February 14, 2007

Masnuna, Seelok dan Selangka Punai

"TEGAKKANLAH dadi!" kata Dalom Muda Sebuway kepada Masnuna, putrinya yang kala itu masih berusia delapan tahun. Sejak saat itulah, Masnuna menggeluti dadi sebagaimana ia menggeluti hidupnya.

Masnuna saat ini dikenal sebagai satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang dikenal dengan sebutan dadi. Ini merupakan karya sastra utama yang hidup di dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di Lampung. Hampir dalam setiap perhelatan mereka, dadi tampil sebagai suguhan utama. Dadi-yang biasanya berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat dan konon telah ada di Lampung sebelum masa Hindu -merupakan acara yang ditunggu-tunggu, meskipun tidak semua orang dengan mudah bisa menangkap makna setiap bait pantunnya. Maklum, bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung tingkat tinggi.

TAHUN 1940 adalah masa yang sulit bagi warga Desa Segala Mider Pubian. Masnuna pun mengalaminya. Kehadiran tentara Belanda di desa tempat kelahirannya itu membuat ia dan teman-teman seusianya harus berhenti dari sekolah.

"Saya baru kelas tiga saat Belanda datang," tuturnya. Namun, justru pada masa itulah kemampuan Masnuna sebagai penutur dadi terbentuk. "Tidak ada waktu khusus. Setiap waktu senggang selalu diisi dengan berlatih dadi. Namun kala itu yang paling baik adalah seusai shalat isya, saat semua orang telah berada di rumah,"ujarnya.

Itu dilakukannya nyaris setiap hari. Awalnya ia menirukan apa yang dilantunkan oleh Dalom Muda Sebuway. Ia pun juga dituntun untuk memahami makna dari tuturan itu. "Semuanya dilakukan dengan dituturkan begitu saja, lalu saya ulangi terus setiap saat," ujarnya menambahkan.

Yang dipelajari saat itu adalah dadi karangan Dalom Muda Sebuway yang berisi tentang pengalaman hidup Dalom dan apa saja kisah yang dilihatnya termasuk kedatangan Belanda di Desa Segala Mider Pubian.

Olah batin dan raga untuk menguasai dadi dilakukan Masnuna saat ia mandi atau mencuci di sungai. "Saya memasukkan kepala ke dalam air hingga tujuh kali sambil berteriak sekencang-kencangnya saat kepala berada di dalam air," kisahnya, seraya menambahkan bagaimana sang ibu, Siti Aminah, pun mengasah ketajaman batin Masnuna dengan berbagai doa dan mantra. Dari olah rasa dan raga itu, Masnuna mampu melantunkan tiap kalimat dadi dalam satu untaian napas yang panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi.

BELAKANGAN, setelah cukup mahir, mulailah Masnuna membuat dadi sendiri. Isinya tentang apa saja yang dialami dan dirasakannya. Uniknya, ia hafal hingga saat ini apa saja isi dadi itu meskipun tuturan itu tidak pernah ditulisnya.

"Saya tahu dan hafal karena itu adalah hidup saya sendiri," aku nenek yang dipersunting oleh Abdul Hasan, seorang pemuda asal Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada tahun 1955 itu.

Di mata Masnuna, dadi adalah ketajaman seseorang dalam melihat sesuatu peristiwa dan menuturkannya dengan bahasa Lampung tingkat tinggi dan halus. Isinya bisa sangat jauh berbeda dari arti sesungguhnya rangkaian kata yang digunakan. Ambil misal, jika dalam pantun perkawinan yang dikatakan adalah "tungku itu sudah diletakkan di atas jalinan rotan", maknanya adalah bahwa si gadis sudah dimiliki oleh seseorang dan ia tidak dapat lagi diambil atau diingini oleh orang lain.

Tidak mudah memang untuk menjadi pelantun dadi. Lantunannya nyaris mirip sebuah mantra yang diwedarkan. "Turun naik seperti burung punai yang terbang tinggi, tiba-tiba langsung turun merendah, lalu terbang lagi meninggi," tutur Masnuna.

Itulah ciri khas dadi yang membuatnya sulit untuk dipelajari. Setidaknya seseorang harus kaya dalam perbendaharaan kata dan sekaligus memiliki napas panjang. Tak heran jika saat ini, sastra tutur tingkat tinggi itu makin langka. Di tempat Masnuna saat ini tinggal, Desa Tanjung Kemala, Lampung Tengah-yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Bandar Lampung-hanya dua gadis desa yang berusaha mempelajarinya.

"Yang satu adalah Sri Astuti dan yang satu adalah Elisa, cucu saya," kata Masnuna. Namun agaknya Elisa enggan meneruskan warisan neneknya itu. Alasannya, sulit dan tidak menarik. Apalagi saat ini orkes organ tunggal telah menjamur hingga ke pelosok-pelosok perkampungan dan desa.

Bandingkan dengan masa remaja Masnuna di saat dadi masih jaya. Saat itu banyak gadis dan pemuda seusianya serius mempelajari dadi. Mereka masing-masing berguru kepada orangtua mereka.

"Dulu, dalam upacara adat, para muli (gadis) duduk berderet dan dibelakangnya para tua-tua duduk membisikkan syair atau pantun. Kami yang kemudian melantunkannya bergantian dan bersahut-sahutan dengan para mekhanai (bujang) yang duduk di seberang kami," tutur Masnuna.

