February 28, 2010

Pemerintah, Seniman, dan Kesenian

Oleh Tri Purna Jaya

PEMERINTAH sebagai pemegang kebijakan dan pengayom masyarakat harus ikut andil dalam upaya pelestarian dan keberlangsungan proses kesenian.

DISKUSI SENI. Sastrawan A.M. Zulqornain Ch. (berdiri) menyampaikan materi dalam diskusi Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (Bijusa UKMBS) Unila di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Sabtu (20-2). Dimoderatori Tanjung (kiri), tampil juga sebagai narasumber adalah manajemen Teater Satu Imas Sobariah dan perupa Joko Irianta. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Hal tersebut mengemuka pada diskusi Bilik Jumpa Seniman Mahasiswa (Bijusa) yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Sabtu (20-2).

Tampil sebagai nara sumber dalam diskusi bertema Merangkul Penikmat dan Peminat Karya Seni di Lampung tersebut insan-insan seni yang sudah lama bergelut di dunia kesenian di Bandar Lampung, yaitu manajemen Teater Satu Imas Sobariah, sastrawan Asaroedin Malik Zulqornain Ch. dan perupa Joko Irianta.

Imas Sobariah yang menyajikan makalah Manajemen dalam Teater mengatakan kembang-kempisnya kehidupan kesenian di Lampung disebabkan beberapa faktor, antara lain lemahnya setiap grup kesenian dalam memanajemen grup tersebut, baik itu dalam wilayah artistik ataupun nonartistik--dalam hal ini, Imas lebih menspesifikan paparannya mengenai grup-grup teater yang pernah ada di Lampung.

Manajemen tersebut, menurut Imas, sangatlah diperlukan untuk membuat sebuah grup kesenian dapat terus hidup. Kesadaran akan pentingnya manajemen organisasi yang baik, tentu saja akan melahirkan sebuah grup dengan pencapaian karya yang baik pula. "Wajib dipikirkan, bukan hanya artistik, melainkan nonartistiknya juga. Karena satu sama lain saling berkaitan," ujar Imas.

Alhasil, akibat manajemen grup yang berantakan, kata Imas, yang menjadi salah satu konseptor Liga Teater SMA (Sekolah Menengah Atas) di Lampung tersebut, banyak grup-grup yang berguguran. "Ada yang tinggal sutradaranya. Bahkan ada yang hanya nama grupnya saja," kata dia.

Ada beberapa catatan yang dibuat Imas mengenai permasalahan yang kerap "membungkus" grup-grup teater, semenjak ia berdomisili di Lampung pada 1994, antara lain mempunyai pola pikir dan ketergantungan terhadap segala sesuatunya menjadi tanggung jawab pemerintah; pola pikir bahwa teater itu kumuh, jorok, liar, dan membebaskan diri dari segala aturan; berteater baru hanya sebatas hobi, sehingga grup tak punya visi ke depan; terpusatnya konsentrasi pada wilayah artistik, sehingga wilayah nonartistik terabaikan; serta manajemen pambagian peran dan wilayah kerja yang kurang.

Dari catatan-catatannya tersebut, Imas yang menjadi pemateri tentang drama pada Woman Playwrights International Conference di Jakarta dan Ubud, Bali, pada 2006 tersebut, menemukan titik masalah yang paling penting. "Tidak semata-mata memikirkan produksi karya. Tapi wajib juga dipikirkan mengenai manajemen prduksinya," kata Imas.

Hal itu, kata Imas, membuat konsentrasi hanya berpusat pada permasalahan melulu tentang produksi sebuah karya, sehingga masalah-masalah lain, misalnya publikasi, biaya, dan lain-lain, terabaikan. "Mau tidak mau, akhirnya jadi melulu mengandalkan pemerintah, misalnya soal dana," kata Imas di hadapan sekitar 40 peserta diskusi yang terdiri dari mahasiswa, insan seni, serta penikmat seni di Bandar Lampung tersebut.

Namun, kata Imas, pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap kesenian di daerahnya, karena pemerintah mempunyai tanggung jawab moral untuk mengembangkan setiap kesenian pada daerah lokalnya, baik itu kesenian tradisi ataupun modern. "Ada anggarannya tersendiri," ujar Imas.

Meskipun demikian, Imas berpendapat hendaknya para seniman ataupun grup-grup kesenian di Lampung untuk sedikit merubah mindset-nya. "Kita tidak hanya mengandalkan pemerintah. Proses kesenian dapat terus berjalan, meski itu tanpa bantuan pemerintah," kata dia.

Seni Rupa

Joko Irianta melalui makalah Perupa dan Apresiator banyak menceritakan suka-duka berkesenian, khususnya dalam seni lukis. "Untuk seni rupa terapan, masih bagus apresiasinya. Tapi, tidak pada seni rupa murni, khususnya seni lukis. Seni lukis hanya "laku" pada pameran-pameran," kata Joko yang juga seorang kurator seni rupa.

Menurut pandangan Joko, ada kontradiksi. Untuk nilai apresiasi, seni lukis masih mendapat tempat di masyarakat Lampung. Namun, tidak pada sisi komersialnya. "Untuk seorang pelukis ternama di Lampung ini, lukisannya hanya laku dengan harga berkisar antara Rp2,5 juta--Rp12,5 juta. Itu pun terbatas pada pameran saja," kata dia.

Hal tersebut, menurut Joko, membuat banyak pelukis-pelukis Lampung yang sebenarnya memiliki potensi dan bakat yang diakui oleh dunia lukis nasional. "Ada beberapa pelukis yang sering diajak pameran dengan level nasional, Koliman dan Nurbaito salah satunya," kata dia.

Mirisnya, imbuh Joko, di Lampung sendiri apresiasi--dalam hal ini dari sisi komersil--terhadap karya-karya pelukis asal Lampung masih minim. "Kolektor lukisan di Lampung tidak diketahui. Jadi, selama ini hanya dengan sistem door-to-door," ujar dia.

Untuk hal tersebut, menurut Joko, ia dan beberapa pelukis serta rekan, bersedia membantu jika ada pelukis-pelukis Lampung yang ingin mengadakan pameran. "Kalau ada yang mau pameran, kami bersedia membantu memanajemeni. Sebab, untuk membuat sebauh pameran seni lukis tidaklah sederhana. Harus menarik dan berkonsep jelas. Mulai dari tema sampai kuratornya," kata Joko.

Apresiasi, menurut Joko, tidak melulu hanya berkutat pada laku atau tidaknya suatu lukisan. "Uang itu hanya sebagai "akibat". Apresiasi itu bisa juga dari mengamati, mengkritisi, atau pun menuliskannya agar khalayak bisa memahami seni rupa/lukis tersebut," ujar Joko.

Joko mencatat, perlu motivasi berlebih untuk bisa menghidupkan minta atau apresiasi terhadap kesenian dari warga Lampung, dalam konteks Joko adalah seni lukis. "Karena banyak bibit-bibit potensial di sini. Memahami seni rupa itu bertingkat-tingkat atau berulang-ulang," kata dia.

Berkaitan dengan apresiasi masyarakat terhadap seni/kesenian, A.M. Zulqornain mengatakan jika ingin sebuah seni/kesenian bisa "laku" atau diminati, hendaknya membuat sesuatu yang unik. Terpenting lagi, kata Zulqornain, warna lokal. Karena warna lokal tersebut menyangkut nilai-nilai tradisi.

"Ekspolitasilah nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Itu perlu saat ini. Dan, saya lihat sekarang, masih belum belum kelihatan eksploitasi itu," kata dia.

Namun, kata Zulqornain, kesenian hendaknya dikembalikan ke hakikat asalnya, yakni "rasa". "Seni itu "rasa". Antilogika," ujar dia.

Alhasil, dengan melihat kondisi yang sedang terjadi sekarang di dunia kesenian Lampung, baik itu modern ataupun tradisi, pemerintah tidak boleh menutup mata, karena pemerintah adalah pengayom dan pembimbing masyarakat dan bukanlah penguasa an sich.

Di pihak para penggiat seni, hendaknya tidak selalu menggantungkan "nasib"-nya kepada pemerintah. Sebab, tanpa bantuan pemerintah, proses berkesenian akan tetap berjalan. Oleh sebab itu, para penggiat seni harus terus berkesenian.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Februari 2010

[Perjalanan] Melapangkan Dada di Punduhpidada

SUNTUK sepekan di kota, meluncurlah ke Punduhpidada. Kalau tak sempat bermain pasir putih di pantai nan landai, atau mancing ikan di laut nan jernih, balik saja lagi, tak masalah. Sebab, panorama sepanjang perjalanan dari Bandar Lampung hingga kecamatan di Pesawaran itu sudah melapangkan dada.

Menyusuri ceruk Teluk Lampung. Suasana wisata mulai terasa saat perjalanan dari Bandar Lampung lepas dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing ke arah Padangcermin, Pesawaran. Gunung dengan hijauan yang masih lestari di sisi kanan memantulkan hawa jiwa yang tenang di pikiran dan dada. Menoleh ke sisi kiri, air laut membiru yang tak pernah jemu bergelegak dengan ombaknya adalah dinamika kesegaran yang luar biasa. Hidup dan hati dibuat terasa tenang sekaligus terasa lebih hidup.

Punduhpidada. Wilayah yang merupakan kecamatan di Kabupaten Pesawaran itu memang berada di ring 1 ceruk Teluk Lampung. Jika ingin menuju di tempat ini tanpa keperluan yang pasti, godaan terus membayang di hampir setiap lokasi.

Menanjak bukit yang dibelak jalan hotmix, saat sampai di posisi paling atas, rasanya ingin melewatkan beberapa waktu untuk singgah. Sebab, dari atas jalan di bukit itu, pemandangan laut Teluk Lampung yang biru dipagar pulau-pulau bergunung nan hijau sangat memukau mata.

Saat hari cerah, detail laut dan lekuk-liku pantainya terlihat jelas dan indah. Saat mendung, kabut tipis juga menjadi pemandangan yang membuat hati terasa dalam kesejukan. Terlebih jika lengkung kluwung, pelangi dengan paduan warna sempurna itu menambah keindahan panorama. Seperti saat kami melawat pada Selasa (24-2) sore.

Di bibir-bibir laut, kincir-kincir yang memutar air untuk sirkulasi tambak-tambak udang terlihat seperti mesin pembuat salju nan putih. Daun nyiur yang hijau klimis melambaikan kilau keelokan alamiah tak tertandingi. Pohon-pohon kelapa itu memang amat subur dengan janjangan dugan hijau yang ranum menyegarkan.

Jalan ke arah Padangcermin yang relatif sempit berliku menghindari ceruk dan mendaki punggung bukit bukan halangan. Lebar badan jalan yang hanya empat meter justru menegaskan garis liuknya. Sayang, beberapa ruas sudah mulai bopeng dan belum mendapat perbaikan.

Melewati sedikit keramaian di Hanura, suasana perdesaan indah kembali menguasai. Kompleks pangkalan TNI Angkatan Laut Lampung di Teluk Ratai yang berada di potongan ruas jalan ini tidak mengurangi keindahan suasana. Meski terasa murung oleh aura militer, tetapi suasana segera cair dengan adanya tempat rekreasi Kelapa Rapat (Klara) di lahan milik TNI AL yang dikelola oleh warga sekitar. Di lahan pantai sepanjang sekitar 300 meter yang dipagar sekenanya dengan bambu, pondok-pondok sederhana didirikan untuk disewakan kepada pengunjung yang menikmati panorama laut dan gunung.

Hadirnya Kompi Batalion 9 Marinir di ruas selanjutnya tidak mengubah suasana asri. Yang ada, justru jaminan rasa aman di lokasi wisata rakyat yang banyak dikunjungi.

Selepas kompleks Marinir, perkampungan warga kembali menguasai. Desa Dantar di wilayah Kecamatan Padangcermin yang baru disapu banjir bandang pekan lalu masih porak poranda. Tak apa, meski ada korban jiwa dan belasan rumah larut ke kali, warga mulai normal kembali.

Menuju Punduhpidada, setelah menemui jalan mentok, arahkan kendaraan Anda ke kiri. Sekitar dua kilometer, kompleks Marinir Batalion 7 kembali menguasai. Ada dermaga militer yang tampak digunakan warga untuk memosisikan diri di tengah laut agar bisa lebih dekat ikan saat melempar pancing.

Meneruskan perjalanan, maka Anda sudah berada di wilayah Kecamatan Punduhpidada. Di sini, suasana etnis Lampung terasa kental. Di beberapa ruas jalan, rumah-rumah panggung asli Lampung dengan arsitektur khas, ukiran-ukiran di balkon, dan tangga di bagian tengah menandai keaslian hunian-hunian kuno ini.

Pekon Ampai dan Kunyanyan dapat mewakili keaslian budaya dan arsitektur asli Lampung. Bahkan, perkampungan ini relatif masih lebih lestari ketimbang Desa Wana di Melinting, Lampung Timur, yang ditetapkan sebagai desa tradisional dan tujuan wisata. Sebab, perangkat-perangkat fasilitas kampung juga masih terlihat ada. Tampak, lumbung padi di pinggir jalan masih utuh berdiri. Meskipun, mungkin tidak lagi digunakan sebagai tempat menyimpan persediaan bahan pangan.

