May 31, 2012

Nasib Jurnalis Kian Terancam (Bagian II)

Oleh Budisantoso Budiman

KASUS kekerasan dialami para jurnalis yang masih saja terus terjadi, menimbulkan keprihatinan kalangan organisasi pers dan para wartawan di Indonesia.

Berkaitan tindak kekerasan terhadap para jurnalis itu, organisasi pers seperti PWI, AJI maupun IJTI dan komunitas pers di sejumlah daerah mengecam keras, serta menuntut pelakunya untuk diproses hukum lebih lanjut.

AJI Indonesia mengecam berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di Indonesia, dan mendesak pihak berwenang segera mengusut pelakunya, sehingga dapat dihukum secara setimpal.

Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi, dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia, Aryo Wisanggeni G, dalam pernyataan sikap atas kasus kekerasan terhadap jurnalis itu, menyebutkan sejak Januari hingga Mei, telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

Kekerasan terhadap jurnalis itu, menurut Eko, masih terus berulang karena negara juga terus melakukan praktik impunitas terhadap para pelakunya.

Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada Selasa (29/5), saat puluhan oknum prajurit TNI Angkatan Laut di Padang, Sumatera Barat memukuli dan merampas paksa kamera, kaset video, dan memori kamera jurnalis di kawasan Bukitlampu, Kelurahan Sungai Baremas, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang, Selasa.

Aksi kekerasan itu melukai tujuh jurnalis, yaitu Budi Sunandar (jurnalis Global TV), Sy Ridwan (fotografer Padang Ekspres), Jamaldi (jurnalis Favorit Televisi), Andora Khew (jurnalis SCTV), Julian (jurnalis Trans 7), Afriandi jurnalis Metro TV), dan Deden (jurnalis Trans TV).

Para pelaku yang oknum TNI AL itu, juga merusak dan merampas peralatan kerja para jurnalis dimaksud yang sedang melakukan tugas liputan berkaitan penertiban lokasi yang ditengarai tempat mesum di sana.

Diduga, tempat mesum itu selama ini beroperasi dengan "dibekingi" oknum TNI AL di daerah itu.

Pada hari itu, juga terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Jurnalis Harian Kompas, Reny Sri Ayu, dan jurnalis Harian Mercusuar, Moechtar Mahyuddin, saat meliput antrean warga di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Bungku.

Keduanya dikeroyok sejumlah orang yang diduga ikut antre untuk membeli bahan bakar minyak dengan jeriken.

Sebelumnya, pada Senin (28/5), terjadi perampasan kamera jurnalis Batam TV, Bagong Sastra Negara yang meliput kelangkaan bahan bakar minyak di Kota Batam.

Perampasan kamera oleh seseorang berpakaian berseragam mirip tentara itu, terjadi di SPBU Simpang Tobing, Kota Batam.

Pada Rabu (23/5) lalu, jurnalis Harian Bongkar di Lampung, Darwis Yusuf (52), diduga telah dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Utara, Kadarsyah.

Pembacokan itu, diduga terkait pemberitaan Harian Bongkar mengenai dugaan penipuan proyek dan penyalahgunaan anggaran pembuatan kolam senilai Rp3,4 miliar yang terletak di lahan warga di Kecamatan Abung Surakarta, Kabupaten Lampung Utara.

Bahu Darwis mengalami luka dan mendapatkan 23 jahitan, sehingga harus mendapatkan perawatan di RSUD Ryacudu Kotabumi, Lampung Utara.

Kini, Kadarsyah telah menyerahkan diri ke Polres Lampung Utara, namun dia tidak ditahan karena polisi menilai yang bersangkutan kooperatif dan tidak akan melarikan diri.

Rentetan Kasus Kekerasan Menurut AJI Indonesia, kasus-kasus itu melengkapi deretan panjang tindak kekerasan terhadap jurnalis sebelumnya dan sampai saat ini masih saja terjadi di negeri ini.

AJI Indonesia mencatat, sejak Januari hingga Mei 2012 telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Para pelakunya, menurut Eko Maryadi, meliputi oknum polisi (lima kasus), anggota dewan perwakilan rakyat daerah (tiga kasus), pegawai negeri sipil pemerintah daerah (tiga kasus), oknum TNI (dua kasus), organisasi kemasyakatan (dua kasus), organisasi kemahasiswaan (satu kasus), massa/warga (dua kasus), petugas keamanan perusahaan (satu kasus), dan pelaku merupakan orang tidak dikenal (satu kasus).

"Kasus kekerasan terhadap jurnalis selalu berulang, karena negara melalui aparat penegak hukumnya terus melakukan praktik impunitas yang membuat para pelaku tidak tersentuh hukum. Akibatnya, tidak ada efek jera. Semakin lama, orang menjadi semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi," kata Aryo Wisanggeni G, Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia.

Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi, menurut dia, merupakan kelanjutan praktik impunitas dalam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996.

Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan itu, adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), dan Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003).

Kemudian, Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nanggroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra�is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).

"Jika kasus pembunuhan jurnalis saja diabaikan, apalagi kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Jurnalis yang bekerja di bawah ancaman kekerasan akan takut memberikan informasi yang utuh kepada masyarakat. Itu berarti mengancam hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya merugikan jurnalis, tetapi merugikan publik dan setiap warga negara," kata Aryo lagi.

Karena itu, AJI Indonesia mendesak aparat penegak hukum, baik di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia maupun Tentara Nasional Indonesia, untuk menindak para pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

AJI Indonesia menuntut para pelaku itu diadili dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, demi mendorong kesadaran setiap warga negara bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum, kata dia pula.

Menurut informasi, sebanyak 11 oknum marinir yang diduga melakukan tindak kekerasan telah ditahan dan diproses oleh pihak Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) II Padang, menyusul aksi aksi para wartawan setempat ke DPRD Sumbar, Rabu siang.

Di Lampung, PWI setempat juga telah melaporkan kasus dugaan penimbunan BBM bersubsidi diduga dilakukan oknum aparat kepolisian dan marinir, berakibat tindak kekerasan dialami jurnalis dari Bandarlampungnews.com di Kabupaten Pesawaran.

PWI dan AJI Bandarlampung juga telah mendesak pihak kepolisian segera mengusut dan memproses hukum pejabat yang diduga melakukan tindak kekerasan, bahkan sampai melukai jurnalis berkaitan dengan tugas jurnalistik yang dilaksanakan para wartawan di daerahnya itu.

Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama, menyatakan prihatin atas terus terjadi tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, termasuk yang terjadi di Lampung.

Dia berharap, kalangan jurnalis dapat lebih mengedepankan kepatuhan pada Kode Etik Jurnalistik dan mematuhi aturan hukum yang berlaku saat menjalankan tugas sehari-hari, agar tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.

Namun Wakos juga minta, semua pihak dapat menghargai profesi jurnalis dan menghormati Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga setiap kali terjadi dugaan pelanggaran dilakukan para wartawan atau media massa yang merugikan kepentingan para pihak, dapat menggunakan jalur mediasi, memakai hak jawab, menyampaikan somasi, atau mengadukannya ke Dewan Pers untuk diproses lebih lanjut.

"Siapa pun tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan media massa, dengan motif apa pun, tapi bila ada oknum wartawan atau media massa yang dinilai salah atau merugikan, sebaiknya ikuti aturan mekanisme penyelesaian dengan cara yang baik-baik menggunakan hak jawab, menyampaikan keberatan atau somasi, dan atau melaporkannya ke Dewan Pers," kata Wakos lagi.

Dia juga minta pihak lain yang dirugikan oleh ulah oknum wartawan maupun mereka yang mengatasnamakan wartawan, tapi melakukan tindakan pengancaman, bahkan meminta sejumlah uang atau fasilitas, atau memeras narasumber dan pihak lain, hendaknya tidak ragu dan tak perlu takut untuk melaporkannya kepada pihak kepolisian agar dapat diproses hukum lebih lanjut.

"Wartawan yang melakukan pengancaman, minta uang dan fasilitas tertentu atau memeras, bukanlah jurnalis profesional sehingga tidak bisa berlindung di balik kebebasan pers maupun UU Pokok Pers. Mereka harus diproses oleh polisi karena telah melanggar hukum," ujar Wakos.

Kalangan advokat di Lampung juga mengingatkan pimpinan media massa, organisasi pers maupun jurnalis, agar ketika menghadapi kasus sebagai korban tindak kekerasan itu, tidak mudah begitu saja diajak pihak pelaku untuk berdamai, tanpa kejelasan penyelesaian hukum atas kasus kekerasan itu.

Bila setiap tindak kekerasan nonfisik, fisik, apalagi sampai melukai dan mencederai, bahkan membunuh wartawan, dibiarkan berakhir damai--atau cenderung diabaikan penyelesaian hukumnya--hampir pasti kasus kekerasan terhadap para jurnalis itu masih akan terus terjadi dan terjadi lagi.

Profesi jurnalis kendati sudah 14 tahun menghirup iklim kebebasan pers pada era reformasi di negeri demokratis ini, kenyataannya tetap berisiko tinggi.

Para jurnalis yang menjadi mata dan telinga untuk publik itu, terus saja menghadapi berbagai ancaman dari pihak lain yang tidak menyukai pers yang merdeka, independen, objektif dan kritis.

Pelaku kekerasan terhadap pers, bisa saja individual atau "sekelompok" orang (oknum) dari institusi tertentu yang biasanya memiliki kekuatan kekuasaan, uang atau massa.

Nasib sebagai jurnalis di negeri ini, masih tetap akan dibayang-bayangi ketakutan atas ancaman menjadi korban tindak kekerasan, entah sampai kapan akan dapat berakhir. 

Sumber: Antara, Kamis, 31 Mei 2012

Nasib Jurnalis Kian Terancam (Bagian I)

Oleh Budisantoso Budiman
  
ANCAMAN hukuman pidana maksimal dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta, bagi siapa pun yang menghalangi tugas pers, ternyata tak begitu saja menghalangi para pelaku tindak kekerasan terhadap para wartawan.

Sanksi pidana dan denda yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers itu, nyatanya belum sepenuhnya mampu menghentikan tindak kekerasan dilakukan kepada para pewarta atau jurnalis di negeri ini.

Kenyataannya, masih banyak pihak tetap memilih jalan kekerasan, untuk menyelesaikan urusan dengan kalangan pers dan para jurnalis yang dianggap telah merugikan kepentingannya, mencemarkan nama baiknya atau melakukan penghancuran karakter itu.

Kecenderungan tindak kekerasan (baca: penganiayaan) yang marak dialami para jurnalis di Indonesia itu, membuat seorang pengurus organisasi profesi pers mempertanyakannya.

Apakah pihak yang melakukan kekerasan kepada jurnalis itu, adalah memang "preman" yang terbiasa memilih jalan kekerasan fisik dan memakai senjata tajam, bahkan senjata api (untuk melukai, membacok, dan menembak jurnalis)?.

Padahal tersedia dan terbuka mekanisme penyelesaian dengan cara terpuji dan baik-baik terhadap hasil kerja jurnalis di media massa yang dianggap merugikan pihak lain, yaitu menggunakan hak jawab dan kewajiban pers untuk memuat serta mengoreksi kekeliruan atas pemberitaan tersebut.

"Bila tidak juga ditanggapi oleh media massa bersangkutan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan keberatan berupa somasi, dan atau mengadukannya ke Dewan Pers untuk memediasi persoalan itu," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung, Wakos Reza Gautama pula.

Namun dalam dialog menyoal "Kekerasan Jurnalis: antara Penguatan Etika dan Penegakan Hukum" yang diikuti pimpinan media massa, pimpinan organisasi pers, wakil rakyat/partai politik, praktisi hukum, praktisi pers, ormas dan LSM di Bandarlampung, belum lama ini, menyikapi kejadian rentetan kasus kekerasan terhadap jurnalis itu, pers dan para wartawan kembali diingatkan untuk tetap patuh menjalankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Pers dan jurnalis diingatkan untuk selalu menulis secara objektif, akurat, benar, dan berimbang, serta mengindahkan hak narasumber dan para pihak di dalamnya (cover bothside).

"Biasanya jurnalis dan media massa di daerah menjadi kurang peka dengan hak narasumber, sehingga kerap mengabaikan konfirmasi yang diperlukan sesuai aturan Kode Etik Jurnalistik," ujar Oyos Saroso HN, jurnalis The Jakarta Post di Lampung.

