February 5, 2010

Cetik Makin Digemari, Pelestarian Terus Berjalan

Bandar Lampung, Kompas - Alat musik tradisional Lampung, cetik, mulai digemari masyarakat Lampung. Alat musik yang terbuat dari bambu itu kini bukan hanya dipelajari di sekolah formal di Lampung, menjadi kurikulum di Sekolah Tinggi Agama Hindu, tetapi juga sudah berkembang sebagai alat musik pengiring ibadah di pura.

Syafril Yamin, seniman cetik Lampung, Kamis (4/2), mengatakan, alat musik cetik atau dalam bahasa Lampung dikenal sebagai gamolan pekhing, merupakan alat musik tradisional Lampung yang sangat lambat perkembangannya. Sebelum tahun 1990, cetik hanya dikenal sebagai alat musik yang dimainkan saat upacara adat atau upacara penyambutan tamu.

Alat musik cetik juga belum memiliki peraturan baku dalam memainkan nadanya sehingga generasi muda Lampung enggan belajar memainkan cetik.

Hal itu menyebabkan pemainnya hanya terbatas pada seniman cetik. Mereka juga hanya ada di sanggar kesenian Lampung.

Kini, pemakaian cetik sudah berkembang, tidak saja saat acara adat atau penyambutan tamu, tetapi juga menjadi alat pengiring tarian ataupun ibadah di pura. Hal itu terjadi karena notasi atau aturan nada memainkan cetik sudah dituliskan sehingga memudahkan pemain pemula belajar.

Syafril mengatakan, Dewan Kesenian Lampung terus melakukan pelatihan permainan cetik kepada pelajar dan mahasiswa di Lampung agar mereka turut mendukung perkembangan pelestarian alat musik cetik. ”Sekarang perkembangannya menggembirakan. Meski baru sebatas bisa memainkan cetik, gairahnya sudah ada di mana-mana,” ujar Syafril.

Cetik pun sudah masuk dalam ranah musik kontemporer. Cetik sudah diikutsertakan dalam musik dengan band. Bahkan, menjadi materi pelajaran ekstrakurikuler.

I Wayan Sumerta Dana adalah penemu notasi musik atau aturan nada cetik. ”Kami tengah mengembangkan pemakaian cetik sebagai alat musik pengiring ibadah di pura,” ujar Wayan.

Cetik juga diapresiasi mahasiswa ISI Yogyakarta dan ISI Denpasar. ”Kami akan terus mempromosikan,” ujar Wayan. (hln)

Sumber: Kompas, Jumat, 5 Februari 2010

No comments:

Post a Comment