Budayanya tampaknya juga masih dipegang teguh. Itu terlihat dari kebiasaan orang-orang menikmati sore dengan bersantai di teras rumah panggung sambil menyantap kopi dan mengepulkas asap dari mulutnya.

Alung, seorang tokoh muda Padangcermin, mengatakan di Punduhpidada ini, beberapa kebiasaan masih dipegang tetua maupun pemuda. Ia menceritakan saat seorang bujang akan nganjang atau bertandang ke rumah gadis, harus melapor ke ketua bujang dulu. Setelah mendapat izin, kepala bujang akan mengutus beberapa pemuda untuk mendampingi sang bujang menyambangi rumah gadis hingga pulang kembali. "Prosesi adat dan berbagai aturan juga masih dipegang teguh masyarakat sini," kata Alung.

Kekayaan budaya hanya bagian dari spekta Punduhpidada. Wilayahnya yang berbatasan dengan Teluk Lampung memiliki bibir-bibir laut yang indah. Hampir semua pantainya berpasir putih dengan permukaan landai. Air lautnya juga masih sangat jernih karena terjaga dari polusi. Juga tetumbuhan pinggir laut yang asri. Sayang, banyak pantai indah yang disulap menjadi kompleks pertambakan. Maklum, ikan dan udang berkembang sangat subur di alam yang masih suci ini.

Salah satu pantai yang amat indah tetapi tidak pernah dinikmati pantainya ada di Desa Kampungbaru. Setelah menerobos kebun kelapa yang batangnya sudah tinggi-tinggi dan rapi, pantai indah itu terkuak. Oh, indahnya...

Menurut Alung, kawasan ini juga "surga" bagi pemancing pemula. Sebab, meskipun tidak terlalu serius memancing, dijamin pasti pulang membawa ikan. "Tetapi, kalau nelayan sini mencari ikannya ya jauh ke laut lepas," kata dia. Emhh... n SUDARMONO

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Februari 2010

February 27, 2010

4 Pekon di Lambar Jadi Embrio Desa Wisata

LIWA (Lampost): Dinas Perhubungan, Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Dishubparbudpora) Lampung Barat mempersiapkan pembangunan empat pekon (desa) sebagai embrio desa wisata.

Persiapan tersebut dilatarbelakangi objek dan daya tarik wisata Lambar yang telah berkembang. Ini memberikan keyakinan Pemkab bahwa Lambar memiliki kekayaan dan keragaman aset pariwisata, budaya, dan bahari.

Kepala Bidang Pariwisata Arief Nugroho didampingi Kepala Seksi (Kasi) Tenaga Kerja Bidang Pariwisata Samba, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (24-2), menjelaskan keempat pekon yang telah direncanakan menjadi embrio desa wisata itu, adalah pekon yang memiliki karakteristik khusus untuk menarik wisatawan baik lokal atau mancanegara. Masing-masing Pekon Hujung, Kecamatan Belalau; Pekon Lombok, Kecamatan Sukau; Pekon Tanjungsetia, Kecamatan Pesisir Selatan; serta Pekon Muaratembulih, Kecamatan Ngambur.

Karakteristik yang menonjol dari pekon-pekon tersebut, di antaranya objek wisata bahari dimiliki Pekon Tanjungsetia. Wisata tersebut saat ini sudah dikenal hingga mancanegara, terutama sebagai lokasi yang cukup baik bagi wisatawan yang memiliki hobi berselancar.

Selain itu, pantai Tanjungsetia dilengkapi dengan keindahan serta kealamian pantainya.

Pekon Muaratembulih dengan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang dimiliki, juga sangat menonjol di kabupaten tersebut. Di Pekon Muaratembulih saat ini wisatawan dapat melihat langsung pengembangbiakan penyu laut. Selain itu, lokasi Muaratembulih juga sangat cocok untuk berbagai macam kegiatan wisata alam, seperti menyusuri pantai, menikmati pemandangan pantai, fotografi, kamping, stay overnight. Selain cocok untuk lokasi outbound, cycling, dan menikmati suasana saat matahari tenggelam (sunset).

Pekon Hujung memiliki suasana perdesaan yang sejuk dan menyatu dengan alam. Selain itu, juga menawarkan kawasan wisata petualangan dan mendaki gunung. Di pekon setempat juga terdapat rumah-rumah adat yang berciri khas Lambar dengan konsep homestay.

Selain sebagai pintu gerbang menuju kawasan Gunung Pesagi, Pekon Hujung juga dipercaya sebagai asal mula Kerajaan Sekalabrak yang menurunkan penduduk asli Lambar.

Sedangkan Pekon Lumbok memiliki potensi alam Danau Ranau, Gunung Seminung, dan Bukit Barisan Selatan. Selain itu, masih banyak potensi lainnya, seperti potensi flora, fauna, dan budaya masyarakat Pesisir yang bersifat permisif, ramah, dan lebih halus dalam tatakrama. Hal tersebut menjadi potensi untuk menarik minat pengunjung.

Selain karakteristik dan potensi yang memang telah dimiliki Pekon Lumbok, sejak dahulu di pekon ini juga banyak terdapat keramba-keramba yang dikelola masyarakat. Potensi ini diharapkan bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong.n CK-7/D-1

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 Februari 2010

February 22, 2010

Menyelamatkan Bahasa Lampung

Oleh Farida Ariyani*


Tabik pun, tabik ngalimpura jama kuti rumpok, sikam nyelang ngebista bak pasal bahasa Lampung.

PENULIS mengingat kembali pisaan Kiai Ir. Akhmad Syarnadi H.M., M.S. (Cemungak Beresio) pada seminar bahasa dan tulisan Lampung (kerja sama Lampung Sai dan Unila) 1999 berikut: Tahun bebalin tahun, bahaso mak teguno, budayo jarang luwah, sai nundo kepunahan; Semanjang tegei ngelamun, adat kurang te cammo, cepalo mak ti pubalah, nayah nyapang aturan; Tano rang milih inggun, kak sako curak merro; Jinno semapeu wayah, Keder mak keraso-an.

Sebagai ketua panitia ketika itu, penulis mencermati dan memaknai pisaan tersebut, ada kesedihan yang mendalam akan ’’keterancaman dan kepunahan bahasa Lampung’’ baik sebagai bahasa ibu maupun bahasa daerah. Alhamdulillah, selama sepuluh tahun sudah banyak yang dapat dilakukan untuk tetap memberi napas kehidupan bahasa Lampung (BL), baik dari segi pendidikan formal maupun nonformal. Unila membuka program D-3 BL yang menghasilkan guru bidang studi bahasa Lampung, pemda melalui Dinas Pendidikan menjadikan bahasa Lampung sebagai muatan lokal, dan masyarakat Lampung tetap mewarisi bahasa Lampung dalam ranah keseharian walaupun belum maksimal.

Bahasa Lampung sebagai bahasa ibu dan juga sebagai bahasa daerah yang diwariskan generasi tua (bakas/kakek dan siti/nenek) ke generasi menengah (buya/ayah, ummi/ibu, pak lebu, induk lebu, kemaman, dan minan) dan ke generasi muda (anak-anak) memerlukan upaya yang serius dengan berlandaskan pada asas keyakinan dan kesungguhan. Keyakinan bahwa bahasa Lampung masih memiliki manfaat dalam kehidupan. Kesungguhan bertumpu kepada tekad masyarakat Lampung untuk melestarikan bahasa Lampung sebagai identitas budayanya dan bagian dari kebudayaan nasional.

Sejak 1951, UNESCO merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan dan menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Berkaitan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2010, sudah sewajarnya kita mengoreksi kembali kekhawatiran punahnya bahasa Lampung sebagai bahasa ibu seiring berkurangnya penggunaan bahasa Lampung.

Ada baiknya, kita merujuk kriteria skala tingkat keterancaman dan kepunahan bahasa yang digunakan UNESCO. Menurut Grenoble dan Whaley dalam Saragih (2010), kriteria skala tersebut mencakup enam skala. Yakni bahasa yang aman, berisiko, mulai terancam, kondisi parah, hampir punah, dan punah. Lalu, di manakah skala bahasa Lampung?

Menarik untuk diketahui apakah tentang kepunahan bahasa Lampung itu sudah terjadi pada masyarakat Lampung. Dalam hal ini, Gunarwan (1994) melakukan penelitian kebocoran diglosia dan menemukan bahwa bahasa Lampung sudah mengalaminya karena desakan bahasa Indonesia (BI). Dari penelitian diketahui, dalam keluarga Lampung yang diamati kebocoran diglosia terjadi pada orang-orang Lampung pada kelompok umur 41–50 (nilai rata-rata pemilihan=1,21), yang berimplikasi bahwa bahasa Indonesia sudah mulai dipakai di ranah rumah.

Yang memprihatinkan adalah bahwa semakin rendah kelompok umur keluarga Lampung, semakin tinggi nilai rata-rata pemilihan bahasanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa semakin muda keluarga Lampung, semakin sering bahasa Indonesia digunakan alih=alih bahasa Lampung. Selanjutnya, hal ini mengisyaratkan bahwa kebocoran diglosia menjadi makin besar. Kalau dibiarkan, kebocoran akan semakin besar, dan jika dibiarkan tanpa usaha menambal kebocoran itu, bahasa Lampung dapat punah dalam perkiraan waktu 75–100 tahun lagi.

Perkiraan kasar itu dibuat Gunarwan (1994) berdasarkan temuan yang disajikan dalam tabel di atas. Dengan asumsi bahwa bilangan-bilangan dalam tabel itu akurat, anak-anak yang pada waktu ini berumur 10 tahun (yakni nilai tengah dari kelompok umur 20 tahun) atau lebih muda akan menjadi orang tua (suami-istri) dalam satu generasi (25 tahun) lagi. Artinya, mereka menjadi orang Lampung dalam kelompok umur 31–40 tahun.

Untuk keperluan praktis, misalkan nilai pemilihan bahasa untuk kelompok umur ini tetap 3,43 (seperti yang ditemukan pada waktu penelitian) dan perbedaan nilai kelompok umur <20 style="font-style: italic;">ulun lampung yang jumlahnya sekitar tiga juta orang. Pada saat itu tidak seorang pun lagi yang memahami dan menggunakan bahasa dan tulisan Lampung. Orang Lampung tidak lagi mengenal lima prinsip pedoman bermasyarakat Lampung, yaitu piil pesengiri, nengah nyappur, nemui nyimah, sakai sambayan, dan bejuluk beadek. Orang Lampung tidak lagi mengenal begawi, mepadun, dan berbagai bentuk kelengkapan adat. Tidak lagi mengenal seni budaya Lampung, seperti canggot, sesad, pisaan, pepaccur, ngedio, dan ringget. Sangatlah beralasan kekhawatiran tersebut karena media penyelenggaraan adat piranti tersebut yaitu bahasa Lampung tidak dipergunakan dan tidak dikuasai lagi.

Sepuluh tahun, tidak terasa bagi penulis untuk tetap berupaya mengajak masyarakat Lampung tetap melestarikan, membina, dan menghidupkan bahasa Lampung, baik jalur formal maupun nonformal. Merujuk kepada pendapat kedua pakar tersebut, mendorong penulis untuk tetap berbuat walau sedikit. Secara sadar, perihal pembinaan dan pengembangan bahasa Lampung harus disosialisasikan. Karena itu, Gubernur Lampung Bapak Sjachroedin Z.P. melalui Perda No. 2/2008 sudah memberikan payung hukum sebagai legal formal pembinaan dan pengembangan bahasa dan aksara Lampung.

Kegiatan dilanjutkan sosialisasi ke empat belas kabupaten/kota yang dilaksanakan Biro Hukum Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) pada Desember–Januari 2010. Keberadaan perda tersebut sejalan pemikiran Anton M. Moeliono (1985) yang mengatakan bahwa pembinaan bahasa berkenaan peningkatan jumlah pemakai bahasa dan mutu pemakaian bahasa lewat penyebaran hasil pembakuan, penyuluhan, serta bimbingan dan pengembangan bahasa berkenaan dengan pengembangan sandi bahasa (code). Secara garis besar, Anton M. Moeliono (1985) membaginya menjadi tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap penilaian.

Dalam situasi terdesaknya bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah tidak kurang dari 442, di dalamnya termasuk bahasa Lampung, ternyata lahir usaha-usaha untuk membelanya. Sebagai cetusan dari kesetiaan, baik sekadar pernyataan verbal maupun yang berupa usaha yang konkret. Berkaitan otonomi daerah, pelestarian bahasa Lampung dapat dilakukan dengan lebih leluasa merujuk pada UU No. 22/1999. Sejalan usaha-usaha tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa Lampung sebagai alat komunikasi dalam ranah keluarga; masuknya bahasa dan aksara Lampung sebagai muatan lokal sejak pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi; membuka kembali program studi bahasa Lampung atau fakultas bahasa dan budaya Lampung; serta melakukan penelitian dan penerbitan hasil penelitian.

Kemauan untuk memelihara bahasa Lampung dengan sengaja dan terprogram saat ini wajib disambut baik masyarakat Lampung, baik pengguna, pembelajar, dan peneliti bahasa. Karena itu, tidaklah berlebihan jika kita mau pasti kita mampu dan jika kita mampu hurus mau; Mak ganta kapan lagi, mak ram sapa lagi. Jadikanlah bahasa Lampung dengan keragaman variasi dialeknya, penanda kekayaan yang patut dilestarikan sehingga berfungsi sebagai salah satu lambang identitas, kebanggaan, dan alat perhubungan antarmasyarakat Lampung.