Mantan Ketua AJI Bandarlampung yang juga salah satu saksi ahli kasus pers di Lampung, menyatakan bahwa sejumlah tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis antara lain dipicu oleh pemberitaan yang dirasakan narasumber dan pihak lain sebagai kurang objektif, kurang akurat, dianggap tidak benar maupun merugikan hak narasumber yang diberitakan.

"Biasanya itu menyangkut pemberitaan dugaan korupsi dan penyimpangan yang terjadi diduga melibatkan narasumber bersangkutan," kata dia pula.

Ulah Oknum Wartawan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Lampung, Supriyadi Alfian, mengakui setiap hari selalu dibikin repot atas pengaduan dari berbagai pihak atas ulah oknum wartawan atau mereka yang mengaku sebagai wartawan di daerahnya.

Menurut pimpinan "Bandarlampungnews.com" itu, setiap hari hampir pasti selalu menerima beberapa pengaduan via telepon berkaitan perilaku kurang terpuji dari oknum wartawan atau mereka yang mengaku sebagai wartawan, dari berbagai pihak, seperti dari para kepala sekolah atau aparatur pemerintahan dan pihak lain di Lampung.

Dia juga menilai, umumnya wartawan muda dan media massa baru di daerah ini cenderung mengabaikan kepatuhan pada kode etik, sehingga kerapkali menimbulkan keluhan dan keberatan pihak lain yang merasa dirugikan.

"PWI Lampung juga banyak menerima pengaduan ulah oknum wartawan atau mereka yang mengatasnamakan wartawan yang melakukan pemerasan," kata dia pula.

Kendati telah ada kesepahaman bersama (MoU) antara Dewan Pers dengan Kapolri berkaitan penyelesaian dugaan tindak pidana akibat pemberitaan pers, menurut dia, kesepakatan itu lebih berkaitan penanganan atas hasil karya jurnalistik yang dipersoalkan pihak lain, bukan tindak pidana pengancaman atau pemerasan yang dilakukan oleh oknum wartawan.

Dalam kesepahaman itu, diatur antara lain bahwa atas laporan dugaan tindak pidana berkaitan pemberitaan pers yang diterima, penyelesaiannya dengan mendahulukan UU Pers, sebelum menggunakan undang-undang lainnya.

Bila Kepolisian RI (Polri) menerima pengaduan hukum soal pemberitaan pers, dalam proses penyelidikan dan penyidikan dengan berkonsultasi kepada Dewan Pers yang kemudian memberikan kajian dan saran pendapat secara tertulis atas kasus pengaduan kepada pihak kepolisian, untuk menyatakan adanya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik atau tidak.

"Tapi kalau ada oknum wartawan mengancam memberitakan sesuatu dan meminta uang maupun fasilitas tertentu, dan atau mengancam, sebaiknya segera laporkan saja kepada pihak kepolisian untuk diproses hukum lebih lanjut, tidak bisa seenaknya berlindung di balik ketentuan kesepakatan dimaksud," ujar Ketua AJI Bandarlampung, Wakos Reza Gautama pula. 

Sumber: Antara, Kamis, 31 Mei 2012

May 27, 2012

[Buku] Hikayat yang Menuturkan Asal-Usul Mitologis


Data buku

Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Muhammad Harya Ramdhoni. Koekoesan, Depok, April 2012. v + 100 hlm.


SETELAH berhasil mencuri perhatian kita melalui novel debutannnya Perempuan Penunggang Harimau (BE Press, 2011), Muhammad Harya Ramdhoni (MHR) kembali hadir bersama segabung cerpennya Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (Penerbit Koekoesan, April 2012) yang memuat sembilan cerpen. Orang [di] Lampung tentu saja lebih karib dengan nama Buway Lapah di Way atau Buway Bejalan di Way untuk frasa “Orang-orang yang Berjalan di Atas Air” yang tercantum pada titel buku, yaitu satu di antara paksi (kesatuan beberapa kerabat di masa kekuasaan Banten) Sekala Brak dalam masyarakat adat Lampung Sai Batin (Pesisir) di Lampung Barat yang memerintah daerah Kembahang dan Balik Bukit dengan Ibu Negeri Puncak.

Melalui segabung cerita ini, sejatinya MHR ingin menuturkan asal-usul mitologis buay-nya (keturunannya) seperti terpantul dari cerpen “Kitab Nyeghupa,” “Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air,” “Sesiah Terakhir,” “Ikhau,” “Tambo Kuno dalam Lemari Tua,” “Riwayat yang Ditutukan oleh Hembusan Angin.”

Namun, pada dua cerpen selebihnya, MHR menggubah cerita yang diangkat dari realitas historis-biografis seperti terpantul pada cerpen “Firasat Bu Lik Koem,” dan “Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak-Sepancar.” Sementara pada cerpen “Tentang Seorang Lelaki yang Mati Tertimpa Tembok” yang berupa cerpen mini (short short story), MHR bercerita tentang tokoh Mat Top, seorang lelaki pendurhaka.

Dua cerpen yaitu “Kitab Nyeghupa” dan “Kitab Hikayat Orang-orang yang berjalan di Atas Air” mengambil bentuk hikayat, yaitu jenis cerita rekaan yang menggambarkan keagungan dan kepahlawanan. Cerpen “Kitab Nyeghupa” bertutur tentang Umpu Nyeghupa alias Imam Maulana ibn Maulana Yamiza Rahmat, satu di antara Perserikatan Paksi Pak [Maulana Bersaudara] bersama-sama dengan Pernong, Belunguh, dan Lapah di Way.

Sebagai pelayan di rumah Ratu Sekeghumong, Nyeghupa muda tak hendak menuruti perintah Pangeran Umpu Betawang untuk memanggang babi kesukaaannya, dan sebagai penggantinya dia memasak daging sapi, karena babi hewan yang diharamkan. Hal ini menimbulkan kemarahan Pangeran Umpu Betawang, yang menimbulkan dendam kesumat pada diri Nyeghupa, sehingga ketika memasak sup kepala kerbau untuk pangeran congkak itu dia mencampurnya dengan getah beracun sebukau pohon melasa kepappang serta bisa kalajengking hitam dan empedu kecing hutan. Maka, Pangeran Umpu Betawang pun tewas. Perbuatannya itu memaksa dia bersama ayahnya harus meninggalkan lamban dalom (istana) itu dan menjadi buronan, dan itu berarti menggagalkan misi dakwah mereka di istana Sekala Bhga.   

Cerpen “Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air” bertutur tentang Dr. Erik Liber Sonata yang menjadikan kitab yang tersimpan di Perpustakaan School of Oriental and Africa Studies University of London itu sebagai kajian disertasinya.

Dalam perjalanan menuju Liwa di atas kendaraan yang dikemudikan oleh Jamauddin sepupunya dia terus membaca kitab itu hingga halaman terakhir. Kedatangannya ke sana untuk mencari pembenaran perihal kitab kuno itu dari mulut para tetua adat Sai Batin Paksi Buay Lapah di Way di Kembahang. Di daerah Sumber Jaya, mobil mereka dicegat oleh selusin lelaki  dengan senjata api di tangan yang meminta paksa menyerahkan salinan kitab itu dan mengancam akan membenamkan Erik dan sepupunya di Danau Ranau. Di antara selusin lelaki itu terdapat  seorang lelaki bermata sipit yang ternyata keturunan Ratu Sekeghumong (yang merupakan musuh Umpu Lapah di Way, leluhur Erik) dari garis Pangeran Kekuk Suik yang bermaksud membakar kitab yang dirampasnya dari tangan Erik itu seraya berkata, “Masih ada satu lembar lagi. Kau mencari ini bukan? Halaman terakhir kitab Lapah di Way…” Dia mendapatkan halaman terakhir itu dari Perpustakaan Henry Sang Navigator di Portugal. Dia sendiri sudah bertahun-tahun memburu kitab itu, kitab “yang telah merenggut kesetiaan rakyat dari bawah duli kekuasaan Puyang Dalom Ratu Sekeghumong disebabkan keahlian ilmu mistik nenek moyangmu” (hlm 22).

Saat Erik dan sepupunya dilemparkan ke Danau Ranau, sesosok tubuh berpakaian dan bersorban putih muncul dari arah barat Danau Ranau. Ia berlari di atas air! Sosok misterius itu dengan ringannya menangkap tubuh Erik dan Jamauddin kemudian menaruh mereka di pinggir danau. Sosok itu tak lain adalah Maulana Bahruni Ibn Maulana Yamiza Rahmat alias Umpu Lapah di Way. Lalu Umpu Lapah di Way mengajarkan Erik berjalan dan berlari di atas air dan membacakan isi halaman terakhir kitabnya yang berbunyi, “Kebersihan jiwa setiap pengikut Jalan Yang Lurus adalah mutlak sebelum memasrahkan diri kepada Allah dan mengamalkan isi kitab Lapah di Way, Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air.”

Pada cerpen “Sesiah Terakhir” dan “Riwayat yang Dituturkan oleh Hembusan Angin” yang menampilkan tokoh perempuan yaitu Seperdu dan Sekeghumong, MHR masih berpandangan bias gender dan patriarkhis dalam hal relasi suami-istri dan/atau lelaki-perempuan, dan karenanya perlu dilakukan kritik sastra feminis. Kita kutip ucapan Seperdu, “Bawalah sikindua pergi, Pun Beliau. Sikindua akan membaktikan seluruh hidup dan jiwa hanya untuk Pun Beliau seorang. Terimalah bakti seorang istri kepada suami. Semoga dewa-dewi merestui perkawinan ini.” (hlm 34-35) Pernyataan ini bias gender karena tidak mendudukkan istri dalam posisi yang setara dengan suami. Seolah-olah hanya pihak istri yang mesti berbakti kepada suami, namun tidak sebaliknya. Di sini saya ingin memperkenalkan nilai baru yang setara dan adil gender seperti digagas pasangan Kate-Williams dari Kerajaan Inggris yang di dalam janji perkawinan mereka justru bertekad untuk saling menjaga di antara mereka, seraya mencampakkan nilai lama yang meminta istri berbakti kepada sang suami. 

Begitu pula pada cerpen ”Riwayat yang Dituturkan oleh Hembusan Angin” terdapat pernyataan bias gender berikut ini, “Ajaran Jalan Yang Lurus tak membenarkan perempuan sebagai pemimpin!” ujar lelaki tua itu dengan kesombongan yang tak berkurang sedikit pun.” (hlm 92) Benarkah menurut agama Islam perempuan tak boleh menjadi pemimpin? Sikap demikian hanyalah pantulan dari fiqih lama yang mesti didekonstruksi.

Menurut K.H. Husein Muhammad, kiai-feminis dari Ponpes Arjawinangun Cirebon, perempuan boleh menjadi pemimpin publik dan bahkan menjadi imam salat. Hal itu didasarkan atas penyelidkannya QS an-Nisa [4]: 34, yang harus dipahami sebagai bersifat sosiologis dan kontekstual. Kehebatan intelektual dan profesi menurut Husein adalah dua hal yang menjadi syarat bagi sebuah kepimpinan dalam berbagai wilayahnya, domestik maupun publik. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi publik, termasuk menjadi presiden.

Terhadap hadis Nabi yang menuturkan tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan, KH Husein menyatakan bahwa hal itu sebuah informasi yang disampaikan Nabi Saw semata, dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum. Tegasnya, hadis ini tidak memiliki relevansi hukum. Husein Muhammad lebih jauh menuturkan bahwa hadis ini harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus, dalam arti bahwa hadis tersebut lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu yang kepemimpinannya boleh jadi bersifat sentralistik, tiranik, dan otokratik.

Demikian pula kepemimpinan perempuan dalam salat. Menurut Husein Muhammad (2007: 37-44), terdapat pandangan yang menyatakan keabsahan imam perempuan yang juga didukung oleh hadis Nabi Saw tentang Ummu Waraqah. Ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salam menyimpulkan dari hadis Ummu Waraqah ini bahwa mereka yang menjadi makmum Ummu Waraqah adalah laki-laki dan perempuan. Sebab, secara eksplisit (menurut lahiriahnya) hadis ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya. Untuk menyebut contoh kontemporer imam perempuan adalah Amina Wadud yang menjadi imam untuk salat Jumat di Amerika Serikat.

Cerpen “Tambo Kuno dalam Lemari Tua” adalah sebuah cerpen indah yang menuturkan kebahagiaan sebuah keluarga kaya beranak lima. Teknik membuka, mengembangkan dan mengakhiri yang dilakukan MHR secara piawai merupakan nilai yang perlu diacungi jempol buat cerpen ini. Kebahagiaan keluarga itu terusik oleh kehadiran Tambo kuno yang menyatakan bahwa suami-istri itu berasal dari dua keturunan yang saling bermusuhan dan berbunuhan. Sang suami adalah keturunan Pangeran Umpu Betawang, suami Ratu Sekeghumong, sedangkan sang istri keturunan Lapah di Way. “Ada bara tersimpan dalam sekam selama kehidupan perkawinan Ayah dan Ibu. Api dalam sekam berusia nyaris satu milenium,” tutur putri bungsunya sepeninggal mati ayah-ibunya.

Secara umum, gaya bertutur MHR berkualitas prosa lirik. MHR benar-benar mementingkan bagaimana bisa bertutur secara memikat dan berhasil menjangkau langit sastrawi seperti dimaksudkan Danarto dalam penulisan cerpen-cerpennya. Namun, sayangnya, di tengah penuturan nan memikat itu, MHR abai dalam kerapian berbahasa.

Cerpen-cerpen MHR terutama pada enam cerpen yang menuturkan asal-usul mitologis membubuhkan warna lokal (warna tempatan, corak setempat), yaitu penggambaran corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakaian bahasa/kata-kata daerah yang bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat. Ini tampak misalnya pada kata-kata daerah sikindua (saya), sikam (saya), sesiah (kencan), benatat (beruk), semanda, ikhau, ka ga nga, tabuh canang, putri dalom, pepadun (singgasana), akan (ayah), pun (kakak lelaki tertua), jurai lurus (keturunan langsung), pekon (kampung), dan lain-lain.

Cerpen “Penembak Misterius di Seberang Front Kemelak-Sepancar” berkisah tentang penembak jitu Pauline Gobee, seorang gadis berdarah Indo-Belanda, yang bergabung dengan Tentara Republik dalam pertempuran di Kemelak-Sepancar, Baturaja pada 17 Agustus 1947 melawan tentara NICA. Bersama Moeis, dia ditugasi Kolonel Ahmad Wahab untuk menembak mati penembak misterius dari tentara NICA yang telah menembak mati beberapa mata-mata tentara republik. Alhasil, Pauline berhasil menembak mati sang penembak misterius, namun ternyata penembak misterius yang dibunuh Pauline Gobee adalah seorang lelaki Indo-Belanda kekasihnya sendiri.” (hlm 72) Sungguh sebuah akhir yang mengejutkan! Melalui cerpen ini yang dipersembahkan kepada almarhum kakeknya Hi. Abdoel Moeis (1930-2003) – yang tak lain adalah tokoh Moeis -- MHR berhasil memotret sisi manusiawi sebuah perang. 

Cerpen “Firasat Bu Lik Koem” menuturkan tentang tokoh Untung yang tercatat dalam sejarah kontemporer Indonesia sebagai salah seorang tokoh yang berperan dalam Gerakan 30 September [Gestapu] atau Gerakan Satu Oktober [Gestok] (1965) yang membunuh para jenderal. Cerpen ini mengangkat sisi manusiawi tokoh Untung yang mencintai Tutik, gadis belia awal dua puluhan, mahasiswi sebuah sekolah kebidanan negeri di Solo. Saat itu, Untung berusia pertengahan tiga puluhan, seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat mayor. Cinta mereka yang tumbuh berkat witing tresno jalaran soko kulino (cinta bermula dari kebiasaan) terputus di tengah jalan karena lamaran Untung ditolak oleh Bu Lik Koem, yang bersama suaminya Pak Lik Tanto, mengasuh Tutik sejak kecil tanpa pamrih.

Bu Lik Koem memiliki firasat tajam bahwa Untung bin Syamsuri bukanlah pria baik-baik dan berolok-olok bahwa nama Untung justru bermakna ‘buntung.’ “Ke mana perginya sikap welas asih-mu, Mas? Mengapa bertukar wajah menjadi pembunuh biadab?” gumam Tutik terdengar lirih ketika putusan hukuman mati terhadap Untung diumumkan secara nasional. (hlm 62) “Nama itu tak seberuntung nasib dan kisah hidupnya yang tragis,” tulis MHR di akhir cerpen (hlm 62); yang mempersembahkan cerpen ini kepada bibinya, almarhumah Bu Dhe Hastoeti Soekirno.

Jika cerita pendek dimaksudkan untuk memberikan kesan tunggal, maka membaca cerpen “Tentang Seorang Lelaki yang Mati Tertimpa Tembok” saya justru tidak beroleh kesan tunggal yang dominan karena MHR mengacaukan antara tokoh Mat Top dengan tokoh pemuda. Begitu pula saya tidak menemukan tikaian dramatik, yang justru merupakan inti cerita pendek.

Akhirnya, pembaca juga bisa menempatkan kumpulan cerpen ini, terutama untuk enam cerpen yang menuturkan asal-usul mitologis, sebagai post scriptum atas novel Perempuan Penunggang Harimau karya MHR. Karena narasi yang diusung keenam cerita itu sangat bertalian dengan pokok-soal PPH dan juga dapat menjadi semacam penjelasan lebih jauh atas novel itu.[]

Iwan Nurdaya-Djafar, pembaca buku

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Mei 2012


May 25, 2012

Indepth Publishing Segera Terbitkan Menulis dengan Telinga

TRIBUNLAMPUNG.co.id - Gairah kepenulisan di Lampung terus bergeliat. Manager Indepth Publishing Tri Purna Jaya menyatakan dalam waktu dekat Indepth kembali menerbitkan beberapa buku,di antaranya buku Menulis dengan Telinga karya Adian Saputra yang berisi seluk-beluk dunia kepenulisan dan juga buku berjudul Terasing di Negeri Sendiri dan Kritik atas pengabaian hak-hak konst itusional warga Register 45 karya Oki Hajiansyah Wahab,mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Undip.

Tri menjelaskan kedua buku tersebut dalam proses pencetakan dan tak lama lagi akan beredar. Beberapa naskah lain juga tengah dalam proses editing seperti karya Ketua Komisi Informasi Lampung Juniardi dan Sugeng Dwiono yang akan menerbitkan buku keduanya.

Tri berharap, kehadiran Indepth Publishing akan membantu penulis-penulis di Lampung untuk menerbitkan karyanya. "Dengan biaya yang tidak terlalu besar penulis bisa menerbitkan bukunya sesuai dengan kemampuan finansialnya,dan jangan lupa,buku mereka juga akan mendapatkan ISBN," ujar Tri seraya berpromosi, Jumat (25/5). (Wakos)

Sumber: Tribun Lampung, Jumat, 25 Mei 2012

May 23, 2012

Pentas Teater: Getir Petani di Negeri Agraris

BANDAR LAMPUNG—Begitulah, kehidupan ternyata dengan sangat mudahnya berputar sedemikian rupa. Industrialisasi dan penjajahan—lebih tepatnya keterjajahan dari—asing mengubah 180 derajat sebuah keluarga petani kaya dengan lahan luas dan uang berlimpah menjadi petani miskin yang serbakekurangan.

‘ANAK YANG TERKUBUR’. Teater Satu yang mementaskan Anak yang Terkubur karya Sam Shepard di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Selasa (22-5). Lakon yang disutradarai Iswadi Pratama ini mengisahkan proses pemiskinan keluarga petani karena industrialisasi dan penguasaan asing. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Menonton pentas Teater Satu yang melakonkan Anak yang Terkubur karya Sam Shepard di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL) seakan menyaksikan realitas sosial yang terjadi di negeri ini saat ini. Iswadi Pratama, sang sutradara, berhasil mengadaptasi naskah dramawan Amerika Serikat (AS) Sam Shepard berjudul asli Buried Child yang meraih Hadiah Pulitzer untuk drama tahun 1979 ini menjadi sangat Indonesia.

Di tangan Iswadi, lakon ini terasa lebih mengedepankan sisi kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer. Kehidupan petani dan pertanian semakin termarginalkan dari negeri yang dikenal sebagai negara agraris.

Lakon ini sudah diubah sedemikian rupa dengan berbagai penyesuaian dan dilatarbelakangi sisi kehidupan yang ada di Provinsi Lampung. Dikisahkan, sebuah keluarga petani kaya yang kaya. Keluarga petani tersebut mempunyai lahan pertanian yang luas dan menghasilkan uang yang melimpah. Namun, disebabkan adanya sistem industrial, perekonomian yang berbasis pertanian yang dimiliki keluarga tersebut mengalami pergeseran. Lama-kelamaan kehidupan keluarga petani ini semakin miskin dan jauh dari kehidupan sebelumnya.

Ketika ada perkebunan karet yang dikuasi asing masuk, kehidupan keluarga ini pun berubah yang tadinya petani kaya menjadi sederhana. Lakon ini juga menceritakan tentang keluarga beserta anak-anaknya yang hancur dan istrinya melakukan kawin kontrak dengan orang asing, yang tak lain dan tak bukan sebagai penguasa dari lahan pertanian sekarang.

Anak yang Dikubur menyajikan sisi transendental atau lakon yang berbau magis. Dikisahkan, sebuah keluarga petani yang mendapatkan hasil pertanian, tetapi hanya sebagian yang tahu di mana salah satu keluarga tersebut mendapatkannya.

Misalnya, di dalam lakon itu ada cerita bagaimana anak petani mendapatkan jagung, tetapi di sekeliling rumah petani itu sudah tidak ada lagi pohon jagung. Tentu, ini jadi pertanyaan orang tuanya.

Apabila lakon ini dibandingkan dengan kondisi saat ini, lebih menonjolkan pada sisi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Lampung, yang masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencariannya. Namun, dari tahun ke tahun, lahan pertanian yang dimiliki hilang dan ada yang dijual.

Melalui akting Budi Laksana yang memerankan Alfian, petani kaya tetapi kemudian jatuh miskin, Ruth Marini (Haidar, istri Alfian), Desi Susan (Tea Herawati, anak), dan aktor-aktor Teater Satu Lampung lainnya kita ikut larut dalam suasana buram masa depan petani dan pertanian negeri ini.

Ketika para petani dalam lakon ini beralih profesi, tetapi tidak berhasil sebagaimana hasil dari pertanian yang didapat sebelumnya. Lakon ini menyiratkan gugatan tentang pemerintah yang menggalakkan pertanian, tetapi kebijakan yang dikeluarkan justru tidak relevan dengan pembangunan pertanian atau sosial ekonomi pertanian.

"Kami tidak hanya ingin memberikan tontonan yang menghibur, tetapi ada sebuah kritikan dari penonton atau masyarakat terhadap kehidupan pertanian saat ini. Kebijakan sosial ekonomi pertanian sekarang yang dilakukan pemerintah apakah sudah tepat?" kata Iswadi seusai pentas.

Lakon ini akan diusung Teater Satu Lampung ke Festival Naskah Terjemahan di Salihara, Jakarta, 22—23 Juni mendatang. (RICKY P. MARLY/U-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 Mei 2012

May 20, 2012

[Buku] Agar Tidak Memahami Hukum secara Sempit

Data buku


Progresivitas Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Menegakkan Keadilan Substantif. Sugeng Dwiono. Indepth Publishing, Bandar Lampung, Mei 2012. xv + 80 hlm.


HUKUM memang identik dengan keadilan. Namun, sering hukum dirasakan tidak adil. Ketika maling ayam bisa dihukum dengan mudah, sementara koruptor tidak tersentuh hukum, maka hal itu dinilai tidak adil. Terlebih, penegak hukum yang mengusut perkaranya diketahui menerima suap. Makin lengkaplah ketidakpercayaan kita terhadap hukum.

Berbicara masalah keadilan memang mudah diucapkan, namun sangat sulit untuk dilaksanakan. Apalagi, dapat dirasakan dan diterima seluruh lapisan masyarakat. Seolah-olah apa yang dibilang orang bahwa hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas ada benarnya.

Istilah itu biasanya menimpa orang-orang kecil. Misalnya, kasus Nenek Minah yang mengambil tiga buah kakao atau seorang ibu yang memetik daun singkong di kebun orang lain. Sang hakim menjatuhkan vonis karena menilai keduanya melanggar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Perbuatan mereka dipandang memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam KUHP. Dengan kata lain, tindakan yang mereka lakukan sesuai dalam undang-undang (UU). Dalam hal ini, hukum dipandang secara sempit.

Artinya, penegak hukum hanya berpatokan pada prosedur hukum formal. Hakim tak lebih dari corong suatu UU. Di sini, penegak hukum semata-mata mengejar kebenaran prosedur. Mereka tidak peduli apakah kebenaran prosedur itu telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Padahal, hukum tidak berdiri sendiri. Artinya, proses hukum mempunyai konsekuensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, esensi keadilan adalah memberikan manfaat bagi hubungan manusia.

Buku ini mengajak kita supaya tidak memahami hukum secara sempit. Sang penulis, Sugeng Dwiono, membahas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberi contoh dalam memahami hukum secara luas. MK sebagai lembaga yang dibentuk untuk menjaga konstitusi telah banyak melakukan terobosan yang menyedot perhatian publik. MK, misalnya, berani memutar rekaman pembicaraan antara Anggoro dengan oknum penegak hukum dalam dugaan rekayasa kasus Bibit Slamet Riyanto dan Candra Hamzah, keduanya waktu itu menjabat sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terobosan MK lainnya, mengizinkan warga yang belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) dan paspor untuk memberikan hak pilihnya pada Pemilu 2009. Dalam konteks ini, hakim MK mencari, menggali, dan menemukan hukum. Lembaga peradilan yang dibentuk pada 2003 itu tidak hanya bergerak dalam kebenaran prosedur, tapi berusaha memenuhi keadilan substantif.

Munculnya keinginan untuk mewujudkan keadilan substantif karena adanya kekakuan-kekakuan dalam sistem hukum modern yang memiliki ciri-ciri mengutamakan kepastian, prosedural, dan melindungi hak asasi manusia (HAM). Sehingga, secara tidak langsung keadilan hanya berdasarkan konsep hukum positif, yakni hanya mengedepankan kepastian dan kebenaran prosedural.

Selain kewenangan MK, buku ini pun membahas penemuan hukum oleh hakim. Dalam upaya menemukan hukum, para hakim dituntut merespons kehendak masyarakat, yakni terciptanya keadilan sebagai tujuan hukum. Keadilan yang dimaksud yaitu mengembalikan hakikatnya hukum itu bukan hanya sekadar mengatur manusia, melainkan hukum untuk manusia. Dengan demikian, dibutuhkan para hakim yang berani dan progresif, bukan semata-mata berdasarkan pada teks UU.

Karakter hukum progresif sendiri menghendaki kehadiran hukum terkait dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya. Sedangkan salah satu persoalan krusial dalam hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang membebaskan.

Sebab itu, penulis buku ini berusaha mengembalikan filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Artinya, hukum bertugas melayani manusia, bukan menusia melayani hukum. Sebab, hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.

Adapun masyarakat sebagai objek dari penerapan hukum harus memperoleh kemanfaatan dari pemberlakuan hukum. Dengan begitu, hukum tidak represif. Dalam tipe tatanan hukum represif, hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan yang memiliki kewenangan diskresionir tanpa batas. Sedangkan dalam tipe hukum represif, hukum negara dan politik tidak terpisahkan. Artinya, aspek instrumental dari hukum lebih dominan dan menonjol dibandingkan akspek ekspresifnya.

Buku ini juga memaparkan hubungan antara hukum dan kekuasaan. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pemerintahan Indonesia awalnya berjalan secara demokratis, aspiratif, dan baik. Namun, seiring perjalanan waktu, pemerintahan tersebut berubah menjadi otoriter bahkan cenderung korup. Hukum tidak lagi menjadi panglima keadilan dan menegakkan kebenaran. Lebih dari itu, penguasa menjadikan hukum sebagai alat kekuasaannya.

Buku setebal 80 halaman ini semakin lengkap karena membahas perkembangan tradisi negara hukum. Sang penulisnya menjelaskan sistem hukum masing-masing negara termasuk sistem hukum yang diterapkan Indonesia. Dengan begitu, pembaca akan mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai sistem hukum dibelahan negara lain. Buku ini layak dibaca mahasiswa, advokat, dan jurnalis yang biasa meliput persoalan hukum dan ketatanegaraan.

Hendry Sihaloho, pembaca buku, alumnus Fakultas Hukum Unila

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Mei 2012

May 19, 2012

Kesenian: TBL Gelar Tari Kontemporer dan Teater

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Taman Budaya Lampung (TBL) menggelar Pertunjukan Tari Kontemporer menampilkan Grup Pandoraimaji pimpinan Ari Ersandi, alumnus ISI Yogyakarta, pada 19 Mei 2012, pukul 15.30, dan Teater Satu Lampung pada 22 Mei 2012, pukul 15.30.

Pandoraimaji akan mengusung empat repertoar, masing-masing bertajuk Pintu, Mukyu, R..., dan Pandora yang seluruhnya dikoreografi oleh Ari Ersandi.

Pementasan ini didukung para penari Ari Ersandi, Anggoro, Abdurrohim, Andre Narully, Mega Lestari, Hendy Herdiawan, Ba'bam, dan Ikhsan Bastian. Pemusik, yakni Hari Lempong, Yoga supeno, Gana Nofiardy, Harry Glend, Anok, dan Atin.

Keempat repertoar karya Ari akan mengetengahkan persoalan ruang, waktu, dan tubuh dalam konteks tari. Sebagai koreografer muda asal Lampung, Ari telah banyak terlibat dengan berbagai karya tari besutan maestro tari sekelas Miroto.

Dia pun telah beberapa kali tampil dalam event internasional. Dengan latar belakang pengalaman itu, empat repertoar karya Ari ini diharapkan akan mampu memberikan kesegaran dan inspirasi bagi dunia tari di Lampung yang belum banyak berkembang.

Sedangkan Teater Satu kali ini mengetengahkan karya teater realis asal pengarang Amerika. Lakon Anak yang Dikuburkan ini berkisah tentang hancurnya kehidupan seorang keluarga petani akibat industrialisasi dan hilangnya lahan-lahan pertanian.

Selain itu, lakon yang telah diadaptasi dalam konteks kultur dan geo-politik masyarakat Lampung ini juga membedah persoalan identitas dan keterasingan.

Pementasannya sendiri dikemas dalam bentuk realism dan didukung aktor-aktor utama Teater Satu; Ruth Marini, Budi Laksana, Desi Susan, Vita Oktaviana, Baysa Deni, Raras Shinta, dan aktor-aktor muda, seperti Budi Bucek dan Maulana Gandhi.

Dengan menampilkan dua pertunjukan tersebut, TBL berharap kegiatan yang merupakan implementasi dari program Peningkatan dan Pengembangan Seni Pertunjukan ini dapat memberikan sajian karya berkualitas dan mampu menggairahkan dunia pertunjukan di Lampung. (ZUL/K-2)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Mei 2012

Bahasa Daerah: Setiap Jumat, PNS Pemprov Wajib Berbahasa Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Setiap hari Jumat, pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemprov Lampung wajib menggunakan bahasa Lampung.

Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekprov Lampung Relliyani Rusdi menjelaskan keharusan menggunakan bahasa Lampung bagi pegawai Pemprov merupakan salah satu upaya pemerintah melestarikan budaya dan bahasa Lampung.

"Kita lihat sekarang, bahasa di Lampung sudah mirip Jakarta. Tidak ada logat dan bahasa Lampungnya. Kalau ke Jawa turun kereta pasti banyak kita dengar bahasa Jawa, demikian juga ke Palembang, Padang, dan lainnya," kata Relliyani di ruang kerjanya, Rabu (16-8).

Menurut Relliyani, untuk tahap awal ini, PNS tidak harus sepenuhnya berbicara dengan bahasa Lampung karena mungkin banyak pendatang yang belum bisa melafalkan bahasa Lampung.

Yang penting, ujar dia, PNS sedikit demi sedikit menggunakan bahasa Lampung untuk percakapan di kantor saja. "Ya sebisanya dulu lah. Yang penting ada bahasa Lampungnya," kata dia.

Untuk mendukung hal ini, kata Relliyani, Pemprov akan membagikan buku saku bahasa Lampung yang berisi percakapan sehari-hari dalam bahasa Lampung.

Selain itu, di bawah Biro Bina Sosial Sekprov Lampung juga akan dibentuk Sekretariat Lembaga Bahasa Lampung agar penggunaan bahasa Lampung bisa semakin luas lagi di masyarakat.

Relliyani berharap tidak hanya Pemprov yang menggalakkan penggunaan bahasa Lampung ini, tapi juga pemerintah kabupaten/kota se-Lampung.

Pihak sekolah juga, menurut dia, jangan hanya mengajarkan membaca dan menulis aksara Lampung, tetapi membiasakan siswanya menggunakan bahasa Lampung.

"Kalau disuruh nulis atau ngomong Lampung memang pintar-pintar siswanya. Tapi, tidak dipraktekkan dalam pembicaraan sehari-hari. Jadi, kami minta di sekolah juga diterapkan penggunaan bahasa Lampung dalam percakapan sehari-hari," kata dia. (LIN/K-2)


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Mei 2012

May 18, 2012

Pendirian Patung Tokoh Lampung Kembali Picu Kontroversi

Bandarlampung - Pendirian dan pembuatan patung tokoh di Lampung kembali memicu komentar, kritik dan kontroversi dari berbagai pihak di daerah ini.

Sejumlah warga dari berbagai kalangan di Bandarlampung, Jumat, mengomentari secara kritis pendirian patung Raden Inten II, tokoh pahlawan Lampung, di salah satu bagian kota tepat di Jalan Raden Intan pusat Kota Bandarlampung, serta pendirian patung tokoh Lampung lainnya di daerahnya ini.

Menurut informasi, pembangunan patung itu tidak menggunakan dana pemerintah (APBD), melainkan merupakan sumbangan pengusaha daerah ini yang mencapai sekitar Rp200 juta.

Patung Raden Inten II yang lama, selama ini dikenal dan telah berdiri di kawasan pertigaan Jalan Soekarno-Hatta di Rajabasa, Bandarlampung, dan telah menjadi penanda utama (ikon) ibu kota Provinsi Lampung ini.

Namun komentar kritis dan kontroversi mencuat kembali, menyusul pendirian patung Zainal Abidin Pagaralam, tokoh Lampung yang pernah menjadi Gubernur Lampung di jalan lintas Sumatera Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan dengan dana mencapai miliaran rupiah.

Patung itu kemudian diprotes sekelompok warga dan akhirnya dibakar dan dirobohkan secara paksa, beberapa waktu lalu.

Zainal Abidin Pagaralam adalah orang tua dari Gubernur Lampung saat ini, Sjachroedin ZP, dan kakek dari Bupati Lampung Selatan, Rycko Menoza.

Sejumlah warga Bandarlampung mempertanyakan program pendirian patung di jalan-jalan utama daerahnya, kendati tidak menggunakan dana APBD, umumnya menilai tidak sepantasnya dilakukan oleh pemimpin kota ini yang seharusnya bersikap bijaksana dan peduli dengan permasalahan warganya.

Beberapa tokoh dan sejumlah kalangan mengingatkan, masih banyak program pembangunan yang seharusnya dapat diprioritaskan dan sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat banyak di sini.

Syarif, salah satu warga menyebutkan seharusnya Pemkot Bandarlampung memprioritaskan perbaikan kerusakan jalan utama dan jalan-jalan ke permukiman warga yang semakin parah kondisinya.

Upaya perbaikan yang dilakukan selama ini dinilai belum maksimal dan tidak optimal, karena kerusakan jalan-jalan itu relatif belum tertangani dengan baik.

Sejumlah warga di Sukarame dan Wayhalim, Bandarlampung menyebutkan, kerusakan jalan di perempatan simpang Jalan Urip Sumoharjo dan Jl Endro Suratmin menuju Kampus IAIN Raden Intan, hingga kini belum tertangani dengan baik.

Padahal menurut mereka, di sekitar jalan itu merupakan rumah tinggal beberapa pejabat Pemkot dan pimpinan serta anggota DPRD Bandarlampung.

Begitu pula kerusakan jalan masuk dari kawasan jalan lintas Sumatera di Kalibalok menuju Sukabumi, hingga kini belum diperbaiki dan dikeluhkan pengguna jalan sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas kendaraan bermotor, serta mengancam keselamatan pengguna kendaraan khususnya sepeda motor dan warga di sekitarnya.

Dikritisi Sastrawan Lampung Berkaitan dengan pendirian patung-patung itu, sastrawan kondang asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS juga ikut mengomentari dan mengeritisinya.

"Paus" Sastra Lampung itu malah sampai membuat status berupa "Dialog Patung dan Pak Wali" dalam akun facebook-nya.

Dalam status itu, Isbedy menuliskan: "Bagaimana hidupmu di situ? Semoga kau selalu damai," kata pak wali kota kepada patung yang ditancapkan di tengah jalan.

"Apa yang damai pak wali? Justru saya tercekam. Siang kepanasan malam terasa gigil hingga ke tulang sumsum!" "Lalu?" "Sebaiknya robohkan saya. Adanya saya di sini ribuan rakyatmu menderita miskin. Kenapa tidak uangnya dibagi-bagi ke rakyat!" kata patung itu.

