April 29, 2012

[Fokus] Hidupkan Tradisi Kompetisi Film!

TRADISI perfilman di Lampung belum kuat dan mengakar. Para movie maker pemula dan senior jarang sekali menggelar diskusi bersama untuk membahas tentang film yang bagus. Kondisi itu diperparah dengan minimnya workshop soal film.

Penikmat film, Juperta Panji Utama, menilai festival film di Lampung sangat jarang. Walaupun ada, periodenya sangat lama, hanya setahun sekali. Padahal bila banyak kompetisi, makin terasah untuk membuat film.

Selain kompetisi yang jarang, kata dia, diskusi soal film pun hampir tidak ada. Walaupun ada, terkadang para movie maker tidak mau ikut dalam diskusi. Padahal diskusi dan sharing sangat penting untuk saling mengkritisi karya yang ada.

Dia mengatakan dalam dunia kreatif tidak ada istilah senior dan junior. Siapa pun yang punya karya yang bagus layak untuk tampil. Jadi, jangan ragu jika memiliki karya untuk dikritik dan diberi masukan.
Juri FFI Darmajaya ini mengatakan perlu dibangun tradisi yang kuat tentang film. Meskipun di Lampung belum memiliki institut seni, sudah ada jurusan komunikasi yang juga berkaitan dengan film.

Ketua Komite Film DKL Dede Safara mengakui bahwa keberadaan institut seni akan membawa pengaruh yang besar dalam perkembangan film. Misalnya seperti di Jakarta dan Yogyakarta yang sudah lama memiliki institut seni. “Pelajar yang berprestasi dalam film tidak perlu ke luar Lampung untuk menimba ilmu,” kata dia.

Panji mengusulkan agar ada pertemuan bulanan yang menjadi ajang untuk para pembuat film menampilkan karyanya. Bila ada panggung untuk menampilkan karya, para sineas pun tidak perlu khawatir untuk terus berkarya karena sudah ada media untuk menampilkan film.

Dede dan Panji pun sepakat jika misalnya bioskop 21 memberi ruang kepada para pembuat film lokal untuk menampilkan karyanya. Hal ini pernah dilakukan beberapa bioskop di daerah Jawa.

Dede mengungkapkan perlu ada pelatihan dan workshop bagi para sineas muda untuk terus mengembangkan potensinya. Misalnya untuk mengasah kemampuan praproduksi film.

Penggiat Komunitas Film Indie Kotabumi, Muslim Wildan, mengatakan sangat jarang sekali ada pelatihan dan workshop tentang film. Terakhir kali dia ikut workshop tahun lalu di IAIN Raden Intan. Dengan biaya sendiri, dia ikut pelatihan tersebut. “Padahal yang yang berminat dalam film sangat banyak, tapi semua kebanyakan belajar sendiri,” kata dia.

Wildan menilai Lampung miskin kompetisi film. Padahal lewat kompetisilah para pembuat film saling unjuk kemampuan. Orang-orang dari daerah pun ingin sekali bisa bersaing dengan movie maker di kota.
Danar Yudhistira dari MP Film dan Ahmad Suhari dari Komunitas Jatisariku berharap Lampung memiliki satu komunitas besar yang menaungi semua pembuat film yang ada di bumi khua jurai. Dalam komunitas inilah kemudian para pembuat film handar berkolaborasi untuk menghasilkan sebuah karya yang bisa mengangkat nama Lampung.

Danar mengatakan beberapa komunitas memiliki kemampuan yang lebih dalam hal pengambilan gambar, editing, naskah, dan sutradara. Orang-orang yang jago dari setiap komunitas ini kemudian menyatukan ide untuk menghasilkan sebuah film yang berkualitas.

Suhardi mengungkapkan komunitas besar yang menyatukan semua pembuat film penting untuk saling melengkapi. Jika semua unsur pembuat film sudah bersatu, mimpi untuk menghasilkan film layar lebar yang menasional bisa terwujud. “Perlu ada orang yang harus menggerakkan komunitas besar tersebut,” kata dia.

Danar mengatakan pembuat film indie di Lampung sudah cukup bagus dan bisa bersaing dengan kota lain. Untuk bisa memenangkan persaingan, maka perlu kerja keras dan ide kreatif supaya film yang dibuat bisa berbicara banyak di kompetisi nasional.

Panji pun sepakat bahwa banyak pembuat film di Lampung yang bagus. Lampung pun sudah bisa menunjukkan kualitasnya di tingkatan nasional. Hal itu dibuktikan dengan juara film di Yogyakarta yang diraih pelajar SMKN 5 Bandar Lampung. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

[Fokus] Gelora Film ‘Indie’ Lampung

KREATIVITAS anak-anak muda Lampung untuk menunjukkan aktivitasnya melalui audio visual independen (film indie) tak terbendung. Mereka terus berkarya meski dengan kamera sederhana dan biaya cekak.

Anak-anak muda ini terus berkarya membuat film indie. Dengan biaya sendiri dan peralatan seadanya, mereka mengubah satu ide kreatif menjadi bentuk audio visual yang bisa dinikmati banyak orang. Meskipun merasa kemampuan membuat film masih kurang, gairah untuk menunjukkan bahwa “kami punya karya” menjadi dorongan semangat.

Multimedia Photografy (MF) Film SMAN 7 Bandar Lampung memakai kamera poket untuk membuat film pendek di tahun 2011. Dari kamera sangat sederhana itulah sekumpulan pelajar itu membuat film berjudul Pancasila Biru. Film bertema nasionalisme itu ternyata memenangkan juara pertama dalam Festival Film Indie Darmajaya 2011.

Salah satu penggiat MP Film, Danar Yudhistira, mengaku kesulitan membuat film dengan memakai kamera poket. Aktor pun dituntut untuk lebih aktif bergerak karena keterbatasan kemampuan kamera. Meskipun demikian, proses praproduksi harus matang supaya film yang dibuat bisa lebih bagus.
Diskusi dengan beberapa penggiat film pun dilakukan oleh MP Film untuk memberikan masukan dalam film yang digarap. Kerja keras mereka pun diganjar dengan mendapat penghargaan sebagai film terbaik.

Lain lagi dengan Komunitas Film Indie Kotabumi, Lampung Utara. Komunitas yang diisi oleh berbagai macam profesi ini pun tetap berkarnya dengan alat handycam dan tripot. Sejak dibentuk dua tahun lalu, mereka sudah menghasilkan dua film. Dua film itu diikutkan dalam FFI Darmajaya dan di tahun 2011 masuk nominasi film terbaik.
Komunitas ini tergolong punya fasilitas yang cukup dengan memiliki studio untuk mengedit film.

Namun, saat ingin mengikuti kompetisi film di Jakarta, mereka terkendala dana sehingga tidak jadi berangkat.

Penggiat Komunitas Film Indie Kotabumi, Muslim Wildan, mengaku sudah mengirimkan satu film pada sebuah kompetisi di Jakarta. Namun, saat diminta untuk datang ke Jakarta, komunitas sedang tidak punya uang dan akhirnya batal.

Menurut Wildan, komunitas pun bekerja sama dengan beberapa sekolah dalam membuat film. Misalnya dalam mencari pemeran film yang dipilih dari beberapa pelajar SMA.

Komunitas Jatisariku juga tidak ketinggalan membuat film indie. Komunitas yang berada di daerah Jatisari, Lampung Selatan, ini sudah memproduksi dua film bergenre action comedy dengan judul Jatisari First Blood I dan Jatisari First Blood II. Pembuatan film yang mengambil lokasi di daerah yang sama ini menggunakan kamera pinjaman. Bahkan, kini komunitas sudah menyelesaikan film ketiga Jatisari First Blood Reloaded.

Menurut Ahmad Suhardi, penggiat Komunitas Jatisariku, membuat film pendek dilakukan karena rasa ingin belajar. Beberapa teman memang ada yang jago membuat efek, jago editing, dan memakai kamera. Setelah berkumpul, akhirnya tercetuslah ide membuat
film. “Kami buat film ingin fun aja,” kata dia.

Film Jatisari First Blood I dan II diikutkan dalam FFI Darmajaya. Sedangkan film ketiga akan diikutkan dalam festival film indie di Yogyakarta.
Komunitas yang aktif membuat film ada juga di Pesawaran. Mereka menamakan diri sebagai Komunitas Film Indie Pesawaran. Komunitas yang dibentuk sejak 2008 ini sudah membuat 30 miniseri untuk televisi lokal dan satu film pendek. Namun, film pendek belum diikutkan dalam festival apa pun.

Ketua Komunitas Film Indie Pesawaran, Rizqon Agustia Fahsa, mengaku belum terlalu percaya diri dengan film yang sudah dibuat.
Komunitas ini rutin melakukan diskusi, sharing, dan nonton bareng untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat film. Misalnya, diskusi untuk membuat naskah. Menurut Rizqon, semua anggota komunitas belajar membuat film secara autodidak. “Kami juga download e-book di internet
untuk menambah pengetahuan soal film,” kata dia.

Unit Kegiatan Mahasiswa Darmajaya Computer and Film Club (DCFC) juga bergerak dalam pembuatan film indie. Anggota DCFC Anca mengatakan untuk membuat sebuah film indie, terkadang harus menggunakan uang pribadi. Dana diperlukan untuk membeli kaset dan perlengkapan lain, seperti konsumsi dan uang bensin saat proses pembuatan film.

Selain komunitas, film juga sudah merambah hingga sekolah-sekolah. Misalnya SMAN 1 Bandar Lampung, SMAN 7, SMAN 2, SMAN 9, SMKN 1 Bandar Lampung, SMKN 5. Beberapa sekolah di luar Bandar Lampung pun sudah memiliki ekstrakurikuler film.

Untuk tingkat pelajar, prestasi bidang film ini sangat membanggakan. Film dokumenter buatan pelajar SMKN 5 Bandar Lampung  mendapat juara I dalam Festival Film Fajar Yogyakarta tahun 2011. Pada 2010, SMKN 5 Bandar Lampung juga menyabet juara II untuk festival film yang sama.

Ketua Komite Film DKL Dede Safara mengakui bahwa kualitas film para movie maker sudah lumayan bagus. Namun, ia menyesalkan tidak ada konsistensi dalam berkarya dan regenerasi. Ketika sudah memenangi lomba dan lulus sekolah kemudian menghilang. “Yang sangat disayangkan setelah menghilang tidak melakukan regenerasi sehingga tidak ada penerus yang akan menjadi movie maker selanjutnya,” kata dia.

Dede manambahkan pembuat film di Lampung, untuk pelajar dan komunitas, membuat film hanya sebatas ada festival saja. Jika tidak ada perlombaan, tidak ada film yang dibuat. Dia menyebut fenomena ini sebagai gelembung sabun. Ramai jika ada festival dan kemudian pecah jika acara sudah selesai. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

[Fokus] Bebas Berekspresi di Film ‘Indie’

FILM independen (indie) terus menggelora di Lampung. Kebebasan berekspresi membuat jalur “nonprofit” ini lebih kreatif menggarap tema.

