November 23, 2008

Traveling: Kiluan Eksotis, Kiluan Terancam

SEORANG teman asal Prancis, Barneron Claire, berkesempatan menikmati naturalnya alam Teluk Kiluan dan masyarakatnya. Ia mengatakan kawasan itu sangat eksotis dan seharusnya pemerintah menjadikan sebagai kawasan konservasi. Namun, ia juga menemukan tangan-tangan serakah yang terus merusak.

----------

Kiluan est un lieu tranquille, a la campagne, recule. Les français approcient ce genre d'endroit isole et calme....

Selembar surat elektronik itu mampir ke alamat e-mail saya, pekan lalu. Sengaja, kalimat dalam bahasa Prancis itu tidak saya kutip semua. Pertimbangannya, karena cukup panjang dan berbahasa yang tidak familier dengan pembaca koran ini, termasuk saya. Namun, terjemahan bebasnya saya kutip lengkap. Isinya adalah pujian sekaligus kemirisan terhadap apa yang ada dan apa yang dihadapi alam buatan Tuhan di bilangan Kecamatan Kelumbayan, Tanggamus ini.

(Kiluan itu tempat sepi di kampung, di mana tidak ada terlalu banyak orang, kendaraan, dan tidak ramai. Orang Prancis suka suasana begini. Di Kiluan, ada banyak orang dari asal yang berbeda, agama beda, tradisi dan budaya yang juga berbeda.

Itu menarik dan penting sekali. Ini satu contoh kampung dengan perbedaan bisa tinggal bersama dengan baik dan saling menghormati. Menurut saya, konservasi alam lebih banyak concern di negeri Barat, tapi, saya terkejut di sini pun kepedulian terhadap lingkungan sudah ada. Waktu di daerah dekat, banyak teluk dan tepi laut yg aslinya punya mangrove dan sekarang sudah rusak untuk perikanan.

Saya suka ke Kiluan senang sekali rasanya berada disana selama tiga hari, menikmati di sana, mandi, berenang, makan ikan, snorkeling untuk lihat karang-karang dan ikan-ikan, tapi saya juga sedih sekali saat naik perahu, dari jauh saya melihat ada orang memancing ikan dengan bom).

Pesan elektronik itu cukup panjang, dan sepertinya belum mampu "memuntahkan" isi hati penulisnya; Barneron Claire. Bule asal Prancis yang juga pengajar bahasa Prancis di salah satu universitas negeri di Lampung itu mengaku sangat terkesan dengan masyarakat Kiluan.

Semangatnya seperti hidup mana kala menyaksikan tingginya tenggang rasa antarmasyarakat di sana. Tiga hari berada di sana ia seperti terhipnosis. "Surprise et admirative (saya sangat terkesan)," ujarnya.

Ia agak terpengaruh dengan hasil penelitian Zander tentang sikap interaksi sosial yang lebih mengutamakan sikap toleransi dan gotong royong untuk sebuah pencapaian kesejahteraan bersama.

Ia melihat langsung bagaimana sebuah pura bisa bersanding dengan masjid, bersebelahan. Claire mengaku takjub, ini pemandangan yang langka selama dia menjadi seorang "petualang" yang sudah menjelajah berbagai benua dan negara mulai Meksiko, Italia sampai bermuara di Lampung, dan ia terperangah dengan masyarakat Teluk Kiluan yang menurut dia sangat eksotis.

Segala bentuk kompleksitas positif yang ia lihat di Teluk Kiluan begitu memengaruhinya, ia seperti tidak ingin pulang dari Teluk Kiluan menjalani rutinitas, ia ingin di sini. "Saya pasti akan kembali lagi," ujarnya kepada saya.

Sabtu pagi, Claire sangat penasaran tentang bagaimana sikap kebersamaan masyarakat di Kiluan, kami berjalan menyusuri pantai menuju kota sawah di Umbul Bandung Jaya. Rasa penasarannya terobati.

Ia menyaksikan bagaimana masyarakat berbagai etnis dengan peluh yang penuh mencangkul tanah beramai-ramai untuk memperlebar jalan tanah menuju Umbul Bandung Jaya. Mereka berbaris, mungkin 50-an warga dari berbagai etnis dan latar belakang, bercampur lumpur di kaki, tenggelam dalam kerja gotong royong.

"Saya kagum, hanya dengan lonceng kayu (kentongan, red) bisa menggerakkan orang-orang di sini untuk bekerja bersama-sama membuat jalan."

Ini menjadi semacam intermeso baru buatnya, dari sekian banyak tempat di berbagai belahan negara di dunia ini, Kiluan adalah tempat yang bisa membuatnya memaknai sebuah sikap toleransi.

Ia tertawa-tawa saja manakala mendengar beberapa warga berusaha membangun komunikasi dengan bahasa Inggris yang ala kadarnya dan warga juga yang balas menertawakannya saat dipermainkan warga, ketika dia berusaha berbicara dengan bahasa Indonesia yang juga belepotan.

Tapi, rasa ingin tahunya membuat Claire cepat belajar berbincang dengan bahasa Indonesia. Ini semua dilakukan hanya ingin bisa berinteraksi dengan masyarakat.

Sore harinya, sepotong ikan lemadang melengkapi makan sorenya. Ikan bakar setengah matang itu lahap disantapnya dengan sepiring nasi dan seruit. "Saya pasti dan akan kembali lagi k esini. Saat kembali ke sini, saya akan ikut mencangkul tanah". n MEZA SWASTIKA/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008

No comments:

Post a Comment