May 23, 2012

Pentas Teater: Getir Petani di Negeri Agraris

BANDAR LAMPUNG—Begitulah, kehidupan ternyata dengan sangat mudahnya berputar sedemikian rupa. Industrialisasi dan penjajahan—lebih tepatnya keterjajahan dari—asing mengubah 180 derajat sebuah keluarga petani kaya dengan lahan luas dan uang berlimpah menjadi petani miskin yang serbakekurangan.

‘ANAK YANG TERKUBUR’. Teater Satu yang mementaskan Anak yang Terkubur karya Sam Shepard di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Selasa (22-5). Lakon yang disutradarai Iswadi Pratama ini mengisahkan proses pemiskinan keluarga petani karena industrialisasi dan penguasaan asing. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Menonton pentas Teater Satu yang melakonkan Anak yang Terkubur karya Sam Shepard di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL) seakan menyaksikan realitas sosial yang terjadi di negeri ini saat ini. Iswadi Pratama, sang sutradara, berhasil mengadaptasi naskah dramawan Amerika Serikat (AS) Sam Shepard berjudul asli Buried Child yang meraih Hadiah Pulitzer untuk drama tahun 1979 ini menjadi sangat Indonesia.

Di tangan Iswadi, lakon ini terasa lebih mengedepankan sisi kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer. Kehidupan petani dan pertanian semakin termarginalkan dari negeri yang dikenal sebagai negara agraris.

Lakon ini sudah diubah sedemikian rupa dengan berbagai penyesuaian dan dilatarbelakangi sisi kehidupan yang ada di Provinsi Lampung. Dikisahkan, sebuah keluarga petani kaya yang kaya. Keluarga petani tersebut mempunyai lahan pertanian yang luas dan menghasilkan uang yang melimpah. Namun, disebabkan adanya sistem industrial, perekonomian yang berbasis pertanian yang dimiliki keluarga tersebut mengalami pergeseran. Lama-kelamaan kehidupan keluarga petani ini semakin miskin dan jauh dari kehidupan sebelumnya.

Ketika ada perkebunan karet yang dikuasi asing masuk, kehidupan keluarga ini pun berubah yang tadinya petani kaya menjadi sederhana. Lakon ini juga menceritakan tentang keluarga beserta anak-anaknya yang hancur dan istrinya melakukan kawin kontrak dengan orang asing, yang tak lain dan tak bukan sebagai penguasa dari lahan pertanian sekarang.

Anak yang Dikubur menyajikan sisi transendental atau lakon yang berbau magis. Dikisahkan, sebuah keluarga petani yang mendapatkan hasil pertanian, tetapi hanya sebagian yang tahu di mana salah satu keluarga tersebut mendapatkannya.

Misalnya, di dalam lakon itu ada cerita bagaimana anak petani mendapatkan jagung, tetapi di sekeliling rumah petani itu sudah tidak ada lagi pohon jagung. Tentu, ini jadi pertanyaan orang tuanya.

Apabila lakon ini dibandingkan dengan kondisi saat ini, lebih menonjolkan pada sisi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Lampung, yang masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencariannya. Namun, dari tahun ke tahun, lahan pertanian yang dimiliki hilang dan ada yang dijual.

Melalui akting Budi Laksana yang memerankan Alfian, petani kaya tetapi kemudian jatuh miskin, Ruth Marini (Haidar, istri Alfian), Desi Susan (Tea Herawati, anak), dan aktor-aktor Teater Satu Lampung lainnya kita ikut larut dalam suasana buram masa depan petani dan pertanian negeri ini.

Ketika para petani dalam lakon ini beralih profesi, tetapi tidak berhasil sebagaimana hasil dari pertanian yang didapat sebelumnya. Lakon ini menyiratkan gugatan tentang pemerintah yang menggalakkan pertanian, tetapi kebijakan yang dikeluarkan justru tidak relevan dengan pembangunan pertanian atau sosial ekonomi pertanian.

"Kami tidak hanya ingin memberikan tontonan yang menghibur, tetapi ada sebuah kritikan dari penonton atau masyarakat terhadap kehidupan pertanian saat ini. Kebijakan sosial ekonomi pertanian sekarang yang dilakukan pemerintah apakah sudah tepat?" kata Iswadi seusai pentas.

Lakon ini akan diusung Teater Satu Lampung ke Festival Naskah Terjemahan di Salihara, Jakarta, 22—23 Juni mendatang. (RICKY P. MARLY/U-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 23 Mei 2012

No comments:

Post a Comment