BUAT FILM. Sejumlah siswa SMK Samudera, Bandar Lampung, menggarap film indie berjudul The Anyway Gank yang berlokasi syuting di halaman sekolah tersebut, beberapa waktu lalu. (LAMPUNG POST/DOKUMENTASI)

Ratusan pelajar dan penikmat film berkumpul di lantai III Gedung Pascasarjana IBI Darmajaya, Rabu (25-4). Rungan begitu gelap dan hening. Semua mata tertuju ke depan tempat diputarnya beberapa film pendek. Tepuk tangan langsung hadir dan bergemuruh ketika satu per satu film selesai diputar.
Di ruang itu sedang berlangsung screening yang menjadi bagian dari Festival Film Indie (FFI)  Darmajaya 2012. Perhelatan film pendek yang digelar Darmajaya Computer dan Film Club (DCFC) diadakan setiap tahun sejak 2009. Di 2012 ini ada 33 film yang masuk festival.
Teman film yang masuk beragam, ada action comedy, animasi, dan drama.

Dari tahun ke tahun jumlah peserta festival makin banyak. Di tahun sebelumnya, hanya ada 15 film. Bahkan di tahun awal festival, film yang masuk ke panitia tidak sampai sepuluh film. Ketua Pelaksana Festival Risky Rahman Taufik menilai, banyaknya peserta menunjukkan FFI makin dipandang oleh para pembuat film di Lampung. Makin banyaknya film yang masuk membuktikan bahwa para sineas sudah bermunculan dengan berbagai macam ide.

Peserta yang ikut dalam festival  dedominasi oleh pelajar SMA. Sebagian lagi adalah komunitas-komunitas film dan rumah produksi. Pelajar SMA yang mengirim bukan hanya dari Bandar Lampung, ada beberapa yang dari kabupaten seperti Lampung Utara, Tanggamus, Pesawaran, dan Lampung Selatan.

Dari perhalatan film indie lokal ini ternyata sudah banyak movei maker yang muncul di sekolah-sekolah. Dengan peralatan sederhana dan kemampuan terbatas, mereka memberanikan diri membuat film.

Juri FFI Juperta Panji Utama mengatakan munculnya movie maker di kalangan pelajar ini menunjukkan bahwa sudah banyak tunas-tunas yang punya keinginan dan semangat untuk membuat film. “Hal ini perlu dilihat sebagai sebuah potensi agar mereka terus bisa berkarya dan berkembang menjadi pembuat film yang lebih matang,” kata dia.

Panji menilai, film yang masuk dalam FFI sudah cukup baik. Ada beberapa film yang memiliki ide yang kreatif. Namun, perlu ada sentuhan-sentuhan lagi supaya bisa menjadi film yang lebih berkarakter.

Dia mencontohkan sebuah film pelajar SMA yang bercerita tentang dunia pendidikan, seperti ujian nasional. Ide cerita menarik. Pembuat film pun bisa memadukan tokoh menjadi hidup. Sejak awal film dimulai, sudah enak dan menarik. Namun, pada bagian  akhir tidak begitu bagus.
“Artinya sudah ada ide kreatif yang muncul tapi perlu ada sentuhan lain yang ditambahkan supaya film lebih menempel kuat pada penonton,” kata dia.

Danar Yudhistira, yang bergiat di Multiedia Photografy (MP) Film SMAN 7 Bandar Lampung, menilai, tema film dalam FFI tahun 2012 sudah lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Tema tahun ini sudah keluar dari tema mainstream yang ada, seperti percintaan, broken home, dan
narkoba. Bahkan peserta sudah berani mengambil tema soal nasionalisme.

“Tema film indie memang harus berbeda dengan film yang ada. Film indie perlu menyampaikan pesan yang bisa menempel kuat di pikiran penonton,” kata Danar yang pernah memenangi FFI tahun 2011.
Panji mengungkapkan banyaknya pelajar dan komunitas film yang muncul dan terus berkarya harus menjadi pemikiran bersama para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah dan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Potensi pelajar ini perlu terus diasah dan dibimbing untuk meningkatkan kualitas dan bisa berkarya dengan baik.

“Dari merekalah nanti akan muncul para pembuat film yang akan mengharumkan nama Lampung,” kata dia.
Film yang menjadi bagian dari industri kreatif perlu terus dikembangkan di Lampung. Menurutnya, Lampung juga punya potensi untuk mengembangkan kreatif film, bukan hanya usaha kecil menengah (UKM) saja.
Ketua Komite Film DKL Dede Safara Wijaya pun menilai kualitas pembuat film indie yang ada di Lampung saat ini sudah cukup baik. Namun, harus perlu dimatangkan kembali, mulai dari praproduksi hingga setelah produksi. “Saya nilai pelajar dan pembuat film indie masih sangat lemah dalam hal praproduksi,” kata dia.
Dia mencontohkan ada satu film dalam FFI yang cukup bagus di awal. Tapi jelek saat ending. “Kenapa di akhir film malah membuat penonton jadi antiklimaks. Seharusnya ending-nya jauh lebih enak dan membekas di kepala penikmat film. Jadi setelah nonton, langsung ‘dek’ nempel di kepala,” kata dia, saat ditemui usai melihat screening film FFI. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

[Perjalanan] Ziarah Kisah di Pagardewa

PAGARDEWA adalah salah satu kampung tua di Lampung. Terletak di pinggir Way Tulangbawang, kampung ini memiliki eksotisme sejarah dan kisah-kisah raja-raja Lampung.

Kampung pinggir sungai ini berada di Kabupaten Tulangbawang Barat. Beredar cerita-cerita rakyat dengan bukti autentik berupa barang peninggalan dan makam-makam tua. Sayangnya, kampung itu terkesan terisolasi dari perkampungan lain.

Betapa tidak, guna menjangkau kampung yang dihuni tak kurang 2.000 jiwa itu, harus melintasi jalan rusak dan berdebu hingga puluhan kilometer. Lebih parah lagi, kampung yang telah ada sejak sekitar abad V atau VI Masehi itu tak memiliki jaringan listrik yang disuplai pihak PT PLN laiknya kampung lain di provinsi ini.

Untuk menjangkau Kampung Pagardewa, ada beberapa jalur alternatif yang bisa kita tempuh. Jalur pertama dari Unit II Tulangbawang atau lebih dikenal Jalur Etanol. Sebab, pada jalur tersebut terdapat sebuah industri etanol. Jalur sepanjang sekitar 25 kilometer yang rusak itu melintasi sejumlah kampung tetangga.

Jalur kedua, pengunjung dapat melintasi Unit VI dengan jarak tempuh hampir sama dengan jalur pertama. Pada jalur kedua itu pun jalan dalam kondisi rusak parah, berdebu, dan banyak lubang. "Kalau jalannya bagus, dari Menggala bisa kurang satu jam," kata Bahrain, warga Kampung Pagardewa yang kini menetap di Bandar Lampung.

Ketika Lampung Post sampai di Pagardewa, banyak kita jumpai kendaraan mewah yang parkir pada sisi kiri dan kanan jalan. Mereka bukan saja warga asal kampung itu yang pulang kampung, melainkan banyak juga mereka yang berasal dari daerah lain yang bermaksud ziarah ke makam para ulama atau raja Islam yang dimakamkan di kampung itu.

Selain itu, kita juga dapat menjumpai bangunan masjid, rumah panggung yang dibangun ratusan tahun silam. Tak hanya itu, di ujung kampung kita dapat memanfaatkan waktu istirahat di tepi sungai Tulangbawang dengan semilir angin yang nan sejuk. Sesekali tampak nelayan dengan perahu mereka hilir mudik di sungai besar itu.

Sambil menikmati semilir angin dari hulu sungai Tulangbawang, Bahrain banyak bercerita tentang keberadaan Kerajaan Tulangbawang termasuk Kampung Tua Pagardewa. Menurut kisah, Kerajaan Tulangbawang maupun Kampung Pagardewa telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Lampung atau telah ada sejak abad V atau VI Masehi.

Meskipun hingga kini Kerajaan Tulangbawang tak jelas keberadaannya, sejumlah pihak menyatakan jika kerajaan itu terletak di hulu Kota Menggala atau Kampung Pagardewa sekarang. Hal itu dibuktikan adanya sejumlah makam (keramat) seperti makam Rio Mangku Bumi, Ratu Bagus Koneng, H. Pajurit Glr Minak Kemala Bumi, dan makam sejumlah tokoh atau raja Islam lainnya.

Selain itu, Kampung Pagardewa merupakan kawasan yang terletak di hulu Sungai Tulangbawang yang mengalir ke hilir, yakni ke Kampung Teladas/Dente, Way Kanan, Negeri Besar, Way Kiri hingga ke Tabu Kayu dan Negeri Jungkarang.

Mengapa dinamakan Pagardewa? Dari sebuah buku berjudul Kerajaan Tulangbawang Sebelum dan Sesudah Islam karangan H. Assa'ih Akip (1976) menjelaskan bahwa Pagardewa berasal dari dua kata yakni Pagar dan Dewa. Artinya, sebuah kampung yang di dalamnya dikelilingi keramat atau makam yang menurut anggapan masyarakat kampung itu sama halnya dengan dewa karena kesaktian mereka semasa hidup.

Selain sakti, para tokoh yang dimakamkan di kampung itu banyak menyimpan beragam mukjizat seperti dengan mudah menyembuhkan orang sakit serta kesaktian lain.

"Ada satu ungkapan yang hingga kini masih diingat orang, yakni Pagardewou Mengan Jimo yang berarti orang Pagardewa makan orang," kata Bahrain.

Sebenarnya, kata dia, ungkapan itu tidak demikian. Saat itu Minak Pati Pajurit Gelar Minak Kemalo Bumi akan ke Negeri Balau Kedamaian (saat ini Kedaton, Bandar Lampung) bermaksud mempersunting putri Raja Dibalau untuk dijadikan permaisuri. Agar sampai di Negeri Balau, Pati Pajurit melintasi jalur laut, yakni dari hulu Sungai Tulangbawang menuju Laut Jawa dan tiba di muara Way Lunik, Panjang.

Tiba di Way Lunik, Pati Pajurit lalu bermalam. Dan malam itu, pria yang memiliki ilmu sakti itu menangkap seekor rusa dan langsung memanggangnya. Sementara, prajurit Ratu Dibalau yang melihat hal itu beranggapan jika Pati Pajurit sedang memanggang manusia. Minak Pati Pajurit yang sadar aksinya itu disaksikan sejumlah prajurit dengan lahap menyantap daging rusa yang dipanggangnya itu. Dan, sejumlah prajurit Ratu Dibalau itu pun kian ketakutan.

"Jadi ungkapan orang Pagardewa makan orang itu enggak benar. Karena orang Pagardewa itu juga manusia biasa," kata dia.

Dalam buku itu juga dijelaskan, sekitar tahun 1950-an, jika telah larut malam di Kampung Pagardewa, warga tak jarang mendengar suara-suara aneh. Antara lain tabuhan musik kerajaan dan hiruk pikuk manusia seolah sedang menggelar sebuah pesta. Anehnya, ketika beragam suara-suara aneh didekati, suara itu pun menghilang dan yang tinggal sebuah kesenyapan.

"Tak dimungkiri, hingga kini Kampung Tua Pagardewa banyak menyimpan misteri dan cerita aneh dari tokoh terdahulu," kata Bahrain yang didampingi Karmani.

Hal-hal aneh lain yang kerap dijumpai warga kampung itu adalah saat mereka mencari rotan di hutan ujung kampung. Di tengah hutan itu, warga kerap melihat sebuah bangunan rumah megah seperti istana yang lengkap dengan gong besar terbuat dari emas serta peralatan kerajan lain. "Ini bukan takhayul. Tapi, benar-benar terjadi. Dan, di Kampung Pagardewa memang banyak menyimpan misteri," kata dia. (CHAIRUDIN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 April 2012

April 27, 2012

Ratusan Masyarakat Waykanan Antusias Ramaikan "Bualih"

Waykanan -- Ratusan masyarakat Kabupaten Waykanan, Provinsi Lampung, Jumat, mengikuti acara "Bualih" atau menangkap ikan beramai-ramai tanpa menggunakan racun dan peralatan selain tangan.

Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Waykanan, Alamsyah Ibrahim, di Blambangan Umpu yang berada sekitar 220 km utara Kota Bandarlampung mengatakan, acara tersebut juga dilakukan untuk meramaikan hari jadi daerah itu yang ke-13.

Selain itu juga, katanya, diharapkan bisa mempererat tali silaturahim antarwarga setempat dan menumbuhkan sportivitas dalam kegiatan tersebut.

Bualih merupakan tradisi masyarakat Waykanan, Lampung dalam menangkap ikan beramai-ramai dan tidak menggunakan peralatan lain, seperti jala dan racun, hanya dengan tangan saja.

Meski demikian, sejumlah masyarakat banyak yang melanggar peraturan, yakni menggunakan jala untuk menangkap ikan.

Panitia yang mengetahui perbuatan itu meminta warga tidak menggunakan jala karena telah melanggar aturan.

Selain dihadiri sejumlah kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Waykanan, kegiatan yang berlangsung di kolam depan rumah dinas bupati juga dihadiri personel grup legendaris Koes Plus, Yon Koeswoyo.

Bupati Bustami Zainudin dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bustam Hadori nampak mendampingi Yon yang akan tampil meramaikan HUT daerah itu pada Sabtu (28/4), di Islamic Center setempat.

"Inilah kolam susu di Waykanan, Mas Yon," canda bupati yang disambut dengan gelak tawa masyarakat termasuk Yon.

Selain sejumlah masyarakat yang meramaikan Bualih dengan turun ke kolam, Kepala Badan Keluarga Berencana Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan Waykanan Panca Yusdek Nugroho juga ikut membaur turun menangkap ikan bersama masyarakat, termasuk Ketua PWI Waykanan, Masri Yanto.

Sumber: Antara, Jumat, 27 April 2012

April 26, 2012

'Begawi': Lima Kebuayan Beri Gelar 51 Tokoh

BLAMBANGAN UMPU (Lampost): Sebanyak 51 tokoh dan pengusaha yang dianggap berjasa untuk pembangunan Lampung dan Way Kanan diberi adok (gelar) dan masuk adat lima kebuayan di Kabupaten Way Kanan. Pemberian gelar itu dihadiri tamu kehormatan, peneliti kebudayaan Lampung, Margareth J. Kotomi dari Australia.

Acara digelar dalam pesta adat (begawi) di gedung Islamic Center, Rabu (25-4). Pemberian gelar adat dihadiri tokoh adat dari Kebuayan Semenguk, Buay Baradatu, Buay Barasakti, Buay Pemuka Bangsa Raja, dan Buay Pemuka Pangeran Udik.

Pemberian gelar adat disaksikan Ketua Majelis Penyimbang Adat Provinsi Lampung Kanjeng Sutan Pesirah Penata Adat Sang Bumi Ruwai Jurai I, anggota Forkopimda Kabupaten Way Kanan, Wakil Bupati Way Kanan Raden Nasution Husin Gelar Raja Hukum. Selain itu, para penyimbang adat Way Kanan, penyimbang marga, penyimbang Tiyuh Jak lima kebuayan setempat.

Dalam kesempatan itu, Bupati Way Kanan Bustami Zainudin menjelaskan kegiatan dimaksudkan menjalin rasa kekeluargaan yang lebih dekat antara para penyimbang marga, penyimbang tiyuh dari lima kebuayan. "Sekaligus upaya melestarikan budaya Lampung, khususnya Kabupaten Way Kanan."

Oleh sebab itu, kata Bustami, gelar adat itu diberikan kepada para tokoh dan pengusaha yang telah berjasa membangun Lampung, khususnya Kabupaten Way Kanan. Pengangkatan sebagai bagian keluarga besar itu untuk memberikan rasa memiliki dan menjadikan Way Kanan sebagai kampung halaman sendiri.

Sebelum pemberian gelar adat, dalam rangka menyambut HUT ke-13 Kabupaten Way Kanan, PT Bukit Asam (Persero) Tbk. merealisasikan program CSR berupa bantuan pendidikan tahun 2012 senilai Rp360 juta kepada 50 mahasiswa asal Way Kanan yang diserahkan langsung Direktur SDM dan Umum PT BA Maizal Gazali dan diterima Bupati Bustami Zainudin.

Bantuan itu merupakan kepedulian PT BA kepada daerah sekitar sebagai komitmen perusahaan untuk berkembang harmonis bersama lingkungan.

"Ke depan, kami selalu berkomunikasi supaya daerah-daerah terpencil bisa berkembang seperti daerah lain, khususnya daerah di Kabupaten Way Kanan," kata Maizal Gazali.

Sedangkan Bustami dalam sambutannya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PT BA atas perhatian dam kepeduliannya kepada perkembangan pendidikan di Way Kanan. "Maka dari itu kami dari Marga Semenguk Lima Kebuayan memberikan gelar kepada pimpinan PT BA, di antaranya Direktur SDM dan Umum Maizal Gazali bergelar Pangeran Jaya Delaga, Direktur HRD dan Umum PT BATR (anak perusahaan PT BA) Amir Faisol gelar Minak Kusuma Jaya, Specialist License dan Permit PT BATR Hendra Gunawan gelar Minak Sepuluh Ratu, dan Manajer Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT BA Teguh Budi Santoso gelar Minak Kepala Migo."

Selain itu, gelar adat juga diberikan kepada sejumlah tokoh, di antaranya istri Gubernur Lampung Ny. Truly Sjachroedin Z.P. gelar Sutan Ratu Takunan, Kajari Blambangan Umpu R.M. Ari Prio Agung gelar Tuan Kejaksaan, Manajer Unit Usaha Tulung Buyut PTPN VII Moch. Tasrif Fachruddin gelar Pangeran Ratu Liyu, dan Direktur Utama PT Bumi Madu Mandiri (BMM) Gunamarwan gelar Pangeran Wira. (LEH/D-3)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 26 April 2012

April 25, 2012

Wartawan Boikot Liput Prosesi Adat "Angkonan"

Waykanan -- Sejumlah Wartawan Kabupaten Waykanan dan Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung, menolak meliput prosesi adat yang diselenggarakan pemerintah setempat untuk melestarikan budaya "Angkonan" atau angkat saudara karena pembawa acara menyatakan akan mendenda Rp24 juta bila mengambil gambar saat prosesi berlangsung.

"Sepatutnya cara menyampaikannya tidak demikian, cukup dengan bicara sopan, maaf acara akan segera dimulai, mohon untuk tidak mengambil gambar terlebih dahulu, tidak perlu bicara keras-keras dengan pengeras suara," kata salah satu wartawan setempat, Hendra, di Blambangan Umpu yang berada sekitar 220 km utara Kota Bandarlampung, Rabu.

Ia mengatakan, pembawa acara yang berseru melalui pengeras suara, meminta Wartawan untuk tidak mengabadikan prosesi itu dengan menggunakan kamera saat acara adat itu berlangsung termasuk pernyataan denda Rp24 juta.

"Pernyataan itu sama saja melecehkan profesi Wartawan," kata dia.

Dampak dari pernyataan tersebut membuat para Wartawan yang sedianya meliput kegiatan tersebut meninggalkan acara adat tersebut dan kemudian meletakkan peralatannya di lokasi kegiatan yang dilangsungkan di Islamic Center setempat sebagai simbol protes.

"Sebagai tanda protes atas pernyataan atau cara penyampaian komunikasi yang berlebihan tersebut," kata dia lagi.

Wartawan Waykanan lainnya, Guntur, mengaku mengajak Wartawan TVRI dari Bandarlampung untuk tidak meliput kegiatan tersebut supaya tidak terkena denda yang bernominal tinggi.

"Daripada terkena denda, dia saya ajak menyingkir keluar," kata Guntur.

Selain pernyataan denda, sejumlah panitia juga meminta wartawan menggunakan pakaian adat teluk belanga saat prosesi tersebut berlangsung.

Namun hal tersebut tidak dilakukan para wartawan sehubungan tidak ada pemberitahuan sebelumnya tentang penggunaan pakaian adat saat kegiatan tersebut dari Pemerintah Kabupaten Waykanan, termasuk sejumlah tokoh adat setempat.

Insiden tersebut membuat Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Waykanan Rinaldi menemui wartawan yang akhirnya berkumpul di luar acara berlangsungnya kegiatan tersebut.

Rinaldi menyatakan wartawan tetap bisa meliput dari pintu samping ruangan. Tetapi para wartawan yang terlanjur kecewa terlihat enggan mengikuti arahan Rinaldi.

Berdasarkan pemantauan, sejumlah wartawan akhirnya kemudian meninggalkan lokasi prosesi adat dan memutuskan untuk tidak meliput kegiatan yang dikabarkan menelan dana miliaran rupiah tersebut.

Sumber: Antara, Rabu, 25 April 2012

Kapolda Lampung Bergelar Pangeran Naga Besar

Waykanan -- Kapolda Lampung Brigjen Jodie Rooseto, di Islamic Center, Waykanan, Provinsi Lampung, Rabu mendapat adok atau gelar adat "Pangeran Naga Besar" dari Buay Pemuka Bangsa Raja, Negeriagung.

 RATU PETINGGI ILMU BUDAYA. Peneliti alat musik tradisional Lampung, Gamolan dari Monash University Melbourne, Australia, Prof. Dr Margaret J. Kartomi (tengah) menghadiri prosesi adat yang diselenggarakan Pemkab Waykanan untuk melestarikan budaya angkat saudara di Islamic Center, Blambangan Umpu, Rabu (25/4). Margareth yang sebelumnya mendapat gelar Ratu Berlian Sanggun Anggun dari Pemprov Lampung, kembali mendapat gelar Ratu Petinggi Ilmu Budaya dari salah satu marga setempat, yakni Buay Baradatu.  (ANTARA/GATOT ARIFIANTO)

Selain Kapolda, berdasarkan informasi dari Humas Pemerintah Kabupaten Waykanan, Danrem 043/Gatam Kolonel Czi Amalsyah Tarmizi juga mendapat gelar adat "Tuan Perwira" dari Buay Pangeran Udik, Blambangan Umpu.

Sementara Gubernur Sjahroedin ZP mendapat gelar adat "Sutan Raja Mangku Bumi", dari Buay Semenguk, Negeri Agung. Adapun Ketua DPRD Lampung Marwan Cik Asan, mendapat gelar "Tuan Helau Muda" dari Buay Pemuka Pangeran Tua, Pakuanratu.

"Pemerintah Kabupaten Waykanan berupaya melestarikan budaya "Angkonan" atau angkat saudara," kata Kabag Humas setempat, Rinaldi.

Selain dari unsur Forkompida Lampung dan Waykanan, akademisi dari Monash University Melbourne, Australia, Prof Dr Margaret J Kartomi yang melestarikan musik tradisional Lampung, Gamolan, juga mendapat gelar "Ratu Petinggi Ilmu Budaya" dari Buay Baradatu, Kecamatan Baradatu.

Termasuk Kapolres Waykanan, AKBP Yulias, juga mendapat gelar adat dari Buay Baradatu, yakni, "Sutan Perwira Negara Pengayom Marga".

"Pemerintah Kabupaten Waykanan memandang budaya angkat saudara perlu dilestarikan sehingga seluruh warga daerah ini bersaudara," kata Rinaldi lagi seraya menambahkan bahwa masyarakat di daerah itu majemuk terdiri dari berbagai suku.

Dandim 0427 Way kanan Letkol Kav M Jaelani juga mendapat gelar adat "Pusaka Agung" dari Buay Burasakti, Pakuanratu.

Sementara Kajari Waykanan, RM Ari Prio Agung mendapat gelar Tuan Kejaksaan dari buay atau penata bangsa raja yang sama dengan Amalsyah Tarmizi.

Adapun Danlanal Lampung, Kolonel Laut Sukiharno Andreas mendapat gelar adat "Tuan Dalom Bahari" dari buay Buay Pemuka Pangeran Tua, Pakuanratu.

Selain dari unsur Forkompida, sejumlah pengusaha dari PT Bukit Asam, PT Palm Lampung Persada diantaranya, juga terdaftar mendapat gelar adat pada acara tersebut.

Sumber: Antara, Rabu, 25 April 2012

Akademisi Australia segera Luncurkan Buku Keindahan Lampung

Waykanan -- Akademisi dari Monash University, Melbourne, Australia, Prof Dr Margaret J Kartomi, segera melucurkan buku "Keindahan Seni Lampung, Dulu dan Sekarang?" yang menggambarkan sejarah, sifat dan arti seni daerah ini.

"Sejak kembali ke Melbourne, saya banyak diwawancarai oleh radio dan pers nasional dan pers setempat mengenai Lampung," kata Margaret, didampingi dosen Program Studi (Prodi) Seni Tari Universitas Lampung (Unila), Hasyimkan, di Blambanganumpu yang berada sekitar 220 km utara Kota Bandarlampung, Rabu.

Buku tersebut, menurut dia, akan memuat banyak foto berwarna dan berukuran besar, dengan kualitas yang baik.

"Rencana isi buku itu sudah kami selesaikan secara mendetail, dan separuh besar naskahnya sudah ditulis," kata dia lagi.

Margaret yang kembali mendapatkan gelar adat "Ratu Petinggi Ilmu Budaya" dari Buay Baradatu, Kecamatan Baradatu, Waykanan itu menagatakan, bagian naskah yang lain akan diselesaikan sesudah perjalanan keliling Provinsi Lampung, termasuk di Kabupaten Waykanan.

"Seni dan budaya Lampung sampai sekarang agak diabaikan di luar Lampung, walaupun sifat dan kualitasnya luar biasa bagus dibandingkan dengan seni dari daerah lain di dunia," ujar dia.

Halaman buku yang sedang disiapkan tersebut, berukuran 30x30 cm, dan memuat banyak foto dari objek seni dan pemandangan alam Lampung yang dikenal indah.

"Penerbit Universitas Monash akan menerbitkan buku tersebut dengan kertas yang bermutu tinggi, memakai kulit muka dari kulit imitasi dan huruf-huruf emas," kata dia menerangkan lagi.

Ia mengharapkan, buku yang ditulis bersama anaknya, Dr Karen Sri Kartomi Thomas yang juga mendapat gelar adat "Ratu Suri Marga" dari Buay Pemuka Pangeran Tua, Pakuanratu tersebut, dapat segera diterbitkan dan dijual untuk umum pada saat "Pameran Seni Lampung" yang sedang dirancang pelaksanaannya.

"Sekitar 3 September hingga 26 Oktober di Galeri Fo Guang Yuan di 141 Queen Street, Melbourne, buku itu akan dipamerkan," ujar dia lagi.

Peneliti alat musik tradisional Lampung, "Gamolan", sebelumnya telah mendapatkan gelar adat "Ratu Berlian Sanggun Anggun" dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) itu, menyatakan, akan mengadakan Seminar Internasional Gamolan Lampung yang kedua.

"Seminar direncanakan berlangsung 7-8 September di Monash University, bersamaan Festival Indonesia yang juga biasanya diadakan pada bulan September di Melbourne," ujar dia menambahkan.

Sumber: Antara, Rabu, 25 April 2012

April 22, 2012

SKM Teknokra Harus Jaga Eksistensi

Bandarlampung - Para pendiri Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) yang kini telah berusia 35/37 tahun, berharap eksistensi pers mahasiswa itu tetap terjaga hingga akhir zaman.

Harapan itu disampaikan para pendiri pers mahasiswa Unila, pada Reuni Akbar sekaligus perayaan HUT ke-35/37 SKM Teknokra Unila, di Kampus Gedongmeneng, Bandarlampung, Sabtu (21/4) malam.

Asep Unik SE ME, salah satu pendiri Teknokra Unila menegaskan bahwa koran kampus itu dirintis dengan inisiatif sekelompok mahasiswa Unila yang tergolong idealis pada saat itu, dengan dukungan fasilitas seadanya.

"Ternyata Teknokra yang kami rintis saat itu, masih terus eksis hingga kini, dan diharapkan terus eksis hingga akhir zaman," ujar dosen pascasarjana Fakultas Ekonomi Unila itu pula.

Asep juga mengisahkan perjalanan perintisan Teknokra, dan pasang surut dialami pada masa awalnya, sehingga harus berganti-ganti nama menghadapi aturan hukum kampus dan ketentuan perizinan dari pemerintah pada saat itu.

Teknokra sempat berganti nama menjadi "Teknokrat", lalu berubah lagi menjadi "Cendekia", dan akhirnya kembali menjadi "Teknokra" dengan akronim "Teknologi, Inovasi, Kreativitas, dan Aktivitas" yang terus dipertahankan sampai saat ini meskipun harus melalui pasang surut regenerasi mahasiswa dalam kepengurusannya.

Bersamaan Reuni Akbar dan peringatan HUT ke-35/37 Teknokra itu, diberikan penghargaan kepada para pendirinya, yaitu Prof Dr Ir Muhajir Utomo MSc (mantan Rektor Unila), Dr M Thoha BS Djaya MS (mantan Pembantu Rektor III Unila), dan Asep Unik SE ME (pengelola pasca sarjana Fakultas Ekonomi Unila) oleh Pemimpin Umum Teknokra Dian Wahyu Kusuma.

Pembantu Rektor Unila, Dr Sunarto DM SH MH, mewakili Rektor Prof Dr Sugeng P Harianto MS, menegaskan bahwa SKM Teknokra itu merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di kampus tersebut yang masih terjaga eksistensinya sampai saat ini.

Dia mengharapkan, eksistensi dan peran Teknokra terus ditingkatkan oleh para pengelolanya, termasuk untuk mendukung promosi dan mengangkat keberhasilan serta prestasi di kampus Unila itu.

"Jangan isi beritanya yang jelek-jelek saja, sebaiknya hal-hal yang positif termasuk prestasi dan keberhasilan yang dicapai di Unila dapat disebarluaskan melalui SKM Teknokra," ujar Sunarto lagi.

Salah satu alumni Unila yang aktif di Teknokra dan kini menjadi dosen serta pengelola lembaga pendidikan Teknokrat Lampung, Dr Nasrullah Yusuf SE MBA, bersepakat bahwa Teknokra Unila harus dapat ikut mengembangkan potensi dan prestasi di kampusnya serta ikut memberi sumbangsih bagi pembangunan daerah maupun negara, melalui pemberitaan dan tulisan yang dihasilkannya.

"Kampus memerlukan dukungan angkat potensi dan prestasi yang dicapai keluar, sehingga makin dikenal dan dihargai masyarakat. Sedih rasanya mendengar Kampus Unila ini kalau sampai tidak dikenal di luar," ujar dia pula.

Sejumlah pengelola Teknokra dari era awal hingga masa berikutnya, nampak hadir dalam Reuni Akbar itu, termasuk para lulusan Unila yang pernah aktif di pers mahasiswa itu dan kini menjadi jurnalis profesional di sejumlah media massa di Jakarta maupun berbagai daerah lainnya termasuk di Lampung.

Selain menjadi jurnalis dan pekerja pers profesional maupun bidang teknologi informasi lainnya, para lulusan Unila yang pernah aktif di Teknokra juga berhasil menekuni sejumlah profesi, di antaranya pendidik/dosen, peneliti, birokrat, politisi, pegiat LSM, pengusaha, dan profesi lain yang tersebar bekerja di berbagai daerah termasuk di beberapa negara lain.

Sumber: Antara, Senin, 22 April 2012

[Perjalanan] Mengintip Sumber Air Sungailangka

LERENG Gunung Betung di bilangan Kabupaten Pesawaran bisa menjadi “kawasan Puncak” untuk warga Bandar Lampung. Dengan sumber air dari gunung, vila-vila mulai tumbuh di sini.

Melintas di jalan lintas barat, dari Bandar Lampung menuju Gedongtataan, kontur menanjak mulai terasa sejak perbatasan kota. Setelah itu, suasana perbukitan mulai menghadirkan kesejukan suasana.

Sebelum sampai ke Gedongtataan, lintasan tertinggi dicapai di Desa Bernung. Dari desa ini, menengoklah ke kiri, maka tatapan akan terantuk dengan hijau-membirunya dinding Gunung Betung.

Jika Anda penasaran, ada jalur mulus yang dapat digunakan untuk mengakses gunung yang masih dikenal dengan sebutan Gunung Sukmahilang itu. Dinamakan Sukmahilang karena dulu ada satu peleton tentara Belanda hilang tanpa bekas di desa ini. Melalui Desa Sungailangka, gunung yang menyimpan berbagai misteri dan terdapat sumber air dari perut bumi tanpa henti itu bisa dinikmati.

Menyebut Sungailangka, bagi sebagian warga Lampung bagian selatan mungkin sudah tidak asing. Desa itu berada di “bahu” sebelah utara Gunung Betung dalam Kecamatan Gedongtataan.

Masuk desa itu melalui Desa Bernung, jalan aspal mulus terlihat lurus menembus jajaran rumah-rumah yang halamannya rimbun oleh pepohonan kakao. Suasana sudah mengademkan hati. Sayang, jalan desa itu kurang lebar sehingga setiap kendaraan roda empat yang akan berpapasan harus berhati-hati.

Desa Sungailangka potensial dengan komoditas perkebunan yang amat subur. Ada kakao, salak pondoh, durian, avokad, pisang, petai, dan komoditas lainnya. Tak heran saat harga kakao sedang tinggi dan desa ini sedang panen raya, kemakmuran di sini begitu terasa.

Sungailangka ternyata punya riwayat panjang dengan sejarahnya. Penjajah Belanda pernah menempatkan lokasi ini sebagai lokasi perkebunan karet yang potensial. Ada beberapa tilas yang ditinggalkan VOC dan hingga kini masih bertahta. Ada bekas benteng yang berada di bukit Batu Lapis menjelang trek pendakian ke Gunung Betung. Ada seonggok pondasi bekas pabrik karet yang posisinya sekarang berada di sekitar balai desa.

