August 8, 2012

Sarjana Hukum

Oleh Sudarmono


SAYA kenal dia lebih lima belas tahun lalu. Namanya Heri Wardoyo. Tapi, baru tahu kalau dia punya gelar sarjana hukum sejak beberapa pekan lalu, saat melihat baliho Pemilukada Tulangbawang. Saat ini, dia sedang berikhtiar menjadi wakil bupati Tulangbawang berpasangan dengan Hanan A. Razak.

Saya mengenal dia sebagai guru jurnalistik, redaktur, teman diskusi, dan muara terakhir saat buntu. Soal intelektual, siapa yang meragukan. Ketika menjadi penengah diskusi (moderator) ia bahkan kerap terlihat lebih brilian dari narasumber. Saat diminta komentar tentang—hampir semua hal—, ia menjelaskan dengan perinci, detail, dan rasional.

Banyak mahasiswa, aktivis, bahkan demonstran berguru kepada dia. Urusannya juga macam-macam. Dari konsultasi skripsi, minta akses ke tokoh-tokoh, hingga minta tombokan sangu.

Soal akses, teman satu ini memang paling menggurita. Ilmu saat ia menjadi wartawan Tempo tampaknya menjadi jimatnya. Inti ilmu itu adalah; "Bertemu siapa saja, baik jenderal maupun pemulung, catat namanya dan minta nomor kontaknya. Setelah itu, sapalah minimal setahun sekali. Suatu saat, kita akan butuh dia."

Sebenarnya, saya bukan mau cerita soal kehebatannya. Saya hanya merasa abai, mengapa tidak tahu apa gelar kesarjanaannya, jebolan universitas mana, dan berapa IP-nya.

Ini penting supaya ketika menjadi pemandu suatu acara tidak ada yang merasa cedera karena tidak disebut gelarnya. Sebab, sebagian orang begitu merasa gundah jika semua atribut akademik dan keagamaannya tidak disebut. "Biaya kuliah itu mahal, woi!"

Tapi, saya tidak merasa berdosa. Tradisi di tempat saya bekerja memang tidak melihat siapa lulusan apa dan apa gelarnya. Saya tidak tahu alasannya. Jangan-jangan, karena konon pimpinan tertinggi kami cuma lulus SMA?

Yang pasti, di kantor, saya bersahabat dengan orang-orang cerdas, berwawasan, intelek, dan punya visi yang kuat. Analisisnya luar biasa, argumentasinya ilmiah dan cukup komprehensif.

Supaya tidak kultus tidak terkesan menjelang Lebaran, saya harus menyebut nama-nama beken lain. Ada Bambang Eka Wijaya, penjaga Buras. Ada Djadjat Sudrajat yang tulisan refleksinya begitu mencengangkan. Ada Udo Z. Karzi, pemenang hadiah sastra Rancage. Ada Dominikus Widodo, dalang yang memainkan watak serdadu kompi berandal yang rekonstruksinya sangat detail. Dan masih banyak lagi, kalau ada teman yang tidak disebutkan namanya jangan marah. Semua adalah teman saya. Keteledorannya, saya tidak tahu gelar akademik kawan-kawan.

Ah, betapa beratnya kawan-kawan saya yang lain dengan gelar doktor, MM, MH, MT, dan lainnya. Tapi, saya masih ingat dan percaya dengan apa yang diucapkan Heri suatu saat: "Ini Lampung, Lik Dar. Low profile, enggak laku!"


Sumber: Lampung Post, Rabu, 8 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment