May 2, 2012

Sastra Lampung, antara Tradisional dan Modern

Oleh Hasim


SAYA pribadi menghormati sastra Lampung tradisional sedalam-dalamnya. Bagi saya sastra Lampung tradisional itu elegan karena dia tetap bisa bertahan dalam bentuk aslinya, tak lekang ditelan zaman. Tapi sayangnya, saya tidak hidup pada jaman ketika sastra tradisional itu tumbuh subur. Saya ingin sekali hidup di zaman ketika saya bisa mendengar sesikun/sekiman, seganing/teteduhan, memmang, paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, ringget/pisaan/wayak, dan lain-lain itu dengan tetap menggunakan bahasa aslinya. Tapi sayang di zaman saya hidup dan berkembang saya nyaris tidak pernah mendengar satu pun di antaranya, kecuali wayak dan hahiwang.Dan, karena bahasa Lampung terus berkembang mungkin kini tidak banyak orang yang bisa menikmati sastra tradisional Lampung sepenuhnya. Bahasa yang dipergunakan dalam sastra Lampung tradisional itu tentulah bahasa Lampung tinggi seperti yang disinggung Udo Z. Karzi dalam sebuah artikelnya (klik: Sastra Modern Berbahasa Lampung), yang tidak bisa dimengerti sepenuhnya oleh orang Lampung zaman sekarang pada umumnya.

Bahasa Lampung tinggi tentulah menggunakan kata-kata dan istilah-istilah Lampung asli, yang belum tercemar oleh bahasa lain, sedangkan bahasa Lampung modern seperti yang kita gunakan saat ini sudah kental sekali pencemarannya. Saya pribadi mengalami kesulitan kalau mau menulis dalam bahasa Lampung asli. Bahasa Lampung yang saya kenal adalah bahasa Lampung yang saya gunakan dalam kehidupan saya sehari-hari di Krui. Dan karena saya tinggal di daerah pasar, maka bahasa Lampung yang kami pakai lebih kental lagi pencemarannya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah-daerah pelosok. Saya sering tidak paham dengan istilah-istilah bahasa Lampung asli yang digunakan di pelosok.

Upaya untuk melestarikan sastra Lampung tradisional adalah sebuah pekerjaan besar karena untuk itu bahasa Lampung harus dimurnikan terlebih dahulu dari segala bentuk pencemaran, dari segala pengaruh, baik dari segi kosa katanya, maupun dari segi logat pengucapannya. Dan, bahasa Lampung yang digunakan dalam sastra tradisonal harus kembali menggunakan bahasa Lampung tinggi, yang mungkin ada perbedaan baik dari segi kosa kata maupun logat pengucapannya dengan bahasa Lampung pasaran. Untuk itu diperlukan usaha serius dengan memanfaatkan nara sumber yang masih hidup seperti Masnuna.

Segala bentuk sastra lampung yang ditulis dengan tidak menggunakan bahasa Lampung tinggi, dan tidak menggunakan bentuk-bentuk sastra lisan seperti yang disebutkan di atas, saya kira memang tidak layak disebut sastra tradisional Lampung. Sastra Lampung yang tidak menggunakan salah satu bentuk di atas harus dipandang sebagai sastra Lampung modern yang penilaiannya tidak menganut asas penilaian sastra tradisonal. Apapun bentuk sastra Lampung modern yang ada saat ini—puisi, cerpen Lampung, novel Lampung, misalnya—adalah bentuk sastra modern yang berdiri sendiri, yang tidak ada hubungannya dengan sastra Lampung tradisonal.

Tapi bukan berarti apa yang ditulis dalam bentuk sastra modern ini tidak ada artinya. Bukankah modernisasi itu adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Dan karena bahasa Lampung pun berkembang menjadi bahasa modern, maka sastranya juga ikut modern, tentu dengan tidak melupakan yang tradisonal. Keberadaan sastra Lampung modern seperti yang kita kenali saat ini adalah sebuah proses yang berlangsung secara alami, seiring dengan modernisasi bahasa lampung itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pula pada bahasa-bahasa lain.

Dan seiring dengan semangat pelestarian bahasa Lampung, menulis karya sastra Lampung modern sekurangnya menunjukkan kepedulian kita akan kelestarian bahasa Lampung, sehubungan dengan adanya sinyalemen bahwa bahasa tersebut sedang berada di dalam ambang kepunahan.

Saya tidak setuju dengan para pengkritik sastra Lampung modern, yang tidak mengakui bentuk-bentuk sastra Lampung di luar bentuk-bentuk sastra tradisional. Seharusnya mereka, para pengkritik itu, tidak hanya mengkritik tetapi juga menunjukkan hasil karya mereka dalam bentuk sastra Lampung tradisonal dengan menggunakan bahasa Lampung tinggi itu. Dan membiarkan hasil karya mereka itu hidup berdampingan dengan hasil karya sastra modern sebagai perbandingan. Agar generasi kini tahu yang mana yang tradisional dan yang mana yang modern. Wallahu’alam.

Sumber: Hasim's Space, Senin, 2 April 2012

No comments:

Post a Comment