Cerita-cerita warga juga menyimpan misteri-misteri tentang masa lalu itu. Ada sebutan SD Markas untuk menyebut SDN 2 Sungailangka. Sebab, lokasi SD itu dulunya adalah bekas markas tentara Belanda. Juga ada pemandian yang berada di kaki bukit yang di atasnya mengalir air dari sumber air alami yang tak pernah berhenti dengan debit cukup besar.

Di antara cerita-cerita yang masih diingat warga adalah suara-suara gaib yang kerap muncul pada malam-malam tertentu. “Dulu, tahun ‘70-an, kalau malam Jumat, orang di daerah sini mendengar suara-suara aneh seperti tetabuhan di arah atas. Kalau didekati, ternyata tidak ada. Orang sini sendiri malah mendengar suara yang sama ada di bagian bawah,” kata Ayu, salah seorang penduduk dekat SDN 2 Sungailangka.

Areal Desa Sungailangka dan sekitarnya, kata Ayu, memang bekas kebun karet Belanda. Tak heran ketika sudah berubah menjadi kebun warga, desa itu subur untuk tanaman apa saja. Itu juga karena ketersediaan air alami dari gunung yang tak pernah sat.

Hidup atau sekadar ngadem di Sungailangka bisa menjadi cara murah menikmati suasana alami. Naik ke arah Gunung Betung yang kerap dijadikan trek pramuka atau pencinta alam masuk Gunung Betung, suasana benar-benar segar.

Di bagian awal, ada pemandian umum yang memanfaatkan sumber air dari mata air dari gunung yang cukup besar. Air itu ditampung dalam bak tertutup, lalu dipasang pipa, untuk kemudian didistribusikan kepada warga. Jangan heran, di pinggir-pinggir jalan, terdapat bak terbuat dari semen yang “berakar” selang-selang kecil. Itu adalah bak sentral pembagi air ke rumah-rumah warga.

Di pemandian itu, pihak desa sempat membuat kolam renang sedalam 2 meter sepanjang sekitar 30 meter terbuat dari semen. Menurut Ayu, kolam itu dulu sangat ramai dikunjungi warga. Airnya sangat dingin dan segar karena merupakan air dari sumber yang langsung ditadahkan dari atasnya.

Namun, karena ada beberapa insiden yang sesungguhnya belum tentu kolam itu penyebabnya, lambat laun warga tidak mengunjungi tempat santai ini. “Airnya sangat dingin. Itu yang membuat tentara yang mandi di situ waktu itu meninggal dunia. Tempat itu dulu memang selalu dipakai oleh tentara mandi setelah latihan. Sekarang, sudah tidak dipakai lagi,” kata Ayu.

Di pemandian itu, kelestarian hutannya terjaga. Pohon-pohon besar memayungi lokasi itu. Suasana hutan itu membuat bersantai di lokasi itu amat menyejukkan hati.

Naik lagi ke atas, ada ceruk di bukit yang pada dinding sebelah atasnya terdapat bekas bangunan tua. Ayu mengatakan bangunan itu adalah bekas benteng yang dibangun Belanda untuk markas keamanan dan juga para penjaga kebun.

Di atasnya, bebatuan berlapis sedang dieksploitasi oleh pengusaha dengan menggunakan ekskavator sehingga longsoran tanah dan batu membelandang ke bawah dan terasa mengganggu ekosistem yang lestari.

Sungailangka dengan kesejukan alamnya dan lestari hijaunya, serta kemudahan aksesnya, telah menjadi pilihan para pejabat dan orang kaya membangun peristirahatan. Ada beberapa nama pejabat dan mantan pejabat yang disebut Ayu telah membangun vila di desa ini.

Melihat salah satu vila, Lampung Post mendapati mantan pejabat ini menguasai berhektare-hektare kebun dengan berbagai tanaman buah. Ada durian, avokad, petai, dan lainnya. “Mereka bikin kolam-kolam ikan untuk bersantai sambil memancing. Makanya, walaupun agak jauh dari kota, di sini peradabannya sudah seperti di kota,” kata Ayu.

Jika Anda ingin berbaur dengan warga, tidak ada ruginya. Warga yang mayoritas dari etnis Jawa ini dengan senang hati menerima tamu. Ada berbagai buah-buahan, termasuk salak pondoh, yang siap menyambut. “Di sini juga banyak peternah kambing etawa. Kita bisa minum susu kambing hangat segar yang baru diperah,” kata Ayu. Emmhhh…. (SUDARMONO)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 April 2012

April 18, 2012

"Profesor Gamolan" Dijadwalkan Kunjungi Lampung

Bandarlampung -- Peneliti gamolan (alat musik tradisional Lampung terbuat dari lempengan bambu, Red) dari Universitas Monash Australia, Margareth J Kartomi, akan mengunjungi Lampung, 19 April-1 Mei 2012.

"Kunjungan Prof Margareth kali ini untuk pembuatan buku khusus tentang Lampung," kata Ketua panitia pelaksana "road show" kunjungan Margareth, Hasyimkan, di Bandarlampung, Rabu.

Ia menambahkan, kunjungan profesor itu juga untuk memenuhi undangan Bupati Way Kanan, Bustami Zainudin, menghadiri rangkaian acara Festival Radin Jambat, April ini.

Profesor yang juga pernah berkeliling Lampung pada tahun 1981 hingga 1983 itu, juga sudah melayangkan surat kepada Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, berkaitan pembuatan buku tersebut.

"Margareth bersama anaknya Karen Sri Kartomi Thomas menyatakan terima kasih kepada Gubernur Lampung, karena sudah memberikan gelar adat `Ratu Berlian Sangun Anggun`," kata dia lagi.

Dalam surat tersebut, dia juga meminta dukungan kepada gubernur dalam persiapan pembuatan buku kesenian ("artbook") dengan judul "Keindahan Seni Lampung, Dulu dan Sekarang".

Hasyimkan menjelaskan, buku tersebut akan memuat banyak foto berwarna dan memiliki ukuran besar serta berkualitas.

"Rencana buku sudah diselesaikan secara mendetail dan separuh naskahnya sudah hampir rampung, bagian naskah yang lain akan diselesaikan sesudah perjalanan keliling Lampung termasuk Way Kanan," kata dosen Program Studi (Prodi) Seni Tari Universitas Lampung (Unila) itu pula.

Rencananya buku tersebut akan diterbitkan dan dijual untuk umum saat Pameran Seni Lampung yang berlangsung sekitar dua bulan di Galeri Fo Guang Yuan Melbourne, Australia, serta Seminar Internasional Gamolan Lampung yang kedua di Universitas Monash pada tanggal 7-8 September 2012.

"Selain itu, biasanya di Australia pada September juga mengadakan Festival Indonesia," kata dia lagi.

Ia menyebutkan, jadwal "road show" profesor tersebut, dimulai dari Kabupaten Lampung Timur pada 19 April untuk mengunjungi situs purbakala di Desa Pugung Raharjo, dan menyaksikan pertunjukan Tari Cetik di Labuhan Maringgai.

Pada 20 April, lanjut dia, rombongan yang rencananya berjumlah 10 orang itu langsung meluncur ke Kabupaten Lampung Tengah, dan keesokan harinya (21/4) masih berlanjut di kabupaten itu.

Kemudian pada 22 April, akan menyaksikan pertunjukan seni di Kampung Tradisional Kabupaten Tulangbawang Barat.

Selanjutnya, pada 23-25 April, Margareth menuju Way Kanan untuk memenuhi undangan Festival Radin Jambat.

Pada 26-27 April akan berada di Lampung Barat, dan 29 April menuju Tanggamus, serta selanjutnya ke Bandarlampung.

"Kabupaten terakhir adalah Lampung Selatan untuk berziarah ke Makam Raden Inten II," kata dia menambahkan.

Sumber: Antara, Rabu, 18 April 2012

April 17, 2012

Susunan Alfabet Lampung


Dikutip dari William Marsden. 2008. Sejarah Sumatra. Terjemahan: Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 90-91.

Kalau melihat kutipan dari buku ini, ternyata aksara Lampung ada 19, bukan 20. Huruf ke-20, yaitu gha atau kha atau gra tidak ada. 

E-booknya: http://www.gutenberg.org/files/16768/16768-h/16768-h.htm.

April 15, 2012

Lampung-Bali Terjalin Peradaban Pesisir

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar


MASIH segar dalam memori kolektif kita, pada 24 Januari 2012 lalu telah terjadi kasus Sidomulyo yang berona SARA antara etnik Lampung dan Bali. Perseteruan antarsuku di wilayah Lampung Selatan ini konon bak api dalam sekam yang bukan hanya sekali terjadi.

Setiap kali ada pemicu, entah soal parkir atau bersenggolan saat nonton organ tunggal, maka api itu pun kembali berkobar. Dendam kesumat ini, jika boleh disebut demikian, menegaskan bahwa seolah-olah antara etnik Lampung dan Bali adalah dua entitas yang sama sekali berbeda, bermusuhan dan siap berbenturan kapan saja dan di mana saja.

Sikap permusuhan antaretnik ini sejatinya adalah buah getir dari cara pandang kolonial pada masa silam tatkala Indonesia belum eksis sebagai negara modern, yang memang sohor dengan politik devide et impera-nya, yang hendak memisah-misahkan antara satu etnik dan yang lain, antara satu budaya dan budaya lain, misalnya Melayu, Jawa, Bali.

Menurut Andrian Vickers, pemisahan itu merupakan salah satu bentuk kesengajaan atau rekayasa yang sangat canggih dari sebuah rezim politik tempat budaya itu beroperasi untuk menghasilkan tradisi dan pengetahuan baru yang tercerabut dari kenyataan sejarah di kawasan Asia Tenggara. Namun, bagi Vickers hal itu tetap harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas karena apa sebenarnya yang terjadi bukan semata-mata persoalan tradisi rekaan kolonial melainkan menyangkut juga konstruksi lokal yang ditumpangi oleh bentuk-bentuk hegemoni kolonial.

Pandangan kolonial mengatakan bahwa berbagai kelompok etnik dan kedaerahan yang terdefinisikan dengan tegas di Asia Tenggara hanya saling berkaitan secara longgar melalui perdagangan. Padahal, di balik gambaran rapi tentang aneka budaya yang terpisah-pisah itu, bersemayam suatu prinsip interaksi dinamis, atau pergerakan dan kreasi aktif heterogenitas yang dimotori oleh sebuah proses budaya yang digambarkan sebagai "Peradaban Pesisir". Hal itu misalnya dapat dilihat dengan jelas di dalam Malat, sebuah syair kidung Bali yang amat penting pada abad ke-18 dan ke-19. Paparan tentang Melayu, Jawa, dan Bali di dalam Malat menunjukkan adanya interaksi antarbudaya yang intensif untuk membuktikan bahwa sekian banyak budaya itu adalah manifestasi dari sebuah peradaban bersama.

Karya sastra Bali juga masuk ke Lampung melalui cerita Panji yang berasal dari Jawa pada abad ke13 dan ke-14. Terdapat banyak bukti bahwa cerita Panji eksis di Lampung, belum lagi kehadirannya dalam cerita rakyat yang terhimpun di sana, misalnya cerita Radin Bangsu.

