, dinilai sejumlah pengamat dan kritikus sastra sebagai salah satu aset penyelamat tradisi lokal Lampung dalam kepenulisannya.

Dalam kumpulan sajak itu, Zul menuliskan sajak-sajak berbahasa daerah Lampung yang memang dikuasainya selama ini.

"Saya berusaha dan bertekad sekuat tenaga menjadikan bahasa Lampung menjadi tuan di rumahnya sendiri, serta berupaya terus menyebarluaskannya melalui karya tulis maupun lewat media massa tempat saya bekerja," kata dia.

Tekad dan bukti kerja kerasnya selama ini itulah yang mendapatkan pujian dan penghargaan, termasuk meraih penghargaan hadiah sastra Rancage itu.

"Sosok Udo Zul memang langka di Lampung, dan dengan usia yang masih terbilang muda masih sangat diharapkan untuk dapat terus berbuat mempertahankan tradisi lokal Lampung untuk dilestarikan, terutama menyelamatkan dan melestarikan bahasa Lampung agar dapat digunakan sehari-hari sehingga tidak akan punah," kata Adolf Ayatullah Indrajaya, pimpinan Harian Umum Lampung Eskpres Plus, mengomentari karya dan hasil kerja Udo Z Karzi selama ini.

Sumber: Antara, Rabu, 1 Agustus 2012