BETAPA penting arti dadi bagi masyarakat Pubian juga bisa dilihat dari kompetisi antarpelantun. Ayah Masnuna, misalnya, pernah ditantang untuk berdadi dengan warga kampung tetangga.

"Jika bapak saya kalah, penantangnya dapat membawa pulang anak gadisnya. Dan kalau bapak saya menang, ia memperoleh tiga ekor sapi dan lembu milik si penantang. Untungnya, waktu itu bapak saya menang," ungkap Masnuna.

Riagus Ria, keponakan Masnuna-yang saat ini bergulat untuk mendokumentasikan beragam seni sastra lisan Lampung-menjelaskan bahwa kemenangan seseorang dalam kompetisi dadi ditentukan jika si lawan beralih pada tema lain.

"Jika awalnya pantun itu bertema tentang keelokan alam misalnya, hingga akhir seharusnya tema itu terus yang diangkat. Tetapi jika salah satu pelantun beralih ke tema lain, ia dinyatakan kalah karena berarti perbendaharaan kata yang dimilikinya tentang tema itu telah habis," jelas Agus.

Sayangnya kompetisi antarpelantun dadi tidak sanggup menahan pudarnya popularitas dadi sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 2000-an hanya tersisa empat penutur dadi. Selain Masnuna, tiga pelantun lainnya adalah Pangeran Mata Punai (meninggal dunia pada tahun 2003), dan Hasan Penyimbang Raja serta Saerah yang saat ini terserang stroke. Bahkan satu nama yang terkenal, Ali Pangeran Pengadilan, mengembuskan napas terakhir tujuh tahun lalu.

"Dulu, mereka selalu bersama- sama melantunkan dadi saat ada acara adat seperti perkawinan, pesta sunatan, atau pesta panen. Meskipun sudah tua, mereka tetap tekun untuk berdadi," tutur Somad, anak laki-laki Masnuna, yang lebih memilih mempelajari pisaan dan diker, bentuk-bentuk sastra lisan Lampung lainnya.

Saat ini hanya tinggal Masnuna yang terus bergulat untuk melestarikan sastra lisan tersebut, meskipun untuk itu ia harus pergi jauh ke berbagai acara adat. Kadang-kadang di usianya yang sudah renta itu, Masnuna enggan untuk pergi jauh dari kampungnya. Sebagai orang kecil, ia sering merasa malu jika harus berdadi di gedung mewah dan dihadiri oleh banyak petinggi.

Namun, keponakannya, Riagus Ria, selalu membesarkan hatinya. Dan pada saat-saat seperti itulah berbagai mantra dan doa yang diajarkan ibunya menjadi penguat batinnya. Hal itu pula yang sering membuatnya menjadi segar kembali dan dengan mudah membuat dadi, bahkan saat di dalam bus umum ketika menuju tempat perhelatan adat itu.

MUNGKIN mengkader penerus sastra lisan dadi tak mudah, tapi sekurangnya Masnuna masih memiliki Riagus Ria, yang sekurangnya bisa melestarikan dadi secara tertulis. Untuk itu, setiap kali Masnuna berdadi, Riagus mulai menuliskan syair-syair yang dilantunkannya.

"Belum banyak, namun saya berharap itu dapat menjadi awal yang baik untuk melestarikan dadi karena memang sudah tidak banyak lagi orang yang memiliki dan mampu berbahasa Lampung halus. Saya sendiri masih kesulitan, namun toh orang tetap harus belajar," tutur Agus.

Dadi sendiri sebenarnya memang dapat diungkapkan lewat surat. Jika seseorang rindu kepada kerabatnya di kampung, ia dapat menuliskan dadi itu dan meminta tolong pada orang lain untuk mengantarnya. Balasan surat itu, menurut Agus, juga harus dalam bentuk dadi.

"Namun sayang surat-surat semacam itu kebanyakan sudah hilang. Kebanyakan orang tidak sadar betul dengan pendokumentasian sastra seperti itu. Apalagi kala itu alat tulis sangat terbatas. Saya masih menyimpan satu tulisan tangan ayah saya yang ditulis di selembar kertas bekas pembungkus rokok," tutur Agus.

DI tengah sepinya suasana desa dan dalam segala bentuk kesederhanaannya, Masnuna begitu setia melestarikan dadi, sebuah warisan sastra lisan tingkat tinggi asli Lampung. Masnuna terus melantunkan dadi, meskipun saat ini burung punai dan cara terbangnya-yang menjadi inspirasi baginya-tak lagi mudah ditemui melintas persawahan.

Bersamaan dengan langkanya burung punai, sastra lisan dadi ini pun makin meredup. Kesedihan Masnuna pun makin menjadi. "Mestinya dadi dilantunkan bersahut-sahutan, namun sayang saat ini tidak ada lagi yang mampu menguasainya," keluhnya. (B Josie Susilo Hardianto)

Sumber: Kompas, Kamis, 30 Desember 2004

1 comment:

  1. sangat menarik sekali. apakah saat ini masnuna masih hidup? jika memungkinkan, saya tertarik untuk mendokumentasikan nilai seni yang tersisa ini. salam

    ReplyDelete