March 2, 2014

[Lampung Tumbai] Berperahu ke Hulu dan ke Hilir

Frieda Amran
Penyuka sejarah, bermukim di Belanda

ORANG yang bepergian melintas Provinsi Lampung pada masa kini akan sulit membayangkan lingkungan alam yang digambarkan oleh F.G. Steck dalam laporan yang dibuatnya untuk kepentingan Infanteri KNIL pada dekade-dekade pertama abad ke-19.

Teluk Lampung, 1932 (KITLV, Leiden)
Waktu itu, sebagian besar daerah di Lampung belum terjamahkan tangan manusia. Orang yang datang ke Lampung datang dengan kapal layar dan berlabuh di pantai-pantai yang tak semuanya cocok untuk tempat kapal besar membuang sauh.


Akan tetapi, suatu perjalanan (apakah untuk urusan militer, perdagangan, misi keagamaan, ataupun pelancongan) tidak berhenti di daerah tepi-tepi pantai saja. Perjalanan ke pedalaman Lampung terutama dilakukan melalui pelayaran di sungai-sungai. Namun, bagi orang yang tidak mengenal wilayah yang dihadapinya, banyak pula kendala dan bahaya yang mengancam keselamatan perjalanan.

Sungai-sungai di Lampung bermuara di tiga tempat, yaitu di Teluk Semaka, di Teluk Lampung, dan Laut Jawa. Sungai-sungai yang bermuara di Teluk Semaka bersumber dari mata air di di antara Bukit Barisan dan barisan perbukitan mulai dari Gunung Abung.

Yang bermuara di Teluk Lampung bersumber dari mata air di perbukitan di sebelah barat Rajabasa dan Lubuk Iti. Kemudian, sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa bersumber dari mata air di di sebelah barat dan selatan Gunung Abung dan sebelah timur Gunung Rajabasa.

Berlalu-lintas melalui sungai tidak sederhana. Yang tidak mengenal lingkungan alam setempat akan terjebak kesulitan. Beberapa sungai biasa mendadak naik pasang, terutama yang berada di dekat sumber mata air asalnya. Pada waktu itu, bahkan jalan-jalan setapak yang ada di dekatnya pun akan terendam air.

Sungai-sungai itu pecah dan beranak berkali-kali; tidak semuanya dapat dilayari. Sungai-sungai kecil terutama digunakan oleh penduduk setempat untuk mengairi lahan pertaniannya. Beberapa sungai seperti Sungai Semaka memang dapat dilayari bila nakhoda kapal disertai oleh seorang pemandu sungai yang baik, supaya tidak terus-menerus terhambat batang-batang pohon yang tumbang, pulau-pulau terapung, dan bebatuan di dasar sungai.

Di daerah Mesuji, mata air sungai itu bersumber di Bukit Matawalu. Tak jauh dari sumbernya, sungai itu mengalir ke arah timur dibatasi tepian yang curam. Di daerah Umbul Mesuji, sungai itu berbelok ke arah utara dan kemudian menyatu dengan Sungai Batanghari.

Pasang-surut sungai itu dengan mudah diamati dengan mata telanjang karena perbedaan permukaannya terkadang mencapai hampir setengah meter. Sungai ini sudah dapat dilayari oleh kapal-kapal besar mulai dari daerah Umbul Mesuji itu.

Semakin lama, sungai itu menjadi semakin dalam dan lebar. Tepiannya yang curam menjadi datar. Lingkungan di sekitarnya berubah penuh dengan hutan nipah dan kayu api-api. Waktu musim hujan, daerah ini membanjir sampai jauh ke pedalaman. Pada waktu itu, daerah ini tak mungkin dijadikan tempat untuk mendarat walaupun bukit-bukit pasir di muaranya dapat dilewati dengan mudah, demikian kata F.G. Steck.

Di dekat Umbul Tunggal Jawa, Sungai Mesuji menyatu dengan Sungai Batanghari yang bercabang lagi dengan Sungai Itam dan Sungai Komering. Sungai-sungai inilah yang dilayari oleh perahu-perahu dari Mesuji menuju Palembang. Pernahkah ada pembaca yang mencoba rute perjalanan sungai ini? Pada pertengahan abad ke-19, diperlukan waktu 5—8 hari untuk menjalaninya.

