June 25, 2012

Pustaka: Jurnalis Luncurkan 'Menulis dengan Telinga'

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Jurnalis Lampung Post Adian Saputra meluncurkan buku berjudul Menulis dengan Telinga. Buku setebal 138 halaman ini berisi seputar kepenulisan, seperti teknik menulis, cara memasarkan tulisan, merayu redaktur, dan menjadikan personal branding.

Menurut Adian, buku perdana yang dibuatnya ini diterbitkan dan dijual secara indie. "Saat ini, buku bisa dibeli di beberapa toko buku seperti di kompleks SD IT Permata Bunda dan Kopma Unila," kata Adian.

Buku yang diterbitkan sebuah penerbit baru di Lampung, Indepht Publishing, ini dicetak sebanyak 1.000 eksemplar. Adian mengaku buku ini dibuat untuk menyebarkan virus menulis kepada semua orang, khususnya anak muda. Menulis merupakan keterampilan tersendiri yang bisa dipelajari dan ditekuni sampai mahir.

Menurut Adian, setiap profesi, jika ditunjang dengan kemampuan menulis, akan lebih signifikan dan menjanjikan. Kemampuan menulis pun bisa dijadikan profesi yang menjanjikan.

Adian menambahkan buku ini juga acap dipaketkan dengan pelatihan kepenulisan, misalnya  seperti kegiatan pelatihan pada 15 Juli mendatang di Metro. "Saya berencana ambil personal branding pada tema kepenulisan, editing, dan jurnalisme," ujar Adian.

Dia menambahkan sedang menjajaki kerja sama dengan toko buku besar sebagai tempat menjual buku. Dia berharap bukunya juga bisa dibeli di toko buku besar yang sudah banyak dikenal masyarakat Lampung. (MG2/K-1)

Sumber: Lampung Post, Senin, 25 Juni 2012

June 24, 2012

Lambar Raih Juara Umum Tari Kreasi Lampung

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID -  Kabupaten Lampung Barat (Lambar) kembali menorehkan prestasi dalam bidang kesenian di tingkat provinsi. Yakni menyandang predikat juara umum pada lomba tari kreasi Lampung sporting Event Festival Krakatau tahun 2012 di Taman Budaya, Bandar Lampung, Sabtu (23/6/2012) kemarin.

Kabag Humas dan Protokol Pemkab Lambar Burlianto Eka Putra mengatakan, acara tersebut diikuti oleh seluruh kabupaten/kota di Lampung. "Keluarnya Lampung Barat sebagai juara umum pada lomba tari kreasi itu setelah berhasil meraih tiga predikat kategori terbaik," jelasnya kepada Tribunlampung.co.id, Minggu (24/6/2012).

Ketiga kategori itu, rincinya, antara lain penampilan tari kreasi baru berjudul Perempuan Penunggang Harimau (ditampilkan komunitas Sanggar Setiwang), kategori penata tari terbaik, dan kategori  terbaik satu dalam  penata busana.(sulis setia markhamah)

Editor : taryono

Sumber: Tribun Lampung, Minggu, 24 Juni 2012

Merindu Dayang Rindu

Oleh Oyos Saroso HN


DIBUKA dengan tata cahaya panggung yang muram, menit-menit awal pertunjukan The Song of Dajang Rindu (Travelling Back to the Source) oleh Komunitas Berkat Yakin (Kober) di Taman Budaya Lampung, 16-17 Juni 2012, langsung menggebrak dengan suguhan tarian.


‘THE SONG OF DAJANG RINDU’. Komunitas Berkat Yakin (Kober) mementaskan lakon The Song of Dajang Rindu (Travelling Back to the Source) di Taman Budaya Lampung, Bandar Lampung, 16—17 Juni lalu. (ISTIMEWA)

Itu terjadi setelah seorang "dalang" membuka ihwal riwayat pertunjukan. "Sekaranglah mulai awal cerita. Kepada puan-puan para saudara. Dukanya perang, kasih, dan cinta Si Dayang Rindu dan Pangeran Riya," kata sang dalang (narator).

Dan, panggung yang diset secara minimalis itu menjadi arena eksplorasi penari. Ditingkah perubahan warna cahaya panggung terang perlahan, sembilan perempuan penari itu memainkan beberapa komposisi, gerak ritmis perlahan bagai gerak tarian bedaya ketawang atau bedaya anglir mendung ala Keraton Jawa, gerak bertenaga dengan pola gerak silat Lampung, hingga hentakan keras seperti pola gerak tari komtemporer Boy G. Sakti.

Sementara itu, di antara gerak rintis para penari, di panggung bagian belakang tiga perempuan membawa payung bergagang panjang bergerak perlahan dari sisi kanan menuju kiri panggung.

Ketika para penari itu "menghilang" dari atas panggung, setting pun berubah: kursi plastik warna hitam ukuran  kecil ditaruh di tengah, ada seorang laki-laki menuntun sepeda, sepasang laki-laki dan perempuan saling bergandengan tangan untuk kemudian saling melepaskan, sementara di bagian belakang panggung ada dua perempuan berjalan perlahan membawa balon berbentuk pesawat terbang dan gumpalan awan.

"Kehebohan" itu hanyalah pembuka menuju fragmen kedua, yaitu adegan yang menggambarkan suasana di Pusiban Kerajaan Palembang. Selain Pangeran Riya, dalam pertemuan agung itu juga hadir Kriya Niru (adik Pangeran Riya), para prajurit, punggawa kerajaan, dan para inang pengasuh.

Pertemuan itu hanya membahas satu hal: kecantikan Dayang Rindu. Kriya Niru menggambarkan kecantikan Dayang Rindu sebagai "Kulitnya putih kuning pohon pisang. Tahi lalatnya jarang bak bintang bertaburan. Rambutnya panjang menyapu gelombang, mengilat bak sutra pemikat. Wajahnya elok bulan purnama. Pipinya ranum bak buah mangga, waktu tersenyum bagaikan bunga."

Sementara Ki Bayi Metig menggambarkan keelokan Dayang Rindu sebagai Muli rebah penontong, ngualai keding siku sango penasak sedong, mak urung jadi ratu.

Gambaran kecantikan Dayang Rindu yang disampaikan Kriya Niru dan Ki Bayi Metig makin memperbesar hasrat Pangeran Riya untuk menyunting Dayang Rindu, meskipun ia belum pernah bertemu. Ia makin mabuk kepayang. Maka, titah pun diturunkan: Temenggung Itam, Ki Bayi Metig, dan Kriya Niru harus segera menyunting Dayang Rindu. Para prajurit itu pun bergegas berangkat bersama prajurit terbaik. Mereka membawa aneka persembahan untuk meminang Dayang Rindu. Antara lain 70 helai kulit macan, sirih, tembakau, gambir, pinang, sepeti uang mas dan perak, sepeti kain kuning, 25 peti permata bergambar bunga kencana, dan pusaka keris mulia.

Kedatangan mereka ke Tanjung Iran, kediaman Dayang Rindu, digambarkan seperti guruh di dasar laut, bunyinya bersorak bertaut lagunya kapal tiada tandingan. Mereka datang dengan perahu dan kapal dan serta peralatan perang lengkap: tombak, pedang, bedil, dan meriam.

Sesampai di rumah Dayang Rindu, utusan Pangeran Riya itu kecewa karena pinangan ditolak Wayang Semu (ayah Dayang Rindu). Itu karena Dayang Rindu sudah dijodohkan dengan Ki Bayi Radin, anak Batin Pasak di Rambang. Perang tak bisa dihindarkan. Dayang Rindu kehilangan tiga orang yang dicintai sekaligus: Wayang Semu (ayah), Ki Bayi Cili (kakak, dan Bayi Radin (calon suami). Ketiganya tewas dalam perang tersebut.

Sakit hati Dayang Rindu makin dalam. Ia pun menolak pinangan Pangeran Riya. Akhir cerita tidak menjelaskan secara detail nasib Dayang Rindu. Hanya ada penggambaran bahwa Dayang Rindu kemudian terbang ke kahyangan. Secara simbolik pula, Dayang Rindu digambarkan bertemu dengan Pangeran Riya. Namun, toh Pangeran Riya tidak bisa memperistri Dayang Rindu.

***

The Song of Dajang Rindu yang dipentaskan Komunitas Berkat Yakin naskah aslinya merupakan manuskrip karya Van der Tuuk. Naskah asli berbahasa Lampung itu kini masih tersimpan baik di Leiden, Belanda. Itu hanyalah salah satu versi di antara banyak versi legenda Dayang Rindu. Konon setidaknya ada 10-an versi legenda Dayang Rindu. Selain di Leiden, versi lain legenda Dayang Rindu manuskrip aslinya tersimpan di London, Munich, dan Dublin. Selain di Sumatera Selatan, legenda Dayang Rindu juga ada di Lampung, Sumatera Barat, dan beberapa daerah lain di Sumatera.

Sebagai legenda, masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung meyakini bahwa kisah Dayang Rindu dulunya benar-benar ada. Di Musi Rawas, Sumatera Selatan, misalnya, Dayang Rindu digambarkan sebagai putri yang turun dari langit ke bumi dengan membawa beras untuk menolong masyarakat miskin. Warga yang tidak punya benih padi diberi benih. Padi yang dibawa Putri Dayang itulah yang secara turun-temurun dibudidayakan dan kemudian disebut padi dayang rindu. Di zaman kiwari, padi jenis ini dikembangkan di Cianjur.

Tafsir lain Dayang Rindu yang dilakukan oleh sutradara Komunitas Berkat Yakin, Ari Pahala Hutabarat, saya kira menjadi momen penting untuk menggali kembali tentang naskah-naskah Malayu kuno yang kini bisa dibilang sudah "terkubur" itu. Sebagai sutradara, Ari berani keluar dari mainstream pola pemanggungan konvesional. Pementasan The Song of Dajang Rindu tidak begitu mementingkan moral cerita di balik kasih tak sampai.

Saya kira komposisi perahu-kapal dan ombak yang dimainkan para aktor Berkat Yakin sangat artistik. Lumayan dahsyat. Beberapa adegan lain juga menunjukkan kejelian dan kepiawaian Ari menafsir naskah kuno yang bahasanya klise itu. Selain menggarap secara substil beberapa komposisi, aneka gerak, tata cahaya, dan musik, pentas Komunitas Berkat Yakin kali ini juga memberikan kesegaran kepada penonton berupa aneka pembocoran yang disengaja. Misalnya adalah munculnya penyelam (dengan masker selamnya) di sela-sela gemuruh ombak pasukan Kesultanan Palembang menuju Tanjung Iran.

Bagi sebagian besar penonton, "pembocoran" semacam itu mungkin menghibur karena lucu. Pada sisi lain "pembocoran" itu justru berpotensi merusak bangunan pementasan secara keseluruhan. Keseriusan penggarapan naskah yang dilakukan lewat pendekatan "teater tari" seolah-olah menjadi sangat cair (juga "berlemak"). Semoga ini baru sebuah awal proses yang masih akan berlanjut.

Semoga tafsir saya atas tafsir Dayang Rindu yang dilakukan Komunitas Berkat Yakin ini salah. Dengan begitu masih ada harapan munculnya eksplorasi lebih dalam dan proses dialog yang lebih panjang sehingga Dayang Rindu benar-benar dirindu.

Oyos Saroso H.N., pengamat kesenian

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Juni 2012

[Buku] Praktek Keuangan Negara


Data buku   
Hukum Desentralisasi Keuangan. Dr. Yuswanto, S.H., M.H. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Mei 2012. xiv + 256 hlm.

PUBLIK tentu masih ingat kasus dugaan suap dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Selain melibatkan anggota Badan Anggaran (Banang) DPR, kasus yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pertengahan tahun lalu itu, juga sempat menyeret nama Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar.

Kasus PPID merupakan salah satu dari sekian banyak kasus keuangan. Bukan hanya mengenai para pejabat yang diduga menerima fee, melainkan bagaimana seharusnya keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan hukum. Ini penting karena suatu kebijakan idealnya tidak melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi, konsitusi menyatakan Indonesia merupakan negara hukum.

Buku berjudul Hukum Desentralisasi Keuangan ini menyoroti persoalan tersebut. Penulisnya, Yuswanto, menganalisis praktek-praktek keuangan negara dalam kacamata hukum. Kasus DPPID, misalnya. Yuswanto secara runut dan komprehensif mengurainya. Bahkan, dosen Universitas Lampung (Unila) itu mengaitkan persoalan DPPID dengan esensi dasar hukum, yakni keadilan. Pembaca bisa mengambil kesimpulan, apakah kasus DPPID melanggar hukum atau tidak.

Buku ini tidak hanya berhenti membahas kasus dugaan suap DPPID yang sempat menjadi headline surat kabar. Penulisnya juga mengkaji keseimbangan hubungan keuangan antara pusat dan daerah serta antardaerah di Indonesia. Timbulnya persoalan dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah disebabkan adanya keterbatasan sumber dana pada masing-masing level pemerintahan.

Persoalan lainnya adalah belum terdapat standar pelayanan publik minimum dalam setiap kewenangan pada setiap level pemerintahan. Padahal, hal tersebut merupakan tolok ukur dalam membuat rencana pengeluaran. Dalam bukunya, Yuswanto tidak hanya memaparkan berbagai persoalan dalam perimbangan keuangan, tetapi menawarkan solusi. Salah satunya, memfokuskan industri atau sektor ekonomi yang potensial dikembangkan dengan melibatkan masyarakat.
Buku ini semakin menarik karena membahas dana perimbangan untuk daerah pascabencana. Kita tahu bahwa Indonesia salah satu negara yang rawan bencana. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana bencana gempa bumi dan tsunami meluluhlantahkan Nangroe Aceh Darusalam (NAD) pada 26 Desember 2004.

Setahun kemudian, gempa bumi melanda Provinsi Sumatera Barat pada 28 Maret 2005. Setelah itu, Provinsi DIY Yogyakarta pada 26 Mei 2006. Bencana alam itu bukan hanya menelan korban jiwa, melainkan juga merusak bangunan dan fasilitas publik. Tidak sedikit dana yang digelontorkan pemerintah untuk membantu saudara-saudara kita disana. Bahkan, bantuan juga datang dari masyarakat internasional.

Sang penulisnya dengan lugas dan sederhana, tetapi tetap komprehensif membahas hal tersebut. Berbagai jenis dana yang diatur dalam perundang-undangan dikaitkan dengan dana perimbangan pascabencana. Misalnya, dana darurat yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pada dasarnya, biaya penanggulangan bencana nasional dibiayai APBD. Namun, Pemerintah Pusat bisa mengalokasikan dana darurat yang bersumber dari APBN dengan catatan dana APBD tidak mencukupi. Dengan demikian, Pemerintah Pusat dapat memberikan dana darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas. Adapun pengertian krisis solvabilitas ialah krisis keuangan berkepanjangan yang dialami selama dua tahun anggaran dan tidak dapat diatasi melalui APBD.

Suatu daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi pemerintah pusat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Krisis solvabilitas ditetapkan pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR. Selain dana darurat juga dibahas dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana hibah.
Dengan berbagai dukungan bantuan ditambah hibah mestinya daerah-daerah yang mengalami bencana alam, khususnya, NAD bisa menjadi lebih baik. Setidaknya, roda pemerintahan disana bisa bergerak lagi.

Buku ini semakin lengkap karena membahas perkembangan otonomi daerah. Pembaca bisa memahami bagaimana praktek keuangan negara dalam otonomi daerah. Buku ini sayang dilewatkan para mahasiswa, praktisi hukum, dan jurnalis yang hendak mendalami problematika keuangan negara.

Hendry Sihaloho, pembaca buku, alumnus Fakultas Hukum Unila

Sumber: Lampung Post, Minggu, 24 Juni 2012

June 21, 2012

Anak yang Dikubur


Gladi bersih forum lakon adaptasi "Anak yang Dikubur" oleh Teater Satu di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Kamis (21/6). Lakon dengan gaya tradisional Lampung itu bercerita tentang keluarga yang telah kehilangan seluruh nilai-nilai biografisnya sebagai sebuah keluarga. (ANTARA/ALDINO ANATUSA).

June 20, 2012

Mahasiswa Lampung Pentas Budaya di Semarang

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Keluarga Mahasiswa dan Pelajar Lampung (Kamapala) menggelar Pentas Budaya Nusantara di Semarang, Jawa Tengah, kata Ketua Kamapala Hamdani, Selasa (19-6).

Ia menyatakan pergelaran itu dalam rangka menyemarakkan hari jadi keempat organisasi mahasiswa dan pelajar Lampung di Semarang yang digelar di Aula Balai Kota Semarang, Sabtu (16-6).

Pentas Budaya Nusantara ini diikuti organisasi mahasiswa dan pelajar dari daerah lain yang ada di Semarang, antara lain Ikatan Mahasiswa Lombok (IML), IKAMMI (Minang), Gama Satria (Banyumas), Bali, Kalimantan Timur, dan Maluku Tenggara.

Pentas Budaya Nusantara ini juga dihadiri Kadispora Semarang, kepala Badan Kesbangpolinmas Provinsi Lampung, kepala Sekretariat Badan Perwakilan Pemerintah Provinsi Lampung di Jakarta, dan ketua Lampung Seandanan (Paguyuban warga Lampung Semarang).

Gubernur Lampung, diwakili Kepala Kesbangpolinmas Provinsi Lampung Hidayat, mengatakan Pentas Budaya Nusantara yang dilaksanakan para mahasiswa dan pelajar Lampung yang ada di Semarang ini merupakan langkah positif yang patut diacungi jempol dan didukung.

"Ini sebuah langkah tepat untuk menumbuhkembangkan kreativitas para mahasiswa dan pelajar. Selain itu, merupakan langkah strategis untuk mempromosikan Lampung melalui seni budaya sekaligus untuk melestarikan budaya," ujar Hidayat.

Dia mengucapkan terima kasih kepada organisasi mahasiswa dan pelajar dari daerah lain yang ikut berpartisipasi menyemarakkan pergelaran ini, dengan menampilkan kesenian dari daerah mereka masing-masing.

"Melalui pergelaran budaya ini bisa dijalin rasa persatuan dan kesatuan. Selain itu, para mahasiswa dan pelajar juga bisa saling belajar dan menghargai budaya dari masing-masing daerah," kata dia.

Ketua Kamapala Hamdani menyatakan kegiatan pergelaran budaya ini bertujuan mempererat persahabatan. Menurut dia, Pentas Budaya Nusantara ini juga merupakan upaya untuk melestarikan budaya daerah di dunia yang makin mengglobal saat ini.

"Meskipun kami di rantau, tetap berusaha untuk menumbuhkembangkan budaya daerah. Ini merupakan salah satu langkah untuk memperkenalkan dan mempromosikan Lampung lewat seni budaya," ujar dia.

Hamdani menambahkan Kamapala yang bermarkas di Jalan Sri Rejeki Raya, RT XI, RW V, Kelurahan Gisikdrono, Semarang Barat, kini memiliki anggota sekitar 500 orang mahasiswa dan pelajar asal Lampung. "Kegiatan ini merupakan salah satu bukti kreativitas positif Kamapala," kata Hamdani. (ANT/K-1)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 20 Juni 2012

June 19, 2012

Kober Pentaskan ‘The Song of Dajang Rindu’

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komunitas Berkat Yakin (Kober) mementaskan lakon bertajuk The Song of Dajang Rindu, menguak epik terbesar Sumatera Selatan, Sabtu—Minggu (16—17 Juni) di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung. Penonton yang disasar adalah mahasiswa dan umum.


Komunitas Berkat Yakin (Kober) mementaskan The Song of Dajang Rindu di Taman Budaya Lampung (TBL) Sabtu-Minggu, 16-17 Juni. (ISTIMEWA)


Pimpro pertunjukan Iskandar G.B. mengatakan The Song of Dajang Rindu versi Kober adalah seni pertunjukan yang terdiri dari penokohan dan peristiwa dramatik (teater realis), teater puisi-imaji, tari gerak, sastra lisan (pantun dan warahan) yang hadir bersama-sama ke panggung teater.

Dia  mengatakan The Song of Dajang Rindu adalah pementasan teater modern dengan spirit tradisi, khususnya Sumatera Selatan. Kober merajut perbedaan ruang dan waktu antara kisah yang berabad-abad tumbuh dan hidup hampir di semua wilayah Sumatera Selatan tersebut dengan kondisi kekinian.

Menurut dia, tahun ini Kober kembali dipercaya sebagai penerima Hibah Seni Kelola 2012 untuk kategori karya inovatif. Kelola adalah organisasi nirlaba nasional yang memberi perhatian pada seni dan budaya Indonesia dengan menyediakan peluang belajar, akses pendanaan, informasi, dan pertukaran budaya. Sejak 1999 Kelola telah membuka kesempatan belajar bagi 3.500 orang Indonesia yang layak dibantu dalam berkarya di bidang tari, musik, teater, dan seni visual.

Sementara itu, sutradara pertunjukan Ari P. Hutabarat mengatakan pementasan ini adalah hasil studi dan eksplorasi atas teks yang dari tahun 1905 milik Mamak Usman St. Rt. Gumanti dari Gunungsugih dan kemudian disunting oleh Krisna R. Sempurnadjaja tahun 1993 berjudul Tetimbai Dayang Rindu (sebuah rekaman cerita tutur).

