December 30, 2012

[Fokus] Menumbuhkan Cinta pada Permainan Tradisional

LIBURAN sekolah selalu ditunggu-tunggu, tapi bagi Gideon (14 tahun) liburan bukan lagi menjadi ajang kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman. Pelajar SMP ini memilih bermain game online sepuas hati. “Sekarang sekolah lagi libur, main game bisa lebih lama,” kata Gideon saat ditemui di salah satu warnet di Bandar Lampung, Rabu (26-12).

Setiap hari Gideon menyiapkan uang Rp9.000 untuk bermain selama tiga jam. Uang jajan dari orang tua dia gunakan untuk membayar sewa di warnet. “Kalau member bisa lebih murah main di sini,” tuturnya.


Tak beda dengan Gideon, Lutfi Hami Faqih juga keranjingan bermain playstation (PS). Siswa SMK ini bermain bisa sampai empat jam per hari.  Meskipun sekolah, dia tetap meluangkan waktu bermain PS di Jalan Perintis Kemerdekaan bersama beberapa temannya. “Dari SMP sudah suka main PS. Awalnya diajak teman, sampe sekarang selalu main di rental. Sehari minmal 3 jam rental PS,” kata dia.

Gideon dan Lutfi mengaku sudah lama meninggalkan permainan-permainan tradisional yang kini dianggap permainan kampung. Menginjak SMP, mereka mulai mengenal komputer dan internet, maka sejak itu pula mereka menjadi candu dengan permain-permainan di dunia maya.

Perkembangan teknologi games semakin menggeser permainan tradisional. Padahal permainan tradisional memiliki nilai dan fungsi yang tak tergantikan. Merupakan tanggungjawab semua pihak untuk menumbuhkan lagi rasa cinta dan bangga memainkan permainan tradisional. Jogjakarta dan Bandung telah menjadi perintis menghidupkan kembali permainan tradisional. Dua daerah ini sudah melakukan langkah maju dengan memasukkan permainan tradisional dalam mata pelajaran muatan lokal SD dan SMP.

“Jogjakarta dan Bandung juga sudah membangun museum permainan tradisional. Di museum ini anak-anak bisa melihat dan mencoba permainan yang sudah lama hilang, bahkan hampir punah,” kata Nurdin Darsan yang ikut sebagai peserta di seminar dan workshop nasional tentang permainan tradisional.

Di Lampung sendiri, sangat jarang ditemui anak-anak bermain di alam terbuka. “Dahulu setiap saya pulang ke Lampung Barat, masih banyak anak-anak yang bermain di lapangan, bermain taplak dan gobak sodor. Tapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi,” kata guru SMPN 22 Bandar Lampung ini.

Hilangnya permainan tradisional juga disebabkan karena tidak ada lagi orang dewasa dan orang tua yang mau mengajarkannya kepada generasi berikutnya. Padahal merekalah yang masih memiliki pengetahuan dan pengalaman memainnya.

Selain itu, terbatasnya lahan bermain membuat anak-anak sulit memainkan permainan tradisional. “Halaman bermain di perumahan atau di pusat-pusat keramaian sangat terbatas,” kata penggiat Dewan Kesenian Lampung (DKL) ini.

Salah satu warga Wayhalim Irham Mattjik masih mentransfer tentang permainan-permainan masa kecilnya dulu kepada anak-anaknya. Namun sayang hanya berhenti sebatas pengetahuan saja, tidak sampai memainkan bersama dan merasakan manfaatnya.

“Hanya sekadar pengetahuan kepada  anak-anak supaya mereka tidak lupa.  Mereka memang tidak memainkannya, hanya sekedar tahu saja,” kata ayah tiga anak ini. Dia mengaku, anak-anak zaman sekarang cepat bosan memainkan permainan tradisional dan lebih tertarik dengan game online atau playstation. (PADLI RAMDAN/M-2)


Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012

No comments:

Post a Comment