December 17, 2012

Antara Realitas Hidup dan Fenomena Sosial

DI tengah "kelesuan" dunia seni rupa Lampung, inisiatif dan langkah Kelompok Enam patut diapresiasi. Mereka tak menyerah dengan segala keterbatasan yang ada. Inilah usaha mandiri para seniman yang berangkat dari keprihatinan mandeknya dunia seni rupa Lampung.

MAKA, puluhan lukisan yang berderet rapi pada ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL), 2?9 Desember lalu. Ragam lukisan yang terpajang itu hasil karya enam perupa yang tergabung dalam Kelompok Enam. Empat perupanya dari Lampung dan dua perupa lainnya dari Jakarta.


Sutanto (pelopor pelukis kopi), Muhsin Soleh, Eddy Purwantoro, dan Firmansyah adalah perpaduan seniman tua dan muda dari Lampung. Sedang Syafril Cotto dan Soemaryo Hadi adalah dua seniman berpengalaman yang berasal dari Jakarta.

Setiap lukisan yang dibuat dari tangannya menjadi ciri khas setiap perupa. Muhsin Soleh, misalnya. Dia bertahan dengan lukisan khat atau kaligrafi sebagai subjek visual. Muhsin bermain komposisi huruf Arab yang dilukiskan secara ekspresif. Komposisi ini bisa membawa penikmatnya kepada sejumlah imajinasi. Perpaduan khat dengan bentuk-bentuk abstrak yang mengasosiasikan sesuatu.

Mengutip Bukit-Bukit Perhatian karya Agus Dermawan T., khat?media seni rupa Islami paling baku dan konvensional?Muhsin seakan menyitir kata-kata atau memformulasi makna pengajaran dari Alquran atau hadis Nabi. Sebuah karya seni lukis khatis atau kaligrafis tak bisa dielakkan lagi seolah menyampaikan tugas menelusukkan kembali ajaran-ajaran di kitab Allah yang bisa jadi mulai dilalaikan umat.

Maka, ketika seni rupa modern dianggap kian buram dan hilang makna, tentulah lukisan khat ini bisa tuntas mencerahkannya. Ini barangkali yang dicoba oleh Muhsin lewat judul lukisan-lukisannya seperti Al Qaliya, Al Mahyi dan Asyukuru, Al Haq, dan lainnya.

Realitas Hidup

Dari generasi yang lebih senior, perupa Jakarta, Syafril Cotto, lain lagi. Apabila Muhsin Soleh, sebagaimana pengakuannya, menganut kaligrafi ekspresionis, Syafril cenderung realis. Lewat karyanya Jakarta kebanjiran, pasar, becak, adalah penggambaran dia cenderung kepada realitas hidup manusia dan problematikanya.

Dia menggugat bagaimana peran pemerintah dalam menangani kebanjiran di Jakarta. Tema pasar adalah tema yang merakyat. Syafril cenderung dekat kepada orang kecil karena memang disanalah kehidupan nyata berdenyut. "Lukisan-lukisan saya memang mengandung kritik sosial. Sejak awal saya melukis, selalu ada kritik sosial," kata Cotto.

Hanya ada satu lukisan Syafril Cotto yang bernuansa islami. Judulnya: Kabah. Melalui karya itu, Syafril Cotto seakan hendak merefleksikan diri kepada Khaliknya. Syafril juga bercerita kepada Lampung Post, hampir sepuluh tahun dia bergulat mendalami keislamannya dan selama itu pula melukis pun seperti terabaikan perlahan-lahan. Dan karya Kabah ini telah membuktikan Cotto telah kembali dari pengembaraan spiritualnya dan mengisi dunia seni rupa di Lampung khususnya. Lampung boleh berbangga karena menjadi ladang persemaian pertama dari Cotto setelah hampir satu dekade tidak melukis.

Dari antara enam perupa senior dan junior itu, Firmansyah adalah perupa termuda. Karya-karya Firmansyah adalah karya kontemporer (kekinian). Lukisannya berjudul No Balance menjadi posisi lukisan pertama dari sisi sebelah kiri begitu memasuki ruang pameran. Seiring usianya yang muda, Firmansyah sangat kuat mempertahankan karya kontemporer yang marak di awal 2000-an. Lukisan berjudul Exploitation, dengan gajah sebagai objek, dia seakan menggugat betapa gajah, yang merupakan binatang ciri khas Lampung itu kini semakin berkurang saja. Sedang dalam karya The Super Power, Firmansyah seakan hendak menyindir negara AS sebagai negara kekuatan adidaya dunia dengan rudal-rudalnya yang semakin canggih.

Lewat karyanya yang lain lagi, Stop War, dia menggugat perang yang tiada arti bagi semuanya. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Tetap saja: rakyat atau orang yang tidak bersalah dan tidak berdosa menjadi korban dari suatu perang yang berlangsung.

Soemaryo Hadi adalah perupa senior Jakarta yang berhalangan hadir di Taman Budaya karena kondisinya yang tidak memungkinkan hadir di Lampung. Alhasil, dia hanya terus mendukung kawan-kawannya dari Jakarta.

Namun, komunikasi terus berjalan. Dia selalu menanyakan informasi apa yang terbaru dari dunia seni rupa Lampung. Dan biasanya dia bertanya kepada Cotto. Soemaryo Hadi, lewat lukisan abstraknya, memang banyak memainkan cat kanvas dan warna. Lewat karya abstrak I?IV, dia mengolah sedemikian rupa karyanya dengan memainkan perpaduan warna yang berbeda.

Fenomena Sosial

Eddy Purwantoro dari perupa yang lebih junior asal Metro, merupakan perupa yang juga mengangkat keprihatinan fenomena sosial yang terjadi. Dari karya Terusir, dan Kotanisasi, Eddy banyak menangkap fenomena yang ironis dengan gajah sebagai objeknya. Pada karya Terusir, gajah berkepala besar seakan berteriak panjang melambangkan sesuatu yang besar telah terjadi. Dan gajah-gajah kecil seakan berlarian menuju ke suatu arah yang entah di mana. Sedang dari karya kotanisasi, dengan gading gajah, sebagai penopangnya, dibangun sebuah gedung bertingkat dengan areal yang luas lengkap dengan segala fasilitas mewah lainnya. Ironis.

Inilah sang pelukis kopi yang namanya tidak asing lagi bagi dunia seni rupa Lampung: Sutanto, akrab disapa Pak De. Dalam karya berpacu dengan waktu, petani tengah membajak sawahnya dengan begitu bersemangat. Pak De tampaknya banyak memainkan pelototan tube catnya dengan riang. Dia goreskan setiap cat dan warna dengan begitu berani. Kemudian pada gajah dan belah ketupat karya itu menampilkan warna yang lebih berani lagi kuning dan merah kecokelatan. Binatang khas Lampung itu juga dengan simbol belah ketupat.

Menurut Pak De, belah ketupat merupakan ciri khas makanan Lampung yang mulai terlupakan. "Dulu, saya datang ke Lampung awal-awal, masih ada belah ketupat," kata Sutanto. Sedang karya Sekura Dance adalah gambaran empat penari topeng sekura asal Krui, Lampung Barat, yang memadukan warna-warna kuat dan lembut seperti kuning, hijau, dan merah.

Dari pameran yang berlangsung sejak 2 Desember sampai 9 Desember itu karya lima lukisan Muhsin Soleh laku dibeli Irwansyah, seorang pengusaha kontraktor. Sementara karya Sutanto berjudul Sekura Dance, ditaksir dan dibeli oleh Wiradi. (WANDI BARBOY/P)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Desember 2012

No comments:

Post a Comment