Cerita hasil rekonstruksi Kober terbagi dalam tujuh adegan. Masing-masing adegan memiliki titik tekan yang berbeda. Ada beberapa isu yang diangkat dari teks Dayang Rindu, seperti gender (feminisme), sisi politis, cinta, kehormatan, dan lain-lain. Kekayaan ini yang mencoba dieksplorasi dan dihadirkan ke panggung. Didukung 30-an performer, selama sekitar 60 menit penonton dimanjakan berbagai macam bentuk ekspresi, seperti gerak, dialog, komposisi-komposisi, ruang, penataan cahaya, kostum, musik, dan lain-lain menjelma sebuah cerita.

Pada bagian eksperimentasi gerak, teks tidak dilisankan, tetapi tecermin pada ragam ekspresi tubuh, yang minimalis tetapi mengandung dinamika di dalamnya. Gerak performer ini berasal dari hasil kodifikasi bentuk-bentuk tari dan silat Lampung atau Sumatera.

Situasi dramatik sebagaimana realisme (stanislavski) dapat dijumpai pada salah satu adegan lainnya. Ikon-ikon modern hadir pada penokohan dan dialog juga tampak pada pemilihan kostum pemain.

Sementara itu, rancang ruang (scenery) dan elemen-elemen visual terus diekplorasi sehingga menciptakan berbagai komposisi-komposisi, membentuk dunia imajinasi (fiksi) tertentu yang berlapis-lapis laiknya puisi.

Bambu, bangku kayu, dan lidi menjadi pilihan untuk memperkuat kesan primordial dari pertunjukan. Selain di Lampung, The Song of Dajang Rindu juga akan dipentaskan di Jakarta dan Yogyakarta. (MG5/S-3)

Sumber: Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2012

June 17, 2012

Tujuh Perupa Lampung Melukis Kota Tua Jakarta

BANDARLAMPUNG -- Tujuh perupa Lampung diundang untuk melukis kawasan kota tua di DKI Jakarta.
   
Informasi dari pengurus Dewan Kesenian Lampung (DKL), di Bandarlampung, Sabtu, memastikan tujuh pelukis Lampung yang diundang ke Jakarta ini akan bergabung bersama dengan pelukis dari daerah lainnya yang terpilih untuk kesempatan yang sama.
   
Hajat melukis bersama ini dilaksanakan Minggu (17/6).
   
Menurut Ketua Komite Seni Rupa DKL, Salvator Yen Joenaedhy, ini merupakan kesempatan yang baik untuk menunjukkan bahwa pelukis Lampung juga berkualitas dan bisa sejajar dengan pelukis dari daerah lainnya.
   
Tujuh pelukis yang diundang, yaitu Salvator Yen Joenaedhy, Atuk, Dana E Rachmat, Indra Wilmar, Syamsu Rizal, Yulius Benardi, dan Lilis Suryati Syah Putri.
   
"Saya agak kaget juga ketika DKL menerima undangan untuk mengirim pelukis Lampung ke event ini. Apalagi hasil dari lukisan 'on the spot' ini akan dipamerkan di Jakarta," ujar Salvator pula.
   
Dia menambahkan, keberangkatan para pelukis Lampung didukung DKL, mengingat undangan itu merupakan kesempatan yang bergengsi.
   
DKL mendukung event ini dan menilai sebagai langkah tepat untuk mengangkat pamor jagad seni rupa Lampung, kata Salvator.
   
Ketua Umum DKL, Hj Syafariah Widianti SH MH, menyatakan sangat mendukung keberangkatan tujuh perupa Lampung mengikuti event itu.
   
Mereka bisa menunjukkan kemampuannya sebagai duta budaya Lampung, kata dia.
   
"Saya berharap mereka bisa menimba ilmu dan juga bersaing dalam kualitas karya," ujar Syafariah pula.
   
Ketua Harian DKL, HarryJayaningrat, SSos MM, menilai keberangkatan tujuh perupa Lampung untuk mengabadikan kota tua Jakarta bersama perupa dari kota lainnya, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta menunjukkan Lampung juga patut diperhitungkan dalam jagad seni rupa nasional.
   
"Saya berharap mereka bisa menunjukkan prestasi dan kualitas karyanya. Apalagi nantinya akan ditindaklanjuti untuk dipamerkan bersama di Jakarta," ujar Harry pula.

Sumber: Antara, Minggu, 17 Juni 2012

June 15, 2012

Buku Terasing di Negeri Sendiri Beredar di Lampung


BANDAR LAMPUNG (Lampost.Com): Buku Terasing di Negeri Sendiri karya Oki Hajiansyah Wahab sudah beredar di Lampung pagi ini. Buku yang mengetengahkan cerita konflik tanah dan kemanusiaan di Register 45 itu mendapat sambutan banyak pihak. Buku yang diterbitkan Indepth Publishing itu dijual dengan sistem indie atau self publishing.

Direktur Indepth Publishing Tri Purna Jaya mengatakan buku itu dicetak seribu eksemplar dan sudah banyak dipesan. Tri mengatakan pihaknya menyasar mahasiswa, dosen, dan para aktivis sebagai pangsa pasar. Tri mengungkapkan buku karya mahasiswa program doktor Universitas Diponegoro, Semarang, itu juga disambut positif aktivis kemanusiaan dari luar negeri, seperti Hong Kong dan Belanda.

