June 3, 2012

[Buku] Kisah Runtuhnya Kerajaan Bisnis Udang

Data buku:

Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang. Fadilasari. Sijado, Bandar Lampung, Maret 2012. xi + 284 hlm. ISBN: 9786021821602.


PADA era 1990-an Dipasena adalah sebuah nama besar. Kala itu, Dipasena adalah sebuah impian tentang kehidupan sejahtera. Tambak yang berada di Rawajitu Timur, Kabupaten Tulangbawang, Lampung, seluas 16.250 hektare. Sebelum konflik meletus, tak kurang dari 9.033 petambak plasma dan 11 ribu karyawan menggantungkan hidup dari Dipasena ini.

Pada 1997, citra Indonesia terangkat karena menjadi produsen udang terbesar kedua di dunia. Kontribusi nyata telah dilakukan PT Dipasena Citra Dermaja—milik pengusaha Sjamsul Nursalim—mengangkat nama Indonesia di mata pelaku bisnis internasional melalui panen perdana udang tahun 1990.

Mengutip data Bank Indonesia, Fadilasari, penulis buku ini, mencatat devisa negara yang disumbangkan Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, Dipasena mampu membukukan sebesar 10 juta dolar AS. Lalu, 30 juta dolar AS pada 1992. Puncaknya pada 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS. Atas keberhasilannya dalam ekspor udang ini, Dipasena pernah meraih Eksport Primanyarta pada 1995, 1996, dan 1997 (hlm. 2).

Rawajitu, tempat Dipasena membangun bisnis tambak udang tahun 1989, telah menjadi magnet bagi banyak orang yang berharap dapat memperbaiki nasib. Maka ada kisah seorang Syukri J. Bintoro yang meninggalkan profesi gurunya untuk memburu impian di sebuah perusahaan dengan gaji besar, tetapi ternyata ia hanya menjadi petani udang. Abdu Syukur yang melamar bekerja sebenarnya sudah merasa ada keanehan sistem kerja di Dipasena, tetapi harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik mendorongnya meneruskan bekerja di perusahaan ini.

Betapa bahagianya Albert M. Limbong ketika dinyatakan diterima menjadi petambak di Bumi Dipasena sampai kemudian ia mulai merasakan adanya keanehan dan kemudian perusahaan ini mulai limbung. Demikian pula yang dialami Maryono dan Nafian Faiz; awal yang begitu menggoda, tetapi kenyataannya hanya kamuflase.

Pamor Dipasena mulai pudar. Sejak 2000, perusahaan ini mulai tak terdengar lagi. Tambak udang itu kolaps. Perusahaan sudah tak memproduksi dan mengekspor udang lagi.

Ribuan plasma yang masih tersisa, tulis Fadila, bertambak sendiri-sendiri dan menyatakan putus hubungan dengan inti. Di satu sisi pertambakan mandiri itu sangat menguntungkan para petambak, tetapi di sisi lain pertambakan menjadi rusak parah. Pada saat bersamaan, aset Dipasena diambil alih pemerintah untuk menutupi utang Sjamsul Nursalim.

Dalam buku setebal hampir 300 halaman ini, Fadilasari mampu menggambarkan secara dramatis tentang tumbuh-kembangnya, masa-masa kejayaan, bagaimana konflik mulai menggerogoti, hingga runtuhnya sebuah kerajaan bisnis udang bernama Dipasena. Dengan gaya feature yang kuat, lengkap dengan detail dan kedalaman—kebetulan Fadilasari memang jurnalis Metro TV, sebelumnya wartawan Tempo News Room—buku ini membaca sebuah kisah kehidupan.

Membaca empat belas bagian ditambah prolog dan epilog, serasa membaca novel atau malah drama yang disajikan dengan enak dan enjoy. Bagian pertama—seperti dikutip pada bagian awal resensi ini—menampilkan beberapa pengalaman sosok di yang menjadi korban kisah sukses dan tenggelamnya Dipasena. Bagian kedua hingga bagian ketujuh bercerita tentang Dipasena mulai dari berdiri, masa jaya hingga hancurnya.

Mulailah babak baru ketika (bagian ketujuh) Dipasena direkapitalisasi dan tender ulang (bagian kedelapan). Lalu ada revitalisasi Dipasena (bagian kesembilan dan kesepuluh) yang malah melahirkan kekisruhan baru (bagian kesebelas) dan kerunyaman baru (bagian kedua belas).

Pada bagian akhir (bagian ketiga belas dan keempat belas, termasuk epilog), Fadilasari menyodorkan alternatif solusi bagi penyelesaian kasus Dipasena. Dia juga menekankan bahwa kemitraan yang dibangun harus tetap berlandaskan hak asasi manusia (HAM).

Sebuah buku penting bagi kaum buruh, pengusaha, dan pemerintah, terutama pihak-pihak yang bergerak di bidang agrobisnis dan aktivis HAM. Fadilasari telah merekam secara lengkap dan komprehensif mengenai apa dan bagaimana yang sesungguhnya yang terjadi di Bumi Dipasena. Semua pihak dapat memetik pelajaran dari kisah ini. n

Udo Z. Karzi, editor di Pustaka Labrak, Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 3 Juni 2012

2 comments: