February 19, 2010

Ancangan Alternatif Perencanaan Bahasa Lampung*

Oleh Agus Sri Danardana**


1. Pendahuluan

Kepunahan bahasa akhir-akhir ini semakin mencemaskan banyak pihak. Bahasa yang punah itu umumnya adalah bahasa ibu kaum minoritas. Oleh sebab itu, sejak tahun 1991 UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Sedunia yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Peringatan itu dimaksudkan untuk senantiasa menyadarkan kita akan pentingnya mempertahankan bahasa ibu dan mengupayakan terhindarnya kepunahan yang, jika tidak dicegah, cenderung kian laju prosesnya.

Tulisan Andrew Dalby, Language in Danger (2003) menyebutkan bahwa setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa. Separuh dari 5.000 bahasa di dunia saat ini akan lenyap dalam satu abad ke depan. Dia mengingatkan bahwa kepunahan bahasa berarti hilangnya khazanah ungkapan yang mencerminkan cara pandang penuturnya terhadap dunia. Beralihnya penggunaan bahasa minoritas ke beberapa bahasa dominan dapat mengubah penafsiran terhadap dunia.

Keprihatinan itu sudah menjadi perhatian dunia. Oleh sebab itu, tidak terbatas pada para linguis dan pemerhati bahasa saja, para pejabat pemerintahan pun ikut-ikutan gelisah karena isu itu dapat menjadi isu sosial dan politik. Tidak terkecuali pejabat di Indonesia. Dalam sambutan pembukaan Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Wilayah Barat (yang dibacakan oleh Husodo Hadi) di Bandarlampung, 12 November 2007, Gubernur Lampung pun menyuarakan keprihatinan itu.


2. Bahasa Lampung Kini

Hingga kini belum diketahui secara pasti jumlah penutur bahasa Lampung. Jika didasarkan pada jumlah ulun Lampung: 17% dari 7 jutaan penduduk Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung diperkirakan berjumlah 1.190.000-an orang. Hal itu, menurut Multamia Lauder, menunjukkan bahwa bahasa Lampung masih berada di zona yang aman dari ancaman kematian dan kepunahan karena masih digunakan oleh lebih dari sejuta orang.

Sekalipun demikian, perlu dicatat bahwa akhir-akhir ini ditengarai jumlah ulun Lampung yang tidak lagi menggunakan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di lingkungan keluarganya terus bertambah. Mereka banyak yang "mengalihkan" bahasa ibu anak-anaknya, dari bahasa Lampung ke bahasa Indonesia. Jika hal ini terus terjadi sudah dapat dipastikan bahasa Lampung akan semakin mendekati kepunahan.

Keadaan dan masalah yang dihadapi bahasa Lampung dewasa ini sudah banyak diungkapkan dalam berbagai diskusi, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, di forum akademik maupun nonakademik. Di satu sisi, dari waktu ke waktu muncul keprihatinan (baik dari pakar, pemerhati, maupun pecinta bahasa Lampung) akan menyusutnya jumlah penutur, menyusutnya pemakaian bahasa, dan menyurutnya minat mempelajari bahasa Lampung. Di sisi yang lain, muncul pula keinginan untuk menjadikan bahasa Lampung sebagai bahasa daerah yang eksis di daerahnya sendiri.

Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan identifikasi akar masalahnya. Salah satu penyebab "terpinggirkannya" bahasa Lampung dalam "pergaulan keseharian" masyarakat Lampung, terutama generasi mudanya, adalah kekurangmampuan bahasa Lampung untuk memenuhi kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kondisi seperti itu ada kecenderungan penutur "lari" ke bahasa lain, biasanya bahasa kedua, sebagai wahana penyampai gagasan yang memungkinkan komunikasi berjalan lebih lancar.

Jika bahasa kedua yang dipilih adalah bahasa yang lebih dominan -- misalnya, jumlah penuturnya lebih besar atau fungsi pemakaiannya lebih luas -- pergeseran itu dapat berlangsung sangat intens. Dalam banyak kasus kematian bahasa, dominasi bahasa besar menjadi faktor penting.

Gagasan untuk mengatasi masalah yang dipaparkan di atas pun sudah banyak diusulkan. Salah satu usulan pemecahan yang pernah diajukan adalah penggarapan di jalur pendidikan, yakni pengembangan kurikulum, bahan ajar, tenaga pendidikan, dan sarana pendidikan, pemanfaatan program pendidikan perguruan tinggi, dan penggunaan bahasa Lampung sebagai bahasa pengantar di sekolah. Semua itu dapat digolongkan ke dalam upaya pembinaan bahasa Lampung karena bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pemakai bahasa Lampung. Sayang, gagasan-gagasan itu belum semua diemplementasikan. Bahkan, beberapa gagasan yang sudah diemplementasikan pun tidak berjalan lagi.