Tri mengatakan harga buku tersebut Rp35 ribu dan pemesan bisa menghubungi Indepth Publishing atau penulisnya sendiri. Bahkan, kata mantan jurnalis Lampung Post itu, buku karya Oki itu akan diterbitkan ke dalam dua bahasa: Inggris dan Belanda. "Seorang penerjemah sedang kami minta mengalihbahasakan ke bahasa Belanda dan Inggris. Pemesan di kedua negara itu cukup besar," ujarnya pagi ini. Tidak menutup kemungkinan dalam tiga bulan ke depan buku itu akan dicetak lagi.

Sementara penulis buku, Oki Hajiansyah, kepada Lampung Post mengatakan hasil penjualan buku akan digunakan untuk membangun Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan posyandu di Moromoro, Mesuji. Sebab, masyarakat yangtak mendapat haknya di sana itu sangat kekurangan sarana edukasi dan kesehatan.

"Alhamdulillah, pengerjaannya sudah 40 persen. Semoga hasil penjualan buku bisa menutup kekurangan biaya pembangunan TPA dan posyandu," kata Oki yang berbilang tahun mengadvokasi masyarakat Moromoro. (ASP/L-1)

Sumber: Lampung Post.com, Jumat, 15 Juni 2012 

June 10, 2012

Absurditas dalam Realitas yang Belum Tuntas

Oleh Sahlan Mujtaba


TEATER Satu kembali akan berlakon di Komunitas Salihara. Kali ini, Teater Satu akan mementaskan Anak yang Dikuburkan karya Sam Shepard dalam Festival Naskah Terjemahan, 22-23 Juni nanti. Sebelu dipentaskan di Jakarta, lakon yang cukup populer di Amerika ini telah mereka mainkan di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), 22 Mei lalu.


‘ANAK YANG TERKUBUR’. Teater Satu yang mementaskan Anak yang Terkubur karya Sam Shepard di Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Selasa (22-5). Lakon yang disutradarai Iswadi Pratama ini mengisahkan proses pemiskinan keluarga petani karena industrialisasi dan penguasaan asing. (LAMPUNG POST/ZAINUDDIN)

Anak yang Dikuburkan (Buried Child) adalah lakon Sam Shepard, penulis terkemuka Amerika, yang ditulis pada 1979. Tahun itu merujuk pada diakronis perkembangan industrialisasi di Amerika. Peristiwa yang bersifat kausalitas dalam memengaruhi pelbagai kehidupan masyarakatnya. Rizom industri kian masif merepresi ke pelbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Materialisme menjadi orientasi radikal manusia tanpa perlu mengacuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia terlampau disederhanakan sebagai "mesin", "sekrup" atau "materi" yang tak memiliki perasaan serta pikiran. Barangkali femomena itu menjadi mozaik kepingan-kepingan teks yang dipungut Sam Shepard atas kelahiran Anak yang Dikuburkan.

Lakon Anak yang Dikuburkan terjemahan Dian Ardiansyah dan Ami Risalatun yang dipentaskan Teater Satu, 22 Mei lalu telah mengalami proses adaptasi. Sutradara Iswadi Pratama melakukan modifikasi struktur dan konteks sehingga mengalami reduksi serta habituasi konteks ke dalam persoalan masyarakat Lampung; secara sadar ia berusaha menampilkan biodrama satir eksistensialisme manusia yang menginternalisasi teks (hasil adaptasi) ke dalam tekstur (panggung), seperti yang diyakininya bahwa embarkasi wacana-wacana Sam Shepard selalu bertolak dari pertanyaan-pertanyaan tentang makna keber-Ada-an manusia. Wacana industrialisasi hanya menjadi latar peristiwa, tidak dikupas lebih jauh.

Tokoh-tokoh di dalam lakon Anak yang Dikuburkan memiliki impresi pada pelbagai pilihan hidup. Pilihan hidup secara personal dalam kebebasan tampak pada tokoh Dogi atau Alfian (Budi Laksana), pilihan hidup pada orientasi materialisme tampak pada tokoh Hedar atau Heli (Ruth Marini), pilihan hidup terhadap pencarian identitas, akar atau sumber tampak pada tokoh Iben (M. Gandhi Maulana), dan konsistensi "kesakitan" yang mesti dijalani Thea (Desi Susanti) dan Bahnan (Baysa Deni).

Nuansa absurditas sangat kental dalam lakon Anak yang Dikuburkan. Sebuah keluarga dengan segala kehancuran hidupnya seolah-olah mempertanyakan "apakah hidup ini pantas untuk dijalani?" Penderitaan yang bersifat komplementer dalam kemiskinan sangat akrab digeluti keluarga ini, seperti; Dogi yang lumpuh, Thea yang sakit mental, dan Bahnan yang cacat kakinya tidak bisa mereka obati karena keterbatasan materi.

Absurditas semakin tegas ketika pelbagai peristiwa memunculkan enigma-enigma tidak terduga, seperti: Thea membawa beberapa jagung yang diakuinya hasil memetik dari kebun jagung di belakang rumah padahal lahan pertanian sudah jelas tak bersisa lalu ia sering mendengar suara-suara aneh dari arah kebun itu, perdebatan Dogi dengan Heli tentang pembicaraan anak hasil darah dagingnya (anaknya yang mana?), pengakuan Thea tentang pembunuhan seorang anak yang dilakukan Dogi (anak siapa?), lalu kedatangan sosok misterius, Iben, yang mengaku anak atau cucu. Enigma-enigma itu hadir bertumpuk dan berserakan di pelbagai peristiwa sehingga mengafirmasi pada suatu kehidupan yang absurd.

