February 12, 2007

Pentas Teater: Realitas Kehidupan dalam Sebuah Jam Dinding

BANDAR LAMPUNG--Sebuah ruang tamu kusam, hanya satu kursi tua dengan jam dinding menggantung. Hampir tidak ada hiasan apa pun di ruang kebanggaan keluarga Mala tersebut.

Namun, di tempat itulah Mala dan suaminya, Robert, serta anaknya melewatkan ulang tahun perkawinan perak atau ulang tahun perkawinan yang ke-25 layaknya orang borjuis. Sebuh kue tart buatan bakery lengkap dengan 25 lilin warna-warni dan sebotol anggur impor menghiasi meja usang tersebut.

Di ruang tamu itulah segala kenangan tentang masa lalu kembali terungkap antara Robert dan Mala yang sudah 25 tahun menikah. Namun, selama pernikahan yang mencapai seperempat abad tersebut, mereka hampir tidak memiliki harta apa pun kecuali sebuah jam dinding.

Kemudian, demi merayakan hari ulang tahun perkawinan ala orang kaya, Mala merelakan rambutnya yang indah ditukar dengan sepotong kue dan sebotol anggur. Sebab, uang pemberian suaminya hanya cukup untuk membeli sebongkah es batu dan sirop murahan.

"Aku tidak ingin ulang tahun perkawinan kita hanya diisi sekendi air putih. Sebab itu, aku menjual rambutku untuk ditukar dengan kue dan anggur," kata Mala.

Demikian sedikit penggalan kisah berjudul "Jam Dinding yang Berdetak" karya Nano Riantiarno yang dibawakan Teater Nol Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan, Bandar Lampung. Pementasan yang disutradarai Eko tersebut berlangsung Sabtu (10-2) di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Unila.

Kegiatan itu merupakan rangkaian Hajatan Teater Lampung. Kegiatan ini menghadirkan beberapa kelompok teater dari berbagai kampus dan sekolah di Lampung.

"Jam Dinding yang Berdetak" terasa sangat dekat dengan keseharian masyarakat kita. Karya pendiri Teater Koma tersebut menggambarkan kepedihan sebagian besar bangsa yang terus-menerus hidup susah meskipun sudah puluhan tahun berjuang.

Namun, pembawaan beberapa karakter oleh Tater Nol di panggung tidak total. Akibatnya, ada beberapa dialog yang kadang terpeleset dan diulang. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan dialog pada beberapa tokoh masih seperti hapalan. Selain itu, keriuhan penonton juga mengurangi konsentrasi pemain dan penonton yang asyik menyimak. n UNI/K-2

Sumber: Lampung Post, Senin, 12 Februari 2007

No comments:

Post a Comment