* Farida Ariyani, Pendidik dan Pemerhati Bahasa Lampung

Sumber: Radar Lampung, Senin, 22 Februari 2010

Gitar Klasik dan Lagu Lampung

Mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila membawakan lagu-lagu klasik Lampung dalam Pembukaan Bilik Jumpa Seniman-Mahasiswa (Bijusa) di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila, Sabtu (20-2) malam. Diskusi mengangkat tema Merangkul Penikmat dan Peminat Karya Seni di Lampung dengan nara sumber Manajemen Teater Satu Imas Sobariah, sastrawan Asaroeddin Malik Zulqornain Ch., dan perupa Joko Irianta. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Agus Utomo Nakhodai FLP Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Agus Utomo terpilih sebagai ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung dalam Musyawarah Wilayah IV organisasi kepenulisan itu, Minggu (21-2).

Agus Utomo dipilih secara mufakat oleh tiga puluhan anggota organisasi itu di Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL), kompleks Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR) Way Halim. Nama calon lain yang sempat muncul dalam forum ialah Laela Awalia. Namun, dalam proses pemilihan, semua peserta muswil sepakat memilih Agus Utomo.

Agenda pemilihan ketua baru dilaksanakan setelah pembahasan tata tertib dan laporan pertanggungjawaban pengurus.

Agus Utomo mengatakan tugas Forum Lingkar Pena ialah melahirkan banyak penulis muda yang karyanya mampu menginspirasi pembaca. Agus menjelaskan untuk menghasilkan penulis yang andal, organisasinya akan mengadakan pelatihan secara kontinu. Sebab, dengan giat berlatih, karya yang dihasilkan semakin baik.

"Kami fokus pada kaderisasi penulis. Caranya dengan memperbanyak pelatihan kepenulisan. Hanya dengan itu penulis andal dan karya yang baik akan muncul," kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung itu.

Agus Utomo berharap setiap tahun ada anggota FLP yang meluncurkan novel atau antologi puisi.

"Harapan kami tentu saja banyak anggota yang karyanya diluncurkan dalam bentuk buku. Baik novel, kumpulan cerpen, atau antologi puisi," kata dia.

Selain memilih ketua baru, juga ditetapkan tiga anggota Dewan Penasihat FLP Lampung, yakni Ika Nurlianawati, Dessy Ariya Utami, dan Lilih Muflihah. */K-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Februari 2010

Buku: Tulisan Nilla Kaya Perspektif

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pengalaman hidup Nilla Nargis yang begitu heterogen membuat tulisan yang dihasilkannya kaya akan perspektif. Latar belakang Nilla, penulis buku Merawat Hati Membangun Keluarga Sakinah dan Metamorfosis Kemiskinan, sebagai dosen, praktisi, dan pengusaha, membuat lebih hidup.

Pernyataan tersebut disampaikan dosen FISIP Unila Arizka Warganegara dalam bedah buku karya Nilla Nargis di Gedung PKK, Sabtu (20-2). Diskusi yang dimoderatori Ketua AJI Bandar Lampung Juwendra Asdiansyah ini dihadiri oleh Nilla Nargis dan Direktur Mata Kata Budi Hutasuhut.

Arizka mengatakan dua buku Nilla Nargis saling melengkapi. Bagai dua keping mata uang. Buku Merawat Hati dan Metamorfosis Kemiskinan tidak bisa dipisahkan.

Buku karya Nilla, kata Arizka, berisi tentang pengalaman hidup. Pengalaman yang dialami penulis dikontekskan dengan kondisi sosial politik yang ada. "Buku Nilla kaya akan perspektif karena latar belakang Nilla yang heterogen sebagai dosen, praktisi, dan pengusaha," kata Arizka.

Arizka juga mengatakan buku Nilla mudah dipahami. Ia hanya memerlukan waktu 30 menit untuk membaca buku tersebut. Isi buku tidak hanya masalah hukum, tapi juga politik, lingkungan, dan kemiskinan. Ia menyebutkan ada enam artikel tentang politik, satu artikel hukum, dua artikel tentang kemiskinan, dan dua artikel tentang lingkungan. "Jarang sekali buku yang ditulis dari berbagai perspektif," ujar Arizka.

Arizka menambahkan buku Nilla sangat personal dan tulisan yang dihasilkan sifatnya sangat pribadi. Tulisan dikontekskan dengan masalah soial kemasyaratan yang ada. "Buku ini menarik untuk diikuti dan dipelajari," kata dia.

Nilla mengatakan keinginannya menulis termotivasi oleh dosen FH Abdul Kadir. Abdul Kadir menulis banyak buku. Inspirasi tulisan juga berasal dari orang-orang yang disayangi. Keinginan menulis juga untuk menyempaikan kebenaran meskipun cuma satu ayat.

Nilla menyebut dua bukunya sebagai kembar siam dan tidak bisa dipisahkan. Ia berharap bukunya bisa menyadarkan para bapak-bapak bahwa anak adalah harta yang tidak ternilai. Dosen FH Unila ini juga melihat kemiskinan bukan hanya materi, melainkan juga kemiskinan hati. n MG2/K-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 22 Februari 2010

February 21, 2010

Buku: Tentang Suara-Suara Kerinduan

Judul buku: Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan
Penulis : Oky Sanjaya
Penerbit : BE Press, Lampung
Cetakan : I, Desember 2009
Tebal : ix + 76 hlm.

TERCEKAT saya ketika membaca buku puisi yang ditulis oleh generasi Lampung akhir 80-an ini. Bukan karena saya tidak yakin, melainkan karena saya menemui dua hal yang menjadi perasaan malu, yang lama-lama merenggut minda saya untuk berpikir apa yang sebenarnya terjadi dengan orang Lampung.

Pertama, saya merasa malu karena ternyata saya tidak mampu memahami puisi yang ditulis dalam bahasa ibu saya secara penuh. Kedua, saya malu karena ada generasi-generasi Lampung yang tidak hanya bisa mengungkapkan keresahannya, tetapi juga berkarya dalam dukungan yang tak seberapa.

Mengenai sekat bahasa izinkan saya sebagai pembaca berlayar dalam pikiran-pikiran saya setelah membaca teks ini beberapa minggu. Meskipun tak sepenuhnya terpahami atau genap ditelan alam pikiran. Hal yang paling pokok yang bisa saya serap dari buku puisi ini ialah kerinduan.

Suara-suara kerinduan yang dibawa dalam buku puisi ini, utamanya dapat terbaca dalam beberapa hal, pertama kulit muka yang mengusung judul Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan dan gambar seseorang yang sedang menelepon seraya memegang kepalanya yang seolah menggambarkan keresahan. Judul dan gambar ini dengan segera membawa saya dalam sebuah rasa rindu tentang sesuatu, entah itu rasa atau sosok. Lebih utama lagi, kerinduan-kerinduan itu dibawa dari sebuah negeri yang asing menuju negeri yang dirindu karena kegiatan menelepon yang mengisyaratkan jarak dan juga sebuah tempat yang menghubungkan tempat lain, yaitu pelabuhan.

Suara-suara kerinduan selanjutnya juga tergambar dalam puisi yang pertama ditampilkan Mulang Goh. Sebuah puisi singkat yang berpesan untuk kembali. Kembali pada sebuah pangkal yang melegakan. Penerimaan pada diri yang utuh seolah baru saja sadar dari sebuah entitas di luar dirinya.

Kerinduan selanjutnya bisa dibaca pada puisi ketujuh belas, yaitu puisi yang judulnya diambil menjadi judul dalam kulit muka: Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan. Lebih jauh ke dalam isi puisinya, saya bisa merasakan sebuah rasa rindu yang dilabuhkan pada alam (malam, pasir, angin), tempat (pelabuhan, laut, bandar) dan rasa (keindahan, kesetiaan, sepi). Semua kerinduan yang dianalogikan tersbut diakhiri pada sebuah nama: Yulia.

Di penghujung buku kerinduan disimpulkan pada puisi Ngehapus yang berbicara tentang diri: identitas dan perubahan. Tentang dinamika kedirian yang dilihat ada pertarungan dan juga kepasrahan menerima hasil akhir dinamika kehidupan. Meskipun hasil akhir itu masih terus dipertanyakan ujungnya, tetapi, yang terpenting, puisi ini mengajak berdewasa dan kembali mengenali diri.

Bagi saya, sampul buku, puisi pertama (Mulang Goh), puisi Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan, dan puisi Ngehapus bercerita tentang kerinduan pada sebuah entitas kelampungan. Hal ini ditandai dengan kata-kata yang digunakan dan berbagai analogi yang bermain di dalam pikiran saya, yang mengarahkan pada Lampung itu. Sebab, ada kata-kata khas yang dipakai, antara lain: pelabuhan, lawok, bandar, analogi identitas dan analogi kerinduan dalam kata mulang "pulang". Barangkali tergesa, tapi begitulah yang saya tangkap dari buku Oky Sanjaya.

Hal lain yang menarik di dalam puisi-puisi yang ditulis Oky ialah kata-kata yang khas merujuk pada Lampung. Contohnya, kata sigor , kumbang kupi, lada dan pekon. Selain mengenai yang khas itu, ciri kemoderenan puisi ini juga tampak pada penggunaan kata yang boleh dibilang serapan dari bahasa asing seperti instrospeksi, fragmentasi dan mutilasi. Boleh dibilang ini sebuah bangunan puisi yang baru, sejatinya, mempertemukan dunia khas Lampung dan hal-hal baru yang, tentu saja, dialami secara pribadi oleh penulis puisi.

Meskipun demikian, ada sedikit kekurangan yang saya temukan. Misalnya, ada penggalan-penggalan puisi yang saya lihat tidak sempurna dan mengacaukan arti karena pembaca harus mengulang dua kali untuk memahami setiap kalimatnya. Pengalaman ini saya rasa pada puisi Ngemutuskon.

Apresiasi patut diberikan kepada Oky Sanjaya yang telah memberikan seberkas harapan pada isu bahasa Lampung yang katanya menuju kepunahan. Setidaknya, kita dan saya ditegur untuk peduli pada bahasa ini karena bicara bahasa juga bicara tentang identitas kelampungan yang menjadi identitas orang-orang yang tinggal di tanah lada.

Melalui buku 57 judul puisi dalam buku Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan, Oky telah menelepon saya untuk kembali menengok Lampung dan peduli pada masa depan bahasanya.

Imelda
, Pembaca buku, peneliti etnolinguistik di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 Februari 2010

February 20, 2010

Selamatkan Bahasa Kami!

Oleh Endri Y.

APAKAH bahasa atau logika yang menjadi prinsip fundamental dari pemahaman manusia dalam menemukan jati diri kelampungannya? Jika logika menyediakan kriteria tentang kebenaran dan kesalahan universal yang berlaku untuk semua manusia, bahasa sudah ada sebelum logika dan semua makna melekat dalam bahasa. Maka, manakah yang muncul lebih dulu?

Pemahaman hanya dapat dicapai melalui suatu bahasa tertentu. Karena, tidak mungkin ada dalil rasionalitas universal yang lintas bahasa. Demikian menurut Joel L. Kraemer dalam Humanism in The Renaissance of Islam (1992:110-113) yang mencatat perdebatan sengit di Bagdad pada tahun 932 Masehi. Akhirnya, perdebatan (baca: manakah yang lebih dulu ada, antara bahasa dan logika) itu dimenangkan bahasa.

Bahasa dinilai lebih dulu memengaruhi manusia ketimbang logika. Sebab, logika harus dibahasakan meski bahasa pun perlu dinalar. Dengan alat kaji urai ini dapat dibuat tesis, jika bahasa daerah Lampung punah, tak ada logika tentang identitas dan ciri terkait dengan Lampung. Premisnya, daerah tanpa logika maka semua warga yang menghuninya gila.

Kegelisahan kolektif tentang ancaman punahnya bahasa daerah Lampung menjadi pendulum kesejarahan yang terus diperlukan sang penyuara kebajikan. Kita punya banyak tokoh-tokoh yang intens menggeluti agenda "penyelamatan" bahasa Lampung ini. Sayangnya, mereka adalah penyelamat tanpa sistematika kerja yang jelas dan terukur terkait dengan agenda penyelamatan dan pelestarian ini. Selain masih berjalan sendiri- sendiri, juga belum ada output dengan logical frame work yang jelas.

Tulisan ini hanyalah suara sumbang yang semoga bisa menjadi sumbang saran sekaligus mengetuk naluri semua pemangku kepentingan akan warisan leluhur yang tak ternilai harganya tapi masih diabaikan, yaitu bahasa Lampung. Padahal, kebenaran dan falsafah esensi pembangunan di Lampung hanya bisa dirumuskan dalam ajaran dan hakikat bahasa Lampung. Sekadar kamuflase dan penyuaraan imitasi ketika berkata menyelamatkan kebudayaan Lampung tetapi abai terhadap bahasa daerahnya.

