LAMPUNG punya hajat besar tahun depan: Visit Lampung Year (VLY) 2009 dengan slogan "keren": Your second home. Disbudpar Lampung menargetkan kunjungan 1,2 juta turis domestik dan 24 ribu turis mancanegara selama VLY. Mereka juga menjanjikan KTE akan memberi banyak kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan saat mengunjungi Lampung; yang akan berdampak pada peningkatan PAD (Lampung Post, 24-8).
Tahun 2008 mau tutup buku, 2009 di depan pintu. Sudah bergemakah VLY 2009 di berbagai lapisan masyarakat Lampung? Apakah prioritas dan fokus VLY 2009 selain mendatangkan turis?
Mengenai target wisatawan, jika dibagi 12 bulan, berarti tiap bulan ada 100 ribu turis domestik dan 2.000 turis mancanegara mengunjungi Lampung. Lucunya, di Lampung Post (1-11), saya membaca target itu berubah jadi 2 juta wisatawan lokal dan mancanegara. Tolok ukur yang dipakai Disbudpar adalah jumlah kunjungan wisatawan tahun 2007 yang mencapa 1,5 juta orang.
Mengingat kondisi di lapangan, entah strategi apa yang dipakai mencapai target itu. Semoga capaian target itu tidak sekadar laporan statistik. Tampaknya ada jurang antara niat, strategi, dan aksi menyukseskan VLY 2009. Ini akan jadi bumerang yang berdampak buruk bagi pariwisata Lampung ke depan.
***
Jika warga luar Lampung ditanya satu hal yang identik dengan pariwisata Lampung, pasti yang terlintas di benak mereka gajah, Krakatau, keripik, kopi, atau nama sejumlah pantai. Jawaban itu bisa jadi mendominasi ketimbang agenda seni budaya dan pariwisata yang rutin dihelat instansi pemerintah macam Festival Krakatau, Festival Begawi, Festival Teluk Stabas, dan Festival Way Kambas.
Karena berwisata adalah hak manusia, produk wisata yang itu-itu saja bisa menimbulkan kejenuhan. Mestinya ada peremajaan, inovasi, variasi, diversifikasi produk wisata atau apalah namanya terhadap berbagai objek wisata potensial yang belum digarap maksimal.
Jauh sebelum berniat mencanangkan VLY 2009, sudahkah Disbudpar Lampung mengidentifikasi, menginventarisasi, dan berupaya memaksimalkan alternatif-alternatif wisata lain?
Selain wisata alam, Lampung juga menyimpan beragam wisata kuliner, wisata budaya, wisata sejarah, agrowisata, wisata religi atau spiritual. Ambil contoh, di kawasan Telukbetung ada wihara, masjid, dan taman yang jaraknya berdekatan. Berdasar aspek sejarah dan religi, tempat itu patut menjadi alternatif destinasi wisata.
Lalu, jangan menilai atau menentukan potensi pariwisata menurut kacamata kita (Lampung) selaku tuan rumah. Gunakanlah pula kacamata tamu (wisatawan). Tamu akan mencari sesuatu yang unik dan berkesan di destinasi wisata.
Saya pernah chatting dengan warga Belanda. Ketika obrolan membahas dahsyatnya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, saya terkejut saat dia menyebut perihal Berouw, kapal Belanda yang terdampar jauh hingga kawasan Sumur Putri. Saya masygul, seandainya ada turis luar negeri yang ingin melihat lokasi terdamparnya Berouw. Bagaimana bisa sampai ke sana? Rasanya tidak ada instansi pemerintah dan penyelenggara paket wisata yang menjadikan lokasi Sumur Putri sebagai alternatif objek wisata yang berkaitan dengan Krakatau.
Memang tidak ada lagi jejak kapal itu di sana, tapi setidaknya ini layak dicoba, sekaligus menguji kemampuan menjelaskan keunikan sebuah objek wisata.
***
Ada tiga faktor dilematis dan krusial yang menurut saya akan menjadi sandungan menyukseskan VLY 2009. Pertama, infrastruktur. Banyak objek wisata di Lampung yang lokasinya masih sulit dijangkau. Parahnya, dari dahulu masalah ini tidak selesai-selesai. Dengan waktu yang tersisa, instansi pemerintah yang berkompeten dan stakeholder pariwisata harus serius menyikapi masalah sarana dan prasarana ini.
