April 13, 2014

[Lampung Tumbai] Kembali ke Lampung

Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda


BEBERAPA tahun setelah menerbitkan laporan topografi dan geografi Lampung pada 1859, F.G. Steck menerbitkan laporan tambahannya pada 1862. Ia membuat penelitian ulangan dengan fokus pada empat marga, yaitu Waay Orang, Radja Bassa, Datoeran, dan Negara Ratoe. Beberapa hal baru ditemuinya.

Gunung Radja Bassa paling mudah didaki melalui Taman dan Kalau, yang terdapat di sisi sebelah utaranya. Jalan-jalan setapak menuju puncak gunung yang melewati dari kedua tempat itu menyatu tidak jauh dari Toelong Kring. Jalan itu lalu melewati tempat yang dulu dikenal sebagai  Marambong.


Di tempat ini, tidak tampak sama sekali jejak-jejak peradaban. Bila aliran Sungai Toelong Kring diikuti, lama-kelamaan jalan setapak yang diikuti makin terjal sampai akhirnya berakhir di sebuah dataran kecil, di sebelah timur salah satu puncak Gunung Radja Bassa. Di sinilah dulu, tempat Radin Inten membuat perkemahannya, Katimbang.

Sebelum sampai di tempat ini, jalan sempit di antara dua tebing yang curam harus dilalui lebih dulu. Jalan itu bersisian dengan jurang-jurang yang dalam di kiri-kanannya. Di sungai di dasar jurang, air dari puncak gunung berbuih-buih tanpa henti. Pada 1856, ada benteng pertahanan di tebing-tebing itu. Yang pertama dinamakan Gala Tanah dan yang kedua disebut Pomattang Sentok.

Dari Peningahan sebuah jalan setapak melewati Umbul Repon, Doerian, dan Pintjer Langkar menuju Katimbang. Jalan itu menjajari dinding gunung yang menjadi batas antara Sungai Peningahan dan Toeba-mattie.

Dulu, tidak jauh dari Katimbang, di jalan setapak itu—di tempat yang paling terjal dan paling sempit—ada benteng pertahanan yang dinamai Saley Taboean.
Ketika F.G. Steck menjelajahi lagi daerah itu, banyak jalan setapak yang bercabang-cabang dari Kalau dan Peningahan sampai ke Katimbang. Di sini, terdapat jalan uang menuju ke puncak-puncak Radja Bassa. Puncak yang palung utara, Gunun Danau, adalah puncaknya yang tertinggi.

Dari puncak itu, sebuah jalan menapak ke arah Ketjape melalui Kakaret dan Waay. Jalan setapak yang kedua memanjang di antara puncak-puncak Gunung Toetong dan Gunung Sepan, melalui Harvi Brah menuju Radja Bassa. Sebelum sampai di Harvi Brah, jalan itu bercabang menuju Tjantie Umbul Ballak.

Konon, keempat puncak Gunung Radja Bassa dahulu kala merupakan mulut kawah gunung berapi itu. Suatu saat—entah karena apa—dinding-dinding kawah itu runtuh dan dan terpisah-pisah. Lama-kelamaan, hutan dan semak mulai menghijau di atasnya sehingga terbentuklah empat puncak itu.
Hanya satu yang tetap gundul, yaitu puncak Gunung Damai. Dari tempat ini, terhampar pemandangan indah tanpa halangan. Bagian sebelah baratnya adalah jurang sedalam 150 m. Di dasarnya terdapat sebuah danau yang dulunya kawah. Tidak ada ikan yang berenang-renang di danau ini. Menurut cerita, saking dalamnya, tidak ada sesiapa yang dapat mengukur dalamnya danau itu.

Pantai timur Lampung, mulai dari Kampong Soemoer sampai Umbul Padagoengan tidak dapat dilalui. Sebetulnya, dari tempat ini orang dapat menyusuri pantai sampai ke tempat yang dulunya dikenal sebagai Umbul Kali Boessoek. Setelah umbul itu, pantai itu pun menjadi rawa-rawa dan tidak mungkin lagi dilalui. Sungai Ballak, yang akhirnya menyatu dengan Sungai Batoe Payong disebut juga dengan nama Waay Pisang.

Di dinding utara Gunung Radja Bassa, kira-kira 3,7 km dari Katjape, terdapat sumber air panas yang disebut Waay Belirang Genaamd. Di pantai di sebelah selatan Radja Bassa terdapat mata air panas serupa, di antara Sawatjou dan Ngamboes.

Dari Blantong, jalan itu terus memanjang ke Waay Orang. Jalan itu, yang dulunya hanya berupa jalan setapak, pada kunjungan Steck yang kedua, sudah menjadi jalan militer yang teramat baik. Jalan itu mengelilingi seluruh lingkar gunung dan melewati Tjantie, Katimbang, Radja Bassa, Palaboe Panangoengan, Peningahan, Tjampakka, dan Kalau.

Sebuah jalan penghubung dibuat dari Djattie menuju Peningahan. Dari  Tjampakka dibuatkan jalan yang dapat dilalui pedati. Jalan itu berujung di Ketapang di pantai timur.

Jalan-jalan lainnya, yang menghubungkan berbagai kampung dan umbul, betul-betul masih jalan setapak. Jalan yang menuju ke bagian utara Sungai Sekampong bahkan tenggelam pada waktu musim hujan. Tentunya, jalan itu tidak dapat digunakan oleh pasukan militer Belanda.

Ketika menelusuri tepian Sungai Pisang, F.G. Steck menyadari tepian itu baik sekali bila dibangun menjadi jalan menuju Assahan. Pertahanan (rakyat) yang dulu ada di daerah ini, seperti halnya Katimbang, rupanya merupakan persembunyian daerah Kenali. Jalan masuk ke daerah pertahanan itu terdapat di tebing-tebing yang paling terjal. Jalan untuk masuk ke daerah itu awalnya diberi berbagai penghalang, yang tidak tampak lagi ketika Steck datang untuk kedua kalinya.

Dalam tulisannya yang pertama, lelaki Belanda itu menceritakan untuk masuk ke daerah itu, orang terpaksa menggunakan tangga-tangga dari tali-temali. Ternyata, itu tidak benar. Tidak ada tempat yang perlu dipanjat dengan menggunakan tangga tali.

Ketika kembali lagi di Lampung, di Teluk Lampung telah berdiri kampung baru, yaitu Kali-Anda. Kampung ini, yang ditinggali sepenuhnya oleh pedagang-pedagang asing, telah menjadi salah satu pusat perdagangan di daerah itu. Lokasi Ketapan di pantai timur juga sangat strategis. Kampung itu bahkan dapat berkembang menjadi pusat perdagangan utama dari keempat marga di Lampung, bila saja dibuatkan sebuah jalan pedati ke sana. n

Pustaka Acuan:
F.G. Steck. Vervolg van de Topographische en geographische beschrijving der lampongsche distrikten dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. 1862.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 April 2014

No comments:

Post a Comment