February 22, 2010

Menyelamatkan Bahasa Lampung

Oleh Farida Ariyani*


Tabik pun, tabik ngalimpura jama kuti rumpok, sikam nyelang ngebista bak pasal bahasa Lampung.

PENULIS mengingat kembali pisaan Kiai Ir. Akhmad Syarnadi H.M., M.S. (Cemungak Beresio) pada seminar bahasa dan tulisan Lampung (kerja sama Lampung Sai dan Unila) 1999 berikut: Tahun bebalin tahun, bahaso mak teguno, budayo jarang luwah, sai nundo kepunahan; Semanjang tegei ngelamun, adat kurang te cammo, cepalo mak ti pubalah, nayah nyapang aturan; Tano rang milih inggun, kak sako curak merro; Jinno semapeu wayah, Keder mak keraso-an.

Sebagai ketua panitia ketika itu, penulis mencermati dan memaknai pisaan tersebut, ada kesedihan yang mendalam akan ’’keterancaman dan kepunahan bahasa Lampung’’ baik sebagai bahasa ibu maupun bahasa daerah. Alhamdulillah, selama sepuluh tahun sudah banyak yang dapat dilakukan untuk tetap memberi napas kehidupan bahasa Lampung (BL), baik dari segi pendidikan formal maupun nonformal. Unila membuka program D-3 BL yang menghasilkan guru bidang studi bahasa Lampung, pemda melalui Dinas Pendidikan menjadikan bahasa Lampung sebagai muatan lokal, dan masyarakat Lampung tetap mewarisi bahasa Lampung dalam ranah keseharian walaupun belum maksimal.

Bahasa Lampung sebagai bahasa ibu dan juga sebagai bahasa daerah yang diwariskan generasi tua (bakas/kakek dan siti/nenek) ke generasi menengah (buya/ayah, ummi/ibu, pak lebu, induk lebu, kemaman, dan minan) dan ke generasi muda (anak-anak) memerlukan upaya yang serius dengan berlandaskan pada asas keyakinan dan kesungguhan. Keyakinan bahwa bahasa Lampung masih memiliki manfaat dalam kehidupan. Kesungguhan bertumpu kepada tekad masyarakat Lampung untuk melestarikan bahasa Lampung sebagai identitas budayanya dan bagian dari kebudayaan nasional.

Sejak 1951, UNESCO merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan dan menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Berkaitan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2010, sudah sewajarnya kita mengoreksi kembali kekhawatiran punahnya bahasa Lampung sebagai bahasa ibu seiring berkurangnya penggunaan bahasa Lampung.

Ada baiknya, kita merujuk kriteria skala tingkat keterancaman dan kepunahan bahasa yang digunakan UNESCO. Menurut Grenoble dan Whaley dalam Saragih (2010), kriteria skala tersebut mencakup enam skala. Yakni bahasa yang aman, berisiko, mulai terancam, kondisi parah, hampir punah, dan punah. Lalu, di manakah skala bahasa Lampung?

Menarik untuk diketahui apakah tentang kepunahan bahasa Lampung itu sudah terjadi pada masyarakat Lampung. Dalam hal ini, Gunarwan (1994) melakukan penelitian kebocoran diglosia dan menemukan bahwa bahasa Lampung sudah mengalaminya karena desakan bahasa Indonesia (BI). Dari penelitian diketahui, dalam keluarga Lampung yang diamati kebocoran diglosia terjadi pada orang-orang Lampung pada kelompok umur 41–50 (nilai rata-rata pemilihan=1,21), yang berimplikasi bahwa bahasa Indonesia sudah mulai dipakai di ranah rumah.

Yang memprihatinkan adalah bahwa semakin rendah kelompok umur keluarga Lampung, semakin tinggi nilai rata-rata pemilihan bahasanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa semakin muda keluarga Lampung, semakin sering bahasa Indonesia digunakan alih=alih bahasa Lampung. Selanjutnya, hal ini mengisyaratkan bahwa kebocoran diglosia menjadi makin besar. Kalau dibiarkan, kebocoran akan semakin besar, dan jika dibiarkan tanpa usaha menambal kebocoran itu, bahasa Lampung dapat punah dalam perkiraan waktu 75–100 tahun lagi.