Dalam bukunya Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, secara khusus Vickers menulis satu bab, yaitu Bab III yang bersubjudul "Dari Bali ke Lampung: Perihal Pesisir". Simbolisme kapal telah mempertautkan keduanya. Membuka bab itu, Vickers melontarkan pertanyaan dengan kata-kunci kapal, yaitu: pelayaran apa yang membawa kita dari Bali ke Lampung dengan kapal? Di pantai mana kita berlabuh untuk menautkan dua budaya Indonesia ini?

Contoh yang dipakai Vickers adalah lukisan Bali yang menampilkan sebuah versi adegan cerita Panji Malat Rasmi, Malat, dan kain Lampung yang dikenal sebagai tampan pasisir. Keduanya menarik karena sama-sama menggambarkan kapal, meski secara stilistika jelas tidak memiliki kesamaan apa pun. Kedua contoh tadi adalah representasi tentang kapal, dan dapat dijelaskan dengan merujuk kepada khazanah sastra perihal simbolisme kapal di Indonesia. Sastra semacam ini berpusat pada simbolisme kapal sebagai manifestasi dari masyarakat Indonesia kuno. Pelbagai simbol terjalin melalui asal-usul bersama dan difusi.

Kapal, lazimnya dalam bentuk peti mati atau sarkofagus, digunakan di berbagai daerah Indonesia untuk merepresentasikan perjalanan jiwa. Dengan membandingkan kain tampan dan ritual Lampung, ada pendapat yang menyatakan bahwa kapal juga menyimbolkan gerak menempuh babak-babak kehidupan. Kedua argumen ini terikat pada sebuah pandangan bahwa distribusi simbol-simbol semacam itu bersumber dari asal-usulnya pada zaman kuno. Melalui sebaran simbol kapal, rumah, tanduk kerbau, ular dan burung, kita bisa menguraikan suatu budaya-Asali Indonesia megalitik.

Tampan Pasisir

Tampan pasisir Lampung berkenaan dengan masyarakat Lampung yang memperlihatkan "kelestarian" (survival) watak kultural primordial. Bentuk tampan pasisir hanyalah satu jenis kain Lampung bermotif kapal yang terbatas di wilayah selatan Lampung. Jenis lainnya adalah berbagai kain "darat" yang membentuk khazanah tekstil yang dikoleksi di Barat, dan pelbagai corak selatan setempat dari Kalianda dan Teluk Semaka. Corak Kalianda dan Teluk Semaka dapat dipandang sebagai variasi corak tampan pasisir.

Ada korelasi antara corak kain dan pengelompokan kultural di Lampung (atau "ranah Lampung", sebutan Belanda untuk kawasan ini). Corak "darat" terutama bertalian dengan wilayah-wilayah yang digolongkan sebagai adat pepadun, yaitu wilayah yang menonjolkan semacam identitas “suku pribumi” (tribal). Dalam penyebarannya, corak Kalianda tampak bertalian dengan Kerajaan Darah Putih (yang mencakup wilayah Ratu, Daratan, dan Rajabasa), sedangkan corak Teluk Semaka dapat dihubungkan dengan wilayah Kerajaan Samangka atau Semaka (di seputar kawasan Wonosobo dan Kotaagung).

Tampan pasisir terutama berasal dari kawasan atau bekas Kerajaan Teluk Betung, dan mungkin dari sejumlah wilayah Darah Putih. Ciri paling mencolok dari ragam-ragam tampan yang lebih mutakhir ini adalah penggambaran nonabstrak berbagai figur wayang dan (terutama) kapal. Kecenderungan abstraksi dan corak Kalianda dan Teluk Samaka mungkin hasil dari upaya sengaja mengembangkan corak unik untuk menandai identitas khas dua wilayah ini.

Corak tampan pasisir dibahas secara mendalam oleh Holmgren dan Spertus, yang memaparkan bahwa tekstil-tekstil tersebut sangat kuat mengusung narasi. Mereka menguraikan sebagian dari banyak ragam adegan pada tampan pasisir: penggambaran kelahiran seorang putra agung di kapal; prosesi armada raja, lengkap dengan gajah-gajah di kapal; transfer peti harta dengan kapal; dan penggambaran seorang bangsawan kerajaan bersama tiga wanita di sampan pelesir. Setidaknya sebagian dari adegan-adegan ini paralel dengan proses ritual di kalangan bangsawan Lampung Selatan yang memiliki kain-kain itu.

Sejatinya masih banyak lagi mitos-mitos Lampung lainnya perihal kapal, tapi tak cukup ruang buat diturunkan di sini. Begitu pula motif kapal bukan hanya muncul pada kain Lampung, melainkan juga pada ilustrasi teks sastra Lampung semisal Tetimbai Si Dayang Rindu, dan pada masa mutakhir tampil sebagai motif kain batik sebagi, dan bahkan lambang daerah Kota Bandar Lampung. Pun pula dalam bentuk tiga dimensi yang muncul pada arsitektur gapura atau rumah.

Simbolisme Kapal Bali

Dalam contoh dari Bali yang ditampilkan di sini, citra kapal merepresentasikan sebuah perjalanan simbolik, yaitu perjalanan menempuh babak-babak kehidupan, atau perjalanan dari kehidupan menuju kematian. Untuk memperkuat argumen ini, tidak tertutup kemungkinan ditemukan simbolisme kapal yang lain di Bali. Dalam ritual kematian, pandita yang menjadi imam, biasanya seorang padanda (pendeta tinggi Brahmana), harus "melayarkan" (ngentas) jiwa dari dunia ini ke alam baka.

Demikianlah, di sebuah desa di Bali Timur, simbolisme kapal menjadi bagian dari upacara pemurnian. Sebuah kapal dibikin dari pelepah daun kelapa dan diberi muatan simbolik. Pada saat yang bersamaan, dibuatlah falus setinggi kira-kira satu meter, disebut "lingga desa" (kleng desa). Pada gilirannya kemudian, kapal tersebut dibawa ke gundukan batu yang merepresentasikan laut, dan serta-merta dibakar ketika tetua desa meloncati falus itu.

Dari riset Vickers mengenai penggunaan episode yang digambarkan tersebut dalam beragam bentuk artistik di Bali, dia mendapati bahwa setumpuk asosiasi lain yang muncul dari narasi ini sulit diabaikan. Untuk mempertahankan penjelasan tentang “kapal mendiang” dan “ritus transisi”, ada aspek-aspek dari plot episode itu yang relevan dengan tema-tema tersebut. Akan tetapi, ada pula berbagai kemungkinan makna lain yang akan terabaikan ketika berfokus pada dua makna simbolik itu.

Dengan mengedepankan adanya kesamaan Lampung dan Bali dalam ikatan peradaban pesisir di atas, kita berharap, pertikaian antaretnik Lampung dan Bali tak lagi terjadi di masa depan. Caranya adalah dengan menyegarkan kembali ingatan kolektif kita akan hal itu dan mengembangkannya.

Upaya ini kiranya sudah ada meskipun sporadik sifatnya. Misalnya, I Wayan Sumerta Dana (Wayan Moco) yang memberi nama notasi alat musik Lampung berupa cetik (gamolan pering) dan beroleh hak atas kekayaan intelektual atasnya, I Gusti Ketut Okta Bayuna yang memenangi lomba desain lambang daerah Kota Bandar Lampung yang desainnya sarat dengan simbol adat Lampung, serta komposisi tari yang merupakan kolaborasi tari Lampung dan Bali.

Usaha-usaha sedemikian mesti terus dikembangkan agar kita bisa kembali merayakan peradaban pesisir di bumi Lampung. Jika kita tak ambil peduli atas hal ini, tidaklah keliru manakala Vickers mengatakan bahwa kita belum men-Asia Tenggara secara kultural. n

Iwan Nurdaya-Djafar, budayawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 April 2012


[Inspirasi] Perjuangan Emed Menerangi Suoh


ORANG kota sering mumet gara-gara listrik byarpet. Sebaliknya, warga Dusun Sukamarga, Suoh, Lampung Barat, tetap tersenyum dengan listrik kincir air karya Mang Emed.

Langkah kaki Emed (47) semakin lebar mendekati kincir air pembangkit listrik yang terletak di badan Gunung Cibitung. Walaupun harus mendaki jalan terjal, napas bapak tiga anak tidak terengah. Inilah kelebihan masyarakat desa, kebiasaan berjalan kaki membuat fisik mereka lebih sehat. Sesampainya di lokasi kincir air, Emed mengamati sejenak putaran kincir.

Lalu, dia kembali mendaki sekitar 200 meter untuk menutup saluran air. Seketika air mengalir pelan dan kecil. Emed setengah berlari turun, dengan sigap, dia mengecek turbin berdiameter 30 cm itu. Selanjutnya memeriksa kondisi kabel yang tersambung ke dinamo. “Masih bagus,” kata Emed.

Setelah memeriksa kondisi kincir mini, Emed kembali naik ke atas dan membuka saluran air. Air mengalir deras. Arus air yang kencang memutar turbin dan menggerakkan kincir. Energi gerak ini diubah menjadi energi listrik oleh sebuah dinamo kecil yang diletakkan di atas pancang kayu. “Dulu, kincir air ini adalah satu-satunya tenaga pembangkit listrik di kampung ini, tapi sekarang ada sekitar 20 kincir air milik kelompok-kelompok warga,” kata Emed.

Menurut Emed, dia tinggal di Suoh sejak 46 tahun lalu, ketika itu dia ikut bapaknya berladang di sana. Sampai Emed mendapatkan istri dan memiliki tiga anak. Awalnya, mereka tinggal di gubuk bambu di tengah pegunungan Cibitung, menjaga ladang dari serangan babi. Siang hari berladang dan malam harinya berlindung di dalam gubuk. “Puluhan tahun kami hidup tanpa penerangan listrik, hanya pakai lampu sentir yang dibuat dari bambu dan sabut kelapa,” ujarnya. Mereka tidak hanya bertarung dengan kegelapan, tapi juga keganasan hewan-hewan malam. Tak pelak, beberapa kali Emed dan keluarga berlari keluar rumah mencari tempat yang aman ketika segerombolan gajah melintasi gubuk mereka.

Dusun Sukamarga itu baru tersentuh penerangan listrik pada 2005, dan Emed menjadi pionir pembuatan kincir air mini di dusun ini. Awalnya, dia merakit alat menggunakan bahan seadanya. Emed tidak menggunakan turbin besi modern, tapi dia membuat sendiri turbin menggunakan kayu dan papan. Bahkan, dinamo pun dirakit dari kabel-kabel yang dililit-lilitkan.

Emed mengaku dinamo dari lilitan kabel ini tidak mampu menghasilkan tenaga listrik yang besar, hanya cukup untuk menghidupkan lima bohlam dengan voltase rendah. Tidak hanya dinamo yang lemah, tapi arus air yang tidak kuat juga memengaruhi energi listrik yang dihasilkan.

Akhirnya Emed memanfaatkan buluh bambu untuk membuat saluran air ke kincir. Buluh utama berukuran 8 cm, disambung dengan buluh berukuran 6 cm, dan terakhir buluh berukuran 4 cm. Degradasi ukuran buluh ini memperkuat arus air. Dari sinilah, Emed bisa berbagi listrik dengan beberapa tetangganya.