Sungai yang tak mungkin dilupakan di Lampung adalah Sungai Tulangbawang, yang terbesar di seluruh daerah itu. Sungai itu terbentuk oleh menyatunya air dari empat buah sungai yang lebih kecil: Sungai Umpu dan Sungai Besai (yang menjadi Wai Kanan) serta Sungai Sungkai dan Sungai Rarem (yang menjadi Wai Kiri).

Di beberapa tempat, di bagian yang dangkal, hanya perahu kecil dan rakit yang dapat lalu. Umumnya Sungai Tulangbawang dapat dilayari oleh perahu 2—4 koyang. Pada waktu musim hujan dan ketika air sedang pasang, perahu dan kapal 10 koyang pun dengan tenang dapat berlayar di atasnya.

Apakah itu koyang? Istilah ini tidak ada lagi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan tak ada dalam kamus bahasa Belanda. Koyang adalah satuan berat yang biasa diterapkan pada muatan perahu atau kapal. Satu koyang sama dengan 125 kg.

Jadi, kapal 10 koyang mampu mengangkut 1.250kg barang. Bila demikian, sungai yang dapat dilalui oleh kapal 10 koyang harus cukup dalam supaya kapal itu tidak terdampar di dasarnya. Menurut perkiraan F.G. Steck, sampai Menggala sungai itu bahkan cukup dalam untuk dilalui oleh kapal uap milik Hindia-Belanda.

Kedalaman Sungai Tulangbawang tidak serta-merta berarti bahwa sungai itu aman dilalui kapal kecil maupun besar. Sungai itu melalui lingkungan alam yang indah di mata orang awam, tetapi berbahaya bagi nakhoda dan para pendayung.

Aliran sungai itu tiba-tiba menderas menghantam bebatuan besar dan kemudian mendadak jatuh berbuih-buih sebagai air terjun. Penduduk yang tinggal di daerah pebukitan di sekitarnya membawa hasil ramuan hutan untuk dijual di Asahan dengan rakit-rakit yang terbuat dari bambu.

Bukan main, F.G. Steck berdecak kagum melihat kepandaian nakhodanya mengemudikan rakit-rakit bermuatan berat itu. Walau perairan yang dilalui berbahaya, hampir tak pernah terjadi kecelakaan.

Suatu hal yang menarik adalah banyaknya mata air panas di Lampung. F.G. Steck menandai tempat-tempat dengan nama “Ilahan” karena di situlah ada mata air panas dengan sungai yang bernama sama. Di Kalianda, ada sumber air panas seperti itu.

Di beberapa tempat, seseorang tak mungkin merendam kaki telanjang di air panas itu, juga tidak di atas bebatuan yang di dalam sumber air panas itu. Sebutir telur yang diletakkan di dalam air itu akan matang dimasak walau tidak sampai menjadi keras. Penduduk di sekitar Kalianda mandi-mandi dan berendam di sana untuk mengobati sifilis dan penyakit kulit lainnya. 

Di antara Dusun Banjarmasin dan Belalau terdapat sumber garam alami. F.G. Steck mencatat hal ini baik-baik karena garam merupakan komoditas yang sangat mahal pada waktu itu. Sumber garam yang terkenal adalah yang terdapat di dekat Sungai Umpu. Air sungai itu terasa asin payau di lidah. Bebatuan yang muncul di permukaan airnya tampak berwarna keputihan oleh kristal-kristal garam yang melapisinya.

Penduduk daerah itu menggunakan garam itu untuk membumbui masakan mereka. Itu pun dilakukan oleh F.G. Steck dan rombongannya. Garam itu tidak hanya terasa asin, tetapi juga baik untuk mengobati penyakit gondongan. n

Acuan pustaka:
F.G. Steck (Kapten Infanteri). Topographische en Geographische Beschrijving des Lampongsche Distrikten.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Maret 2014

No comments:

Post a Comment