Strategi untuk memecah absurditas itu disiasati dengan cerdik oleh Iswadi Pratama dengan gaya realisme yang bertendensi ke arah transendental. Konsep realisme membantu untuk mengungkapkan realitias objektif ke atas panggung sehingga muncul gambaran keseharian yang wajar. Segala "kesakitan" yang terjadi dalam keluarga tidak ditampilkan dengan ketragisan yang berlebihan melainkan dengan segala kewajaran dalam realitas sehari-hari sehingga ketragisan itu justru mencapai titik kulminasi absurditas.

Senada dengan Albert Camus (1999: 164), sebuah karya absurd dapat dikenali melalui kontradiksi tragedi dengan rohani pikiran dan wujud konkretnya; antara jiwa yang tak kenal batas dan kegembiraan jasmani yang fana. Karya absurd menjadi punya kekuatan jika ditampilkan kontras-kontras sejajar antara keduanya dan membaurkan bentuk ketragisan inheren dengan yang logis dalam keseharian.

Sedangkan pengucapan bahasa rupa, unsur-unsur transendental tampak diafirmasi oleh artistik panggung dengan visual pohon jagung kering yang mengelilingi rumah. Jagung itu menjadi personifikasi dan simbol yang mengandung keluasan makna; benih masa depan yang telah ranggas, romantisme kesuburan yang terenggut mesin-mesin, atau apapun. Bentuk ungkap transedental berguna untuk menggambarkan fenomena nyata yang tidak teramati pada tingkat kognitif. Pelukis Ari Susiwa Manangisi berhasil mengkonstruksi sebuah rumah dengan kesederhanaan dan kewajaran. Namun, penciptaan ruang itu terlampau indah, bersih dan rapih sehingga menegasikan kemiskinan, penderitaan, dan "kesakitan" sebuah keluarga.

Terlepas dari itu penataan ruang tertata sangat baik, di sebelah kiri atas panggung tampak sebuah ruangan menjulang kokoh seperti mengagresi dan mengekspansi ruang lainnya. Ruang itu adalah ruang privasi Heli yang berperan sebagai pembuka gerbang konflik, segala penderitaan yang mempunyai hubungan erat dengan masa lalunya.

Secara keseluruhan lakon ini lezat untuk diapresiasi. Panggung menghidangkan konfigurasi variasi ketragisan yang dapat menyeret pada keharuan, kelucuan, kesedihan dan kegetiran. Keterampilan akting sudah dilampaui dengan baik oleh aktor-aktornya.

Walaupun dunia ini absurd, hidup tetaplah berarti. Harapan menjadi satu-satunya alasan manusia untuk tetap hidup, seperti dalam dialog penutup, Hedar mengucapkannya dengan lirih "Hujan lebat yang indah. Memberi tunas-tunas kecil. Tunas kecil yang putih menyembul di permukaan tanah." Tabik!

Sahlan Mujtaba, sutradara dan aktor dari Bandung. Saat ini tengah magang manajemen di Teater Satu dalam Program Magang Nusantara Yayasan Kelola.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 10 Juni 2012

June 6, 2012

Peluncuran Buku: Pemerintah Harus Selamatkan Dipasena

JAKARTA (Lampost): Pemerintah diharapkan tidak cuci tangan, tapi mesti terlibat dalam menyelamatkan sebanyak 7812 petambak Dipasena, khususnya menyangkut kemitraan dan hak kewajiban inti plasma sebagaimana surat PT PPA Persero tertanggal 15 Juni 2007.


PELUNCURAN BUKU. Fadilasari (tengah) berbicara dalam diskusi dan bedah bukunya, Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang di Jakarta, Selasa (5-6). Diskusi juga menghadirkan utusan petambak udang, Towilun, dengan moderator Sekjen Kiara Abdul Halim. (LAMPUNG POST/HESMA ERYANI)

Demikian terungkap dalam diskusi dan bedah buku Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang, di Jakarta, Selasa (5-6). Diskusi menghadirkan penulis buku Fadilasari, utusan petambak udang Towilun, dan moderator Abdul Halim (Sekjen Kiara).

Menurut Fadila, di balik kisruh yang selalu mencuat di Dipasena, ada cerita panjang yang terangkai. Bahkan, sejak awal Dipasena dibuka ribuan petambak itu merasa ditipu oleh perusahaan mitra, baik dari segi finansial maupun sosial. "Ternyata, pemerintah selama ini tidak tegas dan kurang berpihak pada ribuan petani udang di Dipasena," kata Fadila.

Menurut Abdul Halim, sengketa muncul saat perjanjian kerja sama disepakati antara inti dan plasma. Inti persoalannya adalah ketidakterbukaan dan monopoli serta wanprestasi perusahaan.

Sementara itu, menurut Towilun, dalam praktek di lapangan terjadi pola kemitraan yang tidak beres. Bahkan, pihak perusahaan tidak mau belajar dari kesalahan. Pola kemitraan yang seharusnya dikembangkan adalah berbentuk bagi hasil.

Fadila juga melihat konsep kemitraan ini belum ideal. Dia menyarankan disusun Undang-Undang Kemitraan Spesifik karena untuk perusahaan Dipasena terdapat aset sangat besar dan ribuan petambak.

Terkait dengan bukunya, wartawan MetroTV ini mengatakan buku tersebut berusaha mencari solusi penyelesaian konflik Dipasena. "Dipasena semestinya bisa menjadi penopang perekonomian dari sektor nonmigas," katanya.

Untuk itu, tentunya perlu ada tulisan yang kronologis dan sebab-akibat bagaimana rangkaian konflik itu terjadi sehingga publik tidak bisa melihat sepotong-sepotong. (HES/U-2)

Sumber: Lampung Post, Rabu, 6 Juni 2012

June 3, 2012

[Buku] Kisah Runtuhnya Kerajaan Bisnis Udang

Data buku:

Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang. Fadilasari. Sijado, Bandar Lampung, Maret 2012. xi + 284 hlm. ISBN: 9786021821602.


PADA era 1990-an Dipasena adalah sebuah nama besar. Kala itu, Dipasena adalah sebuah impian tentang kehidupan sejahtera. Tambak yang berada di Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang, Lampung, seluas 16.250 hektare. Sebelum konflik meletus, tak kurang dari 9.033 petambak plasma dan 11 ribu karyawan menggantungkan hidup dari Dipasena ini.

Pada 1997, citra Indonesia terangkat karena menjadi produsen udang terbesar kedua di dunia. Kontribusi nyata telah dilakukan PT Dipasena Citra Dermaja—milik pengusaha Sjamsul Nursalim—mengangkat nama Indonesia di mata pelaku bisnis internasional melalui panen perdana udang tahun 1990.

Mengutip data Bank Indonesia, Fadilasari, penulis buku ini, mencatat devisa negara yang disumbangkan Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, Dipasena mampu membukukan sebesar 10 juta dolar AS. Lalu, 30 juta dolar AS pada 1992. Puncaknya pada 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS. Atas keberhasilannya dalam ekspor udang ini, Dipasena pernah meraih Eksport Primanyarta pada 1995, 1996, dan 1997 (hlm. 2).

Rawajitu, tempat Dipasena membangun bisnis tambak udang tahun 1989, telah menjadi magnet bagi banyak orang yang berharap dapat memperbaiki nasib. Maka ada kisah seorang Syukri J. Bintoro yang meninggalkan profesi gurunya untuk memburu impian di sebuah perusahaan dengan gaji besar, tetapi ternyata ia hanya menjadi petani udang. Abdu Syukur yang melamar bekerja sebenarnya sudah merasa ada keanehan sistem kerja di Dipasena, tetapi harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik mendorongnya meneruskan bekerja di perusahaan ini.

Betapa bahagianya Albert M. Limbong ketika dinyatakan diterima menjadi petambak di Bumi Dipasena sampai kemudian ia mulai merasakan adanya keanehan dan kemudian perusahaan ini mulai limbung. Demikian pula yang dialami Maryono dan Nafian Faiz; awal yang begitu menggoda, tetapi kenyataannya hanya kamuflase.

Pamor Dipasena mulai pudar. Sejak 2000, perusahaan ini mulai tak terdengar lagi. Tambak udang itu kolaps. Perusahaan sudah tak memproduksi dan mengekspor udang lagi.

Ribuan plasma yang masih tersisa, tulis Fadila, bertambak sendiri-sendiri dan menyatakan putus hubungan dengan inti. Di satu sisi pertambakan mandiri itu sangat menguntungkan para petambak, tetapi di sisi lain pertambakan menjadi rusak parah. Pada saat bersamaan, aset Dipasena diambil alih pemerintah untuk menutupi utang Sjamsul Nursalim.

Dalam buku setebal hampir 300 halaman ini, Fadilasari mampu menggambarkan secara dramatis tentang tumbuh-kembangnya, masa-masa kejayaan, bagaimana konflik mulai menggerogoti, hingga runtuhnya sebuah kerajaan bisnis udang bernama Dipasena. Dengan gaya feature yang kuat, lengkap dengan detail dan kedalaman—kebetulan Fadilasari memang jurnalis Metro TV, sebelumnya wartawan Tempo News Room—buku ini membaca sebuah kisah kehidupan.

Membaca empat belas bagian ditambah prolog dan epilog, serasa membaca novel atau malah drama yang disajikan dengan enak dan enjoy. Bagian pertama—seperti dikutip pada bagian awal resensi ini—menampilkan beberapa pengalaman sosok di yang menjadi korban kisah sukses dan tenggelamnya Dipasena. Bagian kedua hingga bagian ketujuh bercerita tentang Dipasena mulai dari berdiri, masa jaya hingga hancurnya.

Mulailah babak baru ketika (bagian ketujuh) Dipasena direkapitalisasi dan tender ulang (bagian kedelapan). Lalu ada revitalisasi Dipasena (bagian kesembilan dan kesepuluh) yang malah melahirkan kekisruhan baru (bagian kesebelas) dan kerunyaman baru (bagian kedua belas).

Pada bagian akhir (bagian ketiga belas dan keempat belas, termasuk epilog), Fadilasari menyodorkan alternatif solusi bagi penyelesaian kasus Dipasena. Dia juga menekankan bahwa kemitraan yang dibangun harus tetap berlandaskan hak asasi manusia (HAM).

Sebuah buku penting bagi kaum buruh, pengusaha, dan pemerintah, terutama pihak-pihak yang bergerak di bidang agrobisnis dan aktivis HAM. Fadilasari telah merekam secara lengkap dan komprehensif mengenai apa dan bagaimana yang sesungguhnya yang terjadi di Bumi Dipasena. Semua pihak dapat memetik pelajaran dari kisah ini. n

Udo Z. Karzi, editor di Pustaka Labrak, Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Juni 2012