Beberapa warga dari berbagai kalangan di Bandarlampung juga berkomentar terhadap pendirian patung di jalan-jalan Kota Bandarlampung itu.

Warga itu mengingatkan, jangan sampai pendirian patung para tokoh dan pahlawan Lampung itu, justru malah seperti memberikan kesempatan kepada umat penyembah berhala untuk melakukan aktivitasnya.

Handayaningrum, salah satu warga itu, mengomentari bahwa yang mendirikan atau punya ide patung itu berharap bahwa dia nanti di suatu saat juga akan menjadi patung yang ditegakkan di tengah jalan, agar terkenang dan dikenal.

Asaddin, warga Bandarlampung juga berkomentar, "Ya, bagus juga ya, biar jadi 'kota sejuta patung' atau lebih tepatnya "Kota Berhala."

Sumber: Antara, Jumat, 18 Mei 2012

May 15, 2012

Kepenyimbangan, Mitos Lampung Sai, dan Konflik Sosial di Lampung*

Oleh Firdaus Augustian**


Pendahuluan

Kenyataan yang ada sampai hari ini kita berbicara tentang kebudayaan-kebudayaan daerah. Kabudayaan nasional masih merupakan sebuah ideal dan gagasan dinamis. Barangkali sampai hari ini, bentuk kebudayaan Indonesia yang paling konkrit adalah bahasa. Selain itu, semuanya adalah refleksi kebudayaan-kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah sendiri akan terjamin keberadaannya apabila dia berada dalam wahana interaksi dan interkorelasi dengan kebudayaan-kebudayaan subetnis yang lain.

Dengan demikian, kebudayaan daerah selamanya dan senantiasa berada dalam gerak dinamis melalui proses akulturasi yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, pengertian pelestarian nilai-nilai budaya menjadi sesuatu yang perlu diperdebatkan dalam konteks perkembangan dan dinamisasi sebuah kebudayaan. Pelestarian nilai budaya yang terjadi dan selama ini kita rasakan terjadi pada beberapa subetnik yang bersifat eksklusif seperti Suku Anak Dalam (Kubu) di Jambi, Suku Badui, dan Tengger. Proses interaksi dan interrelasi dalam konteks akulturasi budaya pada suku-suku/subetnis di atas terasa sangat lambat. Pelestarian nilai-nilai budaya nyaris terjadi sempurna pada mereka.

Kebudayaan daerah Lampung bersama kebudayaan-kebudayaan daerah lain merupakan konfigrurasi kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional merupakan sebuah mozaik dari kebudayaan-kebudayaan daerah yang beraneka. Peran kebudayaan daerah Lampung sama dan sebangun dengan peran kebudayaan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Tidak dapat ditinggalkan dan sekaligus tidak dapat meninggalkan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Kebudayaan nasional tidak dapat diartikan sebagai sigma/resultante dari kebudayaan-kebudayaan daerah.

Dengan demikian, pemberdayaan kebudayaan nasional hanya akan tercapai melalui desentralisasi pengembangan budaya lokal. Tidak dalam pengertian sebaliknya sentralisasi atau mengembangkan kebudayaan nasional secara totalitas.


Peran Kebudayaan Daerah terhadap Pembangunan


Dengan memahami arti kebudayaan dan kebudayaan daerah, kita dapat mengetahui sejauhmana kontribusi masyarakat suatu daerah terhadap pembangunan itu sendiri. Kebudayaan sebagai sistem sosial merupakan refleksi dari social achievement bagian dari social activity, bagaimana berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, berdasarkan pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Kebudayaan juga harus dilihat dari rangkaian ideal, gagasan, nilai, dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Dengan demikian, melalui kebudayaan daerah dapat dilihat seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat terhadap pembangunan itu sendiri. Sekaligus perlu dipertanyakan seberapa besar pembangunan itu mengakomodasi tuntutan kepentingan masyarakat. Dalam rangka berpikir seperti ini akan terjadi korelasi, interaksi secara timbal-balik antara kebudayaan daerah, tingkat partisipasi masyarakat, dan pembangunan itu sendiri.


Kepemimpinan Adat dalam Kebudayaan Daerah

Kita pahami kebudayaan merupakan keseluruhan total apa yang apa yang dipikirkan, dihasilkan oleh manusia secara berkelanjutan dalam rangka mempertahankan kehidupannya.

Di dalam kebudayaan terkandung wujud ideal yang menurut Koentjaraningrat disebut sebagai adat tata kelakuan. Dengan demikian, meminjam pengertian di atas  kita artikan "adat" sebagai perwujudan konsepsi -- nilai -- aturan yang dipandang luhur dan ideal dalam seluruh kebudayaan.

Dalam konsepsi adat Lampung kita mengenal di dalamnya wujud dari pengertian kepemimpinan. Kepemimpinan yang kita kenal dalam kepenyimbangan, yang dapat diklasifikasikan sebagai:
- penyimbang marga
- penyimbang kebuaian
- penyimbang tiuh
- penyimbang suku

(mungkin klasifikasi seperti ini dapat diperdebatkan). Substansi dari pengertian penyimbang (pada tingkat apa pun) merupakan refleksi kepemimpinan keluarga. Seorang penyimbang adalah anak tertua yang mewarisi kepemimpinan dari orang tuanya yang juga adalah seorang penyimbang.

Proses inisiasi seseorang menjadi penyimbang  melalui declare dalam bentuk cakak pepadun diumumkan di patchah haji melelui proses dan prosedur adat tertentu yang mendapat pengesahan dari para penyimbang marga dalam persekutuan adat masing-masing.

Hakikat seorang penyimbang adalah refleksi kepemimpinan keluarga, yang terdiri dari adik-adiknya, anak-anaknya, paman-pamannya, anak kemenakannya, termasuk adik perempuan ayahnya, tidak termasuk saudara laki-laki dari ibunya. Penyimbang dalam adat Lampung hanyalah sebatas pemimpin keluarga, yang anggota keluarganya tertentu. Dia adalah seorang penyimbang marga identik dengan garis keturunan lurus yang tidak terputus sebagai anak tertua laki-laki dari keturunan keluarganya. Sebagai pemimpin keluarga, merupakan panutan moral dan sama sekali tidak berkaitan dengan cakupan wilayah kerja/daerah kekuasaan.

Posisi seorang penyimbang marga terhadap penyimbang marga yang lain adalah setara, bukan merupakan subordinat. Dan, penyimbang marga masing-masing dalam persekutuan adat yang bersangkutan dapat saling mewakili untuk masalah-masalah adat sebagai tamu/sumbai sebuah perhelatan adat yang dilakukan persekutuan adat lainnya.


Dengan demikian, seorang penyimbang adat, katakanlah penyimbang marga sama sekali tidak mempunyai kewenangan struktural yang mewakili sebuah wilayah kekuasaan/kekuasaan adat. Kewenangan seorang penyimbang marga hanyalah sebatas kewenangan moral bertindak untuk dan atas nama keluarganya. Sementara di sebuah kampung, tidak mungkin hanya ada seorang penyimbang marga. Pada sebuah kampung jumlah penyimbang marga atau yang dapat menjadi penyimbang marga dapat saja lebih dari 10 orang dan masing-masing berkedudukan setara. Dengan demikian, untuk mempresentasikan di antara penyimbang marga-penyimbang marga tersebut pada salah satu penyimbang marga merupakan sebuah usaha yang sama sekali tidak punya makna.


"Lampung Sai", Sebuah Mitos

Dalam konstruksi berpikir adat budaya Lampung, kita akan dihadapkan pada persekutuan-persekutuan adat tertentu. Penyimbang-penyimbang marga berhimpun dalam sebuah persekutuan adat tertentu. Penyimbang-penyimbang marga dalam sebuah persekutuan adat berkedudukan setara, tidak bersifat struktural. Begitu pun kedudukan persekutuan-persekutuan adat dalam adat Pepadun, berkedudukan setara dan saling menghormati.

Bagitu banyak persekutuan adat yang ada dan dikenal, antara lain:
- Abung Siwo Mego
- Pubian Buku Jadi
- Mego Pak Tulangbawang
- Pubian Menyarakat
- Masyarakat Abung Kota Bandar Lampung
- Way Kanan Lima Kebuaian
- Sungkai Bunga Mayang
  dan seterusnya

Kedudukan satu persekutuan adat dengan persekutuan adat lain bersifat setara dan tidak ada yang menjadi subordinasi. Penyimbang-penyimbang marga yang ada hanya berperan pada masing-masing persekutuan adat. Sebagai penyimbang marga dalam persekutuan adat Pubian Buku Jadi, sama sekali tidak punya hak apa-apa apabila dia menghadiri acara adat pada persekutuan adat di luar Pubian Buku Jadi. Dia hanyalah berkedudukan sebagai temui/sumbai/tamu dan fungsinya hanyalah penggembira, peramai acara adat. Begitu pun sebaliknya penyimbang marga dari persekutuan adat mana pun, memasuki persekutuan adat yang berbeda sama sekali tidak mempunyai hak, kecuali haknya sebagai tamu agung.

Dengan demikian, terlihat posisi penyimbang marga, berkedudukan di tempat kedudukannya masing-masing, tidak dapat dipresentasikan secara signifikan. Setiap persekutuan adat mempunyai legitimasi yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam konteks adat permusyawaratan adat yang terjadi adalah musyawarahnya para penyimbang/penyimbang marga dalam satu persekutuan adat.

Tidak pernah terjadi penyimbang/penyimbang marga duduk satu meja dalam musyawarah adat di antara persekutuan-persekutuan adat. Dengan demikian kita, para penyimbang, masyarakat adat tidak pernah mengenal konsep "sai" dalam adat Lampung. Yang ada dan sekaligus merupakan kekuatan adalah konsep "beragam" (ragom).


Mungkinkah Lampung Menjadi Poso II?


Mungkin. Mengapa tidak.

Isu ini dilontarkan oleh Komisaris Jenderal (Pol) Hi. Sjachroedin Z.P. gelar Pangeran Mangkubumi, yang sehari-harinya adalah Deputi Operasi Kapolri. Sjachroedin Z.P. mengemukakan itu dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Lampung Sai.

Sementara Gubernur Lampung Drs. Hi. Oemarsono gelar Tuan Mangku Marga Temenggung Rajo Dipuro menyatakan tidak mungkin Lampung menjadi Poso II. Beliau menyatakan bahwa kekuatan piil pesenggiri, bejuluk beadok, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sembayan akan membentengi semangat persatuan dan kesatuan masyarakat Lampung, sehingga tidak mungkin menjadi Poso II.

Kekuatan-kekuatan ini kita lihat sebagai kenyataan, jangan dijadikan mitos. Kalau memang kekuatan-kekuatan ini memang ada dan berakar tentunya tidak ada keanehan-keanehan yang terjadi dalam masyarakat Lampung. Seperti kenyataan yang kita ketahui pada awal bulan Januari 2002 ini, ada dua anak berusia 10 tahun, nyaris dibakar massa karena tertangkap tangan mencuri kambing di Kampung Rajabasa. Kita dapat memperlihatkan ilustarasi lain betapa rapuhnya masyarakat Lampung dalam menyelesaikan sebuah isu, mamanage sebuah konflik.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sikap ini merupakan jalan keluar untuk menghindar dari ancaman Poso II. Secara ksatria kita harus mengatakan bahwa pemilik sah tanah Jawa adalah orang Jawa. Pemilik sah bumi Kalimantan adalah orang Kalimantan.

Obsesi saya siapa pun di antara kita, yang telah tinggal di Lampung hendaklah beradaptasi dan menyatakan diri sebagai orang Lampung. Selanjutnya saudara-saudara saya yang karena keturunannnya sebagai orang Lampung asli, hendaklah menjadikan mereka sebagai orang Lampung, sebagai saudara kita.

Kita panggil Prof. Muhajir Utomo sebagai Ammai Sutan (?) karena beliau menikah dengan mirul anjak Terbanggi Agung. Kita panggil Drs. Hi. Suharto sebagai Sutan Nato Sebuay karena beliau merupakan anak adat A. Sanusi Pangeran Puseran Agung Labuhan Ratu. Bagitu pula Drs. Hi. Oemarsono sebagai Tuan Mangku Marga Temenggung Rajo Dipuro, wari dr. Sofyan Albuni Temenggung dari Kampung Bakung Hilir.

