December 31, 2012

Nilai Budaya Lampung Melemah

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengabaian kebudayaan selama ini menjadikan Lampung rentan dengan patologi sosial. Ada kecenderungan melemahnya rekatan sosial dan penyempitan nilai-nilai budaya dalam masyarakat.

Demikian benang merah pandangan budayawan Iswadi Pratama, Isbedy Stiawan ZS, dan antropolog Bartoven Vivit Nurdin yang diwawancarai secara terpisah, Minggu (30-12). 


Penyair Iswadi Pratama mengatakan, kebudayaan menjadi perekat keragaman kehidupan masyarakat, kondisinya kini semakin terkikis. Padahal, kebudayaan merupakan aspek terpenting menuju pembangunan daerah yang lebih dinamis dan maju. "Kebudayaan salah satu aspek yang hingga kini belum maksimal disentuh pemerintah dalam konsep pembangunan secara menyeluruh," kata sutradara Teater Satu ini.

Menurut Iswadi, kebudayaan seringkali disempitkan hanya sebagai seni semata. Padahal, konteks kebudayaan sangat luas dan menyangkut berbagai bidang mulai dari budaya demokrasi, budaya kritik hingga budaya politik. "Pemerintah belum sungguh-sungguh mengedepankan nilai-nilai kebudayaan," tegas Iswadi.

Ia mencontohkan, dalam hal penerapan program pembangunan, pemerintah acapkali berorientasi pada unsur fisikal tanpa melalui pendekatan secara kultural. Padahal, budaya merupakan faktor penting yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat.

Salah satu persoalan terpenting dan terbesar dalam pembangunan Lampung, kata Iswadi, yakni melemahnya rekatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Penyebabnya, karena begitu banyak kepentingan politik yang bermain di masyarakat dan berdampak hancurnya nilai-nilai budaya.
Para elite politik, kata Iswadu, hendaknya bersaing secara fair tanpa memanfaatkan budaya lokal dan tradisonal. "Jangan sampai kepentingan politik menghancurkan budaya," ujarnya.

Senada dengan itu, dosen FISIP Universitas Lampung Bartoven Vivit Nurdin menilai kebudayaan Lampung selama ini terabaikan. Pihak-pihak terkait hanya membangun budaya lewat fisiknya, tetapi budaya yang bersifat perilaku sosial atau pengetahuan diabaikan.

Selain itu, menurut dia, pemerintah dan para tokoh lainnya tidak ada mempunyai rencana (planning) atau antisipasi untuk menghadapi konflik yang ditimbulkan dari adanya kemajemukan budaya ini. "Ketiadaan rencana ini membuat institusi resmi tidak mampu membaca dinamika sosial untuk mengantisapi hal-hal di luar keinginan sebagai akibat tidak pedulian terhadap kebudayaan ini," ujarnya.

Budaya TerpurukDalam pengamatan sastrawan Isbedy Stiawan, kebudayaan Lampung tahun 2012 tengah terpuruk. Bukannya merekatkan, keberagaman justru memecah belah tali persaudaraan antarsesama. 

"Kalau melihat konflik di Lampung Selatan, menurut saya, itu bukan karena kecemburuan sosial, melainkan akibat kesenjangan budaya," kata Isbedy.

Menurut Isbedy, penduduk Bali sebagai warga pendatang dan menetap di Balinuraga, Lampung Selatan masih bisa membawa dan memperkenalkan budayanya di Lampung. Namun, warga pribumi di wilayah tersebut, dalam hal ini Lampung Selatan, malah tidak bisa memperkenalkan budayanya sendiri.

"Sesuai pribahasa, bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Nah, itulah yang dipakai warga Bali untuk mempertahankan budayanya, walaupun di luar daerahnya. Nah, di Lampung sendiri, budaya Lampung kurang terlihat," ujar penyair yang berjuluk Paus Sastra Lampung ini.

Namun, pada sisi kesenian, kata Isbedy, Bumi Ruwa Jurai cukup membanggakan di tahun 2012 ini. Berbagai kegiatan diikuti oleh para penggiat seni di Lampung ini, baik bertaraf nasional maupun international.

Selain memperdalam kesenian yang ada di Lampung, para penggiat seni ini pun turut serta dalam memperkenalkan kesenian yang ada di bumi sai ruwa jurai ini ke khalayak ramai. "Kesenian itu bagian dari budaya. Menurut saya, kesenian di Lampung tahun 2012 ini cukup baik. Kita banyak mengikuti even-event nasional dan internasioanl, seperti jazz, musik, seni rupa, dan lainnya," kata penulis produktif ini. (YAR/MG5/P)

Sumber: Lampung Post, 31 Desember 2012

No comments:

Post a Comment