February 7, 2010

[Perjalanan] Wana, Desa Wisata yang Merana

DESA Wana di Kecamatan Melinting, Lampung Timur ditetapkan sebagai desa wisata karena arsitektur rumah tradisional Lampung yang lestari. Pemerintah ingin kondisi ini bertahan, tetapi tidak memberi insentif.

Gapura rangka besi dengan motif perahu warna emas itu berdiri di batas desa. Selarik tulisan "Kawasan Permukiman Tradisional Desa Wana, Kecamatan Melinting" terpampang di atas. Sayang, satu baliho foto bupati ukuran besar menutupi gapura itu.

Melewati tugu batas itu dari arah Sribawono, berarti Anda telah berada di Desa Wana, desa yang dipromosikan sebagai perkampungan wisata budaya. Arsitektur rumah adat Lampung yang dipengaruhi gaya Kayuagung, Sumatera Selatan itu dijadikan jualan utama. Juga adat istiadat yang masih ada sisa-sisa di tengah pusaran budaya modern dianggap sebagai nilai lebih yang bisa dijual kepada wisatawan.

Memasuki desa etnik ini, suasana alamiah memang masih cukup terasa. Kebun-kebun dengan tanaman keras berupa pohon duku, durian, manggis, dan rambutan mendominasi. Sepuluh tahun terakhir, isi kebun itu bertambah atau berganti dengan pohon kakao yang secara ekonomi mempunyai nilai lebih.

Sayangnya, jalan hotmix yang dulu mulus menembus bulak, sekarang rusak. Bahkan, beberapa ruas hancur lebur. Belum ada tanda-tanda perbaikan.

Memasuki desa ini pada musim duku, memang memberi citra lebih. Ranting dan batang pohon-pohon rindang itu dipenuhi rentengan butir-butir buah kuning ranum. Di bawahnya, petani buah memanen dengan riang. Berkarung-karung tumpukan buah duku siap dijual ke pedagang pengumpul untuk kemudian dikirim ke kota, termasuk Jakarta.

Menerobos kebun, perkampungan mulai terlihat. Rumah-rumah etnik dengan ciri panggung, bertulang kayu, berdinding papan, dan atap ada yang seng dan ada yang genting mulai terlihat. Jejeran rumah yang berjarak cukup dekat, bahkan berimpitan membuat suasana kampung terkesan ramai.

Tata ruang kampung memang sudah seperti menjadi kesepakatan. Hunian didirikan di satu ruas jalan, dengan jarak berimpit, dan bangun rumahnya juga mirip. Sedangkan belakang rumah sudah berupa kebun dan ladang. Meskipun saat ini pakem itu sudah tidak terlalu diikuti lagi.

Pada era 1980-an, barisan rumah-rumah yang mengurung jalan sepanjang sekitar 500 meter di kanan-kiri ini masih amat alami. Iskandar Zulkarnain, tokoh pemuda yang juga pewaris ketokohan di kampung ini mengakui saat ini sudah sulit mempertahankan keaslian budaya asli ini.

Rumah, misalnya, meskipun sudah ditahbiskan sebagai mini architechture Wana village (arsitektur mini Desa Wana) sejak 1992, pemerintah tidak memberi bantuan kepada warga pemilik rumah-rumah antik itu. Padahal, kata Zul, rumah mereka yang terbuat dari kayu membutuhkan biaya perawatan yang tinggi jika ingin lestari. "Ya, sekarang keadaannya begini. Kalau rapuh, ya ambruk atau diganti sekenanya. Bahkan, banyak yang sudah mengganti dengan rumah tembok. Tidak ada yang bisa melarang karena pemerintah cuma mengimbau," kata dia.

Meskipun demikian, masih banyak rumah yang dipertahankan oleh pemiliknya dalam kondisi asli. Namun, perawatan yang sekananya membuat keaslian arsitektur rumah Wana tidak seperti yang dibayangkan 30 tahun lalu.

Selain rumah, benda-benda dan perkakas buatan zaman kerajaan masih tersimpan di rumah-rumah warga yang masih memelihara adat. Muhabbati (58), istri almarhum Halill Bari, seorang tokoh Wana, hingga kini masih menyimpan banyak artefak yang ditinggalkan datuk-buyutnya. Ada peci atau mahkota emas, pedang, tombak, tapis, gerabah, guci, timbangan, dan lain-lain. Juga ada setumpuk kitab-kitab berbahasa dan dengan tulisan Arab teronggok dalam bufet yang tak berpintu.

"Saya juga masih punya alat tenun. Tetapi sudah nggak digunakan lagi. Paling saya sama anak-anak masih bikin sulam tapis. Ini jadi kerjaan saya sehari-hari untuk mengisi waktu senggang," kata Muhabbati sambil memberi arahan kepada anaknya yang sedang menyulam tapis motif Krui di rumahnya, Kamis (4-2).

