MATANYA tiba-tiba membelalak. Ia mengoceh sendiri dengan bahasa Prancis. Intonasi suaranya agak tinggi, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah tengah lautan Samudera Hindia. Ia seperti ingin meminta juru mudi perahu ketinting mempercepat laju perahu yang ditumpanginya.
Gelombang laut besar yang mengempas-empas ke arah perahu seperti tidak dihiraukannya, meski tubuhnya nyaris jatuh ke laut jika tidak refleks memegang ujung katiran (batang kayu nibung yang dijadikan sebagai penyeimbang perahu di kiri dan kanan perahu, red). Di tengah laut itu, ia melihat langsung bagaimana sebuah perahu nelayan sedang memburu lumba-lumba yang saat itu tengah musim kawin.
Tapi, saat perahu makin dekat, perahu pemburu itu langsung berlalu menjauhi perahu menuju ke tengah meninggalkan beberapa ekor lumba-lumba yang sudah menjadi bangkai. Claire tidak sempat memaki nelayan-nelayan itu.
Pulang. Sejak memulai perjalanan pulang hingga sampai ke tempat kepulangannya itu, Umbul Bandung Jaya, tidak sepatah pun kata-kata keluar dari mulutnya. Ia hanya diam, padahal saat diajak berangkat untuk melihat lumba-lumba, ia selalu bertanya atau sesekali mengajak berbincang. "Saya sedih sekali melihat lumba-lumba itu dibunuh," ucapnya.
Di "kampungnya" di Prancis, kesadaran masyarakat akan pentingnya keberlangsungan lingkungan sudah sangat tinggi. Tingginya kesadaran masyarakat itu juga mendapat dukungan penuh pemerintah.
"Kalau di tempat saya, tidak ada orang lagi yang menebang pohon untuk dapat duit karena orang-orang di sana sudah memiliki tanah perkebunan sendiri."
Termasuk aksi pengeboman ikan dan perburuan ikan lumba-lumba, menurut dia, kegiatan seperti itu bisa memengaruhi proses keberlangsungan rantai makanan termasuk berkurangnya populasi ikan. "Dengan bom, ikan-ikan kecil ikut mati juga, ikan-ikan bisa habis."
Ia juga bicara banyak tentang habisnya hutan mangrove yang dibabat untuk membuka usaha tambak udang. Menurut dia, kondisi seperti ini justru bisa merugikan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir itu sendiri.
Sebab, dengan rusaknya hutan mangrove justru memicu serangan penyakit malaria karena hutan mangrove sebagai habitasi nyamuk sudah tidak ada lagi sehingga nyamuk pun bermigrasi ke daerah-daerah permukiman.
"Di tempat kami, hutan mangrove kami jaga, tidak boleh ada siapa pun merusaknya apalagi untuk bisnis cari duit. Untuk bisnis, ada tempat sendiri dan tidak berarti harus merusak hutan mangrove. Saya kira kita semua harus sudah memahami untuk apa lingkungan itu untuk kepentingan masa depan kita, it's real."
"It's about our future, can you imagine in the future, we doesn't have enough water, we dont have clean air. I just want everybody understand how important our environment, our forest and other. (Ini nyata. Ini tentang masa depan kita, bisa kamu bayangkan di masa depan nanti, kita tidak punya cukup air bersih, kita tidak punya udara yang bersih. Saya hanya ingin orang-orang mengerti tentang betapa pentingnya lingkungan kita, hutan kita)," jelasnya yang hanya bisa membuat saya melongo.
Sebelum meninggalkan Kiluan, berkali-kali ia berpesan kepada warga untuk tidak merusak lingkungan. "Kalau tempat ini rusak, tidak ada orang yang akan datang lagi ke sini," pesannya berulang-ulang. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
No comments:
Post a Comment