November 9, 2008

Hiburan: Perlahan-Lahan, Bioskop di Lampung Bertumbangan

BANDAR LAMPUNG--Masa keemasan bisnis bioskop di Lampung selama dua dekade dari 1980-an hingga akhir 1990-an tinggal kenangan. Setelah Bioskop 21 di eks Artomoro tutup buku, kini yang tersisa bisa dihitung dengan jari sebelah tangan, dan salah satunya di Plaza Bambu Kuning. Bioskop ini milik almarhum Yanto yang kini dikelola sang istri.

Sepeninggal Bioskop 21, masyarakat Lampung gigit jari jika ada film terbaru. Laskar Pelangi yang juga ditunggu warga Lampung tidak bisa ditonton segera. Terlebih saat film Ketika Cinta Bertasbih nanti diputar, kita pun tidak bisa segera menikmati.

Pencinta film di Lampung baru bisa menikmati film baru tersebut dua bulan setelah pemutaran perdana. Menunggu film dalam bentuk VCD dan DVD orisinal lebih lama lagi, sekitar 3 hingga 6 bulan. Jika ingin cepat, terpaksa berburu VCD atau DVD bajakan. Tentunya dengan kualitas ala kadarnya dan tidak menjamin. Miris kan! Atau para pencinta film terpaksa ke luar kota agar tidak ketinggalan film baru, misal ke Jakarta atau Palembang.

Salah seorang pencinta film, Ulung, menyesalkan tidak bisa menikmati film terbaru di Lampung. "Akhirnya kami kok seperti kuper saja belum menonton film terbaru," ujar Ulung yang juga aktif di komunitas film Escord Community.

Ulung mengaku terpaksa menonton film Laskar Pelangi di Jakarta saat kebetulan ada kegiatan. Di bioskop tersebut, ia berjumpa dengan beberapa warga Lampung. Demikian juga Tyo, karyawan swasta, menonton Laskar Pelangi dan Cinta Lokasi dengan pemeran Tora Sudiro harus bertolak ke Jakarta. Andi, siswa SMAN 10 Bandar Lampung, mengatakan jika telat nonton film terbaru menjadi tidak up to date.

Para pencinta film tersebut mendambakan bisa kembali menikmati film terbaru di bioskop. Tentunya dengan suasana yang nyaman dan kualitas pemutaran film bagus. "Di bioskop penonton tidak hanya ingin mengapresiasikan film, juga mencari hiburan dengan kenyamanan. Itulah yang hilang kini," ujar Dede S. Wijaya, pengamat film Lampung.

Tempo dahulu era 1980 hingga 1990, penonton film di bioskop selalu membeludak. Didukung dengan semangat produksi perfilman di Indonesia setahun bisa ada 100 film. Sebelum dan setelah hadirnya Bioskop 21, Lampung banyak memiliki bioskop, yaitu President yang kini Plaza Lotus. Bioskop Enggal yang kini Rumah Makan Aka di Jalan Raden Intan, Bioskop Raya dan Sederhana yang kini jadi Ramayana. Bioskop King kini Gedung Juang. Selain itu dua bioskop di Way Halim, kini dijadikan tempat usaha Chamart dan Columbia. Dua bioskop di Kemiling, satu di Panjang, satu di Pasar Cimeng telah berganti menjadi Indomart. Jauh sebelum itu, pernah juga berkibar Bioskop Cahaya, Kadora, Rajawali, dan Sinar.

Saat itu, banyak pengusaha bioskop. Di antaranya Yanto, kala itu pemilik Bioskop President yang tak pernah sepi penonton. Dia juga pemilik bioskop di kawasan Way Halim, Panjang, dan Cimeng. Saat ini, masih ada bioskopnya yang dipertahankan. Dan 3 bioskop itulah yang dimiliki Lampung. Sementara pengusaha lain, lebih memilih mengalihfungsikan gedung menjadi ruko atau bisnis retail.