Seiring dengan itu, juga perlu dilakukan upaya pengembangan bahasa Lampung yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bahasa itu sebagai alat ekspresi yang sesuai dengan fungsinya. Untuk itu, perlu dilakukan pembakuan (ejaan) serta penyusunan (kamus dan buku tata bahasa) bahasa Lampung.

Ejaan, baik dengan aksara Lampung maupun dengan aksara Latin, perlu dikembangkan untuk menghadapi perkembangan zaman. Masalah penyerapan kata ke dalam bahasa Lampung akan banyak menimbulkan masalah dalam hal lafal dan tulisannya. Aksara Lampung memang cukup untuk melambangkan bunyi-bunyi asli bahasa Lampung. Namun, untuk bunyi-bunyi pada bahasa lain yang (akan) menjadi sumber penyerapan ke dalam bahasa Lampung, penggunaan huruf Latin menawarkan lebih banyak lambang. Bahasa Lampung tidak dapat menghindari penyerapan kata dari bahasa lain, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Dalam hal itu, umumnya kata diserap melalui bahasa Indonesia.

Perlu ada sikap apakah kata-kata seperti profesor, universitas, dan ijazah akan diserap ke dalam bahasa Lampung. Jika tidak akan diserap, penulisannya mestinya diperlainkan, misalnya dengan dimiringkan. Kalau diterima, perlu disepakati apakah lafalnya akan disesuaikan dengan tata bunyi bahasa Lampung. Jika disesusaikan, tidak perlu ada perubahan lambang dengan aksara Lampung. Namun, jika lafalnya mengubah tata bunyi yang ada, akan diperlukan modifikasi aksara Lampung.

Saran untuk menyusun buku tata bahasa dan kamus dapat dikatakan sudah terwujud. Beberapa buku, hasil penelitian bahasa Lampung (baik oleh Unila maupun Kantor Bahasa), sudah terbit. Pertanyaannya, sejauh mana buku-buku itu telah berhasil memerikan kaidah yang berlaku pada bahasa Lampung saat ini dan seberapa jauh dapat dijadikan referensi untuk pengajaran bahasa di sekolah. Perlukah buku-buku lain yang lebih menjabarkannya dan bersifat praktis sehingga mungkin patut dipertimbangkan sebagai buku tata bahasa sekolah.

Kamus-kamus juga sudah banyak yang diterbitkan. Namun, agaknya dilema pada kamus ini adalah bahwa yang praktis biasanya jauh dari memadai, sedangkan yang lengkap sering tidak terjangkau harganya. Usaha pembakuan ataupun kodifikasi bahasa Lampung tampaknya masih belum memuaskan.

Selain penyusunan kamus dan tata bahasa, pengembangan bahasa juga bersangkutan dengan pengayaan kosakata. Oleh karena itu, kosakata bahasa Lampung harus dikembangkan agar dapat berfungsi tidak hanya sebagai bahasa sosial budaya masyarakat, tetapi juga sebagai syarat terbukanya ruang pemakaian bahasa Lampung yang lebih luas.


3. Penanganan Bahasa Lampung melalui Perencanaan

Tanpa perencanaan bahasa, arah perkembangan bahasa Lampung dapat saja ditentukan oleh berbagai kepentingan yang tidak selaras dengan cita-cita bersama. Sebagai contoh, kepentingan pemodal dalam urusan apa pun tampaknya lebih mengutamakan bahasa untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas yang pada akhirnya hampir-hampir tidak memerlukan bahasa Lampung.

Sementara itu, untuk sintas (survive) pada zaman modern yang mengglobal ini banyak orang, termasuk penutur asli bahasa Lampung, perlu menguasai bahasa asing. Hal ini pun akan berujung pada anggapan bahwa mengikuti kemajuan zaman mutlak menuntut penguasaan bahasa asing. Dengan demikian, peran bahasa Lampung akan semakin dipinggirkan sampai hanya sebatas pagar rumah.

Undang-undang tentang otonomi daerah mengamanatkan bahwa tanggung jawab penanganan masalah kebahasaan di daerah ada pada pemerintah daerah. Karena penanganan bahasa daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, lembaga yang menangani kebudayaan di Lampunglah yang pertama-tama harus melaksanakan fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan tata administrasi.

Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota juga perlu menganggarkan pendanaan untuk keperluan itu. Pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan lembaga pusat, dalam hal ini Pusat Bahasa, yang menangani masalah kebahasaan secara nasional. Perencanaan bahasa daerah dapat dilakukan secara lebih intensif dan sesuai dengan kebutuhan. Namun, sejauh yang dapat diamati, belum banyak pemerintah daerah yang secara serius melakukan perencanaan bahasa. Padahal, sejalan dengan merebaknya isu kepunahan bahasa, di banyak daerah juga sudah terdengar keluhan bahwa generasi muda sudah mulai meninggalkan bahasa ibunya.