“Kalau sekarang sih hampir semua sudah bisa membuat kincir mini, dan mereka sudah memakai alat-alat modern. Seperti dinamo tinggal beli, turbin juga dibeli, terus sekarang pakai pipa, tidak pakai buluh lagi,” kata pria etnis Sunda ini.

Untuk membuat satu kincir air mini membutuhkan dana sekitar Rp16 juta. Kincir air dengan kapasitas dinamo 3.000 watt itu didistribusikan untuk 5—6 rumah. Bisa digunakan untuk menghidupkan lampu, komputer, dan televisi.

“Untuk biaya pemeliharaan kincir, warga mambayar iuran setiap bulan untuk satu lampu Rp30 ribu, kalau untuk televisi Rp100 ribu/bulan,” katanya.

Kini, semua warga Sukamarga sudah menikmati listrik di rumah masing-masing. Air pegunungan Cibitung merupakan berkah yang melimpah ruah. Di musim kemarau pun air ini tetap mengalir deras. Jadi, jangan heran, jika di siang hari pun, listrik-listrik di dusun ini tetap menyala terang. (RINDA MULYANI/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 April 2012


Putri Belgia peroleh gelar adat Lampung

Bandarlampung -- Putri Astrid dari Kerajaan Belgia memperoleh gelar kehormatan adat Lampung, "Suhunan Ratu Mahkota", dari Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Provinsi Lampung.

Putri Astrid (FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf)

"Pemberian gelar adat ini berdasarkan surat keputusan MPAL Provinsi Lampung nomor 05/MPAL/Provinsi/IV/2012," kata Ketua MPAL Provinsi Lampung, Khadarsyah Irsa, saat membacakan surat keputusan pemberian gelar adat itu, di Bandarlampung, Sabtu malam.

Selain itu, lanjut dia, pemberian gelar adat tersebut juga bertujuan untuk mengikat persaudaraan antara Putri Astrid dan Putra Gubernur Lampung, Rycko Menoza, yang mendapat gelar Sutan Raja Kaca Marga.

Prosesi gelar adat di halaman rumah dinas Gubernur Lampung itu, berlangsung lancar dan tertib, serta dihadiri oleh para pejabat daerah yang ada di Provinsi Lampung.

Gubernur Lampung, Sjachroedin ZP, dalam kesempatan itu mengatakan, pemberian gelar adat tersebut bertujuan untuk mengenalkan kebudayaan Lampung ke mancanegara.

"Kalau di Palembang ada Kerajaan Sriwijaya dengan segudang peninggalannya, maka Lampung pun punya tapi memang belum banyak yang tahu," kata Sajchroedin.

Ia mengatakan, Lampung mempunyai kebudayaan yang lebih tua dari kerajaan Sriwijaya.

"Kerajaan Sriwijaya yang lebih terkenal dari Lampung tidak memiliki kebudayaan seperti ini," kata dia.

Gubernur Lampung itu mengatakan, masyarakat Lampung terus menggali dan mempromosikan kebudayaan-kebudayaan ke tingkat yang lebih luas lagi sehingga dapat dikenal.

Ia berharap dengan budaya Lampung seperti prosesi pemberian gelar adat (adok) dapat dikenal oleh masyarakat dari daerah lain maupun mancanergara karena memiliki keunikan tersendiri.

Puteri dari Kerajaan Belgia, yang juga Wakil Khusus atau Special Representative dari Roll Back Malaria menyatakan dukungannya bagi penanggulangan malaria di Indonesia.

Puteri Astrid juga sempat mengunjungi fasilitas yang dimiliki oleh pusat layanan kesehatan masyarakat di Lampung Selatan.

Dalam kunjungannya tersebut, Ratu Astrid melihat kondisi berbagai perlengkapan yang dimiliki oleh Puskesnas Way Urang Kalianda, Lampung Selatan serta penanganan pelayanan kesehatan di aderah itu.

Sumber: Antara, Minggu, 15 April 2012

April 8, 2012

‘In Memoriam’ Havizi Hasan

DI penggal akhir bulan, tepatnya Selasa, 27 Maret 2012, Lampung kehilangan salah satu putra terbaiknya. Budayawan Lampung, Havizi Hasan, dipanggil Sang Khalik. Almarhum  mewariskan sejumlah karya untuk Sang Bumi Ruwai Jurai.
DIALOG SENI. Seniman Havizi Hasan (tengah) semasa hidup bersama sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. (kanan) dan pewawancara Don Peci (kiri) dalam sebuah dialog kesenian di sebuah televisi lokal Lampung. ISTIMEWA 

Pernikahannya dengan Halimah pada April 1970 memberinya anak-anak, yaitu Listan Feri, Desfian Nurliza, Pipia Lilik, Elysa, Filia Anami, Rizka Firdaus, dan Pita Hidayat, meninggal di RS Urip Sumoharjo, Bandar Lampung, karena mengidap penyakit jantung dikebumikan di tanah kelahirannya, Kedondong.

Pria kelahiran Kedondong, 16 Juli 1945 ini dikenal sebagai seniman tradisi yang paripurna. Kiprahnya di dunia kesenian tak diragukan lagi. Darah seni memang mengalir dari sang Ayah seniman yang menguasai musik dan sastra tradisional  Lampung. Ayahnya Hasan Basri  mengajar musik dan sastra berkeliling daerah, antara lain Cukuhbalak, Kotaagung, dan Kalianda.

Anak pertama dari 10 bersaudara pasangan Hasan Basri dan Siti Mardiah ini setamat SMEA justru tertarik jadi guru. Pada 1967, Havizi Hasan mulai mengabdi di SDN 1 Kedondong sambil menyelesaikan pendidikan di sekolah guru atas (SGA). Kemudian pada 1974 dipercaya menjadi kepala SD Sinar hingga 1976. Dan selanjutnya kariernya meningkat jadi penilik sekolah hingga 1983.

Pada 1983, karena konsistensinya di bidang kebudayaan ditarik ke Taman Budaya Lampung sebagai penilik kebudayaan di Kecamatan Telukbetung Selatan dan kemudian alih tugas ke Tanjungkarang Timur. Tahun 1985 dipercaya sebagai Kasi Peningkatan Mutu di Taman Budaya Lampung.

Selain aktif berkiprah di bidang kesenian, Havizi Hasan juga tetap mengabdikan diri di dunia pendidikan. Di samping kesibukannya mengajar dan berkesenian, dia berhasil menyelesaikan pendidikan di PGSLP pada 1975. Terakhir, Havizi menyelesaikan gelar sarjana S-1 di STKIP PGRI Bandar Lampung.

Kiprah pengabdian Havizi di dunia pendidikan tercatat  pernah mengajar di SMP Persiapan Kedondong, SMA  Persiapan Kedondong, dan Sekolah Pertanian. Bidang studi yang jadi tanggung jawabnya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Kesenian.

Pada 1983, dunia pendidikan ditinggalkannya dan Havizi mulai konsen di dunia kesenian yang mulai diakrabinya sejak 1958. Pada kurun waktu itu Havizi sudah memublikasikan karyanya berupa puisi, cerita, dan lagu di koran Lampung Jaya. Salah satu lagu ciptaannya yang hingga kini populer adalah lagu Udia.

Sejak tahun 1979 Havizi mulai terlibat dalam dunia tari. Dari sentuhan tangan dinginnya terlahir tari Mapak, Tari Bedana, Pencak Khakot, Tari Keser dan Tari Mayang. Selain itu, sejak 1978 Havizi Hasan juga melakukan penelitian tentang sastra lisan daerah Lampung.

Aktivitasnya juga nampak dalam setiap kegiatan festival musik, menyanyi dan tari.Selain menjadi juri, dia juga terlibat sebagai narasumber dalam berbagai sarasehan dan workshop seni tradisi Lampung.

Pada tahun 1988 Havizi menggarap musik beduk Lampung yang ditampilkan di MTQ Nasional yang digelar di Lampung. Di sela-sela kesibukannya Havizi juga menulis beberpa deskripsi tari antara lain; tari Samroh, tari Bedana dan Kulintang.

Almarhum juga tertarik mendalami budaya Lampung, alasannya simpel, karena pertama, dirinya adalah orang Lampung. Kedua, dia hidup di lingkungan seniman. Ketiga, inilah hal yang terpenting karena dia ingin menumbuhkembangkan warisan budaya Lampung.

Menurut almarhum, budaya Lampung sulit berkembang karena ada beberapa kendala. Pertama dari internal, karena apresiasi orang Lampung masih rendah. Kedua, sifat orang Lampung masih tertutup; dan ketiga, kesenian Lampung dianggap belum bermutu.

Solusinya, menurut dia, antara lain harus meningkatkan kualitas kesenian sehingga pantas dan layak tonton. Semua itu tentunya harus dibarengi dengan meningkatkan apresiasi masyarakatnya. Selain itu, perlu memotivasi seniman Lampung hingga mau membuka diri untuk selalu belajar. Pengembangan kesenian harus sesuai dengan perkembangan zaman sehingga harus ikhlas kalau ada inovasi dan kreasi baru. Untuk itu perlu adanya kerja sama dalam upaya menggali, mengelola, mengembangkan, dan melestarikan seni budaya.

Suatu kali dalam sebuah diskusi almarhum Havizi berujar,  perlu wadah pengkajian budaya Lampung. Kalau di Jawa ada Lembaga Javanologi, di Lampung perlu ada lembaga sejenis. Tetapi lembaga ini harus berbicara teknis, bukan hanya sekadar paguyuban.

Wadah semacam Lampung Sai, masih kata almarhum, boleh-boleh saja. Selama lembaga itu konsisten terhadap tujuan untuk menggali, mengelola, menumbuhkembangkan, dan melestarikan seni dan budaya Lampung. Ia menambahkan, sebaiknya biarkan ragam budaya yang ada di Lampung bertumbuh kembang dengan warnanya masing-masing. Baru nantinya saat tampil di pentas nasional, hanya ada satu Lampung yang tampil. Jadi, tidak ada lagi Lampung Abung, Lampung Pubian, Lampung Pepadun atau lainnya.

Saat ini di Lampung mulai diajarkan muatan lokal, antara lain bahasa Lampung. Tetapi perkembangan bahasa Lampung masih memprihatinkan, apalagi sastranya. Karena itu, perlu terus digalakkan dan disosialisasikan. Bahasa sangat memengaruhi seni budaya. Bahasa sebagai alat komunikasi sehingga kalau mau mengakrabi seni budaya Lampung perlu belajar bahasanya.

Almarhum Havizi menambahkan fungsi dan kedudukan sastra Lampung sangat penting. Masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-harinya sejak kelahiran hingga kematian diwarnai dengan sastra. Sastra berfungsi sebagai alat komunikasi, penyebaran informasi, dan juga sebagai media menyampaikan nasihat dan ajaran agama.

Almarhum juga pernah mengkritisi mengapa lagu Lampung belum memasyarakat. Pasalnya, hingga saat ini para pengarang lagu Lampung sudah banyak terpengaruh dengan lagu daerah lain sehingga roh kelampungannya tidak tampak. Ia juga menambahkan kalau lagu Lampung mau eksis harus punya ciri khas. Untuk itu tentunya, harus dipelajari dengan serius dan mendalam.