Tanpa Kepedulian Sejarah

Mungkin kita masih ingat ketika kain tapis asli Lampung dibukukan dan dipamerkan di Berlin serta diakui dunia internasional, terbit kebanggaan. Tapi kemudian, kita harus kembali disudutkan berbagai pertanyaan, ini akibat kecintaan akan nilai warisan leluhur atau hanya kepentingan industri? Saya adalah orang yang pesimistis ketika sebuah usaha pelestarian dimunculkan bukan oleh orang yang asli daerahnya, yang publikasi dan produksinya tidak dilakukan oleh orang daerahnya yang sudah dikenal rekam jejak atas usaha dan kecintaannya melestarikan (apalagi peneliti asing) jelas mengundang berbagai kecurigaan.

Kita ketahui, betapa sekelompok orang atau seseorang di antara kita begitu simbolik memahami akar kesejarahannya. Bahkan lacur, berani mengubur artefak dan bukti sejarah yang menjadi kebanggaan daerah. Sebut saja misalnya pelestarian Gunung Anak Krakatau. Semua orang tahu, bahkan dunia mengakuinya, akan sejarah Krakatau yang kemudian mampu mengantar Lampung pada puncak popularitas ketika meletus, yang akibat letusannya itu mungkin salah satu penyebab sedikitnya penutur bahasa dan atau suku asli Lampung.

Tapi lihatlah, kebijakan yang mengatasnamakan mitigasi dan observasi itu kemudian dengan sengaja mengeruk kekayaan alam yang sekaligus bukti sejarah kebanggaan Lampung (sekaligus merusak lingkungan) hanya untuk kepentingan finansial segelintir orang. Semua ilmuwan dan akademisi tahu hal ini tapi tak bisa berbuat apa-apa, selain justru ada pula yang terlibat mengambil peran oportunis.

Contoh lain, institusi yang menjadi lambang kebudayaan dan keilmuan di Lampung, Universitas Lampung (Unila), membuang program studi/jurusan kebanggaan dan satu-satunya yang ada di dunia ini, yaitu program studi bahasa Lampung. Bahkan, dengan alasan-alasan irasional, seperti tidak ada peminat dan semacamnya yang nyinyir dan asbun (asal bunyi). Ironis, ketika praksis penyelamatan justru diganti dengan kajian dan penelitian. Jelaslah ini sebuah langkah mundur atas usaha menyelamatkan bahasa Lampung.

Bersatulah dalam Praksis

Menarik mengikuti perkembangan diskursus tentang bahasa Lampung ini. Sebab, semua masih berkutat pada refleksi tanpa aksi. Maka, tulisan ini sebenarnya mengarah pada usaha atau sekadar interupsi atas tokoh-tokoh Lampung yang concern terhadap kecintaan akan identitas daerahnya, khususnya bahasa Lampung. Kenapa kalian tidak menggelar focus discussion group atau semacam duduk bareng membincangkan masalah bahasa Lampung kemudian menjadi tim kerja sebagai pahlawan penyelamat bahasa Lampung?

Jika para pendekar kebudayaan dari Lampung masih berjalan sendiri- sendiri, para pendekar ini hanya menjadi ronnin tanpa tuan. Pembuktian atas kecintaan dan pemikiran mereka hanya menjadi katarsis atau oasis di tengah padang imajinasi. Tanpa praksis. Sekadar oral dan embrional pemikiran, kemudian gugur sebab goncangan derasnya globalisasi atau malah dikuret, lalu dikubur.

Sebut saja misalnya Imelda, Etnolinguistik LIPI, yang pernah 4 tahun meneliti kemudian terbit sebuah buku yang mengungkapkan hasil penelitian soal penyebab punahnya bahasa daerah Hamab dan Yaben di Papua.

Penulis membayangkan jika dalam bahasa Hamab dan Yaben, Imelda, yang asli Lampung ini berhasil merumuskan gagasan brilian meski ditemani Kutubi yang juga peneliti LIPI, kenapa Imelda tidak berjuang meneliti dan merumuskan penyelamatan bahasa Lampung bersama yang lain-lain untuk kemudian menculek mata dengan fakta para pejabat dan akademisi yang membuat kebijakan untuk memusnahkan bahasa Lampung secara laten itu? Dalam kaitan ini, menghimpun penelitian saja tidak cukup karena bahasa Lampung masih belum punah, sehingga usahanya bisa terkonsentrasi pada sistematika penyelamatan dan memasyarakatkan.

Sekaligus praksis mereka membuat corong penyadar masyarakat Lampung untuk bahu-membahu mentradisikan bahasa Lampung. Kita banyak memiliki tokoh sebagai muazin kebudayaan, tetapi sayangnya tanpa lafaz dan standar irama yang bisa disuarakan bersama-sama. Sehingga, meski semua pemikiran dan tujuan serta maksud yang sama untuk menyelamatkan bahasa Lampung, masih tercecer dalam ruang-ruang kosong tanpa gerakan. Bersatulah wahai para pendekar, para muazin kebudayaan, untuk bahasa Lampung yang kian tersudut ini.

Tanpa pemikiran bersama dan keterlibatan pendekar kebudayaan, termasuk semua pemangku kepentingan, penulis khawatir semua pemikiran cerdas itu kemudian menguap tanpa ada pressure group yang mampu menjadi lokomotif untuk mendorong terwujudnya buah pemikiran, manifestasi kebijakan, sekaligus usaha-usaha konkret semua stakeholder, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, untuk terlibat menggunakan dan menyelamatkan sekaligus memopulerkan bahasa Lampung. n

* Endri Y., Pencinta kesenian, bermukim di Kalianda

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Februari 2010

Ciptakan Generasi Pewaris Bahasa Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampung Post): Menyikapi perkembangan bahasa Lampung yang semakin kritis, perlu kegilaan khusus untuk menciptakan generasi pewaris bahasa Lampung.

Demikian disampaikan Admi Syarif, sekretaris Lembaga Penelitian Universitas Lampung (Unila) kepada Lampung Post, di ruang kerjanya, lantai V Gedung Rektorat Unila, Jumat (19-2).

Ia ditemui terkait peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada Minggu (21-2)

"Instrumen paling efektif dalam upaya pelestarian budaya, termasuk bahasa ibu adalah memalui dunia pendidikan, di samping kerja budaya lainnya," kata dia.

Peraih anugerah bidang teknologi informasi dan komunikasi dari Menristek dari kalangan akademisi ini mengatakan perlu perubahan signifikan dari setiap komponen pendidikan berbahasa Lampung.

"Komponen itu, seperti tenaga pendidik, kurikulum, materi pembelajaran, bahan pembelajaran. Yang ada saat ini hanya sebatas belajar aksara Lampung, belum belajar berbahasa Lampung," kata dia.

Menurut dia, untuk mengangkat kembali bahasa Lampung yang sedang berada dalam kondisi kritis membutuhkan energi lebih dan kegilaan khusus dari para pelestari budaya.

Admi mengatakan proyek budaya bukanlah sesuatu yang dapat menciptakan perubahan drastis, sifatnya cenderung perlahan dan memakan waktu lama. Untuk itu dibutuhkan mereka yang konsisten memperjuangkan hal itu.

Terkait dengan kegilaan khusus itulah yang menyebabkan dosen ilmu komputer di jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung (Unila) berupaya menggunakan kepakarannya untuk pelestarian bahasa Lampung.

"Program yang tengah saya kembangkan saat ini adalah software mobile kamus bahasa Lampung. Nantinya software penerjemah bahasa ini dapat dengan mudah terinstal dalam setiap seluler," kata dia.

Ia mengatakan telepon genggam saat ini telah menjadi media komunikasi dan informasi yang begitu poluler. Hal ini membuat telepon genggam sebagai media strategis pelestari budaya.

Program dasarnya dibangun dari software alih bahasa Indonesia-Lampung dan Lampung-Indonesia yang telah ia ciptakan sebelumnya. Proses selanjutnya tinggal bagaimana program tersebut dikompresi menjadi ukuran kecil sehingga dengan mudah dapat di-install ke telepon genggam.

"Dengan mengggunakan aplikasi bluetooth nantinya software ini dapat dengan mudah di-install dan disebarluaskan dari satu telepon genggam ke telepon genggam lain," kata dia.

Mereka yang ingin belajar bahasa Lampung tinggal meng-install program ini di telepon genggam mereka.

Ia menargetkan dalam waktu dua hingga tiga bulan mendatang pemuatan mobile softwaer ini dapat segera diselesaikan. "Kami masih dalam proses entry data," kata dia. MG14/S-2

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Februari 2010

February 19, 2010

Ancangan Alternatif Perencanaan Bahasa Lampung*

Oleh Agus Sri Danardana**


1. Pendahuluan

Kepunahan bahasa akhir-akhir ini semakin mencemaskan banyak pihak. Bahasa yang punah itu umumnya adalah bahasa ibu kaum minoritas. Oleh sebab itu, sejak tahun 1991 UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Sedunia yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Peringatan itu dimaksudkan untuk senantiasa menyadarkan kita akan pentingnya mempertahankan bahasa ibu dan mengupayakan terhindarnya kepunahan yang, jika tidak dicegah, cenderung kian laju prosesnya.

Tulisan Andrew Dalby, Language in Danger (2003) menyebutkan bahwa setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa. Separuh dari 5.000 bahasa di dunia saat ini akan lenyap dalam satu abad ke depan. Dia mengingatkan bahwa kepunahan bahasa berarti hilangnya khazanah ungkapan yang mencerminkan cara pandang penuturnya terhadap dunia. Beralihnya penggunaan bahasa minoritas ke beberapa bahasa dominan dapat mengubah penafsiran terhadap dunia.

Keprihatinan itu sudah menjadi perhatian dunia. Oleh sebab itu, tidak terbatas pada para linguis dan pemerhati bahasa saja, para pejabat pemerintahan pun ikut-ikutan gelisah karena isu itu dapat menjadi isu sosial dan politik. Tidak terkecuali pejabat di Indonesia. Dalam sambutan pembukaan Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat (yang dibacakan oleh Husodo Hadi) di Bandarlampung, 12 November 2007, Gubernur Lampung pun menyuarakan keprihatinan itu.


2. Bahasa Lampung Kini

Hingga kini belum diketahui secara pasti jumlah penutur bahasa Lampung. Jika didasarkan pada jumlah ulun Lampung: 17% dari 7 jutaan penduduk Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung diperkirakan berjumlah 1.190.000-an orang. Hal itu, menurut Multamia Lauder, menunjukkan bahwa bahasa Lampung masih berada di zona yang aman dari ancaman kematian dan kepunahan karena masih digunakan oleh lebih dari sejuta orang.

Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa akhir-akhir ini ditengarai jumlah ulun Lampung yang tidak lagi menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di lingkungan keluarganya terus bertambah. Mereka banyak yang "mengalihkan" bahasa ibu anak-anaknya, dari bahasa Lampung ke bahasa Indonesia. Jika hal ini terus terjadi sudah dapat dipastikan bahasa Lampung akan semakin mendekati kepunahan.

Keadaan dan masalah yang dihadapi bahasa Lampung dewasa ini sudah banyak diungkapkan dalam berbagai diskusi, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, di forum akademik maupun nonakademik. Di satu sisi, dari waktu ke waktu muncul keprihatinan (baik dari pakar, pemerhati, maupun pecinta bahasa Lampung) akan menyusutnya jumlah penutur, menyusutnya pemakaian bahasa, dan menyurutnya minat mempelajari bahasa Lampung. Di sisi yang lain, muncul pula keinginan untuk menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa daerah yang eksis di daerahnya sendiri.

Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan identifikasi akar masalahnya. Salah satu penyebab "terpinggirkannya" bahasa Lampung dalam "pergaulan keseharian" masyarakat Lampung, terutama generasi mudanya, adalah kekurangmampuan bahasa Lampung untuk memenuhi kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kondisi seperti itu ada kecenderungan penutur "lari" ke bahasa lain, biasanya bahasa kedua, sebagai wahana penyampai gagasan yang memungkinkan komunikasi berjalan lebih lancar.

Jika bahasa kedua yang dipilih adalah bahasa yang lebih dominan -- misalnya, jumlah penuturnya lebih besar atau fungsi pemakaiannya lebih luas -- pergeseran itu dapat berlangsung sangat intens. Dalam banyak kasus kematian bahasa, dominasi bahasa besar menjadi faktor penting.

Gagasan untuk mengatasi masalah yang dipaparkan di atas pun sudah banyak diusulkan. Salah satu usulan pemecahan yang pernah diajukan adalah penggarapan di jalur pendidikan, yakni pengembangan kurikulum, bahan ajar, tenaga pendidikan, dan sarana pendidikan, pemanfaatan program pendidikan perguruan tinggi, dan penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di sekolah. Semua itu dapat digolongkan ke dalam upaya pembinaan bahasa Lampung karena bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pemakai bahasa Lampung. Sayang, gagasan-gagasan itu belum semua diemplementasikan. Bahkan, beberapa gagasan yang sudah diemplementasikan pun tidak berjalan lagi.

Seiring dengan itu, juga perlu dilakukan upaya pengembangan bahasa Lampung yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bahasa itu sebagai alat ekspresi yang sesuai dengan fungsinya. Untuk itu, perlu dilakukan pembakuan (ejaan) serta penyusunan (kamus dan buku tata bahasa) bahasa Lampung.