Rumah panggung yang ditempati Muhabbati bersama anak-anaknya itu masih tampak lestari. Bahan kayu yang dirangkai rapi, baik untuk dinding, lantai, dan plafon terlihat makin mengilat dan tetap kuat. Di sisi kanan-kiri ruang keluarga yang luas, terdapat beberapa etalase yang berfungsi sebagai pajangan benda-benda bernilai purba itu.

Satu etalase dengan bertutup kaca terlihat menyimpan benda-benda kuno lengkap dengan keterangan tulisan tangan. Ruang ini dengan barang-barangnya lebih tepat disebut museum pribadi. Sayangnya, tidak terawat dengan baik. Jika tidak ada yang peduli dan ganti generasi, sangat mungkin "museum" ini segera berubah menjadi etalase Boneka Barby.

Muhabbati mengaku pernah diminta menyerahkan barang-barang antik itu ke pemerintah, tetapi ia menolak. Dengan alasan, jika nanti anak cucunya yang kebetulan tidak mampu secara ekonomi, tidak bisa melihat barang peninggalan orang tuanya di museum yang entah di mana.

Alasan janda penyulam tapis ini ada bisa dibenarkan. Ada baiknya pemerintah memberikan bantuan tempat atau etalase yang lebih aman kepada keluarga ini agar dapat menyimpan barang antik. Syukur-syukur memberi biaya perawatan.

Perkampungan yang memiliki nilai historis ini idealnya memang lestari. Namun, gempuran modernisasi dan tuntutan kesetaraan generasi kerap menggoda agar nilai-nilai budaya enyah dari desa ini.

Untungnya, Iskandar dan generasi muda lainnya masih menyempatkan diri memainkan tetabuhan tradisional pada berbagai upacara adat. Meskipun ia sendiri memiliki seperangkat alat musik modern yang siap ditanggap.

Iskandar mengatakan tatanan adat untuk berbagai upacara masih tersimpan rapi di masyarakat yang setiap saat dapat ditampilkan. Meski sudah berbaur dengan modernitas, beberapa pemuda masih menjadi langganan menarikan tari melinting yang amat terkenal dan berasal dari sini.

Catatan pada buku tamu di rumah Iskandar memang cukup membanggakan. Banyak tamu yang menulis nama dan asal negaranya dengan tulisan kanji. "Ini tamu dari Jepang. Ada yang dari Belanda, Taiwan, dan lain-lain. Mereka kebanyakan mau melakukan penelitian," kata Iskandar menunjukkan buku tamunya.

Desanya juga kerap dijadikan model pada berbagai acara televisi yang bertema adat, lingkungan, dan petualangan. "Baru dua minggu lalu Anteve shooting acara permainan tradisional anak-anak di sini. Kami welcome0. Kadang mereka menginap," kata dia.

Sayangnya, potensi yang tak mungkin direstorasi itu tidak mendapat perhatian. n SUDARMONO

Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Februari 2010

1 comment:

  1. Membanggakan. Di tengah-tengah kesibukan generasi muda yang kebingungan mencari jati diri dengan berganti-ganti alat komunikasi, baju-baju baru, musik-musik bule, dan deretan produk budaya modern yang terus menggempur, masih ada sosok yang mantab mengakui, memelihara, dan menyayangi warisan nenek moyangnya.
    Adalah tokoh Iskandar Zulkarnain, tokoh pemuda Desa Wana yang berada di depan mencoba menggendong anak budaya Lampung dengan sebentuk keindahan budinya. Beberapa waktu yang lalu, sekitar pertengahan tahun 2009, saya mengadakan penelitian di Desa Wana mengenai perkawinan adat Melinting, khususnya acara bujang-gadis (dikiran) dengan informan utama saya saudara Iskandar Zulkarnain. Berbekal minat saya akan keluhuran tradisi dan tuntutan penelitian, saya kumpulkan informasi yang cukup di Desa itu. Beberapa hal teknis dapat saya atasi dalam proses administrasi perizinan proposal penelitian saya. Mulai dari tingkat kantor gubernur hingga kecamatan. dan rata-rata pihal instansi pemerintah mensikapi secara datar-datar saja. Itu semua saya rasakan kuarang berkenan, karena semestinya mereka yang berwenang sedikit musti membedakan urusan yang berorientasi laba dan nirlaba. Tapi ya inilah realita.

    Menyedihkan. Terlampau naif, jika masyarakat dan produk pemerintah lainnya memandang hasil kreasi budaya nenek moyangnya dengan kacamata bisnis, keuntungan, proyek-proyek pendanaan yang berorientasi material. Sedangkan substansi kearifan lokal yang tak bertepi malah dijual.
    Fenomena kebangkitan budaya di beberapa daerah sepintas mulai menggeliat, menunjukkan kepedulian yang nyata akan harta yang paling berharga. Kebudayaan...
    Namun jika semuanya tetap saja memprioritaskan laba dan laba, saya hanya berkata: "mainkan saja terus lagu-lagu yang diajarkan nenek moyangmu, walau tanpa alat musikpun."

    Sh_nesia@yahoo.co.id

    ReplyDelete