KETIKA menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, Iswadi Pratama mengajak kita memasuki wilayah yang makin asing itu. Menarik kita memasuki kewajaran manusia.
Ketika menjadi wajar adalah sesuatu yang langka, sederhana adalah hal yang tidak biasa, biasa-biasa saja dianggap kuno bahkan purba; di antara hiruk-pikuk dan masalah yang (dianggap) besar, buku setebal 95 halaman yang memuat 49 sajak karya Iswadi Pratama--sastrawan Lampung--mengajak pembaca bening sejenak mendengarkan Gema Secuil Batu (GSB).
Puisi, sebagaimana karya seni lainnya, mengingatkan kembali kita pada kemanusiaan kita, pada kewajaran kita sebagai manusia: Yang wajar menangis apabila sedih, yang wajar marah bila terhina, yang wajar bahagia bila jatuh cinta, yang wajar murung bila rindu, yang wajar sakit bila lelah.
Fungsi ini lebih disebabkan puisi sebagaimana karya seni lainnya juga diciptakan manusia, yang tentu saja takkan terlepas oleh hal-hal yang saya sebut sebagai kewajaran itu. Pencipta puisi atau lebih akrab disapa penyair, tentu (sudah pasti) juga merasakan emosi-emosi universal semacam bahagia, sedih, murung, marah, dan kerabatnya.
Yang membedakan penyair dengan yang bukan penyair adalah kemampuan menghayati lalu mengolah emosi-emosi yang terlahir dari berbagai peristiwa yang dialami sepanjang hidup, menjadi karya yang kemudian dinamakan puisi. T. S. Elliot dalam esai Tradition and Individu Talent mengemukakan, "Bersyair bukan melepaskan emosi, tetapi pelarian dari emosi. Bukan pernyataan kepribadian tetapi pelarian dari kepribadian. Maka dari itu, hanya mereka yang mempunyai kepribadian dan emosi tahu apa artinya melarikan diri dari keduanya."
***
Dari 49 sajak Iswadi Pratama yang terangkum dalam Gema Secuil Batu, pembaca diajak kembali menjadi manusia. Makhluk yang mampu menghayati luruhan helai-helai hujan, memiliki sesuatu yang berharga untuk dikenang.
"Bertahun kau susun kaleng-kaleng itu/di ruang berjelaga dan lantai kelabu/ ketika kecil aku sering mengambil penganan/ yang kau susun di dalamnya setiap malam// sampai kini kaleng-kaleng itu masih di sana/ memberikan perasaan sedih dan gembira (kenangan, hlm. 31)
Saya tidak begitu yakin, apakah kini orang-orang yang katanya hidup dalam kemodernan masih leluasa memiliki perasaannya. Dalam dunia yang teramat penuh dengan basa-basi dan tipu muslihat ini, setiap orang seperti diharuskan memanipulasi perasaan. Tidak boleh menangis bila sedih, tidak boleh marah bila dihina, dilarang memaki bila kesal, dilarang terbahak-bahak bila bahagia. Kita dimestikan tersenyum pada semua orang, kita diharuskan terlihat bijak bestari kepada semua manusia. Benarkah itu kita? Siapa yang telah membuat kita tidak leluasa?
ia tak pernah sedikit bersabar untuk menangis/atau bergembira/untuk mengalami atau membiarkan sesuatu/singgah dalam dirinya/sebab, ia sedang merindukan apa yang tak ada (Tentang seorang yang tergesa-gesa, hlm. 43)
Sajak-sajak dalam Gema Secuil Batu jujur dan bersahaja sebagai dirinya. Sebagai penyair yang telah mencipta, Iswadi terlepas dari hasrat bermewah-mewah kata (hal yang begitu menggejala pada penyair Indonesia belakangan ini), juga keinginan memakaikan make up dan aksesori pada puisi-puisi yang ditulisnya selama 1993--2006. Hal ini membuktikan bukan berapa banyak kata-kata ajaib menempel pada puisi yang membuat sebuah puisi menjadi karya yang hidup dalam hati pembaca, melainkan seberapa ajaib sang penyair mampu mengolah kata-kata menjadi puisi yang mampu mencapai dasar hati dan ingatan pembaca.