Ejaan, baik dengan aksara Lampung maupun dengan aksara Latin, perlu dikembangkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Masalah penyerapan kata ke dalam bahasa Lampung akan banyak menimbulkan masalah dalam hal lafal dan tulisannya. Aksara Lampung memang cukup untuk melambangkan bunyi-bunyi asli bahasa Lampung. Namun, untuk bunyi-bunyi pada bahasa lain yang (akan) menjadi sumber penyerapan ke dalam bahasa Lampung, penggunaan huruf Latin menawarkan lebih banyak lambang. Bahasa Lampung tidak dapat menghindari penyerapan kata dari bahasa lain, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Dalam hal itu, umumnya kata diserap melalui bahasa Indonesia.

Perlu ada sikap apakah kata-kata seperti profesor, universitas, dan ijazah akan diserap ke dalam bahasa Lampung. Jika tidak akan diserap, penulisannya mestinya diperlainkan, misalnya dengan dimiringkan. Kalau diterima, perlu disepakati apakah lafalnya akan disesuaikan dengan tata bunyi bahasa Lampung. Jika disesusaikan, tidak perlu ada perubahan lambang dengan aksara Lampung. Namun, jika lafalnya mengubah tata bunyi yang ada, akan diperlukan modifikasi aksara Lampung.

Saran untuk menyusun buku tata bahasa dan kamus dapat dikatakan sudah terwujud. Beberapa buku, hasil penelitian bahasa Lampung (baik oleh Unila maupun Kantor Bahasa), sudah terbit. Pertanyaannya, sejauh mana buku-buku itu telah berhasil memerikan kaidah yang berlaku pada bahasa Lampung saat ini dan seberapa jauh dapat dijadikan referensi untuk pengajaran bahasa di sekolah. Perlukah buku-buku lain yang lebih menjabarkannya dan bersifat praktis sehingga mungkin patut dipertimbangkan sebagai buku tata bahasa sekolah.

Kamus-kamus juga sudah banyak yang diterbitkan. Namun, agaknya dilema pada kamus ini adalah bahwa yang praktis biasanya jauh dari memadai, sedangkan yang lengkap sering tidak terjangkau harganya. Usaha pembakuan ataupun kodifikasi bahasa Lampung tampaknya masih belum memuaskan.

Selain penyusunan kamus dan tata bahasa, pengembangan bahasa juga bersangkutan dengan pengayaan kosakata. Oleh karena itu, kosakata bahasa Lampung harus dikembangkan agar dapat berfungsi tidak hanya sebagai bahasa sosial budaya masyarakat, tetapi juga sebagai syarat terbukanya ruang pemakaian bahasa Lampung yang lebih luas.


3. Penanganan Bahasa Lampung melalui Perencanaan

Tanpa perencanaan bahasa, arah perkembangan bahasa Lampung dapat saja ditentukan oleh berbagai kepentingan yang tidak selaras dengan cita-cita bersama. Sebagai contoh, kepentingan pemodal dalam urusan apa pun tampaknya lebih mengutamakan bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas yang pada akhirnya hampir-hampir tidak memerlukan bahasa Lampung.

Sementara itu, untuk sintas (survive) pada zaman modern yang mengglobal ini banyak orang, termasuk penutur asli bahasa Lampung, perlu menguasai bahasa asing. Hal ini pun akan berujung pada anggapan bahwa mengikuti kemajuan zaman mutlak menuntut penguasaan bahasa asing. Dengan demikian, peran bahasa Lampung akan semakin dipinggirkan sampai hanya sebatas pagar rumah.

Undang-undang tentang otonomi daerah mengamanatkan bahwa tanggung jawab penanganan masalah kebahasaan di daerah ada pada pemerintah daerah. Karena penanganan bahasa daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, lembaga yang menangani kebudayaan di Lampunglah yang pertama-tama harus melaksanakan fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan tata administrasi.

Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota juga perlu menganggarkan pendanaan untuk keperluan itu. Pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan lembaga pusat, dalam hal ini Pusat Bahasa, yang menangani masalah kebahasaan secara nasional. Perencanaan bahasa daerah dapat dilakukan secara lebih intensif dan sesuai dengan kebutuhan. Namun, sejauh yang dapat diamati, belum banyak pemerintah daerah yang secara serius melakukan perencanaan bahasa. Padahal, sejalan dengan merebaknya isu kepunahan bahasa, di banyak daerah juga sudah terdengar keluhan bahwa generasi muda sudah mulai meninggalkan bahasa ibunya.

Sekarang, persoalannya adalah bagaimana masalah itu akan dipecahkan, dari mana, dan siapa yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Ada beberapa lembaga (masyarakat, pendidikan, dan penelitian) yang terkait dengan bidang kebahasaan dan kesastraan di Provinsi Lampung. Yang pertama adalah lembaga-lembaga adat sebagai organ pemerintah di daerah yang bertanggung jawab terhadap kehidupan budaya (bahasa) Lampung. Yang kedua dan ketiga adalah Dewan Kesenian Lampung dan Taman Budaya Lampung. Yang keempat adalah Kantor Bahasa Provinsi Lampung yang tugas dan fungsinya juga berkenaan dengan bahasa daerah, sekaligus sebagai kepanjangan tangan lembaga pemerintah pusat yang bertanggung jawab untuk perencanaan bahasa secara nasional. Yang kelima adalah perguruan tinggi yang pelaksanaan tridarmanya dapat dimanifestasikan dalam program pembinaan dan pengembangan bahasa. Oleh sebab itu, perlu ada kerja sama di antara lembaga-lembaga itu.

Sekurang-kurangnya lima lembaga itu perlu duduk bersama untuk menetapkan tujuan atau kondisi bahasa yang dicita-citakan, yang dapat dirumuskan sebagai politik bahasa Lampung seperti yang dijelaskan di atas. Sesudah itu, seluruh masalah yang dipandang sebagai perintang untuk mencapai tujuan itu diinventarisasi, diidentifikasi, dan dipetakan. Sehubungan dengan hal itu, perlu dibangun sistem pusat data bahasa Lampung, fisik dan elektronik, untuk mendukung pelestarian dan pengembangan bahasa Lampung, yang dapat berfungsi sebagai sumber informasi. Perlu diperoleh data tentang berbagai aspek sebagai modal bagi lembaga perencana bahasa untuk menyusun program.

Di sini dapat diberikan contoh daftar data yang diperlukan. Tentang pemakai dan pemakaian bahasa Lampung, perlu diketahui berapa jumlah penutur bahasa Lampung, bagaimana penguasaan mereka, apa yang menjadi sumber pemerolehan bahasa Lampung yang utama, berapa banyak yang dapat membaca tulis dengan bahasa Lampung, dari mana dan sejak kapan mereka menguasai bahasa Lampung, kapan/di mana mereka menggunakan bahasa Lampung secara intens, pada ranah apa bahasa ini dipakai, apa motivasi pemakaian bahasa Lampung, dan seterusnya.

Tentang pengajaran bahasa, diperlukan data tentang sejauh mana pendidikan formal menjadi jalur penguasaan bahasa, berapa sekolah yang ada di Lampung, berapa banyak sekolah yang membutuhkan guru bahasa Lampung, bagaimana pengajaran bahasa Lampung di sekolah, bagaimana kurikulumnya, bagaimana buku ajarnya, seberapa banyak tersedia, berapa guru bahasa Lampung yang tersedia, bagaimana kualifikasinya, lembaga mana saja yang menghasilkan tenaga guru itu, seberapa banyak guru yang dihasilkan, dan seterusnya.

Tentang sarana, diperlukan gambaran tentang seberapa banyak media yang menggunakan bahasa Lampung, seberapa sering media itu diakses, berapa banyak perpustakaan umum di Lampung, berapa banyak perpustakaan sekolah di Lampung, bagaimana penyebaran media berbahasa Lampung di perpustakaan-perpustakaan, seberapa banyak hasil kodifikasi yang ada, yaitu kamus, tata bahasa, ensiklopedia/tesaurus, berapa banyak buku-buku bacaan, dan seterusnya. Berkenaan dengan korpus bahasa, perlu diketahui sejauh mana bahasa Lampung menyediakan kosakata yang dapat dipakai dalam percakapan sehari-hari saat orang membicarakan politik, transportasi, usaha perdagangan, kosakata bidang apa yang perlu dikembangkan, bagaimana mengembangkannya, bahasa apakah yang diutamakan menjadi sumber pengembangan kosakata, bagaimanakah kaidah pengembangan atau penyerapan kosakata, dan seterusnya.


4. "Siapa Melakukan Apa, Di Mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana"

Pada saat ini kita memiliki lembaga dan sumber daya manusia yang dapat bekerja dengan lebih sistematis untuk melakukan perencanaan guna mengatasi masalah kebahasaan di Lampung. Sudah bukan saatnya masalah seperti itu ditangani secara parsial, sporadis, dan insidental saja.

Dengan mengadopsi gagasan Cooper (1989: 60-72), kita dapat menyusun kerangka kerja "siapa melakukan apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana". Jika sudah dapat ditetapkan apa yang akan dilakukan sebagai pemecahan masalah, selanjutnya perlu dibagi tugas kepada ’siapa’ untuk melaksanakan "apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana". Yang dimaksud "siapa" dapat saja berupa satu atau banyak lembaga atau perseorangan yang bekerja secara bersinergi, seperti para pakar bahasa, budayawan, sastrawan, guru bahasa, tokoh masyarakat, dan
pejabat pemerintah.

Sebagai usul konkret, di sini akan diajukan contoh tentang apa yang dapat dilakukan bersama. Dengan alasan kepraktisan, usulan ini dibatasi hanya pada "siapa" dan "melakukan apa". Yang lain-lain dapat dirumuskan kemudian. "Siapa" sementara dibatasi pada lembaga-lembaga yang telah disebut di atas, yakni lembaga adat atau lembaga sejenis serta unit yang menangani masalah kebudayaan dan pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Taman Budaya Lampung (TBL), Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL), dan perguruan tinggi se Lampung.




Siapa

Melakukan Apa


Lembaga Adat Lampung, Dinas Kebudayaan Kota/ Kabupaten, DKL, dan TBL

Merumuskan kebijakan bahasa daerah
Memberi masukan dan saran kebahasaan dan kesastraan kepada pemerintah
Melakukan koordinasi dan menyusun kalender kerja tahunan
Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data
Menyebarkan informasi
Menyelenggarakan program pembinaan: penyuluhan dan pelatihan
Memberi layanan kebahasaan
Memberikan penghargaan


Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten

Menyediakan data tentang sekolah, guru, siswa, dan hal lain untuk pemetaan masalah
Mengembangkan kurikulum pengajaran bahasa
Mengadakan buku ajar dan sarana pendidikan bahasa sastra
Mengembangkan perpustakaan dengan koleksi buku berbahasa Lampung
Membina guru-guru bahasa dan sastra Lampung


KBPL

Melakukan penelitian tentang bahasa dan sastra, baik yang bersifat deskriptif maupun
teoretis
Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi masalah
Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data
Mendokumentasi karya kebahasaan dan kesastraan
Menyusun kamus, tata bahasa, dan bahan rujukan/ panduan kebahasaan dan kesastraan
Menyebarkan informasi
Menyelenggarakan program pembinaan: penyuluh-an dan pelatihan
Memberi layanan kebahasaan
Menyelenggarakan program peningkatan apresiasi bahasa dan sastra
Memberikan penghargaan


Perguruan Tinggi

1. Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi masalah
2. Melakukan penelitian untuk pengembangan peng-ajaran bahasa
3. Melakukan penelitian untuk pengembangan teori kebahasaan dan kesastraan
4. Melakukan penelitian untuk pengembangan korpus bahasa
5. Mencetak SDM pengajar dan peneliti bahasa dan sastra

Hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan bahasa adalah evaluasi, seperti yang disarankan oleh banyak pakar (Rubin 1971, Fishman 1974:16, Dua 1991, Kaplan dan Baldauf 1997: 91-92, serta Daoust 1997). Sayang evaluasi formal dalam perencanaan bahasa di Indonesia sangat jarang dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan kapan saja atau, jika diinginkan dan terwujud, dalam setiap kongres bahasa Lampung.


5. Penutup

Perencanaan bahasa daerah di Indonesia, bahkan juga yang menyangkut bahasa Indonesia, sesungguhnya masih berupa kegiatan tambal sulam. Lebih banyak kegiatan yang bersifat seremonial daripada yang berupa produk massal yang dapat dinikmati banyak orang. Yang lebih menonjol adalah gebyar yang melibatkan banyak orang, yang terlupakan sesudah peristiwa itu berlalu, daripada hasil yang dapat bertahan dan dimanfaatkan bertahun-tahun.

Kondisi bahasa Lampung yang begitu kompleks sebaiknya tidak menjadikan kita gamang untuk memulai sebab pekerjaan sekecil apa pun tidak akan selesai jika tidak pernah dimulai. Perda (Nomor 2 Tahun 2008) tentang pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung telah diundangkan. Tahun ini sastrawan Lampung (Asarpin) pun kembali memperoleh hadiah Rancage. Tunggu apalagi? Selamat memperingati Hari Bahasa Ibu.