Sekarang, persoalannya adalah bagaimana masalah itu akan dipecahkan, dari mana, dan siapa yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Ada beberapa lembaga (masyarakat, pendidikan, dan penelitian) yang terkait dengan bidang kebahasaan dan kesastraan di Provinsi Lampung. Yang pertama adalah lembaga-lembaga adat sebagai organ pemerintah di daerah yang bertanggung jawab terhadap kehidupan budaya (bahasa) Lampung. Yang kedua dan ketiga adalah Dewan Kesenian Lampung dan Taman Budaya Lampung. Yang keempat adalah Kantor Bahasa Provinsi Lampung yang tugas dan fungsinya juga berkenaan dengan bahasa daerah, sekaligus sebagai kepanjangan tangan lembaga pemerintah pusat yang bertanggung jawab untuk perencanaan bahasa secara nasional. Yang kelima adalah perguruan tinggi yang pelaksanaan tridarmanya dapat dimanifestasikan dalam program pembinaan dan pengembangan bahasa. Oleh sebab itu, perlu ada kerja sama di antara lembaga-lembaga itu.

Sekurang-kurangnya lima lembaga itu perlu duduk bersama untuk menetapkan tujuan atau kondisi bahasa yang dicita-citakan, yang dapat dirumuskan sebagai politik bahasa Lampung seperti yang dijelaskan di atas. Sesudah itu, seluruh masalah yang dipandang sebagai perintang untuk mencapai tujuan itu diinventarisasi, diidentifikasi, dan dipetakan. Sehubungan dengan hal itu, perlu dibangun sistem pusat data bahasa Lampung, fisik dan elektronik, untuk mendukung pelestarian dan pengembangan bahasa Lampung, yang dapat berfungsi sebagai sumber informasi. Perlu diperoleh data tentang berbagai aspek sebagai modal bagi lembaga perencana bahasa untuk menyusun program.

Di sini dapat diberikan contoh daftar data yang diperlukan. Tentang pemakai dan pemakaian bahasa Lampung, perlu diketahui berapa jumlah penutur bahasa Lampung, bagaimana penguasaan mereka, apa yang menjadi sumber pemerolehan bahasa Lampung yang utama, berapa banyak yang dapat membaca tulis dengan bahasa Lampung, dari mana dan sejak kapan mereka menguasai bahasa Lampung, kapan/di mana mereka menggunakan bahasa Lampung secara intens, pada ranah apa bahasa ini dipakai, apa motivasi pemakaian bahasa Lampung, dan seterusnya.

Tentang pengajaran bahasa, diperlukan data tentang sejauh mana pendidikan formal menjadi jalur penguasaan bahasa, berapa sekolah yang ada di Lampung, berapa banyak sekolah yang membutuhkan guru bahasa Lampung, bagaimana pengajaran bahasa Lampung di sekolah, bagaimana kurikulumnya, bagaimana buku ajarnya, seberapa banyak tersedia, berapa guru bahasa Lampung yang tersedia, bagaimana kualifikasinya, lembaga mana saja yang menghasilkan tenaga guru itu, seberapa banyak guru yang dihasilkan, dan seterusnya.

Tentang sarana, diperlukan gambaran tentang seberapa banyak media yang menggunakan bahasa Lampung, seberapa sering media itu diakses, berapa banyak perpustakaan umum di Lampung, berapa banyak perpustakaan sekolah di Lampung, bagaimana penyebaran media berbahasa Lampung di perpustakaan-perpustakaan, seberapa banyak hasil kodifikasi yang ada, yaitu kamus, tata bahasa, ensiklopedia/tesaurus, berapa banyak buku-buku bacaan, dan seterusnya. Berkenaan dengan korpus bahasa, perlu diketahui sejauh mana bahasa Lampung menyediakan kosakata yang dapat dipakai dalam percakapan sehari-hari saat orang membicarakan politik, transportasi, usaha perdagangan, kosakata bidang apa yang perlu dikembangkan, bagaimana mengembangkannya, bahasa apakah yang diutamakan menjadi sumber pengembangan kosakata, bagaimanakah kaidah pengembangan atau penyerapan kosakata, dan seterusnya.


4. "Siapa Melakukan Apa, Di Mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana"

Pada saat ini kita memiliki lembaga dan sumber daya manusia yang dapat bekerja dengan lebih sistematis untuk melakukan perencanaan guna mengatasi masalah kebahasaan di Lampung. Sudah bukan saatnya masalah seperti itu ditangani secara parsial, sporadis, dan insidental saja.