Namun, keajaiban mengolah kata-kata saja tidak cukup. Tanpa penghayatan dan perenungan yang jujur dan sublim, puisi sang penyair tak ubahnya gelembung-gelembung sabun colek saja.
Eliot menyatakan jiwa penyair yang matang berbeda dengan jiwa penyair yang belum matang. Jiwa penyair yang matang merupakan medium yang telah dihaluskan, disempurnakan; perasaan-perasaan yang khas dan beragam bebas mencari kombinasi-kombinasi baru. Kutipan sajak berjudul Asmara saya jadikan contoh penilaian terhadap jiwa sang penggubahnya:
dan aku tahu/yang kubuang takkan kau pungut/yang kusimpan tak mungkin kau minta/kita telah saling memasuki dan membentuk sebuah dunia/tapi kita tak tahu di mana awal akhirnya//dan setelah hujan di minggu lengas itu/semua yang tiba bukan yang kita tunggu/semua yang kita tunggu remuk di kaki waktu (Asmara, hlm. 62)
Kalimat-kalimat yang mengandung "kesadaran" seperti kalimat dalam sajak Asmara tidak akan dapat ditulis penyair yang tidak benar-benar menghayati dan merenungi persoalan. Susunan kata-kata "biasa" yang digubah menjadi barisan kalimat-kalimat sarat makna tidak akan dapat tercipta bila mengandalkan keterampilan mengutak-atik kata tanpa penjiwaan baik terhadap persoalan yang ditulis maupun bagaimana menuliskan.
***
Pada pengantar penyair dituliskan bahwa proses sang penyair menulis puisi seperti melempar secuil batu dalam kolam. Persamaan ini menggiring saya berpikir bahwa puisi adalah secuil batu yang dilemparkan ke kolam. Ya, hanya batu yang sungguh batu yang akan sampai ke dasar kolam.
Ia, sang batu itu, akan meninggalkan riak di permukaan meski tubuhnya telah sampai di kedasaran. Batu disebut batu karena ia padat, keras, dan utuh. Pasir atau tanah yang digumpalkan hingga menyerupai batu, lalu dilontarkan ke dalam kolam, juga akan meninggalkan riak, tetapi tubuhnya tidak akan bisa mencapai dasar kolam sebagai sebuah keutuhan.
Ini akan berbeda bila yang dilemparkan ke kolam adalah batu yang sebenar-benar batu. Meski pun secuil, sebutir kerikil akan sampai ke dasar kolam. Keutuhan membuatnya sampai ke tujuan. Ke dasar kolam.
Apabila puisi diibaratkan batu yang dilemparkan ke dasar kolam, maka jelas hanya keutuhannya sebagai puisi yang akan membawanya sampai ke tujuannya, yaitu menjadi puisi. Keutuhan dalam sebuah puisi, salah satu faktor utamanya adalah kata yang digunakan untuk membentuk kalimat yang akan membumikan ide, pengalaman batin, maupun perenungan sang penyair terhadap suatu persoalan. Jika kata yang digunakan (meski pun ajaib, gagah dan mengejutkan) tidak saling menopang memberikan keberadaan di antara mereka, pembuatnya tidak akan berhasil menyampaikan apa yang hendak ia sampaikan. Nasib sang karya menjadi tak ada bedanya dengan gumpalan pasir yang dilemparkan ke kolam. Meninggalkan riak sejenak, tetapi tak pernah mencapai tujuan.
Kata digunakan karena ada yang ingin dikatakan. Metafora dipakai untuk menyampaikan yang tak terkatakan, memvisualkan hal-hal yang tak tampak serta menyinari segala yang telah tampak sehingga membuat rahasia yang tampak tersebut dapat lebih tersingkap.
Membaca puisi membuat kita mengaktifkan seluruh panca indera yang kita punya. Pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, bahkan pikiran. Puisi hidup lewat citraan-citraan hidup, kata-kata yang kait mengait pada dirinya, yang ada bentuknya, yang bisa terdengar, terlihat, tercium, dan terasa.
***
Gema Secuil Batu yang di dalamnya terkumpul 49 sajak, bila pembacaan saya tidak salah, terdiri dari sajak-sajak yang berisikan renungan perihal kenangan, ingatan, gerak hidup yang membuat sebuah kota menjadi berubah, bahkan perenungan tentang manusia, persahabatan, asmara, kematian, kehidupan, serta puisi dan penyair itu sendiri.
