December 23, 2012

[Fokus] Menulis dan Memasarkan Sendiri

TIDAK perlu menunggu diterbitkan oleh mayor label penerbit supaya karya bisa terpublikasi dan tersebar luas. Para penulis muda Lampung mencari alternatif dengan self publishing atau menerbitkan dengan biaya sendiri.

Novelis muda asal Kota Metro, Maulita Anggi Asih, memilih untuk menerbitkan buku dengan biaya sendiri. Uang untuk menerbitkan dari hasil menguras tabungan dan meminjam. Novel perdananya Senar Biola hanya dicetak 500 eksemplar.


Menurut Maulita, atau yang kerap disapa Moli, banyak keuntungan yang diperoleh menerbitkan dengan biaya sendiri, terutama dalam hal kecepatan waktu terbit. Tidak perlu lama hingga sampai novel bisa diluncurkan. ?Kalau lewat penerbit besar, perlu waktu lama belum tentu enam bulan bisa terbit. Harus antre dan bersaing dengan penulis besar yang lebih diprioritaskan untuk diterbitkan,? kata dia.

Menerbitkan buku lewat self publishing memang lebih menuntut kerja keras untuk memasarkan secara mandiri. Tidak memakai jaringan penerbit besar yang sudah tersedia. Penulis pun perlu memikirkan cara memasarkan dan menjual bukunya secara mandiri.

Tuntutan untuk memasarkan sendiri bukunya membuat Moli sudah merancang strategi penjualan. Remaja yang masih duduk di bangku kelas III ini memanfaatkan jaringan di sekolahnya, SMKN 1 Metro. Selain itu, komunitas penggemar boyband Smash pun dimanfaatkan untuk pemasaran. ?Saya akan jual ke teman sekolah dan penggemar Smash, Smashblaz,? katanya.

Moli sangat yakin bukunya akan diterima dan laku di pasaran, meskipun tidak ada jaringan penjualan yang luas ke berbagai daerah.

Suhendra, penulis buku motivasi Nyontek, juga menerbitkan buku perdananya secara swadaya dengan biaya sendiri. Dia berani cetak hingga 3.000 eksemplar karena yakin bahwa bukunya bisa laris di pasaran. ?Saya dahulu pernah menjadi distributor buku-buku motivasi sehingga tahu bahwa buku jenis ini banya dicari dan laku di pasaran,? ujar mahasiswa psikologi UML.

Bila menunggu ada penerbit yang mau membeli karyanya akan butuh waktu lama. Selain itu, waktu cetak perlu waktu lama bila dibeli penerbit besar, bisa lebih dari enam bulan. Menurutnya, self publishing memudahkan untuk mengawasi sendiri penjualan. Buku-buku yang sudah laku dan belum bisa langsung diketahui.

?Menerbitkan sendiri bisa lebih cepat. Bisa langsung dipasarkan. Kalau pakai sistem royalti perlu waktu lama. Padahal, buku saya harus segera cetak sebelum semester baru siswa sekolah,? kata dia.

Motivator muda satu ini memilih segmen pelajar sebagai sasaran penjualan buku. Buku yang isinya seputar motivasi belajar ini ditargetkan laku sebelum tahun ajaran baru dimulai. ?Harapannya setelah membaca, motivasi belajar meningkat,? kata dia.

Selain dijual melalui jaringan motivator dan pelajar di sekolah, buku setebal 96 halaman ini juga dijual dipromosikan lewat media sosial. Lewat Facebook, misalnya, untuk mengenalkan buku dan membuka penawaran bagi siapa saja yang berminat.

Arsitektur Fritz Akhmad Nuzir, penulis kumpulan cerpen Semuda, menilai menerbitkan buku dengan biaya sendiri lebih bebas dalam mengatur harga jual kepada pembeli. Penulis pun memiliki kewenangan untuk mendistribusikan dan mengatur sendiri penjualan buku. ?Kita bisa menghitung berapa harga jual dan memperkirakan pemasukan yang didapat bila buku habis terjual,? kata dia.

Dosen Universitas Bandar Lampung ini mencetak 500 eksemplar untuk edisi perdana novelnya. Tanggapan pembaca cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan angka penjualan. Dalam waktu tiga bulan, cetakan pertama ini langsung ludes terjual.

Berbeda dengan penulis lain, Rostuti Lusiwati Sitanggang memakai jasa penerbit besar dalam memublikasikan bukunya. Lewat penerbit mayor inilah buku Rostuti bisa disebar ke berbagai jaringan toko buku di berbagai daerah.

Penulis yang bekerja sebagai PNS di DKP Provinsi Lampung ini lebih memilih penerbit besar untuk menerbitkan bukunya. ?Kalau dengan biaya sendiri enggak cukup uangnya. Sebagai ibu rumah tangga mana bisa punya alokasi uang untuk menerbitkan buku. Makanya lebih enak menjual langsung ke penerbit,? kata dia.

Dia memakai pola beli putus dengan penerbit yang mencetak bukunya. Dia mendapatkan uang dari penerbit yang membeli bukunya. Selanjutnya, penerbit memiliki hak sepenuhnya untuk mencetak dan menyebarkan buku. ?Saya pernah menulis buku sendiri tentang pengalaman memelihara hewan di rumah. Tebal naskah sebanyak 60 halaman Microsoft Word. Saya dibayar dengan beli putus Rp1 juta oleh penerbit,? kata dia.

Menurutnya, bagi ibu rumah tangga produktif menulis bisa menjadi salah satu sumber pemasukan. Bahan bisa diselesaikan di sela-sela kesibukan pekerjaan rumah dan kantor. Untuk menyiapkan tulisan buku, hanya perlu waktu dua minggu. Jika ditambah perbaikan naskah, perlu satu bulan. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2012
           





No comments:

Post a Comment