* Tulisan ini dimuat di Lampung Post dalam dua tulisan dengan judul Bahasa Lampung Kini (Lampung Post, 18 Februari 2010) dan Perencanaan Bahasa Lampung (Lampung Post, 19 Februari 2010)

** Agus Sri Danardana, mantan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung

[Sosok] Admi, Keprihatinan pada Bahasa Lampung

Oleh Helena F Nababan

BAGI masyarakat Lampung, bahasa Lampung berarti dialek [o] dan dialek [a]. Perbedaannya hanyalah geografis. Pengertian umum di masyarakat Lampung, bahasa Lampung dengan dialek [o] adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Lampung di wilayah nonpesisir. Adapun bahasa Lampung dialek [a] adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat pesisir.

Admi Syarif (KOMPAS/HELENA F NABABAN)

Meskipun bagi masyarakat Lampung kebanyakan, dua dialek adalah perbedaan, bagi Admi Syarif (43), perbedaan dialek bukan suatu masalah. Baginya, justru perlakuan terhadap bahasa Lampung yang memprihatinkan.

Saat ini, bahasa Lampung hanya berkembang dan dipergunakan di lingkungan sesuai dialeknya. Sementara di masyarakat umum jarang sekali terdengar percakapan dalam bahasa Lampung, apalagi oleh anak muda di daerah itu.

Bagi pria yang sehari-harinya mengajar di ilmu komputer di Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung (Unila) tersebut, bahasa Lampung adalah bahasa ibu bagi masyarakat Lampung. Karena itu, bahasa Lampung harus tetap digunakan dalam keseharian, bukan ditinggalkan.

Kegelisahan Admi akan bahasa Lampung memang beralasan. Di provinsi dengan penduduk 7,4 juta jiwa ini, jumlah penutur bahasa Lampung hanya sekitar 1 juta orang.

Berdasarkan kriteria bahasa lestari atau terancam punah, bahasa dengan jumlah penutur 1 juta orang masih tergolong aman. ”Namun, kalau sekarang saja komunikasi dalam bahasa Lampung semakin sepi, bagaimana ke depannya?” ujarnya.

Admi menemukan ujung kegelisahannya mengenai perlakuan masyarakat terhadap bahasa Lampung dan perkembangan bahasa Lampung terkini saat dia menyelesaikan S-3-nya di Ashikaga Institute of Technology di Yokohama, Jepang, pada 2004. Di kota itu Admi bertemu dan berdiskusi dengan antropolog dari Kyoei University, Prof Yoshie Yamazaki.

Yamazaki sangat fasih, sangat ahli, dan paham betul tentang Lampung, masyarakat Lampung asli, masyarakat pendatang, hingga kebudayaan Lampung asli. Pertemuan itu memberi Admi pencerahan mengenai kultur suku bangsa dari mana dia berasal, juga jawaban mengapa bahasa Lampung susah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Lampung memiliki sifat terbuka. Itu terlihat ketika Lampung dijadikan tempat tujuan transmigrasi oleh Belanda tahun 1905 dan sukses.

Pola hidup masyarakat Lampung berbeda dengan masyarakat pendatang. Pendatang awal di Lampung yang notabene transmigran dari Jawa hidup dari bersawah. Adapun masyarakat Lampung asli hidup dari berkebun dan bertanam padi di ladang. ”Di sini jelas tidak ada benturan antara kebun dan sawah,” ujar Admi.

Sifat terbuka muncul pula dalam komunikasi. ”Sedemikian terbukanya, sampai sekarang masyarakat Lampung lebih banyak berbahasa Indonesia kepada siapa pun dalam berkomunikasi, bukan bahasa Lampung,” ujar Admi. Metode pembelajaran juga kurang tepat. ”Bahan ajar seperti kamus juga seadanya.”

Berangkat dari pemahaman tersebut, saat kembali ke Indonesia Admi mulai memikirkan penelitian bahasa Lampung yang ingin ia wujudkan dalam bentuk kamus lengkap.

Kamus bahasa Lampung

Dia mendatangi 26 titik wilayah yang dianggap mewakili masyarakat penutur bahasa Lampung dari dua dialek itu. Dari penelitian itu, Admi mengambil 100 kata dalam dialek [o] sebagai acuan pembanding dengan kosakata di 26 wilayah.

Dengan dukungan kawan-kawannya peneliti di Lembaga Penelitian Unila, sebuah proposal penelitian untuk pembuatan kamus bahasa Lampung elektronik ia ajukan ke Kementerian Riset dan Teknologi. Presentasi yang ia lakukan pada Juli 2007 diterima, mengalahkan 50 pengaju proposal karya yang semuanya melibatkan teknologi tinggi.

Kebetulan, Kementerian Riset dan Teknologi tengah mencari terobosan baru dalam bidang penelitian berbasis teknologi. Itu sebabnya presentasi karya berjudul ”Revitalisasi Bahasa dan Budaya Lampung Berbasis Multimedia dan Teknologi Informasi” diterima dan didukung.

Admi mulai bekerja menyusun kamus pada November 2007. Beberapa penutur asli bahasa Lampung dialek [o] ia kumpulkan. Bersama-sama mereka menginventarisasi kosakata bahasa Lampung pedalaman. Mereka mendata, mencari padanan kata, mengartikan dalam bahasa Indonesia, dan mengedit.

Proses itu selesai Januari 2008. Admi lantas menyusunnya dalam bentuk kamus bersampul tebal eksklusif. Tak lupa kamus versi multimedia dalam bentuk keping cakram ia buat untuk memudahkan pembelajaran di sekolah.

Peluncuran kamus bahasa Lampung lengkap karya Admi pada akhir Desember 2008 menuai banyak kritik dan respons. Sejumlah kalangan, mulai dari tokoh adat, budayawan, hingga pendidik, mempertanyakan kelengkapan kamus bahasa Lampung dialek [o].

”Tanpa kamus dialek [a], kamus itu tidak akan lengkap,” ujar Admi mengungkapkan salah satu protes. Menurut Admi, dia akan melengkapi penerbitan kamus bahasa Lampung dialek [o] dengan dialek [a].

Bagi Pemprov Lampung, terbitnya kamus bahasa Lampung mendukung Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Revitalisasi Bahasa Lampung. Pemprov mengalokasikan pendanaan bagi penerbitan 37.500 eksemplar kamus itu untuk dibagikan ke 7.500 SD dan SMP di Lampung.

Bagi pemerintah daerah lain, rintisan Admi di Lampung itu sungguh menarik. Admi menyebut Pemprov Sumatera Selatan meminta dia mentransfer ilmu untuk penyusunan kamus bahasa Sumsel. Adapun Pemprov Kalimantan Timur meminta dia meneliti bahasa Dayak.

Lantaran ide itu pula, Kementerian Ristek menetapkan Admi sebagai peneliti terbaik tahun 2009.

Sumber: Kompas, Jumat, 19 Februari 2010

February 17, 2010

Kawos Demon Lampung Diluncurkan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Lampung kini mempunyai ikon baru. Seperti halnya Dagadu yang identik dengan Yogyakarta atau Bali dengan Joger-nya, Lampung pun kini memiliki ikon khas berupa kaus dengan nama Kawos Demon Lampung yang secara resmi diluncurkan kemarin (17-2).

Peluncuran kaus khas Lampung tersebut ditandai dengan ditandatangani sebuah kaus edisi Walikotaku oleh Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno.

"Demon berasal dari bahasa Lampung yang artinya sayang atau cinta," kata pencipta Kawoz Demon Lampung Dana E. Rahmat yang akrab dipanggil Kade, saat diwawancarai seusai acara peluncuran tersebut.

Diharapkan dengan adanya Kawoz Demon tersebut, kata Kade, Lampung bisa memiliki sesuatu yang bisa dikenang oleh orang yang pernah datang ke Lampung, "Yogya, misalnya, orang yang datang ke Yogya pasti beli Dagadu."

Kade mengakui bahwa ide T-shirt ini datang dari kecintaan dan hobinya terhadap motor trail. "Selama saya melakukan adventure dengan trail, saya melewati tempat-tempat yang indah di Lampung. Alamnya indah. Dari situlah, datang ide untuk mengabadikannya dalam bentuk kaus sebagai ciri khas Lampung."

Meski ide tersebut mengikuti T-shirt layaknya Dagadu atau Joger, Kade mengakui masyarakat Lampung haus akan produk-produk lokal.

Kawoz Demon Lampung mempunyai empat desain awal dan sebuah desain khusus. Empat desain awal tersebut, yakni Nuwo Ghacak, Sudut Kota, Mr. Liman, dan Menara Siger.

Dengan hadirnya Kawoz Demon yang memiliki jargon "Kawoz Demon ini dibuat sambil main-main. Tapi walau main-main, hasilnya tidak main-main", Kade mengharapkan ini bisa menjadi pemicu munculnya produk-produk lokal yang lain. Pasalnya Lampung butuh pencitraan yang bisa mengingatkan, yang bisa membuatnya selalu terkenang.

Wali Kota Bandar Lampung dalam sambutannya mengatakan anak muda Lampung diharapkan mampu memperkenalkan daerah ini ke dunia luar. n MG13/KIM/K-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 18 Februari 2010

February 15, 2010

Sastra: FLP Lampung Gelar Muswil IV

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung menggelar Musyawarah Wilayah (Muswil) IV di Sekretariat Dewan Kesenian Lampung (DKL), kompleks Pusat Kegiatan Olahraga Way Halim, Minggu (14-2).

Ketua FLP Lampung Angga Adhitya mengatakan Muswil IV akan berlangsung minggu ini dan pekan depan di tempat yang sama.

Dia menjelaskan agenda Muswil IV pekan ini membahas tata tertib musyawarah, pembahasan anggaran dasar dan rumah tangga, serta laporan pertanggungjawaban pengurus. Sedangkan pemilihan ketua akan dilakukan pekan depan (21-2).

Menurut Angga, tantangan FLP ke depan semakin berat. Organisasinya membutuhkan pemimpin yang mampu menghasilkan penulis-penulis muda yang produktif.

"Fungsi utama FLP ialah menghadirkan banyak penulis muda. Karya mereka akan menjadi bukti keberhasilan kaderisasi FLP. Maka itu, dibutuhkan motivator untuk menghidupkan roh menulis pada setiap anggota," ujar Angga.

Dia juga berharap karya yang dihasilkan anggota, baik puisi, cerpen, novel, maupun artikel bermanfaat untuk pembaca.

Wakil Ketua FLP Dessy Ariya Utami menambahkan untuk menghasilkan penulis yang produktif, anggota mesti giat berlatih dan berani mengirimkan karya ke media.

"Untuk skop Lampung, memang baru Lampung Post yang memberikan ruang untuk karya puisi, esai, dan cerpen. Setiap anggota mesti berani mengirim karya. Soal dimuat tidaknya, jelas membutuhkan waktu," kata Dessy.

Dia mengatakan ke depan FLP harus lebih sering mengadakan pelatihan untuk anggota agar keterampilan mereka dalam menulis meningkat. n UNI/S-1

Sumber: Lampung Post, Senin, 15 Februari 2010

Dosen Unila Terbitkan Buku

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dua buku karya dosen Fakultas Hukum Unila, Nilla Nargis Yohansyah, berjudul Merawat Hati dan Metamorfosis Kemiskinan terbit.

Budi Hutasuhut, direktur Mata Kata, yang merupakan penerbit buku tersebut mengatakan proses pembuatan cukup lama karena pihaknya ingin menghasilkan buku yang tidak saja enak dibaca, tetapi secara fisik ringan, menarik, dan mudah dibawa ke mana-mana.

"Buku ini dirancang tidak terlalu besar dengan hard cover dan ukuran huruf yang mudah dibaca siapa pun," ujar Budi.

Isi buku ini merupakan kumpulan tulisan Nilla Nargis yang sudah dipublikasikan di berbagai media massa. Pemilahan judul buku disesuaikan dengan tema pokok tulisan, tetapi secara umum tulisan bersifat humaniora, religius, dan politik.

Peluncuran buku ini, kata Budi, akan dilaksanakan Sabtu (20-2) disertai diskusi terkait tema buku dengan melibatkan beberapa narasumber.

Dua buku karya Nilla Nargis menggambarkan bagaimana pandangan, pemikiran, dan kepedulian Nilla terhadap berbagai persoalan di sekitar kita.

Menurut Nilla, yang juga mantan anggota KPU Provinsi Lampung ini, keinginan menerbitkan buku lebih pada sisi dakwah. Selama ini tulisan tersebut tercecer dan orang belum tentu menyimpan arsip korannya. Padahal isi buku ini cukup penting, khususnya dalam membangun moralitas jiwa dan politik yang sehat.

"Kalau dalam bentuk buku jangkauan dakwahnya juga lebih panjang dan relatif lama. Mudah-mudahan buku ini menginspirasi banyak pembaca dan memberi masukan mereka," ujarnya.

Selain itu, karena selalu dibawa ke mana-mana, pemiliknya dapat memanfaatkan waktu mereka untuk membaca buku ini, misalnya ketika dalam bus atau sedang menunggu. HES/S-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 15 Februari 2010

February 13, 2010

Ulat dalam Sepatu

Oleh Arman A.Z.

APA yang saya apungkan dalam esai Cek Kosong Kesenian di Lampung (Lampost, [3-1]) sebenarnya bukan ihwal baru. Sayang, esai yang dimuat tak utuh itu (mungkin karena kepanjangan), direspons beberapa pihak bahwa fokusnya hanya anggaran. Mungkin karena istilah "cek kosong" yang saya pakai. Padahal, titik tekan yang kuarah adalah regulasi atau kebijakan terhadap seni budaya di Lampung. Mungkin sejalan dengan apa yang disampaikan Iswadi Pratama tentang strategi kebudayaan di Lampung tahun 2010. Ihwal anggaran dan lain-lain adalah dampak susulan, turunan, atau akibat dari regulasi itu.