Sebagian besar sajak tersaji secara naratif dan romantik, tetapi tidak jatuh ke jurang kecengengan atau kesentimentilan yang berlarat-larat. Takaran emosi yang terolah lewat pemilihan citra maupun diksi pada tiap-tiap sajak menjadi salah satu bukti bahwa sang penggubah mampu memisahkan diri sebagai "manusia yang menderita" dan "jiwa yang mencipta".
Sajak "tertua" yang terdapat dalam kumpulan ini adalah Rumah Sunyi yang diciptakan tahun 1993. Saya tidak tahu persis apakah ini sajak pertama yang ditulis penyairnya dalam kerja kepuisiannya. Setidaknya untuk kumpulan perdananya ini, sajak tersebut menjadi anak tangga awal melihat betapa proses mencipta puisi bagi Iswadi adalah sebuah proses yang dinamis, menapaki tangga demi tangga, menyerentak dengan pergantian usia, di mana perubahan isi maupun bentuk adalah sebuah tuntutan yang mestinya niscaya bagi penyair yang menganggap puisi adalah sesuatu yang organik.
Proses yang dinamis tersebut menjejak pada perubahan sajak per sajak yang diciptakan tahun per tahun, baik dari apa yang disampaikan sang penyair dalam puisinya, maupun bagaimana penyair menyampaikannya. Sajak Rumah Sunyi yang diciptakan pada 1993 berbeda dengan Fragmen Tanjungkarang yang diciptakan penyair yang sama pada 2004. Meskipun ada nuansa yang sama, secara detail dan capaian artistik terpapar suatu pergulatan yang serius terhadap puisi hingga terjadilah perubahan yang menyebabkan keberbedaan tersebut. Ini juga terjadi pada sajak-sajak yang diciptakan pada tahun-tahun lain, terutama sajak-sajak yang diciptakan pada 2005, yang terdapat di lembar-lembar terakhir kumpulan ini.
Keberbedaan tiap-tiap sajak dalam kumpulan tidaklah perlu digunakan untuk mencari manakah sajak yang paling baik. Gaya atau tema manakah yang paling sesuai bagi penyairnya. Komentar Budi Hutasuhut (Budi P. Hatees), 23 November 2007, saat Bilik Jumpa Sastra di UKMBS Unila, yang mendefinisikan kemapanan bagi penyair adalah ketika ia telah menemukan satu tema untuk direnungi atau satu gaya berpuisi yang digunakan berkali-kali agar menjadi khasnya adalah pandangan sempit, yang apabila tidak dicermati dengan baik akan menyebabkan keterbatasan kreativitas dan lebih nahas lagi dapat membuat penyair stagnan dalam berproses.
Perubahan adalah sebuah kemestian. Keberbedaan adalah fakta di dalam suatu proses. Kebebasan bereksperimen, baik terhadap bentuk maupun isi adalah penting, karena hanya dengan kebebasan seorang penyair dapat terus menerus berinovasi, di mana inovasi adalah bukti bagi sebuah kreativitas.
Dalam Gema Secuil Batu, keberbedaan tiap-tiap sajak yang ditulis juga pada tahun-tahun berbeda, adalah bukti tiap-tiap puisi tak ubahnya makhluk yang hidup sebagai dirinya sendiri, dengan gayanya sendiri, dengan suara dan biografinya sendiri. Seperti juga manusia, yang setiap individu-individunya memiliki sidik jari, jumlah rambut, jumlah keping darah, lebar usus, ukuran mata, serta panjang gigi yang berbeda-beda. Keberbedaan ini menunjukkan Gema Secuil Batu menggemakan begitu banyak kekayaan yang dimiliki penyairnya: peristiwa, perspektif, teknik berpuisi serta capaian-capaian secara artistik dari masing-masing puisi.
Bait pembuka sajak Penambang yang diciptakan tahun 2005 menjadi penutup tulisan saya sekaligus (barangkali) menjadi gambaran bagi kita, bagaimana proses sebuah puisi tercipta: memang akan hilang/ memang akan hancur/tak bisa dijaga di tangan gemetar/tak bisa ditempa di luar sabar. ***
* Inggit Putria Marga, Praktisi puisi
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
No comments:
Post a Comment