Kolapnya Bisnis Bioskop

Seiring waktu, kondisi itu memang tak bisa dielakkan. Tyo sebagai peminat film memandang bioskop tak marak lagi sejak terjadi kelesuan produksi film Indonesia era 1990-an. Diikuti dengan hadirnya televisi swasta dan film dalam kepingan VCD dan DVD. "Makin ke sini krisis perekonomian melanda Indonesia, yang kemudian membuat orang berpikir untuk nonton di bioskop. Akhirnya, mereka yang tetap haus tontonan cukup puas dengan tayangan televisi atau mencari DVD bajakan," kata Tyo.

Meskipun produksi film kini sudah kembali menggeliat, dipelopori film Ada Apa dengan Cinta, toh tetap saja animo masyarakat nonton di bioskop tak sebesar di era 1980-an. Kenyataannya, banyak bioskop gulung tikar. Tampaknya industri perfilman memang tidak bisa terlepas dari banyak hal, selera dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Usaha bioskop bagai hidup enggan mati tak mau mulai terasa sejak krisis moneter disertai kekisruhan di berbagai tempat pada tahun 1998. "Jam tayang film bioskop ketika itu terpaksa dikurangi. Kami tidak memutar malam hari, karena kawatir dengan situasi keamanan saat itu. Orang pun enggan keluar rumah malam hari," aku Afung, pimpinan Bioskop Kim Jaya, Sabtu (1-11).

Kim Jaya dan bioskop sekelasnya pun tidak berani menetapkan harga karcis mahal. Meskipun BBM dan harga barang lain naik, karcis hanya beranjak Rp500 dari harga sebelumnya Rp7.500. "Sekarang masyarakat tinggal memilih, nonton di Bioskop 21 dengan harga karcis mahal atau di bioskop seperti ini dengan setengah harga," ujar Afung.

Tampaknya itu sudah konsekuensi dari persaingan usaha bioskop. Bioskop 21 berani memasang harga karcis mahal, karena hanya bioskop inilah yang berhak memutar film baru. Film baru yang disukai bisa bertahan 2 hingga 3 bulan di bioskop ini. Setelah itu baru giliran bioskop lainnya.

Sementara biaya operasional bioskop sangat tinggi, terutama untuk kebutuhan solar. "Per hari kami membutuhkan 150 liter untuk menghidupkan diesel dari pukul 13.00--21.00. Sekarang solar sudah Rp5.500. Listrik PLN hanya mampu untuk penerangan. Untuk menjalankan mesin film butuh tambahan dari diesel solar. Belum lagi gaji karyawan," paparnya. Kini pihaknya pun tidak berani lagi menerapkan sistem sewa film kepada pemilik film di Jakarta, tetapi dengan bagi hasil. Sistem sewa sangat mahal, bisa mencapai Rp20 juta untuk satu film baru. "Keuntungan sangat tipis. Kami hanya mencoba bertahan. Kasihan kan karyawan yang lama jika ini ditutup. Jika ditutup dan alih fungsi pun sangat susah. Karena peruntukkannya sudah sebagai bangunan bioskop. Kalau diubah harus pugar habis, sayang," ujarnya.

Bioskop ini memiliki 3 theater dengan 3 kali waktu pemutaran, pukul 13.30, 16.30 dan 17.30. Saat film bagus, penonton 1 theater rata-rata 50 hingga 70 orang. Tetapi, sepeninggal Bioskop 21 bisa mencapai 100 orang. Di Plaza Bambukunning dan Metro, masing-masing memiliki 2 studio dengan 2 kali pemutaran. Kini usaha bioskop menurut, Afung tergantung pada bagus tidaknya film dan jumlah penonton. "Jika semuanya baik, bioskop pun masih tetap ada. Di Lampung masih termasuk bagus, sedangkan di kota lain bioskop sudah banyak yang bangkrut."

Dede S. Wijaya mengatakan bioskop menjadi langka di Lampung akibat dari monopoli Bioskop 21. Film-film terbaru pasti terlebih dulu ditayangkan di Bioskop 21 satu hingga 2 bulan, bahkan lebih. Setelah itu, baru bioskop di luar Bioskop 21 dapat menayangkan.