Almarhum juga pernah berujar seniman Lampung banyak yang enggan dan kurang serius menggali akar budaya dan kesenian tradisi yang dimiliki Lampung. Yang baru diangkat baru kulit-kulitnya saja, belum ada yang menggali hingga ke akar sehingga roh sebagai ciri khasnya belum muncul.

Menurut Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Hari Jayaningrat, konsistensi almarhum di dunia kesenian tak diragukan lagi. Dunia seni budaya menjadi pilihan hidupnya, maka sampai ajal menjemput almarhum tetap bersetia menjalaninya. Bahkan pada hari kematiannya, 27 Maret 2012, almarhum semestinya jadi juri dalam Lomba Musik Tradisi yang digelar Dinas Budaya Pariwisata Kabupaten Lampung Selatan di Kalianda.

"Tetapi karena beliau mendadak masuk rumah sakit tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai juri. Dunia seni dan budaya Lampung sangat kehilangan. Banyak seniman yang menganggap almarhum tidak hanya sebagai guru, tetapi sebagai orang tua yang selalu siap membimbing," ujar Hari.

Almarhum Havizi Hasan telah meninggalkan kita. Namun, karya dan pengabdiannya untuk Lampung akan terus dikenang. Beristirahatlah dalam damai, kau akan selalu dikenang. Selamat jalan, Puari.

Christian Heru Cahyo Saputro, Direktur Eksekutif Jung Foundation Lampung Heritage, Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 April 2012

April 5, 2012

Film 'Gamolan jak Sekala Brak' Mulai Diproduksi

FILM yang mengupas budaya Lampung berjudul Gamolan Lampung mulai diproduksi. Film yang dicetus Syaiful Irba Tanpaka, produser sekaligus pemilik PH MLP, dan Diandra Natakembahang, seorang penggiat budaya, juga melibatkan banyak tokoh, mulai dari seniman gamolan Syapril Yamin, Kemal, sang penggagas Muri untuk gamolan Lampung, budayawan Lampung Wirda Puspanegara, peneliti gamolan Wayan Sumertadana hingga Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri.

Film dokumenter drama ini menjabarkan gamolan Lampung sebagai warisan budaya nusantara secara dinamis dan komprehensif, mulai dari sejarah gamolan, proses pembuatan, notasi gamolan hingga pergelaran musik gamolan yang mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri).

Syuting film yang dikemas dalam bentuk dokudrama ini berjudul Gamolan Jak Sekala Bekhak benar-benar dilakukan di beberapa pekon di Sekala Brak, Lampung Barat, yang merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Lampung sebagai daerah asli gamolan sehingga situasi dan nuansa budayanya terasa lebih kental.

Proses syuting yang berdurasi lebih kurang 40 menit ini dipusatkan di Kembahang, Liwa, Lampung Barat. Film ini bercerita dengan ilustrasi liburan sebuah keluarga pengusaha ke kampung halamannya di Lampung Barat dan di sanalah terjadi pertemuan antara keluarga kecil ini dan Mamak Lil (Syapril Yamin) sang praktisi gamolan, yang mengisi liburan anak sang pengusaha dengan berlatih dan belajar gamolan pekhing disanggar Mamak Lil.

Tiyuh, siswi kelas VI SD yang tinggal bersama kedua orang tuanya di Jakarta, liburan sekolah di tempat neneknya yang berada di sebuah desa di Provinsi Lampung.

Menurut sang ayah, di samping rindu dengan nenek (ibu dari ayah yang pribumi Lampung), juga agar Tiyuh dapat menikmati suasana desa yang jelas-jelas berbeda dengan hiruk-pikuk Ibu Kota.

Di desa nenek, Tiyuh yang mudah bergaul cepat memiliki banyak teman. Tiyuh merasakan suasana keakraban, persahabatan, dan persaudaraan bersama teman-teman desanya. Di samping ia merasa senang menikmati suasana desa yang sejuk dan indah. Rencananya film ini diluncurkan dalam waktu dekat. (S-2)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 5 April 2012 23:26

April 1, 2012

Memaknai (Ulang) 'Piil Pesenggiri'

Oleh Febrie Hastiyanto

DALAM sayup-sayup kerinduan di tanah seberang, menyaksikan pertikaian antarkelompok warga di Lampung baru-baru ini (yang kemudian diidentifikasi berasal dari dua etnis berbeda) membuat saya terluka. Kita semua tentu sepakat seharusnya konflik dan pertikaian tak boleh ada di bumi Lampung.Untuk sampai pada situasi ini tampaknya kita harus banyak memaknai ulang perspektif filsafat kehidupan masing-masing kelompok. Pada dasarnya semua filsafat kehidupan berlaku universal sehingga dapat disebut bahwa filsafat kehidupan seluruhnya setia pada kebaikan. Namun tafsir, penghayatan, dan implementasi filsafat hidup yang dikodifikasi dalam sistem nilai kebudayaan sering menyebabkan distorsi atas nilai-nilai luhur yang dikandung sistem-sistem nilai yang ada.

Mendiskusikan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) hari-hari ini memang riskan. Namun, bersikap menghindari diskusi soal-soal SARA juga tak taktis. Betapa pun pahitnya dan kita tutupi (misalnya dalam konteks jurnalisme perdamaian atau wawasan kebangsaan) realitasnya isu etnisitas adalah isu yang aktual terjadi dalam masyarakat. Sudah saatnya kita memberanikan diri mendiskusikan soal etnisitas karena kebiasaan kita menghindari diskusi soal etnisitas justru membuat salah pengertian semakin berpotensi terjadi. Sudah tentu diskusi soal etnisitas mula-mula hendak memperoleh pengetahuan masing-masing etnografi yang ada untuk kemudian mencari formula bagaimana etnis-etnis yang ada dapat hidup berdampingan, saling memahami serta menghargai.

Masyarakat Heterogen

Kesadaran mula-mula yang perlu ditumbuhkan di antara kita adalah pengakuan bahwa Lampung dihuni oleh masyarakat yang heterogen. Hubungan antarbudaya dalam masyarakat heterogen setidaknya dapat berujud tiga formula: etnosentrisme, peleburan (melting pot), atau pluralisme/multikulturalisme (Nurdaya, 2012). Rasa-rasanya kita semua sepakat model hubungan etnosentrisme hampir-hampir mustahil terjadi tanpa paksaan (coercion) dalam masyarakat heterogen hari ini. Pilihannya kemudian adalah formula peleburan (melting pot) atau pluralisme. Dalam konteks keindonesiaan, saudara kita etnis Tionghoa pernah berada pada persimpangan-budaya: masuk dalam melting pot Indonesia melalui gerakan pembaruan/asimilasi melalui wadah Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB)—antara lain dengan mengubah nama diri ke dalam bahasa Indonesia, maupun mereka yang tetap setia pada kebudayaan Tionghoa, bahkan sebagian memilih menjadi WN China ketika tahun 1950-1960-an pemerintah menerbitkan kebijakan naturalisasi.

Relasi yang sejajar dalam masyarakat heterogen dan multikultur adalah penghormatan terhadap pluralitas. Pluralitas mengandaikan masing-masing kultur saling menghormati, tidak ada kultur yang dependen terhadap kultur lain (dalam skema asimilasi, misalnya), sekaligus masing-masing kultur mendapat tempat yang sama untuk melakukan internalisasi dan pewarisan nilai-nilai. Ikatan yang yang menyatukan masyarakat heterogen adalah kedudukan yang sama sebagai penduduk/warga dalam satu wilayah. Nilai-nilai, cita-cita dan tujuan wilayah (dalam hal ini nasionalisme Indonesia) adalah nilai yang mengikat masing-masing warga (negara)-nya.

‘Nemui Nyimah’

Dalam Kuntara Raja Niti, disebutkan nilai-nilai yang diwariskan dalam tradisi masyarakat etnis Lampung adalah piil pesenggiri (perilaku yang memantulkan nilai-nilai yang luhur, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban), bejuluk beadek (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui nyimah (sikap terbuka serta ramah menerima tamu), nengah nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai sembayan (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Ketika terjadi konflik warga (yang berasal dari etnis berbeda) kita sering mendengar konsepsi nemui nyimah dan piil pesenggiri menguat untuk dibincangkan.

Dalam konsepsi nemui nyimah umumnya disebutkan agar tuan rumah mampu bersikap terbuka dan ramah, serta sebaliknya tamu bersikap tahu diri dan menghargai tuan rumah. Sedang konsepsi piil pesenggiri yang kerap dibincangkan adalah distorsi pemaknaan perilaku (Arab: fiil) dan keharusan bermoral tinggi (pesenggiri) yang bergeser menjadi perasaan ingin besar, ingin dihargai, tak ingin lebih rendah/kalah dari orang lain—yang disebut sebagai ijdelheid dalam bahasa Belanda (Hadikusuma, 1989). Padahal praktek piil pesenggiri sebagaimana dirilis Kuntara Raja Niti tidak lepas dari pedoman untuk berlaku arif dan bijaksana dalam memecahkan masalah (way ni dang robok, iwa ni dapok), termasuk memahami anggota masyarakat yang kehendaknya tidak sama (pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu, sepuluh pandai sebelas ngulih-ulih, sepuluh tawai sebelas milih-pilih) (Anshory, 2007).

Untuk mendudukkan konsepsi nemui nyimah dalam masyarakat multikultur agaknya kita perlu memahami karakteristik “tamu” yang kini bermukim di Lampung. "Tamu" di Lampung hari ini adalah penduduk keturunan generasi keempat, kelima, keenam bahkan ketujuh bila kita rujuk dari kontingen pertama transmigrasi tahun 1905, maupun gelombang transmigrasi tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. "Tamu" dari Bali datang ke Lampung paling tidak sejak 1962 ketika mereka ditransmigrasikan sebab Gunung Agung meletus. Mulanya imigran dari seberang ini memegang teguh tradisinya, bahkan bermukim di daerah-daerah kantong (enklave) transmigran.

Seiring perkembangan, tradisi kultural yang dilakukan semakin tergerus modernisasi. Mereka yang telah beberapa generasi di Lampung selalu dianggap "tamu", sementara di tanah leluhurnya di Jawa dan Bali, mereka tak lagi dianggap "Jawa dan Bali". Mereka tak lagi menjadi Jawa atau Bali (atau etnis-asal lain), kecuali satu-dua tetes darah secara genealogi. Praktek kultural mereka, termasuk saudaranya etnis Lampung semakin kosmopolit seiring introduksi kebudayaan yang sudah sama sekali "nasional". /Kondisi psikologis-kultural ini tak menguntungkan bagi kedua pihak. Sering mereka berlaku sebagai "tamu" karena selalu diperlakukan sebagai "tamu".

Dalam konteks masyarakat multikultur dengan semangat pluralisme, sudah saatnya konsepsi nemui nyimah ditafsir ulang. Siapa pun penduduk yang bermukim di Lampung adalah warga Lampung dan tak lagi dianggap sebagai “tamu” oleh sebab genealogi atau etnisnya sepanjang ia dapat hidup dan menjadi bagian masyarakat Lampung yang setia pada nilai-nilai luhur filsafat kehidupan universal. Tabik. n

Febrie Hastiyanto, Putra Way Kanan, kini mukim di Tegal. Alumnus Sosiologi FISIP UNS

Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 April 2012