Kalaupun tetap menafsirkan sebagai anggaran, saya bukanlah yang pertama. Seniman (bukan cuma sastrawan) daerah lain sudah lebih dulu membahasnya. Telusurilah arsip sejumlah media massa daerah (Serambi Indonesia [30-11-2008], Surya [4-2-2007], atau Lampost [27-10-2008], dll). Atau yang kebetulan berdekatan (Pikiran Rakyat, [24-1]). Kalau dibilang ganjil jika seniman "merengekkan" anggaran; 2-9-2009 sejumlah seniman dan budayawan dari berbagai kalangan menemui Hidayat Nur Wahid di ruang rapat MPR. Selain membeberkan berbagai problem seni budaya di Indonesia, dalam pertemuan itu Radhar juga menyatakan bahwa seni budaya perlu dibiayai karena memang ada alokasi anggaran untuk itu (CSR perusahaan milik pemerintah dan swasta). Yang dituntut Radhar dkk. adalah regulasi yang jelas terhadap penyaluran anggaran pengembangan kebudayaan, bagaimana kesenian harus dibiayai, bagaimana dibuat regulasinya, dibuat infrastruktur industri kreatif yang kooperatif (okezone.com, detiknews.com). Tengok juga apa yang "dijanjikan" Menbudpar (indonesia.go.id, [26-10-2009]).

Memang, tugas dan kewajiban seniman adalah berkarya. Tapi, seniman juga punya hak untuk mengkritisi. Setahu saya, anggaran kebudayaan itu bukan milik negara, melainkan milik rakyat yang dititipkan di kantong pemerintah. Sebagai abdi rakyat, pemerintah wajib mendistribusikannya dengan adil dan merata kepada pelaku-pelaku kesenian. Mau atau tidak menggunakan hak dan miliknya, itu soal pilihan. Selama ini parpol juga dapat anggaran, tapi apa hasilnya buat rakyat? Bandingkan lagi dengan anggaran pilkada/pilpres itu, apa hasilnya buat rakyat? Begitulah tanggapan saya mengenai anggaran, yang merupakan dampak dari regulasi atau sistem.

Jika meragukan niat yang tak tulus dan apa yang sudah dilakukan seniman Lampung, ah, nanti dibilang air laut asin sendiri. Lebih baik tanyalah pada para seniman, berapa mereka mesti bayar sewa gedung kesenian yang berada bawah naungan instansi pemerintah. Bayangkan, seniman yang hendak berkesenian (latihan, pentas, launching, pameran) masih harus bayar sewa gedung yang peruntukan dan fungsinya memang untuk kesenian.

Buat saya, ini miris. Hendak mendedikasikan diri buat kesenian pun mereka harus bayar di "rumahnya" sendiri. Mungkin itu pula yang membuat mereka mencari alternatif tempat lain untuk berkesenian. Silakan saja gedung itu disewakan/cari profit/PAD untuk keperluan nonkesenian, tapi jangan perlakukan hal serupa terhadap aktivitas kesenian kebudayaan.

Contoh lain, ketika Kober hendak pentas teater di Medan dalam rangka pertunjukan keliling 3 kota November lalu. Acara yang sudah dijadwal jauh hari tiba-tiba dibatalkan panitia setempat. Dalihnya, pada tanggal bersamaan gedung mau dipakai untuk acara instansi pemerintah. Dalam waktu mepet, Kober mesti cari alternatif tempat lain. Ini fakta kuatnya (atau buruknya?) kendali pemerintah--bukan cuma Lampung--terhadap program-program kesenian. Masih banyak contoh-contoh lain.

Apakah dua contoh itu berkaitan dengan anggaran? Rasanya tidak. Ini dampak dari regulasi, sistem, dan cara pandang terhadap kesenian. Ini ihwal seniman sebagai pihak yang dikalahkan birokrasi. Ini contoh simpel paradigma seni budaya di Indonesia lewat kacamata pemerintah. Janganlah mempersulit seniman, yang katanya melarat itu. Duh, tak usah jadi seniman pun, di negeri ini jauh lebih banyak yang melarat, yang jadi korban atau objek; mereka mengkritisi dalam berbagai bentuk, atau memilih apatis, acuh, dan pasrah.

Mengenai penghargaan, saya (mungkin juga teman-teman lain) tak tertarik acara puja-puji itu, sebagaimana saya tak pernah sekalipun tertarik memubazirkan hak suaraku untuk nyoblos dalam pilkada/pilpres. Banyak seniman di Lampung yang lebih layak dapat penghargaan, semisal Ibu Masnuna yang sampai tua mendedikasikan dirinya untuk sastra lisan. Saya lebih suka menyempatkan diri menonton pertunjukan seni, menyimak diskusi para seniman, mendengar agenda dan harapan mereka terhadap kesenian; sambil ngopi lampung dan terus menyantuni negara ini lewat pajak di setiap batang rokok yang kuisap.

Saya kutip kembali poin penting dalam tulisan saya yang luput dimuat Lampost beberapa waktu lalu. Pertama, harus ada regulasi alternatif dan implementasi konkret terhadap nasib seni budaya di Lampung yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Jadi, sekali lagi, bukan cuma soal anggaran karena itu hanya salah satu dampak. Regulasi itu harus menyentuh prinsip-prinsip keadilan hingga tak muncul nuansa diskriminasi di kalangan pelaku seni di Lampung. Ini kalau dikaitkan dengan perda-perda. Sempatkan duduk bersama, rumuskan kembali relasi dan strategi kemitraan antara pemerintah, seniman, kelompok menengah. Kalau dibilang klise, apa sudah pernah atau kapan terakhir dilakukan? Kalau dibilang mustahil, apa yang tak mungkin di dunia ini?

Kedua, evaluasi, kritisi, bila perlu hentikan event seni budaya yang sifatnya seremonial, berorientasi menyelesaikan proyek, lalu data statistik penuh rekor itu lapuk dalam laci arsip, tapi tak berdampak jangka panjang terhadap kesinambungan seni budaya di Lampung.

Begitulah tanggapan singkat saya. Semoga tak ditafsirkan lain lagi. Membaca satu per satu berita di media massa daerah itu sebelum menulis esai awal Januari itu, saya teringat cerpen Ulat dalam Sepatu karya Gus tf Sakai yang dibuat menjelang reformasi 1998. Saya mesti meluangkan waktu untuk membacanya lagi. Mungkin pembaca yang budiman juga. Seizin penulisnya pula kupinjam judul cerpennya untuk jadi judul tulisan ini.

Akhirnya, saya percaya seniman di tiap daerah, termasuk Lampung, akan tetap setia berkarya. Merekalah yang akan merawat dan meruwat kesenian dengan caranya sendiri. n

* Arman A.Z., Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Februari 2010

February 10, 2010

Seniman Patenkan Laras Pelog Cetik Lampung

BANDARLAMPUNG, KOMPAS.com--Seniman Lampung I Wayan Sumerta Dana Arta mematenkan laras pelog, suatu bahan kajian akademis terhadap susunan nada dalam alat musik tradisional asal Lampung Barat, yaitu gamelan pekhing atau cetik.

"Tujuan dari pematenan pada Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI itu adalah agar permainan cetik bisa dipelajari secara akademis, sehingga tidak punah dan diambil oleh bangsa lain," kata Wayan sumerta, di Bandarlampung, Selasa.

Laras pelog adalah nada dalam satu oktaf yang ada pada gamelan pekhing atau cetik, alat musik pentatonis tradisional asal Lampung Barat.

Sebelumnya, untuk membunyikan alat itu, seniman melakukan dengan pendekatan perasaan, tanpa pernah bisa dipelajari secara akademis.

Dengan adanya temuan dari Wayan itu, nada-nada yang hendak dimainkan pada alat musik cetik nantinya dapat ditulis dalam bentuk partitur nada, sehingga dapat dimainkan secara lebih universal.

Wayan menceritakan, pencarian laras pelog pada alat musik cetik itu dilakukannya sejak tahun 2003, dan baru dipatenkannya pada 2010.

"Proses pencariannya memang sangat lama, karena alat musik tradisional kita kebanyakan nadanya bersifat pentatonis, dan saya menolak memodifikasinya ke dalam format alat musik diatonis," kata dia.

Menurut dia, mencoba "mengakademisikan" nada-nada pentatonis memang memiliki tantangan, namun hal itu terus dilakukannya agar alat musik tradisional Lampung dapat menjadi kurikulum pada sekolah musik.

"Semuanya saya lakukan dengan biaya sendiri, termasuk saat pengurusan pematenan," ujar dia.

Pengakuan atas HKI dari Depkumham RI itu diperolehnya pada 3 Februari 2010, setelah lulusan ISI Denpasar itu mendaftarkan kelengkapan berkas mengenai temuannya tersebut sejak Januari 2010.

Selanjutnya, sembari mengajar alat musik cetik di Sekolah Tinggi Agama Hindu Lampung, Wayan akan mencari perpindahan titi nada pada alat musik yang sama, sebagai pengembangan dari temuan sebelumnya. (ANT)

Sumber: Oase Kompas.com, Rabu, 10 Februari 2010

February 9, 2010

Kemandekan Kebijakan Pengajaran Bahasa Lampung

Oleh Imelda*


Bahasa menunjukkan bangsa.
(Hadikusuma, 1989:24)

Ketika Hilman Hadikusuma membahas gagasan kebahasaan dalam buku Masyarakat dan Adat Lampung (1998), baris pertama tulisannya memberikan sebuah petuah penting, yaitu bahasa menunjukkan bangsa. Terlepas dari homogenitas yang melatari hadirnya buku tersebut, Hadikusuma sadar sekali bahwa bahasa menjadi penciri atau identitas yang khas untuk merujuk pada diri seseorang/sekelompok orang.

Tentu kita juga sadari hal ini, misalnya, ketika berbicara dengan orang Jawa, segera kita tahu karena bunyi-bunyian yang diucapkan oleh lidahnya menunjukkan sesuatu yang khas tentang diri si penutur.

Identitas dan bahasa menjadi menarik untuk lebih disoroti ketika dibawa ke dalam ranah politik daerah seperti Provinsi Lampung yang sedang mencari-cari jati dirinya yang ternyata tidak sama dan ini ditekan sedemikian rupa, sehingga menjadi energi yang habis tanpa guna.

Sedikit pertanyaan untuk berkontemplasi, daerah mana yang tidak memiliki dialek dalam hal kebahasaan? Bahasa Melayu saja banyak dialeknya. Sebut saja Melayu Riau, Melayu Ternate, Melayu Betawi, Melayu Papua, dan lain-lain. Dalam lokus yang lebih kecil lagi, bahasa Jawa juga banyak jenisnya, dari Jawa Ngapak hingga Jawa Keraton. Dapat saya katakan bahwa perbedaan dialek itu biasa saja dan tidak seharusnya ditekan, diberi garis bawah atau dicetaktebalkan.

Kembali kepada bahasa Lampung dan ragam dialeknya, dengan demikian, merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja. Ada dialak A (api) dan dialek O (nyo) yang memiliki beragam varian yang justru menjadi menarik dan menandakan betapa lokus budaya ini kaya akan dialek dari satu bahasa. Selanjutnya, apa yang menjadi persoalan ketika wacana standardisasi bahasa diluncurkan? Tarik-menarik antardialek dengan berbagai aktor, antara lain: politik, adat, dan akademisi. Tiga elemen penting yang menopang perkembangan kebahasaan di Lampung ini masih bertarung sengit.

Aktor politik yang melahirkan kebijakan masih belum mampu bergerak karena pemangku adat masih tetap berkeras bahwa dua dialek Lampung (api dan nyo) ini berbeda. Mereka masih memberi garis pembeda yang tebal di antaranya sehingga seperti minyak dan air yang tidak menyatu. Sementara itu, para aktor akademisi yang menjadi mesin kohesi masih terus saja menjadi juru kampanye masing-masing asal dialek dengan membuat berbagai perangkat pengesahan perbedaan, seperti kamus dan wacana lainnya yang saling membedakan.

Keadaan ini akhirnya, lagi-lagi membuat pembuat kebijakan politik seperti macan ompong yang hampir mati lemas karena dilempar ke sana dan ke mari dengan berbagai wacana perbedaan. Demikian juga wacana pemilihan dialek Lampung campuran (saya menolak istilah "Lampung cadang" karena ini mendiskreditkan kelompok masyarakat Lampung yang menggunakan kombinasi dialek nyo dan api) dinilai sebagai ide yang ideosinkratik karena tidak taat dengan kemurnian kelampungan.

Wacana dan realitas pertarungan elite di atas mau tidak mau, akhirnya, menimbulkan efek yang tidak sederhana di ranah pengajaran bahasa Lampung. Mengapa saya bisa mengatakan demikian? Ini karena perkembangan pengajaran bahasa Lampung masih stagnan dengan pengajaran aksara Lampung yang buat saya secara pribadi tidak ada gunanya secara praktis. Coba jawab pertanyaan ini, teks mana yang ditulis dengan aksara Lampung yang bukunya diterbitkan akhir-akhir ini? Pasti jawabannya tidak ada. Lantas, mengapa ini yang masih diajarkan di sekolah-sekolah?