Dengan mengadopsi gagasan Cooper (1989: 60-72), kita dapat menyusun kerangka kerja "siapa melakukan apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana". Jika sudah dapat ditetapkan apa yang akan dilakukan sebagai pemecahan masalah, selanjutnya perlu dibagi tugas kepada ’siapa’ untuk melaksanakan "apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana". Yang dimaksud "siapa" dapat saja berupa satu atau banyak lembaga atau perseorangan yang bekerja secara bersinergi, seperti para pakar bahasa, budayawan, sastrawan, guru bahasa, tokoh masyarakat, dan
pejabat pemerintah.

Sebagai usul konkret, di sini akan diajukan contoh tentang apa yang dapat dilakukan bersama. Dengan alasan kepraktisan, usulan ini dibatasi hanya pada "siapa" dan "melakukan apa". Yang lain-lain dapat dirumuskan kemudian. "Siapa" sementara dibatasi pada lembaga-lembaga yang telah disebut di atas, yakni lembaga adat atau lembaga sejenis serta unit yang menangani masalah kebudayaan dan pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, Dewan Kesenian Lampung (DKL), Taman Budaya Lampung (TBL), Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL), dan perguruan tinggi se Lampung.




Siapa

Melakukan Apa


Lembaga Adat Lampung, Dinas Kebudayaan Kota/ Kabupaten, DKL, dan TBL

Merumuskan kebijakan bahasa daerah
Memberi masukan dan saran kebahasaan dan kesastraan kepada pemerintah
Melakukan koordinasi dan menyusun kalender kerja tahunan
Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data
Menyebarkan informasi
Menyelenggarakan program pembinaan: penyuluhan dan pelatihan
Memberi layanan kebahasaan
Memberikan penghargaan


Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten

Menyediakan data tentang sekolah, guru, siswa, dan hal lain untuk pemetaan masalah
Mengembangkan kurikulum pengajaran bahasa
Mengadakan buku ajar dan sarana pendidikan bahasa sastra
Mengembangkan perpustakaan dengan koleksi buku berbahasa Lampung
Membina guru-guru bahasa dan sastra Lampung


KBPL

Melakukan penelitian tentang bahasa dan sastra, baik yang bersifat deskriptif maupun
teoretis
Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi masalah
Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data
Mendokumentasi karya kebahasaan dan kesastraan
Menyusun kamus, tata bahasa, dan bahan rujukan/ panduan kebahasaan dan kesastraan
Menyebarkan informasi
Menyelenggarakan program pembinaan: penyuluh-an dan pelatihan
Memberi layanan kebahasaan
Menyelenggarakan program peningkatan apresiasi bahasa dan sastra
Memberikan penghargaan


Perguruan Tinggi

1. Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi masalah
2. Melakukan penelitian untuk pengembangan peng-ajaran bahasa
3. Melakukan penelitian untuk pengembangan teori kebahasaan dan kesastraan
4. Melakukan penelitian untuk pengembangan korpus bahasa
5. Mencetak SDM pengajar dan peneliti bahasa dan sastra

Hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam perencanaan bahasa adalah evaluasi, seperti yang disarankan oleh banyak pakar (Rubin 1971, Fishman 1974:16, Dua 1991, Kaplan dan Baldauf 1997: 91-92, serta Daoust 1997). Sayang evaluasi formal dalam perencanaan bahasa di Indonesia sangat jarang dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan kapan saja atau, jika diinginkan dan terwujud, dalam setiap kongres bahasa Lampung.


5. Penutup

Perencanaan bahasa daerah di Indonesia, bahkan juga yang menyangkut bahasa Indonesia, sesungguhnya masih berupa kegiatan tambal sulam. Lebih banyak kegiatan yang bersifat seremonial daripada yang berupa produk massal yang dapat dinikmati banyak orang. Yang lebih menonjol adalah gebyar yang melibatkan banyak orang, yang terlupakan sesudah peristiwa itu berlalu, daripada hasil yang dapat bertahan dan dimanfaatkan bertahun-tahun.

Kondisi bahasa Lampung yang begitu kompleks sebaiknya tidak menjadikan kita gamang untuk memulai sebab pekerjaan sekecil apa pun tidak akan selesai jika tidak pernah dimulai. Perda (Nomor 2 Tahun 2008) tentang pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung telah diundangkan. Tahun ini sastrawan Lampung (Asarpin) pun kembali memperoleh hadiah Rancage. Tunggu apalagi? Selamat memperingati Hari Bahasa Ibu.


* Tulisan ini dimuat di Lampung Post dalam dua tulisan dengan judul Bahasa Lampung Kini (Lampung Post, 18 Februari 2010) dan Perencanaan Bahasa Lampung (Lampung Post, 19 Februari 2010)

** Agus Sri Danardana, mantan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung

No comments:

Post a Comment