Akibatnya, jika di suatu wilayah tak ada Bioskop 21, tak dapat menikmati film terbaru. Sedangkan produksi dan distribusi VCD dan DVD untuk film Indonesia terbaru pun harus menunggu lama, sekitar 3--6 bulan. Kondisi demikian mengakibatkan ketergantungan peminat film terhadap Bioskop 21.

Bioskop-bioskop di luar Bioskop 21 akhirnya hanya menayangkan film lawas, ataupun film-film yang tidak ditayangkan Bioskop 21. Penontonnya pun hanya dari orang-orang tertentu saja, yang memang memiliki selera terhadap film yang sedang diputar. Dede mengungkapkan pengalamannya ketika mencoba nonton di sebuah bioskop di Telukbetung. "Selain hanya memutar film lawas, suasana juga kurang nyaman dan banyak pasangan yang memanfaatkan untuk sekadar pacaran," keluhnya.

Bioskop Alternatif

Keinginan dari komunitas film di Lampung, akibat sedikitnya bioskop di Lampung adalah mendirikan bioskop alternatif. Namun, sarana ini akhirnya tidak bisa disebut bioskop. Karena sudah ada kriteria peruntukkan tersendiri yang ditetapkan pemerintah. Akhirnya, home theater menjadi alternatif yang digagas beberapa komunitas.

Saat ini, baru ada satu di Bandar Lampung, yaitu D'Cinemax di Jalan Diponegoro No. 3, Telukbetung Utara. Peminatnya pun cukup banyak, hingga terpaksa antri untuk mendapat tiket seharga Rp75 ribu untuk 6 orang per sekali pemutaran film. Penonton bisa memilih sendiri film yang akan diputar, seolah library-nya film, ujar Dede salah satu pendirinya. Bisa film industri ataupun film produksi komunitas indie dari berbagai daerah. Home Theatre dilengkapi layar berukuran 4 x 6 meter persegi dan menawarkan suasana santai serta fasilitas welcome drink dan snack.

Sementara itu, penggemar film di pelosok daerah yang tak memiliki bioskop, cukup puas dengan kehadiran layar tancap gratisan. Layar tancap ini menghibur kala ada pemilik acara hajatan menanggap mereka. Masyarakat lewat pemilik acara hajatan pun bisa memesan film yang diinginkan. Pengusaha layar tancap Hi. Moh. Amin yang sudah belasan tahun masih berjaya, mengatakan order lebih banyak berasal dari daerah pelosok, sedangkan dari kota sangat jarang.

Layar tancap ini memiliki konsumen tersendiri dengan selera film produksi tahun 1980-an. Seperti film laga Berry Prima, film drama Rhoma Irama ataupun horor dengan bintang Suzanna. "Yang memesan film terbaru seperti Nagabonar 2, Ayat-Ayat Cinta memang ada, tetapi paling satu dua. Yang menonton pun tidak membludak dibanding ketika film lama diputar," ujar pemilik usaha Tito Film, berkantor di Jalan Pramuka Bandar Lampung.

Permintaan layar tancap sangat banyak ketika berbarengan dengan masa panen di daerah. Dalam seminggu bisa hingga 10 kali ditanggap. Namun, kini usaha layar tancap pun banyak yang kembang kempis seperti halnya bioskop. "Ya mungkin karena engga ada lagi yang nanggap. Kedua, sekarang layar tancap pun menggunakan LCD yang harganya mahal. Tidak semua pemilik layar tancap siap mengeluarkan modal banyak, sedangkan yang nanggap sedikit. Dan memang hanya terbatas dari daerah," ujarnya.

Amin mengatakan kelesuan usaha layar tancap dan bioskop mulai terasa di tahun 1990-an. Ketika itu memang film Indonesia sedang terpuruk karena tidak ada produksinya. "Jadi, percuma saja ada layar tancap dan bioskop, tetapi tak ada filmnya," tandasnya. n DWI WAHYU HANDAYANI/U-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 November 2008

2 comments:

  1. Lagi mau buat film nih :)
    Buat di daerah Lampung ...
    Ada yg bisa bantu pendanaan ???

    ReplyDelete
  2. dimana saya bisa memperoleh alamat pengusaha layar tancap di lampung?? ada yang bisa membantu?? thanks

    ReplyDelete