DI antara para seniman dan sastrawan Lampung yang hadir dalam perhelatan seni bertajuk "Pertemuan Dua Arus" gagasan Jung Foundation itu, tampak seorang ibu tua duduk di antara para tamu yang datang. Tangannya yang lemah mengayunkan pelan kipas kayu cendana ke tubuhnya. Udara malam tampaknya terasa gerah untuk ibu dua anak tersebut.
Pentas seni yang diselenggarakan Rabu (21/7) malam itu hendak mempertemukan seniman arus modern dengan para seniman arus tradisional. Seniman arus modern diwakili, antara lain, oleh Iswady Pratama, dedengkot teater di Lampung, serta Isbedy Stiawan, cerpenis dan penulis puisi.
Dari arus tradisional, salah satunya diwakili oleh Masnuna, ibu tua yang mengayun pelan kipas kayu cendana.
Masnuna saat ini dikenal sebagai satu-satunya pelantun sastra lisan Lampung yang dikenal dengan dadi. Dadi adalah sebuah bentuk sastra yang pengisahannya dilakukan dengan cara menuturkan. Malam itu, Masnuna, dalam pertemuan dua arus, diminta melantunkan sastra lisan tersebut.
Suaranya tinggi mengalun saat ia menuturkan kalimat demi kalimat dalam tiap bait sastra lisan. Kipas kayu cendana, yang sedari tadi digunakannya mengusir hawa panas, saat melantunkan dadi digunakannya untuk menutup sebagian dari wajahnya. Memang begitulah caranya.
Masnuna mempelajari sastra lisan itu ketika ia masih berusia tujuh tahun. Ia berguru kepada Dalom Muda Sebuway, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tak hanya itu, ibunya, Siti Aminah, pun turut mengasah kemahiran bocah itu dalam melantunkan setiap bait sastra lisan.
Wajahnya berseri dan tangannya lincah bergerak mengiringi penuturannya tentang dadi. Garis keriput penanda usia yang telah senja menjadi tegas mengekspresikan perasaannya saat mengisahkan pengalamannya belajar dan memelihara sastra lisan tersebut agar tetap lestari hingga saat ini.
NIAT Masnuna untuk mempelajari dadi bukan hanya karena darah seni yang diwarisinya. Lebih dari itu, niatnya didorong oleh kenyataan bahwa dadi merupakan karya sastra utama yang hidup dalam masyarakat adat Pubian, salah satu marga di Lampung. Hampir dalam setiap perhelatan masyarakat adat Pubian, dadi tampil sebagai suguhan utama.
Dadi, yang biasanya berisi pantun sindiran, pantun jenaka, dan terutama pantun nasihat, merupakan acara yang ditunggu-tunggu. Namun, tidak semua orang dengan mudah menangkap makna dari setiap bait pantun tersebut sebab dadi menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi. Hal itu pula yang membuat tidak semua orang mampu mempelajarinya.
Dalam keluarga Dalom Muda Sebuway sendiri, sastra lisan ini pun tak hanya dilihat sebagai sebuah wujud kebudayaan. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang sakral.
"Tidak semua orang mampu mempelajarinya sebab bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas tinggi, penuh dengan kiasan yang tidak segera mudah ditangkap arti dan maknanya," tutur Masnuna.
Masnuna, yang kala itu mulai menginjak remaja, melihatnya tidak lagi sebagai hanya sebuah karya sastra tradisional yang perlu dilestarikan. Bagi Masnuna, dadi adalah napasnya. Ia menganggapnya sebagai kisah tentang permenungan dan pengalaman bergulat dengan kehidupan.
"Yang saya lantunkan dalam dadi adalah pengalaman hidup saya sendiri. Apa yang saya lihat, apa yang saya alami, dan apa yang saya rasakan. Itulah semua yang saya ceritakan dalam dadi," tuturnya.
Tak heran jika untuk mempelajarinya ia melakukannya dengan sepenuh hati. Ia berpuasa selama tujuh hari dan melatih suaranya dengan cara menenggelamkan wajahnya ke dalam air sambil membaca doa.
Dari olah rasa dan raga itu, Masnuna mampu melantunkan tiap kalimat dalam bait-bait dadi dalam satu untaian napas yang panjang, bahkan dalam nada-nada tinggi. Ia mengemukakan, karena itulah mengapa dadi tidak mudah dipelajari, apalagi banyak anak muda saat ini yang tidak lagi menguasai bahasa Lampung tingkat tinggi.
Sayang, dadi, yang konon telah ada sebelum masa Hindu di Lampung, kini nyaris punah. Dari dua anaknya, bakat seni yang mengalir dalam buluh nadi Masnuna kini dialirkan kepada salah satu dari mereka, yaitu Abdul Somad, seorang penghulu yang tinggal di Tanjung Kemala, Kabupaten Lampung Tengah.
MASNUNA, yang lahir pada tahun 1932 di Kampung Segala Mider Pubian, Lampung Tengah, menikah dengan Abdul Hasan, seorang pemuda asal Tanjung Kemala, Lampung Tengah, pada tahun 1955. Pernikahan tidak menghalangi upayanya untuk memelihara sastra lisan Lampung. Bahkan, ia menjadi guru dadi, pisaan, dan kias yang juga merupakan bentuk-bentuk sastra lisan Lampung kuno.
Kepiawaian Masnuna melantunkan dadi mengundang minat seorang mahasiswa asal Amerika Serikat, Tim Smith, ketika mendalami seluk-beluk masyarakat Pubian Dakhak. Tentang hal itu, seorang seniman di Lampung berkomentar, orang asing pun mampu memperoleh gelar sarjana strata dua karena Masnuna. Akan tetapi sayang, orang kita sendiri kurang menghargai empu sastra itu.
Saat ini memang ada upaya dari Pemerintah Provinsi Lampung untuk mendokumentasikan sastra lisan seperti dadi, dan tentu saja di dalamnya terkait sosok kesenimanan Masnuna. Namun, menurut para seniman muda Lampung, sebaiknya pemerintah juga memberi perhatian dan penghargaan kepada Masnuna.
Menurut Masnuna, yang membuat dirinya tetap bertahan dan dengan rela hati memelihara dadi dan sastra lisan Lampung lainnya adalah kecintaannya terhadap sastra itu sendiri. "Karena di dalamnya terkandung makna yang sangat dalam. Makna, itulah dadi," tegasnya.
Oleh karena itu, ia pun rela tampil dalam berbagai acara seni seperti Kongres Cerpen Indonesia di Lampung, Lampung Arts Festival II, dan Ragom Budaya Lampung, meski untuk berjalan saja ia harus dibantu.
Jalannya tertatih-tatih karena usia yang telah menginjak 72 tahun, namun Masnuna tetap setia untuk melantunkan dadi. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Juli 2004
No comments:
Post a Comment