Perkiraan kasar itu dibuat Gunarwan (1994) berdasarkan temuan yang disajikan dalam tabel di atas. Dengan asumsi bahwa bilangan-bilangan dalam tabel itu akurat, anak-anak yang pada waktu ini berumur 10 tahun (yakni nilai tengah dari kelompok umur 20 tahun) atau lebih muda akan menjadi orang tua (suami-istri) dalam satu generasi (25 tahun) lagi. Artinya, mereka menjadi orang Lampung dalam kelompok umur 31–40 tahun.

Untuk keperluan praktis, misalkan nilai pemilihan bahasa untuk kelompok umur ini tetap 3,43 (seperti yang ditemukan pada waktu penelitian) dan perbedaan nilai kelompok umur <20 style="font-style: italic;">ulun lampung yang jumlahnya sekitar tiga juta orang. Pada saat itu tidak seorang pun lagi yang memahami dan menggunakan bahasa dan tulisan Lampung. Orang Lampung tidak lagi mengenal lima prinsip pedoman bermasyarakat Lampung, yaitu piil pesengiri, nengah nyappur, nemui nyimah, sakai sambayan, dan bejuluk beadek. Orang Lampung tidak lagi mengenal begawi, mepadun, dan berbagai bentuk kelengkapan adat. Tidak lagi mengenal seni budaya Lampung, seperti canggot, sesad, pisaan, pepaccur, ngedio, dan ringget. Sangatlah beralasan kekhawatiran tersebut karena media penyelenggaraan adat piranti tersebut yaitu bahasa Lampung tidak dipergunakan dan tidak dikuasai lagi.

Sepuluh tahun, tidak terasa bagi penulis untuk tetap berupaya mengajak masyarakat Lampung tetap melestarikan, membina, dan menghidupkan bahasa Lampung, baik jalur formal maupun nonformal. Merujuk kepada pendapat kedua pakar tersebut, mendorong penulis untuk tetap berbuat walau sedikit. Secara sadar, perihal pembinaan dan pengembangan bahasa Lampung harus disosialisasikan. Karena itu, Gubernur Lampung Bapak Sjachroedin Z.P. melalui Perda No. 2/2008 sudah memberikan payung hukum sebagai legal formal pembinaan dan pengembangan bahasa dan aksara Lampung.

Kegiatan dilanjutkan sosialisasi ke empat belas kabupaten/kota yang dilaksanakan Biro Hukum Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) pada Desember–Januari 2010. Keberadaan perda tersebut sejalan pemikiran Anton M. Moeliono (1985) yang mengatakan bahwa pembinaan bahasa berkenaan peningkatan jumlah pemakai bahasa dan mutu pemakaian bahasa lewat penyebaran hasil pembakuan, penyuluhan, serta bimbingan dan pengembangan bahasa berkenaan dengan pengembangan sandi bahasa (code). Secara garis besar, Anton M. Moeliono (1985) membaginya menjadi tiga tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap penilaian.

Dalam situasi terdesaknya bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah tidak kurang dari 442, di dalamnya termasuk bahasa Lampung, ternyata lahir usaha-usaha untuk membelanya. Sebagai cetusan dari kesetiaan, baik sekadar pernyataan verbal maupun yang berupa usaha yang konkret. Berkaitan otonomi daerah, pelestarian bahasa Lampung dapat dilakukan dengan lebih leluasa merujuk pada UU No. 22/1999. Sejalan usaha-usaha tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa Lampung sebagai alat komunikasi dalam ranah keluarga; masuknya bahasa dan aksara Lampung sebagai muatan lokal sejak pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi; membuka kembali program studi bahasa Lampung atau fakultas bahasa dan budaya Lampung; serta melakukan penelitian dan penerbitan hasil penelitian.

Kemauan untuk memelihara bahasa Lampung dengan sengaja dan terprogram saat ini wajib disambut baik masyarakat Lampung, baik pengguna, pembelajar, dan peneliti bahasa. Karena itu, tidaklah berlebihan jika kita mau pasti kita mampu dan jika kita mampu hurus mau; Mak ganta kapan lagi, mak ram sapa lagi. Jadikanlah bahasa Lampung dengan keragaman variasi dialeknya, penanda kekayaan yang patut dilestarikan sehingga berfungsi sebagai salah satu lambang identitas, kebanggaan, dan alat perhubungan antarmasyarakat Lampung.

* Farida Ariyani, Pendidik dan Pemerhati Bahasa Lampung

Sumber: Radar Lampung, Senin, 22 Februari 2010

No comments:

Post a Comment