Tetapi kalau semua masih berbicara dengan sikap arogan, menyatakan diri Paku Banten, Pangenyongan, KBSB, Jamur Kesuma, Permata, KKSS, dan sebagainya, maka sulit kita tidak membayangkan tidak akan terjadi Poso II.


* Judul dari saya (uzk) dari judul asli Kebudayaan Daerah, Reduksi Interpretasi untuk Menghilangkan Berbagai Mitos, ke Arah Pemberdayaan. Makalah ini disampaikan sebagai bahan Diskusi Awal Tahun Harian Lampung Post, Bandar Lampung, 16 Januari 2002.

** Firdaus Augustian, budayawan

May 14, 2012

Budaya: Kerajaan Sekala Brak Bagikan Anugerah Adat

BATUBRAK (Lampost): Pangeran Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak Kepaksian Buay Pernong, Pangeran Edward Syah Pernong gelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengian Paksi yang Dipertuan Sekala Brak XXIII memberikan sejumlah anugerah adat pada acara Tayuhan Jukkuan Kagungan Pekon Kota Besi, Kecamatan Batubrak, Lampung Barat Sabtu (13-5).

DISAMBUT MASYARAKAT. Saibatin Kepaksian Buay Pernong Pangeran Edward Syah Pernong dan permaisuri bersama putra mahkota disambut masyarakat Pekon Kotabesi saat melangsungkan Tayuhan Jukkuan Kagungan, Sabtu (12-5). (LAMPUNG POST/ARIPSAH)

Anugerah Adat Kekerabatan diberikan kepada delapan masyarakat dan Anugerah Adat Kreativitas diberikan kepada tujuh warga yang berjasa dalam mengembangkan dan melestarikan adat budaya Sekala Brak.

Delapan warga yang dianugerahi adat kekerabatan itu adalah Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, Kapolres Lambar AKBP Tatar Nugroho, Dandim 0422/Lambar Letkol Inf. Sugiyono, Sekkab Lambar Nirlan, Wakapolres Lambar Kompol Muchtarom, Kepala BKD Lambar Akmal Abdul Naser, Ketua Pengadilan Agama Negeri Liwa Eman Saeman, dan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan Aksir Rafi'i.

Sementara itu, anugerah adat kreativitas diberikan tujuh warga yang telah berperan aktif dalam upaya melestarikan dan mengembangkan adat budaya Sekala Brak. Mereka adalah Syapril Yamin M. Zubairi, Novan Adi Putra, Nyoman Mulyawan, Syahril Hutri, Budi Marta Utama, Endang Guntoro Canggu, dan Arief Nugroho.

Dalam sambutannya, Pangeran Edward Syah Pernong mengatakan upaya melestarikan adat dan budaya merupakan kewajiban bersama agar terus terjaga dan menjadi warisan generasi penerus.

Dia meminta para raja-raja Jukkuan menjadi pengayom bagi warga sehingga berbagai kegiatan adat bisa dilaksanakan dengan kebersamaan.

Sebelum pemberian anugerah, prosesi penyambutan Sultan Sekala Brak yang datang bersama Permaisuri Ratu Nurul Adiyati gelar Ratu Mas Inton Dalom Ratu Paksi Buay Pernong dan putra mahkota Pangeran Alprinse Syah Pernong disambut ratusan masyarakat dengan prosesi adat.

Sambil menuju pemejongan (singgasana) sultan, permaisuri dan putra mahkota berjalan di atas lalamak (alas jalan) yang disiapkan ibu-ibu dengan dikawal enam pendekar puting beliung pengawal kerajaan. (*/R-2)

Sumber: Lampung Post, Senin, 14 Mei 2012

May 9, 2012

Seni: Sardono Tertarik Garap ‘Syair Lampung Karam’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Maestro Tari Indonesia Sardono W. Kusumo tertarik menggarap naskah Syair Lampung Karam. Naskah Syair Lampung Karam yang ditulis Muhammad Saleh ini mengisahkan tentang dahsyatnya letusan Krakatau tahun 1883.

Hal itu dikatakan Sardono W. Kusumo dalam dialog dengan Rektor ISI Padang Panjang Mahdi Bahar, Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hari Jayaningrat, dan Christian Heru Cahyo Saputro dari Jung Foundation Lampung Heritage. Hadir pula koreografer asal Lampung Helda Yosiana di Galeri Semarang belum lama ini.

Menurut koreografer yang akrab disapa Mas Don ini, laporan pandangan mata tentang bencana Krakatau yang disampaikan dalam bentuk syair oleh Muhammad Saleh sangat humanis. Syair Lampung Karam ditulis tak sekadar merekam peristiwa secara romantik, tetapi sangat substansial.

Syair Lampung Karam merupakan salah satu sumbangan Lampung yang sangat penting untuk mengokohkan seni Melayu ada di Indonesia. "Syair Lampung Karam bisa digarap menjadi seni pertunjukkan dengan kolaborasi melibatkan berbagai tangkai seni dan multimedia," kata maestro tari yang kini juga mengakrabi dunia seni lukis.

Sementara itu, Rektor ISI Padang Panjang Mahdi Bahar mengatakan Syair Lampung Karam sarat dengan ajaran moral. Naskah Syair Lampung Karam yang terdiri dari 375 bait ini merujuk kepada latar belakang adanya kebobrokan moral masyarakat dan kesewenang-wenangan penjajah sehingga turunlah azab melalui letusan Krakatau.

"Syair ini mengingatkan mengapa bencana gempa bumi dan tsunami sering terjadi akhir-akhir ini. Kejadian ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan merupakan azab Tuhan untuk mengingatkan kita agar kembali ke jalan-Nya," ujar Mahdi Bahar.

Mahdi mengatakan Syair Lampung Karam yang ditulis Muhammad Saleh membuktikan bangsa kita pun ternyata cukup pintar dalam melaporkan suatu peristiwa alam dalam bentuk syair.

"Syair ini sekaligus menunjukkan kearifan lokal Melayu itu sarat dengan kebajikan. Syair ini tak sekadar laporan, tetapi berisi muatan moral berupa tuntunan," kata dia. (ZUL/K-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 9 Mei 2012

May 6, 2012

Merindukan "Bumi Lampung" Tanpa Kerusuhan (Lagi)

-- M. Tohamaksun

"Demimu Lampungku....., Padamu Bhaktiku....., Untuk Indonesiaku.....".

ITULAH antara lain kalimat yang sering kali dikemukakan oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP kepada seluruh jajaran aparatur dan masyatakat di daerahnya, Lampung "Sai Bumi Ruwa Jurai".

Kalimat itu meski pendek tetapi penuh makna. Di sana antara lain Gubernur Sjachroedin ZP yang pernah menjadi Deputi Operasional (Deops) Kapolri itu memompa semangat seluruh lapisan masyarakat daerahnya bekerja keras bahu-membahu untuk membangun Lampung agar bisa mengejer ketertinggalan dari daerah lain.

Dalam memotivasi aparatur dan rakyatnya, Bang Oedin, demikian panggilan akrab Sjachroedin ZP, juga tidaklah muluk-muluk, yakni masing-masing agar cukup bekerja dengan baik sesuai tingkatan dan tugas pokok serta fungsinya di wilayah kerja masing-masing.

Gubernur yang kini memimpin Lampung untuk periode keduanya itu, misalnya mencontohkan, seorang kepala desa/lurah, tidak perlu berpikir terlalu tinggi ingin memajukan kecamatan, tetapi cukup bekerja keras dengan seluruh rakyanya untuk membangun dan memajukan desa/kelurahannya.

Begitu pula pada level camat dan bupati/wali kota. Para camat dan para bupati/wali kota bekerja keras membangun daerahnya.

Karena, pembangunan di provinsi, dan rakyat di suatu daerah akan maju dan makmur manakala pembangunan di kabupaten/kotanya maju.

Begitu pula kabupaten/kota akan maju jika pembangunan di kecamatannya berhasil, begitu seterusnya kecamatan akan berhasil dan maju jika pembanguan di desa/kelurahannya baik, seterusnya, negara pun maju jika masing-masing provinsinya berhasil baik.

Sebagai provinsi yang terletak di paling ujung selatan Pulau Sumatra, atau "Pintu Gerbang" keluar-masuk Pulau Sumatra dan Jawa, Lampung yang berpeduduk sekitar 7,5 juta jiwa memiliki 14 kabupaten/kota telah dan sedang terus berbenah di segala bidang, baik ekonomi, sosial budaya, politik, maupu Hankam.

Terkait dengan keamanan, kondisi aman, dan rasa aman di masyarakat, Komandan Korem (Danrem) 043/Garuda Hitam (Gatam) Lampung, Kol. Czi Amalsyah Tarmizi memiliki kiat-kiatnya.

Pada tempat-tempat strategis, seperti di dekat Markas Korem, pasar/pusat perbelanjaan, atau pusat kegiatan olahraga, terpasang spanduk dilengkapi gambar wajahnya, dengan kalimat antara lain "Damai Itu Indah", dan "Bersatu Kita Teguh".

Dari sana Danrem yang juga putra daerah asli Lampung itu selain terus melakukan pembinaan di jajaran Komando Distrik Militer (Kodim) di kabupaten/kota yang ada, juga mengajak seluruh lapisan masyarakat tentang perlunya menjaga keamanan dan ketertiban masyatakat Lampung melalui ruang publik.

Berkait dengan soal keamanan, kondisi aman dan rasa aman, Danrem Amalsyah tarmizi dalam suatu kesempatan silaturahim dengan keluarga besar Pers di Lampung, mengemukakan, ada perbedaan antara "Kondisi Aman" dan "Rasa Aman", meski dua-duanya sejatinya amat dibutuhkan.

Dia mencontohkan, untuk menciptakan kondisi aman, aparat keamanan bisa saja melakukan berbagai cara, namun belum tentu kondisi yang aman itu bisa membuat rasa aman dan nyaman di lapisan masyarakat.

"Misalnya kalau mau membuat sebuah pusat perbelanjaan atau mall kondisinya aman, bisa saja setiap hari kita tempatkan aparat yang berjaga dilengkapi senjata. Tapi kondisi itu belum tentu membuat masyaraKat --merasa aman--," katanya.

Terus terusik
Namun, dalam kurun dan selang tidak terlalu lama dalam beberapa bulan terakhir, Bumi Lampung seakan sedang mengalami "ujian dan cobaan" yang terus-menerus, yakni terjadinya rangkaian kerusuhan, baik yang merugikan material nilai miliaran rupiah sampai korban jiwa.

Kasus-kasus kerusuhan itu dengan waktu singkat pula mencuat ke permukaan, dan terekspos di media hingga ke tingkat nasional bahkan internasional, namun sangat disayangkan yang terekspos berkali-kali dan mencuat itu adalah citra yang buruk.

Peristiwa yang sebenarnya sangat tidak dikehendaki oleh seluruh masyarakat Lampung itu adalah kerusuhan di Mesuji, utamanya yang terkait denan sengketa lahan (Agraria) di Register-45, disusul pembakaran rumah warga satu kampung lebih dari 50 rumah hangus di Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan.

Belum lama lagi berselang, sudah disusul dengan pembakaran dan perobohan patung Zainal Abidin Pagaralam (ZAP), di Kalianda, ibu kota Kabupaten Lampung Selatan pada 30 April 2012.

Konon perusakan patung oleh para pengunjuk rasa yang menolak patung ZAP dan perubahan nama-nama jalan di Kota Kalianda, Lampung Selatan sekitar 60 Km dari Kota Bandarlampung itu menelan kerugian sampai Rp3,585 miliar.

Hal itu antara lain akibat rusaknya patung yang dibangun dengan dana APBD atas persetujuan DPRD Kabupaten Lampung Selatan senilai sekitar 1,7 miliar itu juga disertai dengan perusakan fasilitas-fasilitas umum, peralatan elektonik kantor, pot-pot taman, serta peralatan milik perkantoran Pemkab setempat lainnya.

Terkait dengan kerusuhan yang mengakiatkan puluhan rumah wara terbakar pada akhir Januari 2012, Bupati Lampung Selatan, Rycko Menoza SZP, mengatakan, pembangunan di daerahnya terhambat akibat konflik yang menimbulkan kerusakan puluhan rumah.

"Semestinya kita sudah memikirkan pembangunan jangka panjang, tapi dengan adanya peristiwa ini, anggaran kita mau tidak mau tersedot ke pembangunan rumah warga yang dirusak oleh warga sendiri," katanya.

Belum selesai penanganan kasus kerusuhan yang berakibat pada pembakaran rumah, serta pembakaran robohnya patung ZAP, sudah disusul lagi dengan unjuk rasa warga yang berujung pada terbakarnya kantor bupati Mesuji, sekitar 275 Km dari pusat Kota Bandarlampung Kamis (3/5/12) yang baru lalu.