Kedua, promosi, informasi, dan sosialisasi. Wisatawan tentu lebih tertarik berkunjung ke daerah yang kadung familier sebagai destinasi wisata macam Bali, Lombok, Yogyakarta atau Sulawesi. Sudah sejauh mana upaya Disbudpar dan instansi terkait mendatangkan wisatawan ke Bumi Ruwa Jurai? Adakah kalender even selama VLY 2009 yang bisa dengan mudah diakses atau diketahui calon wisatawan dan warga Lampung?
Tidak ada baliho atau umbul-umbul di tempat-tempat strategis yang berisi informasi tentang VLY 2009. Tidak ada sosialisasi membangun kesadaran dan kepedulian warga Lampung untuk menyukseskan VLY 2009. Yang mendominasi justru spanduk dan baliho berisi pasfoto para caleg dengan senyum berkilau. Ini membuktikan promosi dan sosialisasi VLY 2009 terkesan masih lambat.
Disbudpar harus kerja ekstra keras mempromosikan potensi pariwisata di Lampung. Naif jika anggaran dijadikan kambing hitam; jika anggaran minim, kenapa berani menggelar hajat VLY 2009?
Ketiga, koordinasi dan kerja sama konstruktif. Kegiatan pariwisata selalu berhubungan dengan unsur-unsur lain. Untuk itu harus dijalin kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan pihak-pihak lain, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sektor pariwisata. Diperlukan komitmen bersama.
***
Saya berharap Disbudpar Lampung menetapkan sasaran internal dan eksternal selama VLY 2009. Sasaran internal yang saya maksud adalah mengajak dan melibatkan warga Lampung berperan aktif menyukseskan VLY 2009. Harus ditekankan bahwa VLY 2009 bukan cuma kerja pemerintah dan pelaku pariwisata di Lampung, melainkan seluruh warga.
Belajarlah dari dunia pariwisata di Bali. Tahun 90-an, warga Pulau Dewata itu mengkritik kebijakan pemda yang memberi porsi sedikit pada warga berperan dan menikmati "kue" pariwisata. Slogan kritis yang mencuat kala itu adalah "Bali untuk pariwisata atau pariwisata untuk Bali".
Ini bisa dijadikan pelajaran, jangan sampai warga Lampung hanya jadi penonton yang gigit jari selama VLY 2009. Jadikanlah VLY 2009 sebagai program pariwisata berbasis masyarakat, yang dengan sendirinya akan mendatangkan pendapatan bagi masyarakat.
Dua fakta ini harus jadi lampu kuning dan disikapi Disbudpar Lampung menjelang VLY 2009. Pertama, laporan hasil survei indeks daya saing turisme tahun 2008 yang diadakan lembaga internasional World Economic Forum (WEF), yang menempatkan Indonesia di urutan ke-80 dari 130 negara anggota PBB. Tiga negara ASEAN berada di atas kita (Singapura urutan ke-16, Malaysia ke-23, dan Thailand ke-42).
Ironisnya, tahun ini Indonesia sedang menjalankan program Visit Indonesia Year 2008. Indonesia dinilai hanya bagus dari sisi "niat" menjadikan pariwisata sebagai prioritas kebijakan, tapi lemah implementasi. Juga terpuruk dalam aspek kesehatan, kebersihan, lingkungan, dan keamanan.
Kedua, Lampung tidak termasuk 10 destinasi pariwisata unggulan yang dinilai Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Lampost, 19-10).
Berbekal fakta ini dan waktu yang kian mepet, mampukah Pemprov dan Disbudpar Lampung mengubah strategi dan aksi menyukseskan VLY 2009? Akhirnya, masih banyak yang harus dibenahi jika tidak ingin VLY 2009 dicap sebagai program mubazir yang memboroskan uang rakyat. Masih banyak yang harus dibenahi jika ingin wisatawan pulang membawa oleh-oleh, cerita, dan kenangan yang baik tentang Lampung. n
* M. Arman A.Z., Sastrawan, tinggal di Lampung
Sumber: Lampung Post, Selasa, 18 November 2008
No comments:
Post a Comment