February 28, 2010

[Perjalanan] Melapangkan Dada di Punduhpidada

SUNTUK sepekan di kota, meluncurlah ke Punduhpidada. Kalau tak sempat bermain pasir putih di pantai nan landai, atau mancing ikan di laut nan jernih, balik saja lagi, tak masalah. Sebab, panorama sepanjang perjalanan dari Bandar Lampung hingga kecamatan di Pesawaran itu sudah melapangkan dada.

Menyusuri ceruk Teluk Lampung. Suasana wisata mulai terasa saat perjalanan dari Bandar Lampung lepas dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lempasing ke arah Padangcermin, Pesawaran. Gunung dengan hijauan yang masih lestari di sisi kanan memantulkan hawa jiwa yang tenang di pikiran dan dada. Menoleh ke sisi kiri, air laut membiru yang tak pernah jemu bergelegak dengan ombaknya adalah dinamika kesegaran yang luar biasa. Hidup dan hati dibuat terasa tenang sekaligus terasa lebih hidup.

Punduhpidada. Wilayah yang merupakan kecamatan di Kabupaten Pesawaran itu memang berada di ring 1 ceruk Teluk Lampung. Jika ingin menuju di tempat ini tanpa keperluan yang pasti, godaan terus membayang di hampir setiap lokasi.

Menanjak bukit yang dibelak jalan hotmix, saat sampai di posisi paling atas, rasanya ingin melewatkan beberapa waktu untuk singgah. Sebab, dari atas jalan di bukit itu, pemandangan laut Teluk Lampung yang biru dipagar pulau-pulau bergunung nan hijau sangat memukau mata.

Saat hari cerah, detail laut dan lekuk-liku pantainya terlihat jelas dan indah. Saat mendung, kabut tipis juga menjadi pemandangan yang membuat hati terasa dalam kesejukan. Terlebih jika lengkung kluwung, pelangi dengan paduan warna sempurna itu menambah keindahan panorama. Seperti saat kami melawat pada Selasa (24-2) sore.

Di bibir-bibir laut, kincir-kincir yang memutar air untuk sirkulasi tambak-tambak udang terlihat seperti mesin pembuat salju nan putih. Daun nyiur yang hijau klimis melambaikan kilau keelokan alamiah tak tertandingi. Pohon-pohon kelapa itu memang amat subur dengan janjangan dugan hijau yang ranum menyegarkan.

Jalan ke arah Padangcermin yang relatif sempit berliku menghindari ceruk dan mendaki punggung bukit bukan halangan. Lebar badan jalan yang hanya empat meter justru menegaskan garis liuknya. Sayang, beberapa ruas sudah mulai bopeng dan belum mendapat perbaikan.

Melewati sedikit keramaian di Hanura, suasana perdesaan indah kembali menguasai. Kompleks pangkalan TNI Angkatan Laut Lampung di Teluk Ratai yang berada di potongan ruas jalan ini tidak mengurangi keindahan suasana. Meski terasa murung oleh aura militer, tetapi suasana segera cair dengan adanya tempat rekreasi Kelapa Rapat (Klara) di lahan milik TNI AL yang dikelola oleh warga sekitar. Di lahan pantai sepanjang sekitar 300 meter yang dipagar sekenanya dengan bambu, pondok-pondok sederhana didirikan untuk disewakan kepada pengunjung yang menikmati panorama laut dan gunung.

Hadirnya Kompi Batalion 9 Marinir di ruas selanjutnya tidak mengubah suasana asri. Yang ada, justru jaminan rasa aman di lokasi wisata rakyat yang banyak dikunjungi.

Selepas kompleks Marinir, perkampungan warga kembali menguasai. Desa Dantar di wilayah Kecamatan Padangcermin yang baru disapu banjir bandang pekan lalu masih porak poranda. Tak apa, meski ada korban jiwa dan belasan rumah larut ke kali, warga mulai normal kembali.

Menuju Punduhpidada, setelah menemui jalan mentok, arahkan kendaraan Anda ke kiri. Sekitar dua kilometer, kompleks Marinir Batalion 7 kembali menguasai. Ada dermaga militer yang tampak digunakan warga untuk memosisikan diri di tengah laut agar bisa lebih dekat ikan saat melempar pancing.

Meneruskan perjalanan, maka Anda sudah berada di wilayah Kecamatan Punduhpidada. Di sini, suasana etnis Lampung terasa kental. Di beberapa ruas jalan, rumah-rumah panggung asli Lampung dengan arsitektur khas, ukiran-ukiran di balkon, dan tangga di bagian tengah menandai keaslian hunian-hunian kuno ini.

Pekon Ampai dan Kunyanyan dapat mewakili keaslian budaya dan arsitektur asli Lampung. Bahkan, perkampungan ini relatif masih lebih lestari ketimbang Desa Wana di Melinting, Lampung Timur, yang ditetapkan sebagai desa tradisional dan tujuan wisata. Sebab, perangkat-perangkat fasilitas kampung juga masih terlihat ada. Tampak, lumbung padi di pinggir jalan masih utuh berdiri. Meskipun, mungkin tidak lagi digunakan sebagai tempat menyimpan persediaan bahan pangan.

Budayanya tampaknya juga masih dipegang teguh. Itu terlihat dari kebiasaan orang-orang menikmati sore dengan bersantai di teras rumah panggung sambil menyantap kopi dan mengepulkas asap dari mulutnya.

Alung, seorang tokoh muda Padangcermin, mengatakan di Punduhpidada ini, beberapa kebiasaan masih dipegang tetua maupun pemuda. Ia menceritakan saat seorang bujang akan nganjang atau bertandang ke rumah gadis, harus melapor ke ketua bujang dulu. Setelah mendapat izin, kepala bujang akan mengutus beberapa pemuda untuk mendampingi sang bujang menyambangi rumah gadis hingga pulang kembali. "Prosesi adat dan berbagai aturan juga masih dipegang teguh masyarakat sini," kata Alung.

Kekayaan budaya hanya bagian dari spekta Punduhpidada. Wilayahnya yang berbatasan dengan Teluk Lampung memiliki bibir-bibir laut yang indah. Hampir semua pantainya berpasir putih dengan permukaan landai. Air lautnya juga masih sangat jernih karena terjaga dari polusi. Juga tetumbuhan pinggir laut yang asri. Sayang, banyak pantai indah yang disulap menjadi kompleks pertambakan. Maklum, ikan dan udang berkembang sangat subur di alam yang masih suci ini.

Salah satu pantai yang amat indah tetapi tidak pernah dinikmati pantainya ada di Desa Kampungbaru. Setelah menerobos kebun kelapa yang batangnya sudah tinggi-tinggi dan rapi, pantai indah itu terkuak. Oh, indahnya...

Menurut Alung, kawasan ini juga "surga" bagi pemancing pemula. Sebab, meskipun tidak terlalu serius memancing, dijamin pasti pulang membawa ikan. "Tetapi, kalau nelayan sini mencari ikannya ya jauh ke laut lepas," kata dia. Emhh... n SUDARMONO

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Februari 2010

No comments:

Post a Comment