Lagi-lagi, saya katakan bahwa ternyata kita masih antiperbedaan. Mengapa demikian? Karena kita masih bersembunyi di balik aksara yang diajarkan dengan berpura-pura mengaku Lampung itu satu dan sama sehingga apa yang menyatukan saja yang diajarkan. Nah, yang menyatukan berbagai dialek Lampung ini adalah aksara Lampung, makanya kita menjunjung sangat pengajaran aksara ini.

Apa yang sebenarnya terjadi saat ini ialah masih bertahannya borok-borok Orde Baru yang menekan homogenitas, yang sama sekali tidak berkontribusi baik bagi perkembangan pengajaran bahasa Lampung yang lebih komunikatif dan berfungsi sebagaimana layaknya bahasa. Kita lebih senang dengan bermimpi bahwa mengajarkan aksara bahasa Lampung akan kekal, padahal di dunia nyata aksara ini tidak lagi berguna karena alfabet Romawi lebih bisa dipahami oleh generasi muda Lampung yang notabene menjadi penerus eksistensi bahasa Lampung.

Saya memang ingin mengundang polemik melalui tulisan ini supaya ada pemecahan bagi kemandekan pengajaran bahasa Lampung yang masih tarik menarik mengenai perbedaan. Tidak bisakah kita duduk bersama dan saling berdiskusi untuk masa depan bahasa Lampung yang katanya menjadi ciri bangsa ini? n

* Imelda, Peneliti di Puslit Masyarakat dan Budaya, LIPI

Sumber: Lampung Post, Rabu, 10 Februari 2010

February 7, 2010

[Perjalanan] Wana, Desa Wisata yang Merana

DESA Wana di Kecamatan Melinting, Lampung Timur ditetapkan sebagai desa wisata karena arsitektur rumah tradisional Lampung yang lestari. Pemerintah ingin kondisi ini bertahan, tetapi tidak memberi insentif.

Gapura rangka besi dengan motif perahu warna emas itu berdiri di batas desa. Selarik tulisan "Kawasan Permukiman Tradisional Desa Wana, Kecamatan Melinting" terpampang di atas. Sayang, satu baliho foto bupati ukuran besar menutupi gapura itu.

Melewati tugu batas itu dari arah Sribawono, berarti Anda telah berada di Desa Wana, desa yang dipromosikan sebagai perkampungan wisata budaya. Arsitektur rumah adat Lampung yang dipengaruhi gaya Kayuagung, Sumatera Selatan itu dijadikan jualan utama. Juga adat istiadat yang masih ada sisa-sisa di tengah pusaran budaya modern dianggap sebagai nilai lebih yang bisa dijual kepada wisatawan.

Memasuki desa etnik ini, suasana alamiah memang masih cukup terasa. Kebun-kebun dengan tanaman keras berupa pohon duku, durian, manggis, dan rambutan mendominasi. Sepuluh tahun terakhir, isi kebun itu bertambah atau berganti dengan pohon kakao yang secara ekonomi mempunyai nilai lebih.

Sayangnya, jalan hotmix yang dulu mulus menembus bulak, sekarang rusak. Bahkan, beberapa ruas hancur lebur. Belum ada tanda-tanda perbaikan.

Memasuki desa ini pada musim duku, memang memberi citra lebih. Ranting dan batang pohon-pohon rindang itu dipenuhi rentengan butir-butir buah kuning ranum. Di bawahnya, petani buah memanen dengan riang. Berkarung-karung tumpukan buah duku siap dijual ke pedagang pengumpul untuk kemudian dikirim ke kota, termasuk Jakarta.

Menerobos kebun, perkampungan mulai terlihat. Rumah-rumah etnik dengan ciri panggung, bertulang kayu, berdinding papan, dan atap ada yang seng dan ada yang genting mulai terlihat. Jejeran rumah yang berjarak cukup dekat, bahkan berimpitan membuat suasana kampung terkesan ramai.

Tata ruang kampung memang sudah seperti menjadi kesepakatan. Hunian didirikan di satu ruas jalan, dengan jarak berimpit, dan bangun rumahnya juga mirip. Sedangkan belakang rumah sudah berupa kebun dan ladang. Meskipun saat ini pakem itu sudah tidak terlalu diikuti lagi.

Pada era 1980-an, barisan rumah-rumah yang mengurung jalan sepanjang sekitar 500 meter di kanan-kiri ini masih amat alami. Iskandar Zulkarnain, tokoh pemuda yang juga pewaris ketokohan di kampung ini mengakui saat ini sudah sulit mempertahankan keaslian budaya asli ini.

Rumah, misalnya, meskipun sudah ditahbiskan sebagai mini architechture Wana village (arsitektur mini Desa Wana) sejak 1992, pemerintah tidak memberi bantuan kepada warga pemilik rumah-rumah antik itu. Padahal, kata Zul, rumah mereka yang terbuat dari kayu membutuhkan biaya perawatan yang tinggi jika ingin lestari. "Ya, sekarang keadaannya begini. Kalau rapuh, ya ambruk atau diganti sekenanya. Bahkan, banyak yang sudah mengganti dengan rumah tembok. Tidak ada yang bisa melarang karena pemerintah cuma mengimbau," kata dia.

Meskipun demikian, masih banyak rumah yang dipertahankan oleh pemiliknya dalam kondisi asli. Namun, perawatan yang sekananya membuat keaslian arsitektur rumah Wana tidak seperti yang dibayangkan 30 tahun lalu.

Selain rumah, benda-benda dan perkakas buatan zaman kerajaan masih tersimpan di rumah-rumah warga yang masih memelihara adat. Muhabbati (58), istri almarhum Halill Bari, seorang tokoh Wana, hingga kini masih menyimpan banyak artefak yang ditinggalkan datuk-buyutnya. Ada peci atau mahkota emas, pedang, tombak, tapis, gerabah, guci, timbangan, dan lain-lain. Juga ada setumpuk kitab-kitab berbahasa dan dengan tulisan Arab teronggok dalam bufet yang tak berpintu.

"Saya juga masih punya alat tenun. Tetapi sudah nggak digunakan lagi. Paling saya sama anak-anak masih bikin sulam tapis. Ini jadi kerjaan saya sehari-hari untuk mengisi waktu senggang," kata Muhabbati sambil memberi arahan kepada anaknya yang sedang menyulam tapis motif Krui di rumahnya, Kamis (4-2).

Rumah panggung yang ditempati Muhabbati bersama anak-anaknya itu masih tampak lestari. Bahan kayu yang dirangkai rapi, baik untuk dinding, lantai, dan plafon terlihat makin mengilat dan tetap kuat. Di sisi kanan-kiri ruang keluarga yang luas, terdapat beberapa etalase yang berfungsi sebagai pajangan benda-benda bernilai purba itu.

Satu etalase dengan bertutup kaca terlihat menyimpan benda-benda kuno lengkap dengan keterangan tulisan tangan. Ruang ini dengan barang-barangnya lebih tepat disebut museum pribadi. Sayangnya, tidak terawat dengan baik. Jika tidak ada yang peduli dan ganti generasi, sangat mungkin "museum" ini segera berubah menjadi etalase Boneka Barby.

Muhabbati mengaku pernah diminta menyerahkan barang-barang antik itu ke pemerintah, tetapi ia menolak. Dengan alasan, jika nanti anak cucunya yang kebetulan tidak mampu secara ekonomi, tidak bisa melihat barang peninggalan orang tuanya di museum yang entah di mana.

Alasan janda penyulam tapis ini ada bisa dibenarkan. Ada baiknya pemerintah memberikan bantuan tempat atau etalase yang lebih aman kepada keluarga ini agar dapat menyimpan barang antik. Syukur-syukur memberi biaya perawatan.

Perkampungan yang memiliki nilai historis ini idealnya memang lestari. Namun, gempuran modernisasi dan tuntutan kesetaraan generasi kerap menggoda agar nilai-nilai budaya enyah dari desa ini.

Untungnya, Iskandar dan generasi muda lainnya masih menyempatkan diri memainkan tetabuhan tradisional pada berbagai upacara adat. Meskipun ia sendiri memiliki seperangkat alat musik modern yang siap ditanggap.

Iskandar mengatakan tatanan adat untuk berbagai upacara masih tersimpan rapi di masyarakat yang setiap saat dapat ditampilkan. Meski sudah berbaur dengan modernitas, beberapa pemuda masih menjadi langganan menarikan tari melinting yang amat terkenal dan berasal dari sini.

Catatan pada buku tamu di rumah Iskandar memang cukup membanggakan. Banyak tamu yang menulis nama dan asal negaranya dengan tulisan kanji. "Ini tamu dari Jepang. Ada yang dari Belanda, Taiwan, dan lain-lain. Mereka kebanyakan mau melakukan penelitian," kata Iskandar menunjukkan buku tamunya.

Desanya juga kerap dijadikan model pada berbagai acara televisi yang bertema adat, lingkungan, dan petualangan. "Baru dua minggu lalu Anteve shooting acara permainan tradisional anak-anak di sini. Kami welcome0. Kadang mereka menginap," kata dia.

Sayangnya, potensi yang tak mungkin direstorasi itu tidak mendapat perhatian. n SUDARMONO

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Februari 2010

[Reporter Cilik] 'Suara-Suara dari Balik Terali'

TEMAN-TEMAN! Mungkin teman-teman merasa ngeri membaca judul di atas. Tapi jangan khawatir. Itu hanya sebuah judul naskah teater yang pertama kali ditulis oleh Kak Iswadi Pratama ketika beliau masih di bangku SMA.

Teater Satu Latihan. (LAMPUNG POST/M. REZA)

Kini, Kak Is, sapaan akrab kami pada beliau, benar-benar telah berhasil menjadi sutradara terkenal. Bahkan, naskah drama yang ditulisnya juga digarap oleh sutradara Hongaria dan negara-negara lain. Hebat ya!

Teman-teman, selama ini kita sering mendengar kalau jadi seniman itu tidak bisa sukses, iya kan? Tapi, ternyata tidak semuanya benar lo. Buktinya Kakak Iswadi bisa sukses menjadi seorang penulis naskah dan sutradara yang tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga di dunia. Karena itu, drama kolaborasi yang digelar di Festival Horison-Horison Indonesia dan Festval Berlin pada Juni nanti berasal dari naskah drama yang dia tulis, judulnya Kenangan Tanjungkarang.

Kok bisa sih Kak Iswadi meraih semua itu? Dalam wawancara panjang kami dengan Kak Is, kami mendapatkan jawabannya bahwa orang yang sukses adalah orang yang mau belajar dengan siapa saja dan apa saja.

Seperti Kak Is yang berhasil bukan karena dia lulusan dari universitas ternama, melainkan dari semangat belajarnya yang tidak pernah usai. Dia belajar secara autodidak kepada seniman-seniman besar yang ada di sekelilingnya. Bahkan, Kak Is juga belajar dari televisi dan buku-buku kesenian. Satu lagi, sejak SD Kak Is sudah senang dengan puisi dan kesenian.

Kak Is baru mulai menulis naskah drama ketika duduk di kelas satu SMA. Dia diminta untuk menuliskan naskah drama untuk pementasan di sekolah. Nah, karya pertama Kak Is itu berjudul Suara-Suara dari Balik Terali.

Menurut Kak Is, dia terilhami oleh kisah Nabi Isa yang diminta memutuskan perkara tentang seorang yang mencuri gandum untuk memberi makan anak istrinya yang kelaparan dan hampir mati. Orang itu memilih apa? Kalau tidak mencuri, anaknya mati, kalau mencuri, gandum itu milik orang lain. Akhirnya orang itu memilih biji gandum milik tetangganya yang kaya.

"Di manakah kebenaran dan keadilah itu? Itu adalah inti dari perdebatan dua narapidana yang dilakonkan dalam drama ini," ujarnya. Wah, waktu itu kan Kak Is baru kelas dua SMA, tapi pemikirannya sudah sejauh itu ya? Weleh-weleh, berat-berat...He..he...

Selanjutnya, kelas dua SMA, Kak Is ikut Lomba Penulisan Naskah Drama untuk pelajar seluruh Indonesia. Pada lomba ini dia kembali meraih juara dari naskah yang berjudul Tuhan dan Aku. Begitu seterusnya sampai saat ini sudah tidak terhitung berapa naskah yang sudah dia tulis dan bukukan. Bahkan, puluhan piala juga sudah dia kumpulkan.

Teman-teman tahu tidak, dengan kemampuannya menulis naskah itu, Kak Is sudah berkeliling ke berbagai negara di dunia lo. Kak Is tidak hanya menjadi seorang penulis naskah dan sutradara terbaik Indonesia, tetapi dia juga sering membagi ilmunya dengan para sutradara luar negeri. Wah, keren ya.

Untung, kami menjadi reporter cilik Lampung Post sehingga kami menjadi tahu bahwa tidak ada bakat yang tidak berguna. Bahkan, ketika seseorang punya bakat dan potensi di kesenian dan teater sekalipun, dia akan sukses asal tekun dan bekerja keras. Ini menjadi pelajaran berharga bagi kami, kami akan gali terus bakat dan potensi kami. Ayo belajar. Semangat! n M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Februari 2010