Kantor Pemkab Mesuji itu dilaporkan diduga dibakar massa sebagai bentuk protes atas pencopotan Ismail Ishak sebagai Wakil Bupati Mesuji, meski kemudian pihak Ismail Ishak membantahnya.

"Kondisi Mesuji sekarang kembali mencekam, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan," kata salah satu warga Mesuji, Kurniawan (30).

Bupati Mesuji, Khamamik, yang baru dilantik bersama wakilnya, Ismail Ishak pada 13 April 2012, mengatakan, bayak kerugian yang diderita akibat pembakaran itu.

Meski belum disebutkan nilai total kerugian materal, namun banyak dokumen atau arsip penting pemerintah kabupaten yang ikut rusak/terbakar, di antaranya adalah dokumen penggunaan anggaran APBD kabupaten setempat Tahun Anggaran (TA) 2011.

Sebagai tindak lanjut kasus-kasus itu, berbagai upaya telah, sedang dan akan terus dilakukan. Jajaran Kepolisian Lampung terus mengusut pelaku kasus perobohan Patung Zainal Abidin Pagaralam dan kerusakan fasilitas umum di Lampung Selatan dan pembakaran kantor Bupati di Mesuji.

"Penyidikan kasus itu kami serahkan pada Polres Lampung Selatan, dalam hal ini Polda Lampung hanya membantu proses penyidikan untuk menangkap tersangka kerusakan di sana," kata Kabid Humas Polda Lampung, AKBP Sulistyaningsih.

Gubernur Lampung, Sjahroedin ZP, mengecam aksi pembakaran patung Zainal Abidin Pagar Alam di Lampung Selatan itu.

"Polisi perlu tegas terhadap demo anarkis, tangkap dan cari penggeraknya," kata Sjahcroedin ZP.

Menurut dia, pelaku harus diusut tuntas dan jangan sampai kejadian tersebut kembali terulang.

Yang jelas, kata Sjachroedin ZP, yang putra dari Zainal Abidin Pagaralam (Alm), mantan gubernur Lampung itu, pembangunan patung ZAP itu telah didasari keputusan dan persetujuan DPRD Lampung Selatan.

Kasus itu juga mengundang perhatian dan kepirhatinan pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.

Mendagri antara lain mengemukakan perlunya kontrol terhadap Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Pihaknya juga akan mengevaluasi apakah penggunaan APBD untuk pembangunan patung yang sudah disetujui DPRD Lampung Selatan, lalu memicu kerusuhan itu menyalahi aturan atau tidak.

Reaksi keras juga datang dari Menteri Koordinator Politik Hukum Dan Keamanan Djoko Suyanto atas pembakaran kantor Bupati Mesuji Lampung.

Djoko Suyanto minta aparat keamanan menangkap pembakar kantor bupai itu. "Seharusnya tidak boleh merusak fasilitas negara," katanya.

Rugikan Lampung

Terjadinya rentetan kerusuhan yang seakan sambung-menyambung itu tentu saja mendapat respon negatif dari sebagian besar masyarakat Lampung, termasuk kalangan dunia usaha.

Hal itu karena dalam kondisi normal saja Lampung masih sangat membutuhkan dana amat besar, baik melalui APBD maupun bantuan pemerintah pusat untuk membangun banyak sektor, namun fasilitas yang ada justru dirusak oknum karna emosi sesaat.

Banyak fasilias dan infrastruktur fisik di Lampung, baik fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial/budaya, dan ekonomi khususnya jalan, jembatan, dan irigasi yang rusak parah dan perlu diperbaiki dengan dana yang besar, dan tidak mungkin mampu hanya mengandalkan dana APBD Provinsi Lampung.

Soal minimnya dana itu, bahkan sepatutnya semua elemen masyarakat Lampung, termasuk putra-putri terbaik Lampung yang sedang mengemban tugas di pusat (Jakarta) harus membantu kampung halamannya agar dana pusat bisa 'mengalir deras' ke Lampung.

Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, mengatakan, salah satu masalah menonjol di Lampung pada tahun 2011 dan masih berlanjut di 2012 adalah masih adanya keluhan masyarakat terhadap kondisi jalan yang rusak, serta kebutuhan air bersih di perkotaan.

Pemerintah Provinsi Lampung menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Lampung karena belum mampu memperbaiki seluruh kerusakan jalan karena dana yang tersedia hanya sekitar 14,34 persen dari total kebutuhan ideal untuk perbaikan seluruh jalan, yaitu sebesar Rp3.105,29 miliar.

Panjang jalan nasional di Provinsi Lampung totalnya adalah 1.159,57 Km, kondisi jalan sampai dengan Bulan November 2011 sebesar 92,58 persen, dan tidak mantap 7,42 persen.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APIDO) Provinsi Lampung, Yusuf Kohar, mengatakan, terjadinya kerusuhan di Lampung, termasuk konflik lahan (Agraria) di Mesuji, sangat merugikan Lampung sendiri, terlebih lagi dalam dunia usaha.

"Banyak calon investor yang bertanya-tanya ke saya, apakah investasi di Lampung bisa dilanjutkan atau tidak," katanya.

Jika kondisi itu tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan investor yang ada di Lampung akan hengkang ke daerah lain, begitu juga investor yang baru tidak jadi datang.

Pengusaha Lampung, J.Kasim, juga prihain atas sering terjadinya kerusuhan di Lampung, karena sangat tidak baik bagi iklim usaha.

"Ini terjadi antara lain karena ada pihak yang tidak sabar, emosi, dan setiap persoalan sebaiknya dikomuniksikan dan segera diselesaikan dengan baik. Boleh saja unjuk rasa, tapi jangan sampai merusak dan membakar seperti itu," katanya.

J.Kasim mengemukakan masih banyak peluang usaha pertanian dan perkebunan di Provinsi Lampung yang memilik prospek baik ke depan, namun membutuhkan kerja keras dan ketekunan baik dari pengusaha maupun petaninya serta dukungan pemerintah daerah.

Investora akan sangat tertarik menanamkan modalnya di suatu daerah jika iklim usahanya mendukung, keamanannya terjamin, infrastrukturnya tersedia, dan perizinannya tidak berbelit-belit. Terlepas apa pun masalahnya, siapa benar dan siapa yang salah, hendaknya rentetan kejadin "negatif" yang merusak citra Lampung itu harus segera diakhiri dan jangan sampai terulang "lagi".

Hukum harus ditegakkan, siapa yang salah dan melanggar hukum harus diproses sesuai ketentuan yang berlaku, sebaliknya semua lapisan masyarakat Lampung perlu melakukan mawas diri dan lebih berhati-hati agar hal serupa tidak terulang.

Akankah "Kondisi aman dan Rasa aman" untuk hidup sejahtera itu benar-benar bisa diraih dan kita nikmati bersama? Atau sebaliknya kondisi dan rasa aman itu sudah menjadi "barang langka" di Bumi Lampung tercinta ini? Jawabannya ada di kita, masyarakat Lampung sendiri.

Sumber: Antara, Minggu, 6 Mei 2012

May 5, 2012

Patung ZAP: Perubahan Hilangkan Sejarah Kalianda

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Perusakan patung Zainal Abidin Pagaralam (ZAP) di Kalianda karena masyarakat menolak perbuahan sejarah yang ada di ibu kota Lampung Selatan itu.

"Selama empat kali demo anarki dan lebih dari 10 kali demo penolakan patung, saya selalu mengawalnya. Dari situ saya mengetahui akar permasalahannya adalah perubahan jalan dan pendirian patung yang dianggap masyarakat bisa menghilangkan sejarah Kalianda," kata Kapolres Lampung Selatan AKBP Harry Muharam Firmansyah kepada wartawan di Polda Lampung, Jumat (4-5).

Salah satu penolakan adalah diubahnya nama Jalan Kolonel Makmun Rasyid menjadi Jalan ZAP. "Menurut warga setempat, sejarah pembuatan nama itu karena di lokasi tersebut terjadi pertempuran lima jam yang dipimpin Makmun Rasyid saat zaman penjajahn dulu. Saya baru tahu ada sejarah itu," ujar Harry Muharam.

Selain itu, ekses dari perubahan nama jalan bisa menjadi beban masyarakat, karena KTP, BPKB, dan BBN-KB harus diubah juga. "Aspirasi masyarakat itu sudah saya sampaikan ke Bupati, bahkan sebelum peristiwa perusakan patung saya menemui beliau (Bupati, red) untuk memindahkan patung agar situasi bisa kondusif," kata Harry.

Akan tetapi, menurut Kepolres, tanggapan Bupati justru menyarankan polisi melakukan tindakan represif. "Saya tidak mungkin melakukan hal itu demi kemanusiaan. Jika dilakukan, maka akan timbul korban jiwa. Saya juga meminta maaf kepada semua pihak jika tidak berhasil menjaga patung ZAP dari kerusakan. Karena, jika saya lakukan tindakan represif, maka akan menimbulkan korban jiwa dan memicu konflik lebih hebat," ujar Harry.

Kades Bersikap

Secara terpisah, 15 kepala desa yang mewakili 17 kecamatan di Lampung Selatan mendatangi Polda Lampung, Jumat (4-5). Kedatangan mereka untuk mengemukakan pernyataan sikap pihak Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia Lampung Selatan terkait dengan perusakan patung Zainal Abidin Pagaralam (ZAP).

"Kami menyesalkan dan mengutuk perbuatan anarki perusakan patung ZAP, menyesalkan alpanya polisi dalam mengatisipasi konflik tersebut, dan meminta polisi melakukan penegakan hukum demi terciptanya keamanan di Lampung Selatan," ujar Waka Apdesi Lampung Selatan Supriyono seraya berharap kemanan tercipta dan pelayanan publik dapat kembali berjalan.

Karo Ops. Polda Lampung Kombes Sahimin Zainudin mengatakan pihak kepolisian siap menjaga kemanan dan mengatakan kepada masyarakat untuk jangan takut melakukan aktivitas. Sahimin meminta kepada kepala desa untuk dapat membina warganya agar tidak melakukan tindakan anarki, karena yang melakukan perusakan juga warga Lampung Selatan. "Jadilah polisi bagi warga dan lingkungan sekitar. Jika ada ancaman, silakan laporkan. Mengenai penegakan hukum memang harus berjalan karena negara kita negara hukum."

Menanggapi hal itu, Harry mengatakan laporan yang diterima berasal dari beberapa pihak antara lain Sekda Lampung Selatan, Dinas Pasar. Sudah 20-an orang dimintai keterangan, kata Harry di Polda Lampung, Jumat (4-5), seraya mengatakan akan di-back-up pihak Polda Lampung untuk menjaga netralitas.

"Saya juga siap diperiksa terkait dengan pembiaran yang dituduhkan. Jika memang harus meletakkan jabatan, saya siap jika sesuai perintah pimpinan, karena saya ditunjuk dan diberhentikan oleh pimpinan," kata dia. (MG7/K-1)

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 5 Mei 2012

May 3, 2012

[Hardiknas] Guru, Peran Kunci dalam Pendidikan

PERAN tenaga pendidik atau guru masih menjadi kata kunci dalam kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Guru harus menjadi teladan bagi siswanya.

Sebagai ujung tombak utama dalam dunia pendidikan, kinerja guru harus ditingkatkan. Untuk itu, pembinaan guru secara simultan mutlak dilakukan karena guru merupakan aktor penentu berhasil-tidaknya pendidikan.

”Guru itu sesuai dengan jargonya ‘digugu dan ditiru’ yang harus mempersiapkan dirinya menjadi teladan,” kata Ketua Dewan Pendidikan Lampung Sutopo Ghani Nugroho pada diskusi Hardiknas di Lampung Post, Rabu (2-5).

Sutopo yakin keberhasilan seseorang 80% dipengaruhi oleh para guru yang mampu memberikan inspirasi. "Kunci dari keberhasilan pendidikan ada pada guru. Hal ini harus menjadi perhatian khusus para pihak yang berkaitan langsung, baik dalam proses penyediaan tenaga guru maupun pengelola guru di lapangan," ujar Sutopo.

Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Imam Santoso juga menilai saat ini masyarakat mengalami ketidakpercayaan kepada tenaga pendidik, sehingga selalu mencari sekolah terbaik buat anak-anaknya.
Bahkan, kata Pembantu Dekan I Bidang Akademik FKIP Unila M. Toha B. Sampoerna Jaya, guru yang telah mengenyam pendidikan tinggi termasuk doktor dan profesor enggan untuk mengajar siswa SD apalagi yang di pelosok. Padahal, pendidikan dasar membutuhkan tenaga pendidik yang profesional.

Hal senada diungkapkan Kepala Bidang Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Kependidikan (PMPTK) Disdik Provinsi Ria Andari. Ia mengemukakan nilai rata-rata kualitas guru saat ini masih rendah. "Bayangkan, pada ujian nasional lalu, pemerintah menetapkan standar nilai 5,5 pada siswa. Namun, kenyataannya berdasarkan uji kompetensi awal, standar nilai rata-rata guru baru 3,3," ujar Ria.

Meskipun demikian, masih rendahnya kualitas guru saat ini, menurut Dekan FKIP Unila Bujang Rahman, tidak sepenuhnya ditanggung oleh para guru. Menurut dia, banyak faktor yang menyebabkan guru menjadi demikian. "Ini bukan variabel yang berdiri sendiri, karena banyak variabel lain yang turut memengaruhi buruknya kinerja kualitas guru saat ini. Salah satnya adalah manajemen pendidikan yang tidak profesional. Tidak jarang guru menerima tekanan secara psikologis," kata Bujang.

Hal ini, ujar dia, terbukti dalam pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang menjadi bagian dari proses sertifikasi guru yang diselenggarakan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK), yang dalam hal ini dilakukan FKIP Unila.

"Di kelas, para guru menunjukkan kinerja yang luar biasa. Mereka pandai melakukan presentasi, bahkan menyusun rencana program pembelajaran (RPP). Tetapi, anehnya ketika mereka kembali ke sekolah masing-masing, kinerjanya tidak berubah, tidak seperti saat di dalam kelas PLPG," kata dia.
Sementara Pontjo Sudarmono dari FMGI Lampung menyatakan karut-marut pendidikan bukan bersumber dari guru, melainkan dari elite politik yang terus-menerus mengobok-obok dan mengintervensi dunia pendidikan demi agenda kepentingan mereka masing-masing.

"Pendidikan diintervensi politik. Guru menjadi tidak berdaya. Makanya, saya sarankan agar FKIP dalam mendidik calon guru perlu memberikan pengantar ilmu politik kepada guru, agar mereka berdaya dalam menghadapi birokrat pemerintahan," ujar Pontjo.

Sutopo juga meminta agar pemerintah lebih memilih fokus pada kualitas guru dari pada masalah biaya dan infrastruktur. "Relawan pendidikan di Jakarta yang mengajar anak gelandangan di tempat ala kadarnya dapat menghasilkan output yang baik. Artinya, yang terpenting dari infrastruktur dan biaya adalah kualitas pendidik," kata dia.

Dalam pendidikan, ujar dia, yang terpenting adalah keteladanan, baik dari guru sampai pejabat. Pendidikan itu meniru sehingga muaranya adalah mendidik perilaku siswa.
Sementara itu, Ivan S. Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan menilai pendidikan tak semata diperoleh dari sekolah, justru di keluarga atau lingkungannya yang menjadi penyumbang cukup besar.

Anak pada masa pertumbuhan emasnya yakni usia 1—6 tahun harus mendapat pendidikan yang baik, dan itu sumbernya dari rumah atau lingkungan. "Jadi, peran orang tua dalam mendidik juga harus diperhatikan karena itulah fundamental pendidikan anak," kata Ivan. (MG1/MG4/S-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 3 Mei 2012

[Hardiknas] Pengelolaan Manajemen Tentukan Kemajuan Sekolah

MENAJEMEN pendidikan akan menentukan maju-mundurnya institusi pendidikan, dalam hal ini sekolah. Oleh sebab itu, penempatan orang-orang yang tepat untuk mengelola manajemen pendidikan mutlak diperlukan.

Pengelola Program Pascasarjana Unila Sumadi mengatakan terdapat empat hal penting dalam manajemen pendidikan. Pertama, perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus. Kedua, penentuan standar mutu atau penentuan kriteria ketuntasa minimal (KKM). Ketiga, perubahan budaya termasuk di dalamnya perubahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Keempat, perubahan organisasi dalam hal ini perbaikan manajemen di dunia pendidikan.

Menurut Sumadi, perbaikan berkelanjutan yang dimaksud meliputi sumber daya manusia, yaitu guru serta sarana-prasarana pendidikan. “Pelatihan terhadap guru tidak akan efektif jika hanya dilakukan satu kali, tapi harus diberikan secara periodik,” kata Sumadi.

Selanjutnya, ia menyebutkan perlunya penentuan standar mutu di setiap institusi pendidikan melalui manajemen strategis yang dapat dicapai melalui peentuan visi-misi. Penentuan visi-misi bukan hal yang sederhana, karena akan menentukan arah kebijakan institusi tersebut.

Namun, ia menilai saat ini penentuan visi-misi tersebut hanya syarat, tanpa pemaknaan. “Padahal, ini adalah permulaan dari keberhasilan pendidikan,” kata dia.

Hal penting berikutnya adalah perubahan budaya, baik bagi pendidik maupun tenaga kependidikan, yang harus berubah ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu. Dan yang berikutnya adalah perubahan organisasi yang berkaitan dengan penempatan personalia yang tepat, baik di kabupaten/kota maupun di provinsi.

Penempatan personalia yang tidak tepat menyebabkan organisasi stagnan atau jalan di tempat, bahkan menyebabkan kemunduran suatu institusi. Ia mencontohkan, ada sekolah yang selama ini dinilai favorit oleh masyarakat, tapi menjadi tidak favorit lagi karena adanya kesalahan manajemen, termasuk penempatan personalia.

Sebaliknya, ada sekolah yang tadinya kurang favorit, tapi menjadi favorit karena adanya perbaikan manajemen dan personalia di sekolah tersebut. Untuk meraih pendidikan bermutu, kata Sumadi, diperlukan manajemen yang baik dan tepat dan berkelanjutan sehingga sedikit demi sedikit terus mengarah pada kemajuan.

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila Bujang Rahman mengingatkan dalam pendidikan yang paling mengerti dan mengenal siswa adalah guru dan sekolah, sehingga perlu adanya otoritas yang diberikan untuk mengatur dan mengelola yang disebut dengan manajemen pendidikan. “Beri kebebasan pada institusi pendidikan untuk mengatur.”

Ia mencontohkan, otonomi pendidikan di Jerman sangat baik. Hal itu terealisasi karena birokrasi pendidikan di Jerman sudah kuat. Di Finlandia yang memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia, sekolah adalah institusi yang paling berhak menentukan nilai serta kelulusan siswa melalui sistem portofolio yang membandingkan hasil belajar siswa dari waktu ke waktu.

“Tidak seperti di Indonesia yang menggunakan ujian nasional, sehingga kelulusan siswa bukan berada di tangan sekolah dan gurunya,” kata dia. Termasuk mengatur guru, terutama yang sudah mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG).

Selama mengikuti PLPG, Bujang menilai para guru telah menunjukkan kemampuan yang baik dalam mengajar, termasuk menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Tapi, manajemen pendidikan yang terkait dengan kinerja guru tersebut harus terus dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing.

“Semua harus melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan secara kontinu agar kompetensi guru dapat terus meningkat,” kata Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Lampung ini. Guru, ujar dia, harus dibina secara professional agar dapat bekerja professional. Manajemen berbasis profesional harus dilakukan agar masalah pendidikan bisa diatasi. (MG4/S-3)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 3 Mei 2012

[Hardiknas] Pendidikan Gagal Bentuk Karakter Bangsa

GENERASI muda Indonesia kehilangan nilai-nilai luhur yang menjadi karakter bangsa. Tak adanya keteladanan menjadi penyebab utama terjadinya hal tersebut.

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung Sutopo Ghani Nugroho menyimpulkan perilaku buruk politikus maupun birokrat muda saat ini menunjukkan pendidikan dalam 25 tahun terakhir telah gagal.

"Kita tidak bisa berharap pada generasi sekarang, tapi kita harus berpikir bagaimana generasi kita ke depan," ujar Sutopo.

Sutopo mengemukakan kini generasi muda tak lagi memiliki kejujuran, semangat untuk bekerja keras, kehilangan rasa peduli sesama, dan tak ada sosok yang mampu menjadi teladan maupun panutan.

"Jika hari ini kita berbicara tentang bagaimana pendidikan ke depan. Mau tidak mau kita harus berbicara pendidikan, terutama pendidikan yang berkarakter. Dan yang paling penting adalah keteladanan," ujar guru besar Unila tersebut.

Dosen Fakultas Pertanian Unila ini mengatakan Indonesia harus belajar dari masyarakat Jepang yang selalu berpegang pada prinsip kejujuran, kerja keras, kepedulian kepada sesama, dan lingkungan serta keteladanan.

Hal senada juga diutarakan Pembantu Dekan I Bidang Akademik FKIP Unila Toha B. Sampoerna Jaya yang menekankan pentingnya penanaman karakter melalui revitalisasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang telah memasuki masa 10 tahun setelah ditetapkan.

"Undang-undang pendidikan kita saat ini belum berbicara banyak soal budaya dan etika. Padahal, pendidikan suatu bangsa tidak bisa lepas dari persoalan akar budaya yang bermuara kepada etika dan norma masyarakatnya," ujar Toha.

Sementara itu, Ivan Bonang dari Komunitas Dongeng Dakocan menyatakan persoalan karakter anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah dalam hal ini guru. "Orang tua dan keluarga juga punya peran penting dalam membangun karakter anak," ujarnya. (MG1/S-3)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 3 Mei 2012

[Hardiknas] Pendidikan Perlu Sinergi Program



SILANG sengkarut problema pendidikan berawal dari pelaksanaan program yang tidak terpadu. Ke depan, semua pihak harus saling bersinergi menerapkan berbagai program pendidikan.

Warsita dari Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Lampung mengatakan berdasarkan hasil penelitian pendidikan memang sudah berjalan. Tetapi pada tataran mutu, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah.

Untuk menjawab masalah ini, diperlukan sinergi dan sinkronisasi antara Pemerintah Pusat sampai pemerintah daerah terkait program-program pendidikan. Setiap satuan kerja (satker) harus saling mendukung, misalnya dalam proses belajar-mengajar.

"Situasi sekarang setiap satker mengedepankan ego sektoral masing-masing. Ini urusanmu, ini urusanku, semua seakan terpisah-pisah. Padahal semua menjalankan program yang sama," ujarnya.

Warsita juga menekankan perlunya penilaian terhadap program kerja yang sudah dijalankan. Ia mencontohkan penilaian mengenai 18 karakter yang harus terintegrasi dalam mata pelajaran di sekolah. "Harus ada penilaian dan ukuran yang jelas agar diketahui mana yang sudah tercapai dan mana yang belum," kata Warsita.

Sependapat dengan Warsita, Kabid PMPTK Dinas Pendidikan Lampung Ria Andari mengatakan pendidikan yang terdiri dari banyak elemen memerlukan kolaborasi yang baik. Beberapa elemen seperti LSM, Dewan Pendidikan, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dan birokrat harus bersinergi untuk merumuskan dan menghasilkan kebijakan dan program sesuai dengan kebutuhan. "Kalau Anies Baswedan punya Indonesia Mengajar, kenapa kita di sini tidak membuat program Lampung Mengajar? Tetapi semua perlu dukungan dari semua pihak," ujarnya.

Dinas Pendidikan Lampung, menurut Ria, terbuka kepada setiap pemangku kepentingan untuk memberi masukan dalam rangka penyusunan program pendidikan. Termasuk dalam penyusunan APBD tahun 2013 mendatang agar setiap program dan anggaran yang dibuat dapat menjawab persoalan pendidikan.

Gegar Budaya

Sementara itu, M. Thoha B. Sampurnajaya dari FKIP Unila mengemukakan gegar budaya (culture shock) sejak 13 tahun silam tidak memberikan perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk di sektor pendidikan. "Menjelang seratus tahun kemerdekaan 2045 nanti, kita perlu memikirkan sejak sekarang. Peran itu ada pada kita, generasi Indonesia sekarang" ujar Thoha.

Dekan FKIP Universitas Lampung Bujang Rahman menambahkan pendidikan adalah pekerjaan seluruh atribut manusia yang melibatkan sinergi antara fisik, hati, dan pancaindera dan semuanya membutuhkan sistem pendukung. "Pendidikan harus dilihat komprehensif baik dari segi psikologis, motivasi, dan manajemen sehingga persoalan pendidikan dapat diatasi," ujarnya. (MG1/MG4/S-1)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 03 Mai 2012 2